Benda, terap atau tekalong (Artocarpus elasticus) adalah sejenis pohon buah yang masih satu genus dengan nangka (Artocarpus). Buahnya mirip dengan buah timbul atau kulur, dengan tonjolan-tonjolan serupa duri lunak panjang dan pendek, agak melengket. Nama ilmiahnya adalah Artocarpus elasticus.
Pohon buah ini di Malaysia juga dikenal sebagai tekalong atau terap, tetapi jangan dikelirukan dengan terap, Artocarpus odoratissimus. Benda di pelbagai wilayah juga disebut dengan nama-nama seperti malagumihan (Filipina);[3]kalam (Mentawai);[4]torop (Karo); bakil (Melayu);[2]tarok (Mink.); bĕnda, teureup (Sd.); bendhå (Jw.); kokap (Md.); taéng (Mak.).[5] Nama-nama lainnya di Kalimantan, di antaranya, terap, kapua, kumut, pekalong.[6] Orang Dayak di wilayah Sungai Pesaguan dan Sungai Gerunggang menyebutnya dengan nama torap (untuk pohon yang muda), atau punuk untuk pohon yang telah berbuah. Di Pulau Muna, Sulawesi Tenggara, buah ini dikenal oleh masyarakat setempat dengan nama kumbou.[7]
Pohon berukuran sedang; jarang-jarang mencapai tinggi 45(-65) m, batang bebas cabang bisa mencapai 30 m dan gemang batang hingga 125(-210) cm. Banir mencapai tinggi 3 m di atas tanah. Pepagan kelabu-cokelat, bagian dalamnya kekuningan hingga cokelat pucat; lateksnya berwarna putih kekuningan.[6][9]
Ranting-ranting tebalnya 8-20 mm, berambut rapat keemasan. Daun penumpu membungkus ujung ranting, 6–20 cm, berambut panjang kuning hingga merah. Daun-daun kaku menjangat, bundar telur jorong, 12,5-60 × 10–35 cm; pertulangan daun dengan rambut kasar keemasan di sisi atas dan rambut keemasan rapat di sisi bawah; ujungnya runcing hingga meruncing; bertepi rata hingga menggelombang; pangkalnya membulat hingga menyempit. Daun pada anak pohon berbeda bentuk, berbagi atau bercangap 7-9 taju, panjang 60–120 cm.[6]
Perbungaan dalam bongkol di ketiak, pada ranting yang berdaun. Bongkol jantan serupa jari gemuk, 6-20 × 2,5-3,8 cm; kuning, kemudian cokelat. Buah semu (syncarp) kuning-cokelat, kemudian cokelat; silindris, lk. 11,5 x 5,5 cm, tertutup rapat oleh tonjolan-tonjolan serupa duri pendek dalam dua ukuran; bertangkai 6,5–12 cm; buah berbau kurang enak jika masak. Biji-biji elipsoid, 10 × 6 mm, terbungkus ‘daging buah’ (sebetulnya perkembangan tenda bunga) berwarna putih.[6]
Musim bunga pohon benda umumnya terjadi pada bulan Juni-Agustus dan berbuah pada Oktober-Desember, terkadang sampai bulan Januari.[10] Buahnya bundar, warnanya cokelat kekuning-kuningan. Permukaannya berduri runcing lunak yang tidak sama. Daun dan buahnya mirip keluwih.[10]
Persebaran dan habitat
Tumbuhan ini tersebar dari Burma, Siam, Malaya, sampai Palawan. Di Indonesia, ia tumbuh di seluruh Nusantara. Pohon benda umumnya tumbuh liar di hutan-hutan dataran rendah sampai pada ketinggian 1500 mdpl. Adapun ia biasa tumbuh liar di tepi jalan yang tidak terpelihara atau dekat kuburan. Perbanyakannya melalui biji.[10]
Kegunaan
Buah benda yang telah masak dimakan dalam keadaan segar, bijinya dapat dimakan setelah direbus atau digoreng. Adapun kalau buah belum masak, tetap dimakan dengan dimasak terlebih dahulu.[11] Buah muda dari pohon benda atau yang juga disebut dengan teureup ini bisa digulai seperti nangka, dan yang sudah tua bisa dimakan langsung. Namun, buah benda lebih sering dimakan dalam keadaan matang.[12]Getah benda sering digunakan sebagai perekat untuk menjerat burung.[9] Masyarakat Minangkabau di waktu penjajahan Jepang menggunakan serat benda untuk celana, kisah ini diabadikan di dalam pantun Minangkabau ich ni san shi go rok, baju goni sarawa tarok. (Satu dua tiga empat lima enam (bahasa Jepang), baju goni celana serat tarok (benda).
Serat
Pepagan benda menghasilkan serat yang dapat dipergunakan sebagai tali, atau bahan pakaian orang Dayak pada masa lalu. Bahan tali ini di daerah Barito disebut tambaran, sedangkan di pedalaman Ketapang disebut kapuak. Tambaran diperoleh dari anak pohon yang berumur 2-4 tahun, dari pepagan bagian dalam yang lunak dan lembut. Anak pohon itu mula-mula ditebang, dan batangnya dipotong-potong sepanjang setengah meter (atau sesuai kebutuhan) dan dikelupas kulitnya. Kulit bagian dalam itu, setelah dipisahkan dari pepagan luar yang keras, kemudian dibersihkan dengan sepotong besi yang bergerigi.[5]
Cara lain untuk memperoleh tali kapuak adalah dengan memukul-mukul pepagan bagian dalam tadi dengan palu kayu yang ujungnya beralur atau bergerigi, sambil dibersihkan dalam air. Serat halus yang diperoleh kemudian dicuci dan dikeringkan. Tali kapuak masih dipergunakan di berbagai daerah di Kalimantan hingga kini, sebagai tali untuk menggendong kebuduk (keranjang angkut tradisional) atau untuk mengikat pelbagai perabotan rumah tangga.
Kayu
Kayu benda, dalam perdagangan digolongkan sebagai kayu terap; yakni kayu ringan dengan kerapatan kayu (pada kadar air 15%) antara 365 – 640 kg/m3.[9] Sebagaimana dikutip Heyne, kayu ini bersifat halus atau agak halus, sedikit padat sampai agak padat, berserat kasar, mengilat, berwarna kuning muda namun akhirnya menjadi cokelat. Keawetannya tergolong rendah, termasuk kelas awet III-IV; dan mudah dirusak rayap. Untuk digunakan sebagai tiang atau papan rumah, orang lebih menyukai kayu terap yang agak berat. Selain itu, kayu ini digunakan pula untuk membuat perahu.[5]
Obat-obatan
Menurut penduduk desa di Jawa, beberapa macam obat dapat dibuat dari getah pohon ini selain kulit batang sebelah dalamnya. Dari bijinya juga, diperoleh minyak rambut.[10] Juga, oleh suku Mentawai, seduhan air panas dari pepagan pohon benda digunakan untuk membatasi kelahiran (dosisnya sehari sekali selama 3 hari berturut-turut).[4] Kulit batang benda berkhasiat sebagai obat sakit perut, sementara getahnya berkhasiat sebagai obat menceret. Kulit batang benda dicampur dengan kulit batang sukun, kemudian dipukul-pukul, dan kemudian dijadikan sabuk untuk diikatkan di perut. Daun, buah, dan pepagannya mengandung saponin dan polifenol, flavonoida juga terkandung pada buah dan daun.[2] Di Pattani, Thailand daun benda dipergunakan untuk mengatasi cacing gelang dengan cara pemakaian lokal.[8]
Dalam kebudayaan
Kayu ini diabadikan menjadi nama daerah di Sumatera Barat, yakni Sungai Tarab (nama yang tepat adalah Sungai Tarok, lalu dimelayukan menjadi Tarab) dan beribu kota di Sungai Tarab. Pada masa Perang Padri, penguasa Minangkabau -Kaum Adat- waktu itu membuat perjanjian dengan residenPadang, yakni Du Puy.[13] Isi perjanjian ini menyebut bahwa Simawang, Pagaruyuang, dan Sungai Tarab akan diserahkan jika Belanda menduduki Simawang. Kelak, pada 18 Februari1821 diduduki Belanda dengan prajurit sebanyak 100 orang.[13]
^ abHidayat, Syamsul (2005). Ramuan Tradisional ala 12 Etnis Indonesia. hal. 149. Jakarta:Penebar Swadaya. ISBN 979-489-944-5.
^ abcHeyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia, jil. 2: 674-676. Yay. Sarana Wana Jaya, Jakarta.
^ abcdArgent, G. et al.. t.t. Manual of the Larger and More Important Non-Dipterocarp Trees of Central Kalimantan, Indonesia. Vol. 2: 433. Forest Research Institute, Samarinda.
^ abcDjarwaningsih, T., D.S. Alonzo, S. Sudo, and M.S.M. Sosef. 1995. Artocarpus J.R. Forster & J.G. Forster. in R.M.H.J. Lemmens, I. Soerianegara and W.C. Wong (eds.). Timber Trees: minor commercial timber. Plant Resources of South-East Asia (PROSEA) 5(2): 65.
^ abcdSastrapradja, Setijati; Lubis, Siti Harti Aminah; Djajasukma, Eddy; Soetarno, Hadi; Lubis, Ischak (1981). Proyek Penelitian Potensi Sumber Daya Ekonomi:Kayu Indonesia. 14. Jakarta: LIPI bekerja sama dengan Balai Pustaka. hlm. 13. OCLC11804239.