Bakrie Soeraatmadja

Bakrie Soeraatmadja atau biasa dipanggil Bakrie, lahir di Bogor, pada tanggal 26 Juni tahun 1895.[1] Ayahnya bernama Raden Mh. Hassan Tanoediredja. Sejak kecil, Ia diarahkan agar kelak di masa depan mejadi seorang santri. Bakrie memulai pendidikan pada tahun 1901,[1] ketika Ia berusia enam tahun. Kala itu, di Bogor belum ada Hollandsch-Inlandsche School atau sekolah untuk Bumiputera, akhirnya Bakrie memutuskan masuk Tweede Inlandsche School atau sekolah kelas dua. Setelah tamat sekolah, Bakrie melanjutkan pendidikannya dengan menjadi santri disalah satu pesantren di kota Bogor. Selepas menjadi santri, Bakrie memulai kariernya dengan magang disebuah perusahaan sepatu. Namun, tak lama dari itu Ia memutuskan pindah ke bengkel sepeda. Lalu pindah ke Jampang kulon untuk bekerja di sebuah perkebunan. Pekerjaan di Sukabumi hanya bertahan dalam kurun waktu enam bulan. Perjalanan Bakrie membawanya kembali lagi ke kota Bogor. Di sana Ia menjadi juru tulis desa selama tiga bulan, selain itu Ia menjadi kurir (bookschapper) di Gemeentelijke Secretarie. Di tempat itu, Bakrie mulai belajar bahasa Belanda secara autodidak. Dua tahun kemudian, Bakrie naik jabatan menjadi hulpschrijver (penulis pembantu) di Distrik Jasinga. Dari Jasinga Ia dipindahkan ke kantor Controleur di Kota Bogor.[1]

Organisasi

Pekerjaan Bakrie membawa dirinya untuk pindah dari satu titik ke titik lainnya. Kala itu, Bakrie bekerja di kantor telepon Purwakarta.[1] Saat di Purwakarta, ketertarikannya kepada organisasi tumbuh, ditambah ilmu agama yang melekat pada dirinya semasa menjadi santri masih tetap Ia junjung. Di Purwakarta, Bakrie memutuskan terjun dan memimpin organisasi Sarikat Islam. Organisasi inilah yang pertama kali membawanya berkenalan dengan aktivitas politik.[1] Ketika Bakrie tinggal di Surabaya, Ia mendirikan Paguyuban Pasundan cabang Surabaya.[1] Pada tanggal 25-26 Desember tahun 1922, Bakrie dipercaya menjadi utusan Pasundan Surabaya dalam Konferensi Paguyuban Pasundan di Balonggede, Bandung. Hasil dari keputusan Konferensi Paguyuban Pasundan yaitu Bakrie terpilih menjadi sekretaris Comite Radicale Concentratie dan pemimpin Comite Jaarmarkt afdeeling Patoekangan.[1] Hasil lainnya dari konferensi tersebut adalah menerbitkan majalah Sipatahoenan. Dari Surabaya, Bakrie dipindahkan untuk bekerja di kantor pusat PTT Bandung. Kala itu majalah Sipatahoenan masih terbit satu minggu sekali di Tasikmalaya.

Karya Sastra

Bakrie pernah menulis buku Elmoening Kabangsaän (Ilmu Kebangsaan) dan roman berbahasa Sunda berjudul Djodo Noe di Dago-dago (Jodoh yang Ditunggu-tunggu),[1] diterbitkan oleh Boekhandel & Drukkerij Economy yang beralamat di Jalan Kaoem No. 34, Bandung. Terbitnya buku Djodo Noe Didago-dago, membawa Bakrie masuk ke dalam jajaran pengarang seri Hiboerankoe yang dibentuk penerbit. Buku ini terdiri atas setidaknya tiga jilid. Jilid satu bercerita tentang perjuangan cinta antara Neng Ratna dengan Raden Angka. Kala itu Neng Ratna harus pergi ke Cicurug untuk mengurus tantenya yang sedang sakit parah. Di sisi lain, bos dari paman Neng Ratna jatuh cinta kepadanya. Tapi sayang Neng Ratna tak menyukainya, oleh karena itu Neng Ratna memilih kabur, dan menghindari penikahan tersebut. Hal itu diketahui oleh bos pamannya, dan menyebabkan pamannya kehilangan pekerjaan alias dipecat. Neng Ratna hanya mencintai Raden Angka, dan mereka pun menikah. Di tengah-tengah perjalanan cinta mereka, Raden Angka harus meninggalkan istrinya untuk bekerja. Di tempat kerjanya Raden Angka terpaksa menikah karena dijodohkan dengan Enden Omi. Di sini, Raden Angka merasa sengasara karena menikah karena terpaksa untuk kebahagiaaan orang tuanya. Nama-nama tempat yang dijadikan latar novel ini seperti Bogor, perkebunan di Jampangkulon, Sukabumi, dan Jasinga adalah nama-nama tempat yang pernah disinggahi Bakrie dalam kehidupan nyatanya. Pada 1938, Bakrie menjabat sebagai pemimpin redaksi Berita Priangan, Ia menulis dua jilid buku tentang jurnalistik dalam bahasa Sunda.[2] Buku ini berisi tentang sejarah jurnalistik serta beberapa pengalaman yang dialami jurnalis pada saat di lapangan. Penggunaan bahasa Sunda dalam buku jurnalistik ini terbilang unik dan pertama kalinya ada di Indonesia. Hal unik lainnya, buku tersebut menampilkan ilustrasi kumpulan foto tokoh jurnalis dan tokoh politik ternama.[2] Ilustrasi tersebut dicetak dalam ukuran kecil sehingga bisa dimasukkan ke dalam saku.

Perjalanan Sipatahoenan

Bakrie adalah orang yang mengusulkan penggunaan nama majalah Sipatahoenan[2]. Bakrie menjelaskan arti dari kata Sipatahoenan. Kata tersebut diambil dari nama suatu tempat yang berupa danau di Pakuan Pajajaran yang digunakan oleh Prabu Siliwangi ketika kecil untuk berlatih bela diri.[3] Sipatahoenan adalah majalah atau Koran harian yang menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa pengantarnya.[2] Sipatahoenan terbit pertama kali pada tahun 1923. Koran ini terbit hingga ke Jerman. Di Indonesia, Belanda melarang para pegawai pemerintahan untuk membaca koran tersebut. Selain Bakrie, orang yang mempunyai jasa atas terbitnya majalah Sipatahoenan adalah Soetisna Sendjaja dan Ahmad Atmadja.[2] Soetisna mempunyai peran sebagai redaktur yang merangkap menjadi penanggung jawab redaksi. Sedangkan Bakrie berperan sebagai pimpinan redaksi pertama Sipatahoenan. Walaupun menjadi pimpinan redaksi, Bakrie aktif memberikan kontribusi dalam tulisan-tulisannya yang bertema politik. Koran Sipatahoenan terbit dua kali dalam satu minggu. Bakrie memutuskan bekerja penuh di Sipatahoenan pada tahun 1927. Bakrie adalah pegawai pertama Sipatahoenan, dengan tidak digaji. Bakrie menjadi pemimpin redaksi diumur 35 tahun yang didampingi oleh Soetisna Sendjaja dan A.S. Tanoewiredja sebagai redaktur.[2] Modal awal penerbitan Sipatahoenan diperoleh dari dana pinjaman beasiswa Pasundan.[3] Harga satu rim kertas koran sekitar Rp 0,5, dan biaya cetaknya kisaran Rp 28,5 untuk 3.000 eksemplar. Harga jual dari koran tersebut kisaran Rp 1,5 untuk langganan satu bulan. Dari awal penerbita higga tahun 1942, koran Sipatahoenan rata-rata terbit 8 halaman dan 12 halaman setiap Rabu dan Sabtu. Selain informasi dan artikel dari kontributor, ada baris iklan yang berisi 4-6 halaman. Sistem pembayarannya di muka, baik untuk langganan maupun iklan.[3] Era kejayaan Sipatahoenan ditandai dari pindahnya kantor dari Tasikmalaya ke Bandung, pada tahun 1930 hingga 1942.[3] Puncaknya dengan dibangunnya kantor Sipatahoenan-gebouwencomplex atau Gedong Sipatahoenan di Jalan Dalem Kaum No 42, 44, dan 46.[3] Namun kejayaannya mulai runtuh pada tahun 1942.[3] Jepang mulai masuk ke Negara Indonesia pada tahun tersebut. Pada tanggal 9 Maret tahun 1942, koran Sipatahoenan hanya terbit setengah halaman, sedangkan harga koran sudah naik menjadi Rp 1,75 untuk satu bulan langganan. Pada tanggal 18 Agustus tahun 1963, Sipatahoenan mendapat Surat Izin Terbit dari menteri penerangan berdasarkan keputusan menteri penerangan nomor 401/SK/UPPG/SIT 1963. Dua tahun dari sana, 6 April 1965 baru mendapatkan Surat Izin Pembagian Kertas (SIPK No 5173/S-36/II).[3] Ketika Bakrie menjabat sebagai pimpinan redaksi, Ia melakukan propaganda-reis (perjalanan propaganda) selama 16 hari ke Garut, Bandung, Cianjur, Bogor, Sukabumi, Betawi, dan Purwakarta.[4] Tujuannya untuk mencari aspirasi, inspirasi, dan pelanggan baru. Hal ini bagian dari upaya Sipatahoenan yang akan terbit harian pada 1 Januari 1930. Perjalanan Bakrie dilakukan dari 23 Desember 1929 hingga 7 Januari 1930.[4] Pada tanggal 23 Desember 1929, memulai perjalanannya menuju Garut.[4] Di dalam bus, dia duduk berdampingan dengan Oemar Said Tjokroaminoto. Di perjalanan menuju Garut, Tjokroaminto bercerita tentang maju mundurnya pergerakan di Indonesia. Tiba di Garut, Bakrie dan Tjokroaminoto berpisah. Di Garut, majalah Sipatahoenan diterima sangat baik oleh masyarakat. Setelah itu, Bakrie menemui seorang redaktur koran Benteng Rajat. Koran Benteng Rajat diterbitkan oleh Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) Cabang Garut. Pertemuan tersebut membahas mengenai penggunaan bahasa Sunda yang cocok untuk koran Sipatahoenan.[4] Perjalanan Bakrie dilanjutkan ke Cianjur. Dalam perjalanan, Bakrie merasa dimata-matai, karena terus menanyakan alamat PNI cabang Cianjur. Ternyata Belanda sedang mencari dan mengincar anggota PNI. Keesokan harinya, Bakrie mendapat kabar bahwa kantor PNI cabang Cianjur telah digeledah oleh Belanda. Meskipun begitu, Paguyuban Pasundan di Cianjur masih aktif. Namun, tidak ada satu organisasi pun yang berjanji untuk membantu perkembangan koran Sipatahoenan[4]. Dari Cianjur, perjalaan Bakrie melanjutkan perjalanannya ke Sukabumi.[4] Tujuannya menuju PNI dan PSII. Selain kedua organisasi tersebut, Paguyuban Pasundan di Sukabumi mengalami pertumbuhan pesat. Di Sukabumi, banyak masyarakat meminta berlangganan Sipatahoenan. Oleh karena itu, Bakrie berencana untuk membuat tim pembantu untuk mendistribusikan Sipatahoenan ke Sukabumi.[4] Perjalanan Bakrie dilanjutkan dari Sukabumi ke Bogor. Dua orgnanisasi besar yaitu Paguyuban Pasundan dan Budi Utomo tidak memberi dukungan terhadap Sipatahoenan. Di Bogor kebiasaan menggunakan tata krama kono kepada priyayi masih dilakukan.[4] Dari Bogor, Bakrie melanjutkan perjalanannya ke Karawang. Masyarakat Karawang banyak yang berprofesi sebagai petani. Di Karawang, Bakrie tidak mendapatkan dukungan yang positif untuk Sipatahoenan[4]. Di Purwakarta, Bakrie bertemu sahabatnya yang sudah menjadi Patih, bernama Hassan Soemadipradja. Selain menjadi Patih, beliau adalah pujangga Sunda, mantan pengurus Paguyuban Pasundan Cabang Bogor. Hassan memberi nasihat kepada Bakrie, agar koran Sipatahoenan tidak terlalu keras mengkritik soal politik.[4] Organisasi-organisasi besar seperti Budi Utomo, Paguyuban Pasundan, dan PNI tidak memberi harapan yang pasti untuk mendukung Bakrie mengembangkan koran Sipatahoenan[4]. Dari Cirebon, Bakrie melanjutkan perjalanannya ke Kuningan. Lalu mengakhiri perjalanannya ke Tasikmalaya.[4] Hasil dari perjalanan Bakrie mengelilingi Jawa Barat, ada beberapa kekuatan baru yang bersedia mendukung Sipatahoenan. Bakrie menargetkan pegawai pemerintah, anggota dewan, aktivis partai politik, dan kalangan pendidikan bisa turut serta dalam mendukung koran Sipatahoean.[4]

Kasus Hukum

Selama perjalanan kariernya, Bakrie pernah merasakan bagaimana berurusan dengan kasus hukum. Perjalanannya bersama Sipatahoenan banyak memberikan kisah manis dan pahitnya secara imbang. Pertama, pada bulan Februari tahun 1930, Bakrie harus berurusan dengan hukum karena sebuah tulisan yang diterbitkan di Sipatahoenan.[5] Bakrie bukan penulisnya, tapi dia penanggung jawab dari Sipatahoenan tersebut. Judul tulisan yang membuat kisruh tersebut diberi judul Perkara Disidem yang terbit pada tanggal 31 Agustus 1929.[5] Isinya memberitahukan bahwa di Luragung, Kuningan ada warga yang bercerita tentang tokoh Kertadiwangsa yang dituduh sering mengganggu warga dengan ilmu hitam yang Ia miliki. Berita itu terdengar hingga Wedana Luragung, Kabupaten Kuningan yaitu Rd. Rg. Widjajapradja. Kasus kedua, Bakrie pun harus berurusan dengan Balai Pustaka.[5] Kala itu penulis di Sipatahoenan yang bernama Tampomas mengkritik salah satu kontributor di Balai Pustaka bernama Nain. Menurutnya sikap Nain bertentangan dengan misi Balai Pustaka yang ingin memajukan bangsa melalui tulisan yang berupa bacaan-bacaan murah bagi rakyat. Karena tak menerima, Nain melaporkan kasus itu ke polisi Tasikmalaya.[5] Karena Bakrie Soeraatmadja merupakan penanggung jawab Sipatahoenan akhirnya Ia diperiksa.[5] Dari beberapa kasus yang sudah dihadapi Bakrie, tercatat dari tahun 1929-1934, ada 10 kasus delik pers yang harus dihadapi oleh Sipatahoenan.[6] Kasus yang benar-benar mengantarkan Bakrie ke penjara adalah tulisan yang dimuat Sipatahoenan yang berjudul “Ir.Soekarno”. Tulisan itu dimuat pada tanggal 5 Januari tahun 1934. Akibatnya, Bakrie harus mendekam di penjara Sukamiskin dan kehilagan pekerjaan di Gementeraad Kota Bandung.[6] Meskipun Bakrie dipenjara, masih banyak organisasi-organisasi lain yang tetap mendukungnya. Salah satunya Sinar Pasoendan.[6] Organisasi tersebut memberi tanggapan bahwa Bakrie bukanlah orang yang menulis artikel tersebut, juga koran Sipatahoenan tidak mungkin menentang pemerintahan. Artikel tersebut merupakan kiriman dari luar kontributor Sipatahoenan, yang sengaja ingin menghancurkan Sipatahoenan[6]. Jelas diketahui bahwa Sipatahoenan merupakan identitas dari Paguyuban Pasundan yang jujur dengan dengan pemerintah Hindia Belanda. Keputusan akhir dari tuntutan itu adalah, Bakrie tidak jadi dituntut enam bulan penjara, hasil akhirnya Bakrie dipenjara tiga bulan.[6] Selama di penjara, tugas Bakrie di Sipatahoenan digantikan sementara oleh Mohamad Koerdie.[7] Namun, ketika Bakrie bebas dari penjara, dia langsung mengundurkan diri sebagai pimpinan Sipatahoenan[7]. Penguduran dirinya dari Sipatahoenan tidak membuat dirinya berhenti berkarya. Satu tahun setelah keluar dari Sipatahoenan, Bakrie mendirikan perusahaan majalah bernama Perbintjacangan[7]. Semangatnya tetap tumbuh, namun sayang semangatnya tak berbanding lurus dengan kesehatannya. Bakrie mengalami penyakir pest. Seringnya mengalami demam tinggi. Penyakit tersebut memangkas berat badannya secara drastis.[7]

Bakrie dan Dunia Jurnalistik

Bakrie adalah pendiri Persatoean Djoernalis Indonesia (Perdi).[8] Organisasi ini berdiri tanggal 23 Desember tahun 1933 di Kota Solo. Nama Persatoean Djoernalis Indonesia (Perdi) adalah usulan dari J.D Sjaranamual. Dari organisasi tersebut lahirlah organisasi yang manaungi seluruh wartawan di Indonesia, yang dinamakan Persatuan Wartawan Indonesia. Ketuanya masih sama, yaitu Bakrie Soeraatmadja.[9] Organisasi ini memiliki aspirasi politik tersendiri, terutama mengenai tindakan-tindakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Belanda.[9]

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h Network, Ayo Media. "Inohong Sunda: Perintis Pers Indonesia Bakrie Soeraatmadja (1)". AyoBandung.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-04-16. Diakses tanggal 2019-04-16. 
  2. ^ a b c d e f Network, Ayo Media. "Inohong Sunda: Perintis Pers Indonesia Bakrie Soeraatmadja (2)". AyoBandung.com. Diakses tanggal 2019-04-16. 
  3. ^ a b c d e f g Asyik, Rahim. "Sipatahoenan: Riwayat Koran Tiga Zaman" (dalam bahasa Inggris). 
  4. ^ a b c d e f g h i j k l m Network, Ayo Media. "Inohong Sunda: Perintis Pers Indonesia Bakrie Soeraatmadja (3)". AyoBandung.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-04-16. Diakses tanggal 2019-04-16. 
  5. ^ a b c d e Network, Ayo Media. "Inohong Sunda: Perintis Pers Indonesia Bakrie Soeraatmadja (5)". AyoBandung.com. Diakses tanggal 2019-04-20. 
  6. ^ a b c d e Network, Ayo Media. "Inohong Sunda: Perintis Pers Indonesia Bakrie Soeraatmadja (6)". AyoBandung.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-04-20. Diakses tanggal 2019-04-20. 
  7. ^ a b c d Network, Ayo Media. "Inohong Sunda: Perintis Pers Indonesia Bakrie Soeraatmadja (7)". AyoBandung.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-04-20. Diakses tanggal 2019-04-20. 
  8. ^ Surjomihardjo, Abdurrachman (1980). Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia. Jakarta: Proyek Penelitian Pengembangan Penerangan Departemen Penerangan RI. hlm. 376. ISBN 9789797090135. 
  9. ^ a b Network, Ayo Media. "Inohong Sunda: Perintis Pers Indonesia Bakrie Soeraatmadja (4)". AyoBandung.com. Diakses tanggal 2019-04-18. 

A PHP Error was encountered

Severity: Notice

Message: Trying to get property of non-object

Filename: wikipedia/wikipediareadmore.php

Line Number: 5

A PHP Error was encountered

Severity: Notice

Message: Trying to get property of non-object

Filename: wikipedia/wikipediareadmore.php

Line Number: 70

 

A PHP Error was encountered

Severity: Notice

Message: Undefined index: HTTP_REFERER

Filename: controllers/ensiklopedia.php

Line Number: 41