Bakpia pathok (bahasa Jawa: ꦧꦏ꧀ꦥꦶꦪꦥꦛꦸꦏ꧀, translit. bakpia pathuk) adalah kue berbentuk bulat pipih, terbuat dari campuran kacang hijau dengan gula, yang dibungkus dengan tepung, lalu dipanggang. Bakpia asal mulanya berasal dari daratan Tiongkok. Bakpia pathok adalah salah satu varian bakpia yang berkembang di Yogyakarta. Saat ini, bakpia pathuk menjadi salah satu makanan khas sekaligus oleh-oleh khas dari Yogyakarta. Ini merupakan salah satu wujud nyata akulturasi budaya Tiongkok dan budaya Jawa, dalam hal ini budaya Yogyakarta.
Asal nama
Melihat latar belakang sejarahnya, bakpia sebenarnya berasal dari negeri Tiongkok. Di sana, kue ini bernama Tou Luk Pia yang artinya adalah kue pia kacang hijau.[1] Istilah bakpia sendiri adalah berasal dari bahasa Tionghoa dialek Hokkien (Hanzi: 肉餅), salah satu rumpun bahasa Tionghoa yaitu dari kata bak yang berarti "daging" dan pia yang berarti "kue", yang secara harfiah berarti "roti berisikan daging". Di negeri asalnya, bakpia memiliki ukuran yang lebih besar daripada Bakpia Pathuk serta berisikan daging yang diolah, sementara Bakpia Pathuk berisi kumbu yang terbuat dari kacang hijau.
Kalau dilihat dari asal usul dan sejarahnya, bakpia sebenarnya diadopsi dari makanan khas Tiongkok, akan tetapi bersamaan dengan perubahannya jaman isian bakpia sendiri mulai disesuaikan dengan budaya Indonesia seperti yang sudah dilakukan di jaman dahulu dengan menggantinya dengan kacang hijau.
Di zaman modern, isian bakpia mulai terus dikembangkan lagi dengan lebih banyak jenis varian rasa seperti keju, cokelat, kacang hitam, ataupun durian. Tidak tertutup kemungkinan akan muncul rasa baru yang berbeda dengan rasa aslinya.[2]
Sejarah
Secara historis, bakpia adalah makanan 'impor' dari negeri Tiongkok yang dibawa oleh para imigran Tionghoa pada dekade awal abad ke-20. Bakpia konon sudah ada sejak tahun 1930-an. Dimiliki oleh keluarga-keluarga pedagang Tionghoa yang banyak menempati pusat Kota Yogyakarta. Jenis makanan ini awalnya bukanlah makanan komersial, juga bukan makanan yang bernilai kultural seperti kue keranjang yang sering menjadi kue dalam perayaan Imlek. Posisinya adalah sebagai pelengkap dari kue keranjang tersebut dan sebagai kudapan keluarga.[3]
Namun menurut catatan lain, disebutkan bahwa resep bakpia pada awalnya dibawa oleh seorang pendatang Tionghoa, yaitu Kwik Sun Kwok, pada tahun 1940-an. Pada waktu itu, Kwik tiba di Yogyakarta dan kemudian menyewa sebidang tanah milik warga setempat yang bernama Niti Gurnito di Kampung Suryowijayan, Kelurahan Gedongkiwo, Kemantrèn Mantrijeron, di Kota Yogyakarta. Kwik lalu mencoba peruntungan dengan membuat bakpia, makanan khas Tionghoa. Pada awalnya ia membuat bakpia dengan menggunakan resep asli dari Tiongkok, yaitu masih menggunakan unsur-unsur dari babi, yaitu minyak babi untuk pengolahan dan daging babi sebagai isi bakpianya. Namun, setelah tahu bahwa masyarakat Yogyakarta didominasi umat Muslim dan tidak makan daging babi atau produk dari babi lainnya, Kwik lantas bereksplorasi membuat bakpia tanpa menggunakan minyak babi dan daging babi. Ia mengganti isi bakpia menggunakan kacang hijau. Untuk memanggang bakpia buatannya, Kwik selalu membeli arang dari temannya, Liem Bok Sing, sesama perantauan dari Tiongkok.
Ternyata, cita rasa kue bakpia buatan Kwik, yang sudah tidak menggunakan unsur dari babi, cocok dengan lidah masyarakat Yogyakarta. Makanan pendatang yang telah dimodifikasi ini mulai digemari banyak orang. Lambat laun, Kwik yang semula masih menyewa tanah milik Niti Gurnito, akhirnya pindah ke sebelah barat Kampung Suryowijayan. Di tempat baru tersebut ia melanjutkan pekerjaannya membuat berbagai macam makanan dan roti, termasuk bakpia. Pada tahun 1960-an, Kwik meninggal dunia dan usahanya dilanjutkan anak menantunya bernama Jumikem.[4]
Sepeninggal Kwik, Niti Gurnito ternyata juga ikut-ikutan membuat bakpia. Usaha yang dilakukan oleh Niti Gurnito itu diperkirakan karena Kwik pernah menyewa tanah miliknya, sehingga Niti Gurnito sempat diberi rahasia resep pembuatan bakpia oleh Kwik. Bakpia buatan Niti Gurnito memiliki kekhasan tersendiri, yaitu ukurannya lebih kecil dibandingkan dengan bakpia buatan Kwik, berkulit tebal, dan isinya juga lebih kecil. Bakpia ini dijual keliling kampung dengan menggunakan pikulan kayu. Pada kala itu pembeli bakpia masih agak tersekat karena orang keturunan Tionghoa membeli bakpia di penjual asal Tionghoa, sedangkan orang Jawa membeli bakpia buatan Niti Gurnito.
Pada periode yang sama, Liem Bok Sing, teman Kwik yang semula menyuplai kebutuhan arang, juga ikut membuat bakpia dan menjualnya ke masyarakat. Tahun 1948, Liem membuat resep baru bakpia, kemudian ia pindah dari Kampung Pajeksan, Kelurahan Sosromenduran, Kemantrèn Gedongtengen, ke Jalan Pathuk No. 75 (sekarang Jalan K.S. Tubun), tepatnya di Kampung Ngampilan, Kelurahan Gedongtengen, Kemantrèn Ngampilan, yang di kemudian hari berkembang menjadi sentra industri bakpia besar bernama Bakpia Pathok 75 (sedikit beda penulisan dengan nama kampung). Nama jalan di mana tempat usaha Liem ini berada dinamakan Jalan Pathuk dikarenakan pada bagian ujung timur sisi utara merupakan Kampung Pathuk, selain di salah satu bagian dari Jalan Pathuk ini terdapat Asrama Polisi Pathuk dan Pasar Pathuk.
Di tempat inilah usaha bakpia Liem semakin berkembang pesat. Dengan resep baru, Liem berhasil membuat bakpia generasi kedua dengan kulit yang lebih tipis, ujung datar, dan agak gosong dengan isi kacang hijau. Sebelumnya, bakpia generasi awal berkulit lebih tebal dan berbentuk bulat. Bakpia buatan Liem pun semakin digemari masyarakat Yogyakarta.
Tahun 1980-an, usaha pembuatan bakpia Liem berkembang pesat. Ia memiliki banyak karyawan yang sebagian besar adalah warga kampung di sekitar tempat usaha Liem, yaitu Ngampilan, Sanggrahan, Ngadiwinatan, dan Kampung Pathuk. Namun sebagian karyawan itu berhasil 'mencuri' resep dan menyebarkan cara pembuatan bakpia kepada orang kampung, bahkan sampai membuka kursus. Hingga akhirnya pemilik Bakpia Pathok 75 juga mengambil bakpia dari situ karena tingginya permintaan wisatawan. Mulai era 1980-an inilah, bakpia yang telah mengalami metamorfosis resep akhirnya menjadi makanan khas Yogyakarta. Kawasan Pathuk, yang melingkupi Kampung Sanggrahan, Kampung Ngadiwinatan bagian utara, Kampung Ngampilan bagian utara, Kampung Purwodiningratan bagian utara, dan Kampung Pathuk bagian barat, dinobatkan sebagai kampung bakpia.[4]
Perkembangan
Pada masa awal diproduksinya dan pemasaran, bakpia pathok dikemas menggunakan besek tanpa label. Pada tahun 1948, ada keluarga keturunan Tionghoa lainnya yang tinggal di kawasan Pathuk, bernama Goei Gee Oe, mencoba membuat bakpia sebagai industri rumahan. Saat itu bakpia buatannya tidak dijual di toko melainkan dijajakan secara eceran, dari rumah ke rumah. Bakpia buatan Goei Gee Oe itu juga belum dikemas dan diberi label seperti saat ini, melainkan hanya dimasukkan dalam besek (wadah makanan berbentuk kotak yang terbuat dari anyaman bambu).[5]
Pada tahun 1970-an, Niti Gurnito yang rumahnya dulu pernah disewa oleh Kwik Sun Kwok, tinggal di kampung Suryowijayan, kawasan Tamansari. Bakpia buatan Niti Gurnito agak berbeda dengan buatan warga Pathuk. Bakpia Niti Gurnito lapisan kulitnya lebih tebal, berwarna putih dengan bagian tengah menjadi kecoklatan karena dipanggang, sedangkan bakpia pathok berkulit tipis dan mudah rontok.[6] Dengan segera, bakpia Niti Gurnito menginspirasi warga sekitar Tamansari untuk memproduksi dan membuka toko bakpia. Bahkan, bagi warga asli Yogyakarta, Bakpia Tamansari-lah yang dianggap sebagai bakpia khas Yogyakarta. Namun tampaknya etos dagang sebagian orang Jawa tidak seulet orang Tionghoa pada umumnya yang berada di perantauan. Toko-toko bakpia di daerah Tamansari tidak bertahan lama, banyak toko yang tutup, sehingga industri bakpia di wilayah itu terpuruk dan tak meninggalkan sisa.[7] Selain itu, salah satu kemungkinan penyebab surut dan kurang berkembangnya sentra bakpia di Tamansari ialah tingkat promosi daerah yang kurang dan jauh dari jangkauan kawasan pariwisata.[6] Saat ini, bakpia dengan merek "Niti Gurnito" masih dapat dijumpai di Suryowijayan, kawasan Tamansari, dan oleh karenanya lebih dikenal sebagai bakpia Tamansari.[8][9]
Kemudian pada dekade tahun 1980-an, pembuatan bakpia di kawasan Pathuk mulai berkembang. Seiring berjalannya waktu, kemasan berubah menjadi menggunakan kertas karton dan diberi label. Di saat yang sama, ide tersebut diikuti dengan munculnya bakpia-bakpia lain dengan merek dagang yang sama dengan nomor berbeda.[10]
Pada tahun 1990-an, Bakpia Pathuk mulai dikenal oleh orang dari luar Yogyakarta dan oleh karenanya peminatnya pun semakin meningkat. Hal ini seiring diangkatnya icon Yogyakarta sebagai daerah tujuan wisata. Sejak kunjungan wisata meningkat, warga Pathuk pun mulai belajar untuk membuat bakpia.[1] Tahun 1992 ialah periode "booming" Bakpia Pathuk dan itu berlangsung hingga saat ini.[7][11]
Penganan bakpia khas Yogyakarta kini berkembang luas tak hanya berpusat di Pathuk. Ada pula bakpia Minomartani di Desa Minomartani, Kecamatan Ngaglik, Sleman,[12] dan bakpia japon di Desa Trimurti, Kecamatan Srandakan, Bantul,[13] yang diproduksi oleh banyak industri rumah tangga. Penjualan bakpia sebagian besar bersandar pada sektor pariwisata. Karena itulah penjualan selalu melonjak tinggi saat liburan.[4]
Pemerintah Kota Yogyakarta turut serta mendorong perkembangan Bakpia pathok di Sentra Industri Bakpia di Pathuk, Ngampilan kampung Ngadiwinatan, yang memiliki potensi wisata yang dapat dikembangkan lebih luas. Terutama untuk menjadikan Pathuk sebagai kampung wisata. Selain menyediakan oleh-oleh khas, wisatawan juga dapat menyaksikan serta membuat olahan Bakpia secara langsung. Walikota Yogyakarta, Haryadi Suyuti, meminta para komunitas dan paguyuban berbenah seperti meningkatkan kapasitas produksi, menata lingkungan sampai menyiapkan rute wisata khusus pembuatan bakpia di Pathuk. Namun, saat ini perkembangan terkendala keterbatasan lahan parkir.[14] Selain itu, untuk meningkatkan kualitas dan kebersihan produk bakpia pathok, Pemerintah Kota Yogyakarta, dalam hal ini Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan Pertanian, telah menggelar pelatihan penciptaan produk bersih bagi 20 produsen bakpia rumah tangga di Balai RW 38, Purwodiningratan, Ngampilan, Kota Yogyakarta. Pelatihan juga meliputi kegiatan fasilitas peningkatan teknologi mutu dan desain produk Industri Mikro, Kecil dan Menengah (IMKM).[15]
Pada saat ini, bakpia pathok telah menjadi salah satu makanan khas Yogyakarta. Banyak orang dari luar daerah, terutama wisatawan, yang membeli jajanan khas Yogyakarta ini. Pada umumnya wisatawan membeli bakpia pathok untuk dijadikan oleh-oleh untuk keluarga, kerabat, teman, atau relasi mereka. Tak berlebihan juga jika menyebut bakpia sukses turut menggerakkan ekonomi masyarakat setempat dengan banyaknya industri skala rumah tangga dan menengah dengan pekerja yang terlibat di dalamnya. Dari sekadar memunculkan efek ekonomi, bakpia terbukti telah jadi simbol konkret toleransi dan akulturasi.[4]
Jenis dan rasa
Generasi ketiga bakpia tidak hanya berisi kacang hijau, tetapi lebih beragam seperti kumbu hitam, coklat, keju, nanas, durian,[16] coklat kacang,[17] dan berbagai macam rasa lainnya. Bahkan saat ini juga sudah ada yang memodifikasi rasa bakpia dengan rasa baru, di antaranya bakpia rasa cappuccino,[18] bakpia ubi ungu,[19] dan bakpia kimpul.[20]
Kepopuleran
Sebagai salah satu makanan tradisional khas Yogyakarta, bakpia pathok telah menarik banyak perhatian banyak wisatawan, tidak terkecuali wisatawan mancanegara. Di antaranya ialah pada bulan Juli 2010, Kementerian Kebudayaan dan PariwisataRepublik Indonesia bekerja sama dengan KBRI di Moskow untuk mengadakan program Familiarization Trip yang diikuti oleh 5 wartawan Rusia untuk berkelana di Indonesia, yang di antaranya terdapat wartawan kuliner dari Locator Press Agency (Food, Wine & Travel) yang khusus meliput wisata kuliner di Indonesia. Di antara sejumlah daerah di Indonesia yang disambangi ialah Yogyakarta dan mereka sangat tertarik dengan beberapa makanan tradisional Yogyakarta, di antaranya ialah bakpia pathok.[21]
Selain itu, pada saat Keraton Yogyakarta menyelenggarakan pernikahan salah satu putri Sri Sultan Hamengkubuwono X, yaitu GKR Bendara dengan KPH Yudanegara pada 18 Oktober 2011,[22] pihak Keraton memesan 5.000 paket bakpia pathok untuk hidangan saat perhelatan pernikahan salah satu putri raja di Keraton Yogyakarta tersebut.
Olivia Culpo, pemegang gelar Miss Universe 2012 yang berasal dari Amerika Serikat, dalam lawatannya ke Indonesia, pernah menyempatkan diri berkunjung ke Yogyakarta dan berlatih membuat bakpia saat berkunjung ke Yogyakarta pada 7 Februari 2013. Teknik membuat makanan khas Yogyakarta itu ia dapatkan saat mengunjungi salah satu sentra produksi bakpia pathok.[23] Sementara itu pada 31 Januari 2014, Miss Universe 2013, Maria Gabriela Isler, yang berasal dari Venezuela, bersama Putri Indonesia 2014, Elvira Devinamira, singgah ke salah satu tempat produksi sekaligus tempat penjualan bakpia pathok. Keduanya mencoba membuat jajanan bakpia.[24]
Tiap masa liburan, misalnya liburan sekolah, libur panjang akhir pekan, lebaran, natal, dan tahun baru, seiring semakin meningkatnya jumlah wisatawan maupun orang dari luar daerah yang berkunjung ke Yogyakarta, para produsen bakpia pathok sering menerima pesanan bakpia. Terkadang di antara para produsen nakpia pathok juga saling membantu memenuhi pesanan produsen lainnya, terutama sesama industri rumah tangga.[25]
Penamaan merek
Pada awalnya, produsen bakpia pathok memberi merek bakpianya menggunakan nomor rumah di mana mereka membuka usaha. Misalnya Liem Bok Sing dan penerusnya, Yung Yen, memberi merek "Bakpia Pathok 75" dikarenakan awal mulanya ia membuka usaha di Jalan Pathuk No. 75.[26] Demikian pula dengan Tan Aris Nio, yang merupakan perintis lanjutan dari jajanan Bakpia Pathuk, memberi merek "Bakpia Pathok 25" dikarenakan awal mulanya ia membuka usaha di Jalan Pathuk No. 25.[27] Demikian seterusnya dan saat warga sekitarnya, baik yang tinggal di tepi jalan maupun di dalam kampung, turut membuka usaha rumahan dengan produk bakpia pun memberi merek dengan nomor rumahnya masing-masing, misalnya Bakpia 55, Bakpia 57, Bakpia 45, Bakpia 145, Bakpia 531, Bakpia 545, Bakpia 515, Bakpia 99, dan lain sebagainya.
Seiring berjalannya waktu, kemudian muncul merek-merek bakpia pathok lainnya yang tanpa menggunakan nomor-nomor tertentu, misalnya Bakpia Agung, Bakpia Ayu, Bakpia Kencana, Bakpia Merlino, Bakpia Pojok, Bakpia Kurnia Sari, Bakpia Djava, Bakpia Vista, dan lain sebagainya. Pemberian merek ini tentunya sesuai dengan kehendak masing-masing pengusahanya dan bukan lagi semata-mata merujuk pada nomor rumah atau nomor toko di mana mereka membuka usaha.