Asia Raja

Halaman depan, 23 Juli 1942

Asia Raja (Ejaan yang Disempurnakan: Asia Raya) adalah surat kabar yang diterbitkan di Hindia Timur Belanda (sekarang Indonesia) pada masa pendudukan Jepang.

Latar belakang

Saat Kekaisaran Jepang menduduki Hindia Timur Belanda pada tahun 1942, mereka menugaskan sekelompok penulis dan intelektual untuk menyatukan penduduk pribumi; hal ini juga dilakukan di negara lain yang diduduki Jepang. Sekitar 190 orang dalam "Divisi Propaganda" ini, termasuk novelis Tomoji Abe, tiba di Batavia (sekarang Jakarta) pada awal 1942. Di antara upaya mereka adalah pendirian sebuah surat kabar bernama Asia Raja.[1] Surat kabar ini melibatkan pekerja Jepang dan pribumi dalam manajemen dan penerbitannya.[2]

Sejarah

Edisi pertama Asia Raja, dengan total empat halaman, diterbitkan pada tanggal 29 April 1942.[2] Koran ini diterbitkan setiap hari, kecuali Minggu dan hari libur, namun edisi khusus yang mengulas peristiwa penting bisa diterbitkan kapan saja. Gelombang cetakan pertama sebanyak 15.000 eksemplar terjual dengan harga masing-masing 10 sen Hindia Belanda.[3] Kebanyakan staf editorial pribuminya berasal dari jurnal Berita Oemoem, sebuah terbitan konservatif milik Partai Indonesia Raya (Parindra). Staf lainnya berasal dari kelompok masyarakat yang lebih radikal dan cenderung kekirian.[4]

Pada bulan Februari 1943, biro penyensoran mengeluarkan keputusan bahwa Asia Raja tidak diizinkan lagi terbit empat halaman setiap hari. Karena kelangkaan kertas akibat upaya perang Jepang, surat kabar ini terbit dua halaman setiap harinya, dengan edisi empat halaman seminggu sekali; dewan redaksi juga mengusulkan kenaikan tarif langganan.[3] Kenaikan ini diberlakukan pada Maret 1943. Tahun 1944, biaya tambahan diterapkan untuk membantu membayar gaji pekerja paksa dan tentara Pembela Tanah Air (PETA).[5]

Pada tanggal 12 Maret 1945, Asia Raja mengadakan konferensi meja bundar di Hotel Miyako di Batavia. Sejumlah pembicara dari Gerakan Hidoep Baroe yang dipimpin Soekarno dan Mohammad Hatta mendiskusikan cara memperkuat gerakan kemerdekaan. Para pembicara yang hadir meliputi calon Menteri Luar Negeri Oto Iskandar di Nata dan Maria Ulfah Santoso, serta calon Perdana Menteri Indonesia Sutan Sjahrir. Asia Raja menerbitkan transkripsi lengkap mengenai pertemuan ini selama tiga hari.[6]

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Asia Raja terus terbit. Harian ini lebih membahas pemerintahan baru yang dijalankan pribumi dan pengeboman Hiroshima dan Nagasaki.[5] Harian ini terus terbit sampai 7 September 1945, ketika mereka menulis judul besar "Asia Raja Minta Diri" yang serta merta mengakhiri masa terbitnya karena bergantinya pemerintahan.[7]

Hari ini, setiap edisi Asia Raja disimpan dalam bentuk mikrofilm di Arsip Nasional Republik Indonesia.[7]

Politik

Sebagai alat propaganda, Asia Raja mempertegas visi Jepang untuk mendirikan Asia yang bersatu dan makmur dan meminimalisasi pemberitaan apapun tentang kejahatan perang Jepang. Ketika suatu berita mampu menciptakan ketidakpuasan publik, koran ini menyampaikannya dengan nada positif; misal, buruh paksa yang bekerja di luar Jawa disebut sebagai pahlawan.[8]

Bahasa yang dipakai cenderung pro-Jepang. Saat tentara Jepang disebut "berani" dan "kuat", tentara Sekutu disebut "ragu-ragu" dan "lemah".[9] Penyebutan semacam ini juga dibawa ke iklan-iklan dalam koran ini.[10]

Staf ternama

Kontributor ternama

Sejumlah penulis terkenal turut menyumbang puisi, cerita pendek, dan serial ke Asia Raja:

Referensi

Catatan kaki
  1. ^ Mahayana 2007, hlm. 177.
  2. ^ a b Mahayana 2007, hlm. 178.
  3. ^ a b Mahayana 2007, hlm. 179.
  4. ^ a b Mark 2011, hlm. 238.
  5. ^ a b Mahayana 2007, hlm. 180.
  6. ^ Mrázek 1994, hlm. 251.
  7. ^ a b Mahayana 2007, hlm. 181.
  8. ^ Mahayana 2007, hlm. 184.
  9. ^ Mahayana 2007, hlm. 185.
  10. ^ Mahayana 2007, hlm. 186.
  11. ^ a b c d e f g Mahayana 2007, hlm. 209–215.
  12. ^ Tempo 1975, Balfas Berpulang.
Daftar pustaka