Sanusi Pane
Sanusi Pane (14 November 1905 – 2 Januari 1968) adalah seorang sastrawan Indonesia yang digolongkan ke dalam angkatan Pujangga Baru. Dia banyak menulis puisi, naskah drama, dan kajian sejarah.[1][2][3] Sanusi Pane adalah anak dari Sutan Pangurabaan Pane, seorang guru dan seniman Angkola Mandailing di Muara Sipongi, Mandailing Natal. Di antara delapan bersaudara, selain dirinya ada juga yang menjadi tokoh nasional, yaitu Armijn Pane yang juga menjadi sastrawan, dan Lafran Pane yang merupakan pendiri organisasi pemuda Himpunan Mahasiswa Islam. Sanusi Pane merupakan ayah dari 6 anak perempuan. Riwayat hidupPendidikanSemasa mudanya, Sanusi Pane menempuh pendidikan formal di HIS dan ELS di Padang Sidempuan, Sumatera Utara. Pendidikannya selanjutnya adalah di MULO di Padang dan Jakarta, yang diselesaikannya tahun 1922. Ia lalu melanjutkan di Kweekschool (sekolah guru) di Gunung Sahari, yang selesai pada tahun 1925. Ia juga sempat kuliah di Rechtshogeschool dan mempelajari Ontologi. Pada antara tahun 1929-1930, ia berkesempatan mengunjungi India, yang selanjutnya akan berpengaruh besar terhadap pandangan kesusastraannya. KarierSekembalinya dari India, Sanusi Pane menjadi redaksi majalah Timbul yang berbahasa Belanda. Ia mulai menulis berbagai karangan kesusastraan, filsafat dan politik, sementara tetap mengajar sebagai guru. Ia pernah aktif dalam Jong Sumatra dan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo). Karena keanggotaannya dalam PNI, tahun 1934 ia dipecat sebagai guru. Ia pernah menjadi guru di Kweekschool "Gunung Sahari" Jakarta, HIK Lembang, HIK Gubernemen Bandung, dan Sekolah Menengah Perguruan Rakyat Jakarta. Sejak tahun 1931 sampai 1933 dia menjadi redaktur majalah Timbul. Tahun 1936 Sanusi Pane menjadi pemimpin surat kabar Tionghoa-Melayu Kebangunan di Jakarta. Pada tahun 1941 ia menjadi redaktur Balai Pustaka. PandanganDalam bidang kesusastraan, Sanusi Pane sering kali dianggap sebagai kebalikan dari Sutan Takdir Alisjahbana.[4] Dalam karyanya Sanusi Pane banyak berbeda dengan karya yang ditulis oleh sastrawan Sutan Takdir, yang menghendaki coretan yang hitam dan berada dibawah pra-Indonesia,yang, dianggapnya telah menyebabkan bangsa Indonesia dipandang nista. Sanusi Pane mencari inspirasinya pada kejayaan budaya Hindu-Budha di Indonesia pada masa lampau.[5] Perkembangan filsafat hidupnya itu, sampailah kepada sintesis Timur dan Barat, persatuan jasmani dan rohani, dunia dan akhirat, serta idealisme dan materialisme; yang tercermin dalam karyanya "Manusia Baru", yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1940. Anutan keagamaan Sanusi Pane merupakan "composite of Hinduism, Buddhism, Sufism, and Javanese philosophy."[6] KaryaPuisi
Drama
Karya sejarah
TerjemahanKakawin Arjuna Wiwaha (karya Mpu Kanwa, terjemahan bahasa Jawa Kuno, 1940) PenghargaanPada tahun 1969 Sanusi Pane mendapatkan Hadiah Sastra dari Pemerintah RI Kajian tentang Sanusi Pane
Rujukan
Pranala luar
|