Abdullah bin Muthi'
ʿAbdullāh bin Muṭhīʿ al-ʿAdawī (bahasa Arab: عبد الله بن مطيع العدوي, meninggal 692) adalah pemimpin Quraisy di Madinah dan gubernur Kufah untuk khalifah anti-Umayyah Abdullah bin az-Zubair dari April 685 hingga penggulingannya oleh Al-Mukhtar ats-Tsaqafi yang mengaku sebagai pemimpin pendukung keluarga Ali bin Abi Thalib pada Agustus 685.[butuh rujukan] Ia adalah seorang jenderal pada Pertempuran al-Harrah dan pengepungan Makkah pada tahun 683 melawan pasukan Umayyah. Pada tahun 692, ia bertempur kembali bersama Ibnu az-Zubair dalam pengepungan kedua Makkah melawan pasukan Umayyah dan terbunuh dalam pertempuran tersebut bersama Ibnu az-Zubair. Asal-usulAbdullah bin Muthi' dilahirkan pada masa Nabi Muhammad masih hidup (meninggal 632).[1] Ia adalah putra dari Muthi' bin al-Aswad; mereka berasal dari kabilah Bani Adi dari suku Quraisy di Makkah.[2][3][4][a] Ibunya adalah Ummu Hisyam binti Abi al-Khiyar Abdu Yalil bin Abdu Manaf.[1] Ibnu Muthi' memiliki saudara kandung yang bernama Sulaiman, Habbar, Hisyam, dan Aisyah.[5][6] Sulaiman adalah prajurit dalam Pertempuran Jamal dan terbunuh dalam pertempuran tersebut.[5] Aisyah pernah menikah dengan Ashim bin Umar.[6] Aisyah juga menikah dengan Amr bin Sa'id al-Asydaq. Mereka memiliki dua putra yang bernama Musa dan Imran.[7] Ibnu Muthi' tinggal di Madinah, pusat pemerintahan kekhalifahan.[2][3] Ia memiliki properti tempat tinggal bersama dengan seorang sahabat Nabi dan penyair Zaid bin Tsabit di Madinah. Marwan bin al-Hakam yang saat itu menjabat sebagai gubernur Madinah pada 661–668 menengahi keduanya ketika mereka bersengketa hukum atas properti.[8] Ibnu Muthi' juga memiliki harta benda dan sebuah sumur (disebut Sumur Ibnu Muthi') yang terletak di antara Al-Abwa dan As-Suqya.[1] Karier militerPada tahun 664 atau 665, Khalifah Muawiyah (berkuasa 661–680) mengirimnya untuk memimpin 4.000 pasukan dari Madinah ke Aleksandria untuk memperkuat garnisun Arab setelah komandan garnisun kota mengeluhkan pasukannya tidak cukup banyak untuk mengendalikan penduduk Kristen Yunani yang sering memberontak.[9] Pada tahun 680, Ibnu Muthi' mengingatkan kepada Husain bin Ali, cucu Nabi Muhammad yang masih hidup dan putra Khalifah Ali bin Abi Thalib (berkuasa 656–661), untuk tidak meninggalkan Makkah ke Kufah tempat pendukung ayahnya memanggilnya untuk mengakui kekhalifahan dari tangan Bani Umayyah. Ia menasihatinya untuk berlindung di Ka'bah di Makkah agar bisa mengumpulkan pendukung dari suku Quraisy untuk melawan Khalifah Yazid bin Muawiyah (berkuasa 680–683).[10] Setelah tinggal sebentar di Makkah, Husain akhirnya pergi ke Kufah dan sekali lagi bertemu dengan Ibnu Muthi' di sebuah tempat berair di sepanjang rute padang pasir. Ibnu Muthi' memohon kepadanya agar dia tidak melawan Bani Umayyah.[11] Husain mengabaikan nasihatnya dan dibunuh di Pertempuran Karbala di pinggiran Kufah. Ibnu Muthi' telah berusaha untuk meninggalkan Madinah juga, tetapi kerabat jauhnya, Abdullah bin Umar, membujuknya untuk tetap tinggal dan tidak memberontak melawan khalifah.[12] Ketika Yazid mengutus An-Nu'man bin Basyir al-Anshari pada tahun 682 untuk memperingatkan penduduk Madinah agar tidak memberontak terhadap pemerintahan khalifah, Ibnu Muthi' mencemoohnya.[13] Penduduk Madinah bangkit memberontak dan Yazid mengirim pasukan Suriahnya yang dipimpin oleh Muslim bin Uqbah untuk menaklukkan mereka. Penduduk Madinah disusun menurut faksinya dan Ibnu Muthi' diangkat menjadi pemimpin kontingen Quraisy.[14] Setelah pasukan Suriah mengalahkan penduduk Madinah, Ibnu Muthi' dan banyak pejuang Quraisy lainnya melarikan diri ke Makkah tempat mereka diberikan perlindungan yang aman oleh pemimpin Quraisy, Abdullah bin az-Zubair.[15] Ibnu Muthi' termasuk di antara orang-orang pertama yang berbaiat kepada Ibnu az-Zubair.[16] Ia kemudian menjadi salah satu komandan utama pertahanan Makkah selama pengepungan kota yang gagal oleh pasukan Umayyah pada tahun 683.[17] Sebagai gubernur KufahSetelah Yazid meninggal, Ibnu az-Zubair diakui sebagai khalifah di seluruh provinsi kekhalifahan kecuali sebagian Suriah. Dia mengangkat Ibnu Muthi' sebagai gubernur Kufah dan mulai menjabat pada bulan April 685, menggantikan Abdullah bin Yazid al-Khathmi.[12][18] Setelah mendengar berita dari para penasihatnya tentang pengangkatan Ibnu Muthi', khalifah Umayyah di Suriah, Abdul Malik bin Marwan (berkuasa 685–705), menyebutnya sebagai "seorang pemberani yang telah berkali-kali jatuh, dan seorang pemberani yang membenci untuk melarikan diri".[19] Ibnu Muthi' mengangkat Iyas bin Mudharib al-Ijli sebagai kepala syurthahnya dan memberinya perintah untuk menghukum keras kegiatan pemberontakan di Kufah.[20] Setelah Iyas mencurigai akan adanya pemberontakan yang dipimpin oleh pemimpin pendukung keluarga Ali, Al-Mukhtar ats-Tsaqafi (yang sebelumnya berperang bersama Ibnu Muthi' melawan Bani Umayyah di Makkah[17]), Ibnu Muthi' berusaha memanggil Al-Mukhtar. Namun, Al-Mukhtar menunda kedatangannya di hadapan gubernur dan diam-diam menyusun rencana pemberontakan terhadapnya yang didukung oleh pendukungnya dari Kufah.[20] Pendukung Ibnu Muthi' sebagian besar terdiri dari bangsawan Arab Kufah, sementara di antara pendukung Al-Mukhtar terdapat Ibrahim bin al-Asytar yang termasuk bangsawan Kufah. Ibnu al-Asytar berperan penting dalam pertempuran yang akhirnya memaksa Ibnu Muthi' pergi dari Kufah.[21] Lokasi sebagian besar pertempuran terjadi di jalan-jalan dan gang-gang Kufah, dengan pendukung Al-Mukhtar yang dipimpin oleh As-Sa'ib bin Malik al-Asy'ari dan Ibnu al-Asytar mengalahkan pasukan Ibnu Muthi' yang memaksa dia dan sekelompok kecil pendukungnya melakukan barikade di benteng istana gubernur.[22] Salah satu pendukungnya, Syabats bin Rib'i at-Tamimi, membujuknya untuk diam-diam melarikan diri dari Kufah sendirian. Ibnu Muthi' sebelumnya menolak saran untuk menyerah secara resmi kepada Al-Mukhtar, yang merupakan pengkhianatan terhadap Ibnu az-Zubair.[23][22] Sebelum kepergiannya, Ibnu Muthi' memuji para bangsawan Arab yang mendukungnya dan menyebut pendukung Al-Mukhtar sebagai orang-orang rendahan.[22] Para pendukungnya kemudian diberikan jaminan keamanan sebagai imbalan kesetiaan mereka kepada Al-Mukhtar.[22] Dalam riwayat yang berbeda, Ibnu Muthi' meninggalkan Kufah setelah diberikan 100.000 dirham perak dan keamanan dari Al-Mukhtar.[24] Kehidupan selanjutnya dan kematianSetelah meninggalkan Kufah, Ibnu Muthi' tinggal di Bashrah yang masih dikuasai oleh pendukung Ibnu az-Zubair.[12] Pada tahun 689/90 Ibnu Muthi' kembali ke Makkah bersama Mush'ab bin az-Zubair, gubernur Bashrah dan adik Ibnu az-Zubair.[25] Meskipun Abdul Malik memaafkannya,[26] Ibnu Muthi' memilih untuk bertempur dan mati bersama Ibnu az-Zubair selama pengepungan Umayyah di Makkah yang dipimpin oleh Al-Hajjaj bin Yusuf pada akhir tahun 692.[12][27] Pasangan dan anakIbnu Muthi' memiliki tujuh putra dan empat putri dari istri dan budak perempuan yang berbeda:[1][28]
Cucunya, Abdul Aziz bin Ibrahim, berpartisipasi dalam pemberontakan Muhammad an-Nafs az-Zakiya pada 762/763. Ia kemudian ditangkap, dicambuk dan dibebaskan oleh khalifah Abbasiyah, Abu Ja'far Al-Mansur.[4] Catatan
Referensi
Daftar pustaka
Bacaan lanjutan
|