Zubir Said
Zubir Said (22 Juli 1907 – 16 November 1987) adalah komponis Singapura pencipta lagu kebangsaan Majulah Singapura. Datang dari keluarga Minangkabau, ia belajar bermain musik secara otodidak. Ia menyusun sejumlah lagu untuk film-film Malaysia selama bekerja sebagai komposer musik film pada Cathay-Keris Film Productions. Ia dipercaya telah menulis sedikitnya 1.500 lagu, tetapi hanya sepersepuluh dari jumlah itu yang pernah direkam. Karya Zubir dipandang luas sebagai lagu Melayu sejati karena lagu-lagunya berkaitan dengan sejarah dan nilai-nilai Melayu. Bersama orang Minang sezamannya, ia membangkitkan semangat kebangsaan pada tahun 1950-an. Selain Majulah Singapura, Zubir menggubah lagu patriotik Semoga Bahagia yang dijadikan lagu tema Hari Anak-Anak Singapura. Ia menerima sejumlah penghargaan sampai akhir hayatnya dan secara anumerta atas kontribusinya dalam bidang musik dan kebudayaan Melayu di Singapura. Kehidupan dan karierHindia BelandaZubir Said lahir pada 22 Juli 1907 di Bukittinggi (sebelumnya dikenal sebagai Fort de Kock), Sumatera Barat sekarang. Ia adalah anak tertua dalam keluarga Minangkabau yang terdiri dari tiga anak laki-laki dan lima anak perempuan. Ibunya meninggal ketika ia masih berumur tujuh tahun.[1] Ayahnya, Muhammad Said adalah tokoh adat yang teguh menjalankan ajaran agama.[1] Pekerjaan ayahnya sebagai kondektur di perusahaan kereta api milik pemerintah kolonial Hindia Belanda membuat Zubir bisa mengenyam pendidikan di sekolah bentukan Belanda.[2] Sejak duduk di bangku SD, ia telah memperlihatkan bakatnya bermain musik. Guru musik yang melihat bakat Zubir memperkenalkannya teknik solmisasi—gaya belajar musik dengan cara membaca notasi—dan membantunya membentuk grup musik untuk murid-murid berbakat. Seorang teman grupnya mengajari Zubir bagaimana membuat seruling dari bambu, dan mereka bersama-sama memainkannya.[3] Saat menginjak bangku sekolah menengah, Zubir bergabung dengan grup keroncong. Dari situ, ia belajar instrumen lain seperti gitar dan drum.[2] Keterbatasan ekonomi memaksa Zubir untuk bekerja pada usia 18 tahun. Dengan pendidikan seadanya, ia hanya memiliki peluang pekerjaan terbatas. Ia pertama kali bekerja di sebuah pabrik sebagai pembuat batu bata. Setelah itu, ia mengikuti tawaran seorang temannya untuk bekerja sebagai juru ketik.[2][4] Zubir manfaatkan waktu luang bekerja untuk bermain musik. Ia bergabung dengan grup keroncong dan mendapat posisi sebagai pemain biola.[2][5] Pada usia 19 tahun, ia memutuskan keluar dari pekerjaannya setelah bertemu seorang pegawai pemerintahan desa yang kagum akan bakatnya. Pegawai itu mendorong Zubir untuk mengejar impiannya. Setelah tak lagi bekerja, Zubir membentuk grup keroncong keliling. Bersama anggota grup, ia berjalan dari desa ke desa di Sumatra, mencari nafkah dengan tampil di pernikahan, pameran, dan agenda keramaian lain.[6] SingapuraPada 1928, Zubir yang berumur 21 tahun meninggalkan Sumatra menuju Singapura. Dari temannya, ia mendengar tentang Singapura sebagai tempat "lampu bergemerlapan, kopi susu, dan mentega"—barang mewah yang tak pernah didapatkan di Sumatra.[2] Ia pergi menumpang kapal kargo tanpa izin maupun restu ayahnya karena sang ayah meyakini musik bertentangan dengan agama.[7] Di Singapura, ia bergabung dengan wayang bangsawan City Opera, kelompok opera yang para pemainnya berasal dari bangsa Melayu.[8][9] Selama bekerja di teater tersebut, ia belajar membaca dan menulis musik dalam notasi Barat dengan bermain piano. Zubir keluar pada 1936, ketika ia direkrut oleh His Master's Voice (HMV), perusahaan rekaman milik Inggris, sebagai supervisor rekaman.[8][9] Singapura adalah salah satu pusat industri rekaman HMV yang terpenting di Asia. Selain memproduksi rekaman, ia bekerja untuk memberikan panduan bagi penyanyi berbakat sehingga mengharuskannya bepergian ke berbagai daerah Indonesia dan Malaya.[8][10] Di HMV, ia bertemu dengan seorang penyanyi keroncong Tarminah Kario Wikromo, yang dinikahinya di Jawa pada 1938. Dengan ketekunannya, Zubir perlahan-lahan dikenal dalam industri musik. Namun, pekerjaannya di HMV berakhir seiring meletusnya Perang Dunia II.[11] Setelah menikah, Zubir membawa istrinya ke Bukittinggi pada 1941. Pada pertengahan 1943, Zubir bersama Sjamsuddin Sjafei dkk membentuk kelompok pertunjukan Ratu Asia di Padang Panjang; mereka sibuk bekerja untuk menghibur tentara Jepang.[12] Ia kembali lagi ke Singapura pada 1947 dan terus tinggal di sana hingga meninggal pada 1987. Mengawali periode kedua kehidupannya di Singapura, Zubir bekerja sebagai fotografer dan penulis selama dua tahun untuk surat kabar Utusan Melayu.[13][a] Tujuannya bekerja di surat kabar agar ia punya kesempatan lebih banyak untuk bermain musik dan menuliskan lagu-lagu ciptaannya di surat kabar. Pada 1949, ia bersinggungan dengan industri film melalui pekerjaan sebagai komposer musik untuk film-film Melayu yang diproduksi oleh Shaw Brothers.[15][16] Chinta, salah satu film yang membawakan lagunya, menembus papan film laris.[17] Namun, Zubir mengakhiri pekerjaannya di Shaw Brothers dan memilih bergabung dengan Cathay Keris pada 1952. Saat itu, Cathay Keris memulai produksi film Melayu. Selama 14 tahun berikutnya, Zubir melewati karier di Cathay Keris sebagai komposer skor film untuk film-film Malaysia, di antaranya Sumpah Pontianak (1958) dan Chuchu Datuk Merah (1963).[16][18] Pada 1956, Zubir menggubah tiga komposisi lagu ke untuk dipertimbangkan sebagai lagu kebangsaan Federasi Malaya (Malaysia sekarang). Namun, lagu yang berbeda, yaitu "Negaraku", yang didasarkan pada karya penulis lagu Prancis bernama Pierre-Jean de Béranger berjudul "La Rosalie", akhirnya terpilih oleh otoritas Malaya sebagai lagu. Pada 1957, karya musiknya dipentaskan pertama kali untuk umum di Teater Victoria.[14] Zubir telah juga beberapa lagu, termasuk untuk film yang dibuat oleh Cathay Keris. Salah satu lagu yang dibuat Zubir di film Dang Anom (1962) memenangi penghargaan Festival Film Asia ke-9 di Seoul, Korea Selatan.[19] Zubir mengundurkan diri dari Cathay Keris pada 1964, menghabiskan sisa waktunya untuk mengajarkan musik kepada anak-anak muda di rumahnya, Joo Chiat Place dengan menggunakan teknik solmisasi.[16][20] KontribusiZubir menggubah lagu dan musik Majulah Singapura sebagai lagu resmi untuk Dewan Kota Singapura pada 1958.[9][21][22] Dengan semangat patriotisme yang besar terhadap Singapura, ia menolak untuk menerima imbalan dari pemerintah atas gubahannya[23] dan menyatakan bahwa menerima penghormatan telah cukup baginya.[24] Zubir menjadi warga negara Singapura pada 1967, dua tahun setelah negara itu merdeka dari Malaysia. Zubir menghabiskan satu tahun menyelesaikan musik dan lirik Majulah Singapura. Singapura, koloni Inggris, mendapat status kota berdasarkan piagam kerajaan dari Raja George VI pada 1951. Pada 1958, Ong Pang Boon, Wakil Wali Kota Dewan Kota Singapura, meminta Zubir menulis lagu berjudul Majulah Singapura, berdasarkan motto kota yang akan ditampilkan saat peresmian renovasi Teater Victoria. Majulah Singapura komposisi Zubir dimainkan pertama kali oleh Ensemble Kamar Dagang Singapura di Teater Victoria pada 6 September 1958. Ketika Singapura mulai menjalankan pemerintahan sendiri pada 1959, pemerintah merasakan perlunya lagu kebangsaan untuk mempersatukan perbedaan ras di Singapura. Lagu Majulah Singapura yang telah populer dipilih untuk ditetapkan sebagai lagu kebangsaan. Setelah beberapa revisi, komposisi Zubir disetujui secara bulat oleh Dewan Perwakilan Rakyat pada 11 November 1959. Undang-undang mengenai lambang negara, bendera, dan lagu kebangsaan Singapura disahkan pada 30 November 1959.[b] Menurut hukum, Majulah Singapura hanya boleh dinyanyikan dalam lirik Melayunya. Majulah Singapura dikumandangkan luas pada 3 Desember 1959,[25] menggantikan lagu koloni God Save the Queen. Setelah kemerdekaan penuh Singapura atas Malaysia pada 9 Agustus 1965, Majulah Singapura secara resmi diadopsi sebagai lagu kebangsaan Republik Singapura. Pada 1984, dalam wawancara sejarah lisan, Zubir mengutip pepatah Melayu "di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung" ketika menyampaikan filosofinya dalam menciptakan lagu.[26] KomponisBeberapa komposer dan pengamat musik menilai karya Zubir sebagai lagu Melayu sejati karena musiknya banyak berkaitan dengan sejarah dan nilai-nilai Melayu. Ia bersama banyak orang Minang sezaman juga membangkitkan kesadaran kebangsaan pada 1950-an. Zubir menjadi guru para musisi masyhur Melayu, termasuk seniman dan penyanyi legendaris Malaysia, P. Ramlee. Sebelum penyakit kuning menderanya hingga ia meninggal, Zubir diketahui telah menggubah seditiknya 1.500 lagu.[27] Lagu-lagu tersebut belum seluruhnya direkam karena ia terlalu serius mengajar seniman-seniman muda tentang seni musik daripada mengejar finansial dari karyanya. Sebagian komposisinya tak dapat ditelusuri, karena ia tak menyimpan rekaman dari seluruh karyanya.[28] Lagu-lagu ciptaan Zubir yang terkenal, terutama di Singapura, di antaranya, Sang Rembulan, Sayang Disayang, Cinta, Selamat Berumpa Lagi, Nasib Malang, Setangkai, dan Kembang Melati.[21][29] Zubir tak hanya memberikan pelajaran musik. Seniman lain sering menemuinya untuk bertukar pikiran tentang musik dan meminta nasihat. Putri ketiga Zubir yang merupakan mantan dosen Universitas Nasional Malaysia Puan Sri Dr. Rohana Zubir mengenang bagaimana rumah keluarganya di Singapura selalu dipenuhi dengan musik. Ia menjadi buah bibir karena semangat dan kepeduliannya untuk berbagi sehingga karya-karyanya bermanfaat bagi orang lain. Ia sering membantu keluarga kandungnya di Sumatra dan "keluarga angkat" di Singapura dengan mengirimi mereka obat dan macam-macam bantuan. Padahal, ia bukanlah seorang yang kaya waktu itu. Zubir mengaku bahwa ia tidak pernah tergiur dengan kekayaan. Bagi Zubir, uang bukanlah prioritas hidupnya meskipun uang adalah hal vital yang dibutuhkan oleh setiap keluarga. Ia yakin, bisa bertahan menghidupi keluarganya dengan mengajar dan menulis lagu saja. Prinsip utama yang ia pegang adalah jujur dalam bekerja, sehingga ia mengutamakan orisinalitas dalam berkarya. Ia berhenti menulis lagu untuk Cathay-Keris Film Productions karena kecewa dengan keputusan manajemen yang memangkas biaya produksi dengan mendaur ulang musik latar belakang yang telah ada. Kematian dan penghargaanZubir wafat dalam usia 80 tahun pada 16 November 1987 di Joo Chiat, Singapura, meninggalkan empat anak perempuan dan seorang anak laki-laki.[21] Pada tahun 1990, kehidupan Zubir dan semangatnya sebagai musisi didokumentasikan dalam sebuah buku berjudul Zubir Said: Lagu-lagunya. Pada tahun 2004, patung Zubir yang terbuat dari perunggu senilai S$20.000 dipajang di Istana Kampong Glam, Taman Warisan Melayu, Singapura. Zubir dianugerahi sejumlah penghargaan semasa hidupnya dan secara anumerta. Pemerintah Singapura memberinya penghargaan Sijil Kemuliaan pada 16 Maret 1963 atas jasanya menciptakan lagu kebangsaan.[30][31] Pada 17 Juli 1971, ia menerima Penghargaan Jasawan Seni dari delapan organisasi kebudayaan Melayu atas kiprahnya dalam kesenian Melayu di Singapura.[30][32] Penghargaan lainnya, yakni Sangeetha Kalabooshan Award dari Singapore Indian Film, Arts & Dramatic Society pada 30 Maret 1974, Sri Budiman Award dari Sriwana pada 20 Desember 1980, dan Cultural and Communication Award dari ASEAN pada 24 Agustus 1987.[24][33] Penghargaan anumerta untuk Zubir yakni Lifetime Achievement Award dari Composers and Authors Society of Singapore pada 17 April 1995.[33] Sebagai penghormatan untuk dirinya dalam dunia musik, Beasiswa Musik Zubir Said—yang awalnya dikelola oleh Yayasan Kebudayaan Singapura dan berikutnya oleh Dewan Kesenian Nasional—diluncurkan pada 1990. Untuk mengenang jasa-jasanya, jalan tempat beralamatnya Sekolah Seni disematkan dengan namanya pada tahun 2009. Jalan ini bersimpangan dengan Orchard Road yang menjadi pusat perbelanjaan terbesar di Singapura. Lihat pula
Catatan kaki
Pranala luar
|