YawadwipaYawadwipa (IAST: yāvaka dvīpa; bahasa Jawa: ꦪꦮꦢ꧀ꦮꦶꦥ, translit. yawadwipa, har. 'pulau jelai') adalah dwipa ("pulau") dari dunia darat, seperti yang dibayangkan dalam kosmologi Hindu, dan Buddhisme, yang merupakan ranah tempat manusia biasa hidup. Frase yāwadwīpa secara harfiah merujuk pada "pulau jelai". Kata yāwa berarti jelai yang merupakan anggota suku padi-padian (Poaceae); di dalamnya termasuk tumbuhan seperti padi, gandum, jagung, sorgum (cantel), jawawut (Setaria italica), dan jali (Coix lacryma-jobi). Adapun kata dwīpa artinya "pulau". Istilah ini kemudian ditransliterasi oleh bangsa Yunani menjadi Iabadiu (Ἰαβαδιοῦ), dengan pengertian yang sama: iaba (jelai) dan diu (pulau). EtimologiAsal mula nama "Jawa" dapat dilacak dari kronik berbahasa Sanskerta yang menyebut adanya pulau bernama yavadvip(a) (dwipa berarti "pulau", dan yava berarti "jelai" atau juga "biji-bijian").[1][2] Apakah biji-bijian ini merupakan jewawut (Setaria italica) atau padi, keduanya telah banyak ditemukan di pulau ini pada masa sebelum masuknya pengaruh India, dan boleh jadi pulau ini memiliki banyak nama sebelumnya, termasuk kemungkinan berasal dari kata jaú yang berarti "jauh".[1] Dalam Hikajat Tanah Hindia, Biegman mengatakan bahwa yava dalam Yavadvipa berarti jali (Coix lacryma-jobi; Sunda: hanjeli; Inggris: job's tear).[3] Argumentasi yang sama dikemukakan oleh Bradel, bahwa kata "iaba" dalam Iabadiu, artinya adalah jali.[4] Abraham van Berkel, saat memberi catatan kritis atas naskah Ethnica karya Stephanus Byzantinus, mengatakan bahwa Iabadiu, atau Iaba, adalah pulau Jawa.[5] Iabadiu, mengikuti pelafalan Ptolomeus, adalah iaba-diu, artinya pulau jelai, yaitu Jawa.[5][6] Menurut Berkel, masyarakat Persia dan India tahu bahwa kata “diu” sama dengan kata “dwipa”. Di edisi yang sama, Thomas de Pinedo mengatakan bahwa kata diu berasal dari bahasa Persia yang artinya "pulau", sama dengan arti kata dwipa dalam bahasa Sansakerta. Pendapat senada juga disampaikan Samuel Bochart, seraya menambahkan bahwa tempat bernama Iabadiu merujuk kepada kepulauan (nesos; banyak pulau) bukan satu pulau (nísou).[7][6] Yawadwipa disebut dalam epik asal India, Ramayana. Sugriwa, panglima wanara (manusia kera) dari pasukan Sri Rama, mengirimkan utusannya ke Yavadvip ("Pulau Jawa") untuk mencari Dewi Shinta.[8] Kemudian berdasarkan kesusastraan India terutama pustaka Tamil, disebut nama Sanskerta yāwaka dwīpa. Dugaan lain ialah bahwa kata "Jawa" berasal dari akar kata dalam bahasa Proto-Austronesia, Awa atau Yawa (Mirip dengan kata Awa'i (Awaiki) atau Hawa'i (Hawaiki) yang digunakan di Polynesia, terutama Hawaii) yang berarti "rumah".[9] Pulau bernama Iabadiu atau Jabadiu disebutkan dalam karya Ptolemy bernama Geographia yang dibuat sekitar 150 masehi di Kekaisaran Romawi. Iabadiu dikatakan berarti "pulau jelai", juga kaya akan emas, dan mempunyai kota perak bernama Argyra di ujung Baratnya. Nama ini mengindikasikan Jawa,[10] dan kelihatannya berasal dari nama Hindu Jawa-dwipa (Yawadwipa). Berita tahunan dari Songshu dan Liangshu menyebut Jawa sebagai She-po (abad ke-5 M), He-ling (tahun 640-818 M), lalu menyebutnya She-po lagi sampai masa Dinasti Yuan (1271-1368), di mana mereka mulai menyebut Zhao-Wa.[11] Menurut catatan Ma Huan (yaitu Yingya Shenlan), orang China menyebut Jawa sebagai Chao-Wa, dan dulunya pulau ini disebut She-pó atau Zabag (She-bó).[12] Saat John dari Marignolli (1338-1353) pulang dari China ke Avignon, ia singgah di Kerajaan Saba, yang ia bilang memiliki banyak gajah dan dipimpin oleh ratu; nama Saba ini bisa jadi adalah interpretasinya untuk Zabag She-bó.[13] Kata "Saba" sendiri berasal dari kata bahasa Jawa kawi yaitu Saba yang berarti "pertemuan" atau "rapat". Dengan demikian kata itu dapat diartikan sebagai "tempat bertemu".[14] Menurut Fahmi Basya, kata tersebut berarti "tempat bertemu", "tempat berkumpul", atau "tempat berkumpulnya bangsa-bangsa".[15] Historiografi
Dalam epos Ramayana yang ditulis oleh Walmiki disebutkan nama Yawadwipa. Di dalam kisah ini diceritakan Sugriwa mengirimkan anak buahnya ke sebuah pulau bernama Yawadwipa untuk mencari Sita, sebagaimana bisa ditemukan dalam Ramayana, Kanda Kishkindha, sarga 40, bait 30-31:[16]
Artinya:
Penggunaan Yawadwipa dalam naskah-naskah India, diikuti oleh topinim yang sama dalam atlas Geographike Gypehegesis karya Claudius Ptolomeus yang ditulis pada sekitar abad 150 masehi, yakni Ἰαβαδιοῦ (Iabadiou). Dalam karyanya itu Ptolomeus secara jelas menyebut Iabadiou sebagai "pulau barli" (jelai) dan bukan "pulau jawawut",[4] mengingat barli bukanlah pohon endemik di daerah Jawa. Sudah menjadi kebiasaan bangsa India kuno untuk menyebut nama tempat sesuai dengan hasil buminya,[4] umpamanya Jambu-dwipa dan Amra-dwipa artinya pulau Jambu dan pulau Mangga, dan Yawa-dwipa artinya adalah "pulau Jelai". Dalam makalah susulannya, Roland Braddell menyebutkan bahwa para pemikir terkini lebih menyetujui bila istilah Yawadwipa merujuk kepada pulau Jawa-Sumatra,[17] karena berbagai data dan ciri yang disebutkan dalam berbagai naskah kuno merujuk pada ciri-ciri kedua pulau tersebut, dan gunung Shishira yang memisahkan kedua bagian dari Yawadwipa.[16] Hal senada disampaikan Samuel Bochart, bahwa tempat bernama Iabadiu merujuk kepada kepulauan (nesos; banyak pulau) bukan satu pulau (nísou).[7] Dalam Geographike, Ptolemeus menyebutkan bahwa pada zaman itu kapal-kapal Aleksandria di Mediterania sudah berlayar secara rutin dari Teluk Persia menuju Bandar Baybaza di Cambay (Gujarat) di India dan Majuri di Kochin, hingga India Selatan; dari sanalah kapal-kapal tersebut melanjutkan pelayaran ke bandar-bandar di pantai timur India hingga ke Chrysḗ Chersónēsos (Semenanjung Emas atau Semenanjung Malaka), di mana kapal-kapal akan singgah di Barousae, Sinda, Sabadiba, dan Iabadiou, dan kota metropolitan di Yawadwipa yaitu Ἀργύρη (Argyre).[18] Referensi
|