Wisjnu Mouradhy (EYD: Wisynu Mouradhy; Lahir di Sukabumi, 25 Oktober 1921) adalah seorang aktor, penulis artistik, penulis naskah, dan sutradara film indonesia. Wisjnu Mouradhy memulai debut karirnya dengan bermain teater Warna Delima. Lalu ia memulai bermain film pada Tjitra pada tahun 1949.[1]
Wisjnu Mouradhy dilahirkan di Sukabumi pada 25 Oktober 1921. Pendidikannya hanya sampai di Mulo kelas 2, dan pernah mengikuti kursus jurnalistik dan Akademi Wartawan secara tertulis.
Sejak kanak-kanak ia gemar pada kesenian. Kegagalannya dalam sekolah karena ia sering turut bermain pada sandiwara kampung. Di tahun 1939 ia masuk Knil Bat, Genie Troepen pioner Comp, dan dalam militer pun ia turut menggabungkan diri pada sandiwara yang khususnya untuk hiburan para militer.
Kemudian di tahun 1944 yang merantau ke Banjarmasin, untuk ikut pada Sandiwara Tokio kepunyaan saudara Aruman. Dalam beberapa bulan saja di sana, disamping menjadi pemain ia dapat merebut kedudukan regisseur , hal ini bukan karena ia pandai bermain saja tapi juga dapat mengarang cerita. Beberapa hari sesudah proklamasi Kemerdekaan Tanah Air kita, Wisjnu kembali ke Jawa.
Seperti juga pemuda-pemuda lain ia turut terjun dalam kancah perjuangan. Sebelum merantau ke Bandjarmasin, Wisjnu turut bermain pada sandiwara Warna Delima, di mana Rd Endang itu, bintang film dari Wong Brothers, untuk pertama menginjakkan kakinya dalam kesenian. Keluar dari Warna Delima, sdr Wisjnu turut sandiwara Bulan Purnama di bawah asuhan saudara Ananta Gaharasjah. Semua ini antara tahun 1942-1944. Dalam tahun 1948 ia turut dengan rombongan Fifi Young Toneel Kunst bersama S. Waldy, Sofia, Rd Endang, dan banyak pemain lagi yang kini sudah menjadi bintang film. Fifi Young Toneel kunts pada waktu itu di bawah pimpinan Njoo Cheong Seng dan Rd. Ariffin.
Selain menjadi pemain sandiwara panggung dan penulis cerita, Wisjnu juga pernah menjadi regiseur sandiwara radio pada tahun 1947 di Jakarta, dan yang dimainkan adalah cerita gubahannya sendiri bernama Kurban. Wisjnu juga pernah mengikuti rombongan Nippon Eiga sha (Tokyo Gekijo) di Banjarmasin. Kegiatan teater ini masih terus di ikutinya sampai awal tahun 1950-an. Mulai main film dalam Tjitra (1949). Kemudian menjadi pembantu sutradara sambil tetap ikut main dalam banyak film di tahun 1950-an. Pernah mencoba jadi sutradara untuk film Jubah Hitam (1954), tapi kemudian kembali menjadi pembantu sutradara.
Wisjnu Moeradhy sekarang bekerja pada Perusahaan Film Negara pada seksi Urusan pegawai, bukan film cerita (Studio). Hal ini sangat bertentangan dengan bakat dan cita-citanya sebagai seorang seniman. Apakah kepala-kepala film cerita studio, Dokumentasi dan Journal dari PFN tidak mengetahui hal itu? Saya kira saudara-saudara Inu Perbatasari, Rasjid Subadi dan Kotot telah mengetahui tentang bakat dan cita-cita Wisjnu. Sungguh sangat sayang bila bakat dan cita-cita sdr tersebut dipatahkan di tengah jalan. Cakap rupa atau tinggi badan bukan menjadi ukuran film. Saya kira bila Wisjnu diberikan kesempatan dalam film, permainannya akan melebihi Rd. Endang, T. Djunaedy atau A. Hamid Arief. Menurut keterangan, Wisjnu sangat gemar memainkan rol-rol jahat, detektif, lucu dan sebagai orangtua. Apa lagi sebagai Don Juan, ini memang kesukaannya (ini kenyataan , jangan gusar saudara Wisjnu, BA.). Dalam Darah Dan Doa, Wisjnu memainkannya sangat tepat sebagai seorang pengkhianat. Dalam film itu ia mendapat sukses, karena penonton sangat benci padanya. Hal ini saya perhatikan sendiri.
Lirikan mata Wisjnu sungguh sangat tajam dan sewaktu-waktu ia dapat mengubah mukanya menjadi kejam. Suaranya ialah suara laki-laki sejati (mannelijk), bukan seperti Rd. Endang atau Turino Djunaedy. Kepada PFN saya serukan, terutama pada Inu Perbatasari, Bachtiar Effendi, dan Rd. Ariffien, berilah kesempatan kepada Wisjnu untuk mengembangkan bakatnya dalam film, berdasarkan hal-hal di atas. Dari sumber yang dapat dipercaya, PFN tak lama lagi akan membuat 2 film lagi, ialah Kembali Ke Masjarakat dan Timor Kupang. Kami ingin lihat apakah tulisan ini mendapat perhatian dari orang-orang PFN, tidak suka membunuh bakat dan cita-cita seseorang, terutama orang yang sudah menjadi pegawai. Bersabarlah Wisjnu, kita lihat bersama-sama.[2]
Sementara itu, ia banyak menulis sekitar perfilman dan sempat pula menerbitkan majalah Artis. Setelah film Tudjuh Pradjurit (1961) baru karirnya sebagai penulis skenario dan sutradara berkelanjutan. Tapi ini pun jalannya tidak lancar, karena pembuatan film sepi. Pada masa beberapa tahun absen dari film, artara lain ia mengarang lagu untuk para penyanyi yang akan rekaman di Remaco. Muncul kembali sebagai sutradara di masa film berwarna ini lewat Gara Gara (1973). Karyanya Mustika Ibu (1976) mendapat penghargaan dalam FFI 1977 di Jakarta untuk Tata artistik dan Pemain cilik. Pada 1978 menyutradarai film Tengkorak Hitam.