Raden AjengTitien Sumarni (28 Desember 1932 – 13 Mei 1966) adalah seorang aktris berkebangsaan Indonesia yang aktif pada tahun 1950an. Saat kecil, ia pindah ke Tasikmalaya dan mengembangkan minatnya dalam seni peran. Ia dilatih oleh paman yang juga kemudian menjadi suaminya, Mustari.
Film debutnya adalah Seruni Laju, tahun 1951. Dalam rentang waktu lima tahun, Titien Sumarni telah bermain dalam tiga puluh film, mendirikan perusahaan film sendiri, dan menjadi salah satu aktris Indonesia paling terkenal di masanya. Setelah film terakhirnya, Djandjiku (1956), Titien mulai tidak populer, hingga akhirnya hidup miskin.
Biografi
Titien Sumarni lahir di Surabaya pada masa kolonial Belanda.[1] Ia berdarah Jawa-Sunda.[2] Ayahnya, Memet Sukardi, adalah seorang pembantu wedana di Surabaya yang meninggal ketika ia masih berusia tiga tahun. Saat berusia enam tahun, ia pindah ke kampung halaman ibunya, RA Sarimanah, di Tasikmalaya.[3]
Saat duduk di bangku SMP di Bandung, pada usia lima belas tahun, Titien mulai belajar berlakon dari pamannya, R. Mustari.[4] Ia kemudian menikah dengan Mustari. Hal ini dilakukan sebagai bentuk balas dendam pada kekasihnya, seorang perwira militer Indonesia, karena berselingkuh dengan istri Mustari.[5] Setelah menikah, Titien berhenti sekolah dan memulai kariernya sebagai aktris, menghibur tentara republik yang sedang berjuang dalam perang kemerdekaan hingga ia bersama suaminya pindah ke Jakarta.[6]
Titien Sumarni mulai tertarik pada industri film tahun 1950 setelah melihat Nana Mayo dalam film Inspektur Rachman.[7] Dengan seizin suaminya, ia masuk industri itu tahun 1951 melalui seorang kenalan, Harun Al-Rasyid, yang bekerja pada perusahaan film Golden Arrow. Harun Al-Rasyid lalu memperkenalkan Titien pada Rd Ariffien, seorang sutradara. Dalam waktu singkat, Titien memperoleh peran dalam film debutnya Seruni Laju,[1] diikuti dengan peran dalam film Kino Drama Atelier, Gadis Olahraga (1951), meskipun produksi film tersebut menyebabkan Titien bermasalah dalam hal kontrak.[8]
Setelah meninggalnya Dr. Huyung, manajer dan sutradara Kino Drama Atelier, Titien dikontrak oleh Persari milik Djamaluddin Malik, tapi kemudian pindah ke Bintang Surabaja di bawah pimpinan Fred Young setelah ia mempromosikan rokok dalam sebuah pameran.[8] Tahun 1955 ada rumor bahwa hubungannya dengan Persari mengalami ketegangan, meskipun ia kemudian berdamai dengan Djamaluddin.[9] Produksi pertama Titien bersama Bintang Surabaja, Putri Solo (1953), sukses besar, memecahkan rekor penghasilan film tertinggi di Indonesia. Surat-surat dari penggemarnya bertambah dari 20-30 surat per hari menjadi ratusan surat.[10] Beberapa waktu setelah ia meraih sukses itu, ia bercerai dengan Mustari dan menikah dengan Saerang, seorang pengusaha kaya dari Sulawesi Utara.[11]
Hingga 1954, Titien Sumarni menjadi salah seorang aktris Indonesia paling populer di awal 1950-an.[1] Ia dianggap sebagai salah satu aktris Indonesia paling cantik.[11]Dunia Film menggambarkan ia sebagai Marilyn Monroe Indonesia.[12] Diberitakan pula bahwa ia menjadi aktris favorit Presiden Soekarno.[11] Titien dianggap sebagai "Ratu Layar Perak" berdasarkan angket yang dilakukan oleh beberapa majalah, termasuk Kentjana dan Dunia Film, tahun 1954.[1][13]
Tahun 1954, Titien mendirikan perusahaan film sendiri, Titien Sumarni Motion Pictures.[14] Daripada membangun studio sendiri, Titien memilih untuk menggunakan studio milik Perfini, perusahaan film Usmar Ismail, tanpa membayar sedikit pun. Perfini menganggap sewa fasilitas mereka sebagai pembayaran utang mereka pada Mustari yang timbul saat memproduksi Krisis (1953).[9] Titien Sumarni Motion Pictures memproduksi lima film. Film pertama, Putri dari Medan, dibintangi sendiri oleh Titien sebagai wanita tituler dari Medan. Setelah memiliki seorang putra bernama Sjarif Tommy, Titien beristirahat dari dunia peran. Meskipun demikian, perusahaannya memproduksi dua film selama Titien istirahat: Mertua Sinting dan Tengah Malam. Dua film terakhir, Sampah dan Saidjah Putri Pantai, tahun 1955 dan 1956, kembali dibintangi oleh Titien.[1][13][14]
Film terakhir Titien adalah Djandjiku yang dibuat tahun 1956. Sejak itu, kepopulerannya menurun dan kemudian menghilang sama sekali. Pada tahun 1966, diberitakan bahwa ia diketemukan tergeletak di sebuah bangsal rumah perawatan sebagai pasien dari seorang paranormal yang terkenal dengan panggilan 'mamih Aceng' di kawasan dekat Stasiun Bandung untuk mengobati infeksi paru-parunya.[15] Dengan bantuan rekan-rekan sesama artis, ia sempat menjalani perawatan di rumah sakit sebelum akhirnya meninggal dunia pada 13 Mei 1966.[1][13]
Filmografi
Selama lima tahun berkarier, Titien Sumarni telah membintangi tiga puluh film. Ia juga menjadi manajer suara pada sebuah film dan melalui perusahaannya, Titien Sumarni Motion Pictures, memproduksi lima film. [16][13]
"Faktor2 Apa Menjebabkan "Titien Shake-Hand Persari"?". Film Varia. 2 (7): 11, 29. Januari 1956.
"Filmografi Titien Sumarni". filmindonesia.or.id. Konfiden Foundation. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-01-10. Diakses tanggal 10-01-2015.Periksa nilai tanggal di: |accessdate= (bantuan)