Tony Wen (26 April 1911 – 30 Mei 1963) adalah pejuang Indonesia keturunan Tionghoa. Ia dikenal terutama saat membantu keuangan Indonesia pada era awal kemerdekaan dengan menyelundupkan candu ke Singapura. Tony Wen atau Boen Kin To, lahir di Sungailiat, Bangka, pada 1911 dari keluarga yang berada. Ayahnya adalah seorang kepala parit Bangka Biliton Tin Maatschappij.[1]
Pendidikan dan Pekerjaan
Setelah menyelesaikan sekolah menengah di Sungailiat, dia kemudian meneruskan studinya di Singapura, lalu U Ciang University, Shanghai hingga Liang Nam University, Canton. Setelah kembali ke Jakarta (Batavia), ia menjadi guru olahraga di sekolah Pa Hoa (T.H.H.K.). Ia juga seorang pemainan sepak bola nasional yang sangat handal, gesit, dan cergas dalam pertandingan. Sebelum Perang Dunia II meletus, ia menjadi pemain sepak bola terkenal kesebelasan UMS (Union Makes Strength).[1][2] “Ia adalah idola remaja sebelum Perang Dunia II karena bintang sepakbola. Ia anggota perkumpulan sepakbola keturunan Tionghoa (Tiong Hoa Oen Tong Hwee) (UMS) di Petak Sin Kian, Jakarta […] ia guru pada sekolah Tionghoa THHK di Jalan Patekoan,” tulis Yunus Yahya dalam buku Catatan seorang WNI: Kenangan, Renungan & Harapan (1989:8).[3]
Masa Organisasi (Pra-Kemerdekaan dan Revolusi Fisik)
Disamping kegemarannya dengan dunia olahraga, ia banyak mengambil peran dalam berbagai organisasi yang terkait. Pada masa pendudukan Jepang, ia bekerja sebagai juru bahasa di kantor urusan Hoa Kiao (Kakyo Hanbu) yang merupakan salah satu bagian pusat intelijen Jepang (Sambu Beppan).[1][2][3] Menurut Yong Mun Cheong dalam The Indonesian Revolution and the Singapore Connection, 1945-1949 (2003:130), pada era itu ia bergiat dalam Perserikatan Rakjat dan Boeroeh Tionghoa di Surakarta sebagai manajer bagian olahraga. Setelah Jepang kalah, ia menjadi wakil presiden dalam serikat tersebut.[3][4]
Setelah Jepang menyerah, ia menghilang dari Jakarta dan menetap di Solo memimpin Barisan Pemberontak Tionghoa. Kemudian, Ia menjadi pembantu R.P. Suroso dalam membentuk kantor urusan minoritas di Departemen Dalam Negeri. Pada akhir masa perjuangan fisik, Tony Wen menjadi pembantu Mukarto, kepala Opium en Zoutregie, dan ia sering bolak-balik ke Singapura untuk menukar candu dengan senjata yang diselundupkan ke daerah Republik.
Tony Wen telah memperjelas dukungannya kepada Republik, setidaknya sejak April 1946. Ia banyak menyibukkan diri dalam menggalang masyarakat Tionghoa menunjang kegiatan revolusi dibawah bendera nasionalis bimbingan Bung Karno. Ketika Presiden Soekarno dan para pemimpin lainnya dibuang ke Pulau Bangka, ia menyediakan seluruh keperluan para pemimpin tersebut. “Ia terang-terangan menjawab keragu-raguan masyarakat Tionghoa dengan menyatakan berkiblat ke Republik yang baru,” tulis mantan menteri Oei Tjoe Tat dalam Memoar Oei Tjoe Tat: Pembantu Presiden Soekarno (1992:52). “Ia menyatakan tekadnya untuk lebih memperhatikan kepentingan rakyat kecil, khususnya kaum buruh.”[3]
Pada masa revolusi, Tony Wen dikenal sebagai pemimpin dari Barisan Pemberontak Tionghoa (BPTH) di Solo. Di sisi lain, sepengakuan mantan Wakil Presiden Adam Malik dalam Mengabdi Republik Volume 2 (1978:5), Tony juga menjadi penyerang tengah kesebelasan PSIS (Solo) yang kala itu cukup ternama. Tak cukup di situ, Tony Wen sebagai pedagang juga turut menyediakan logistik bagi tentara Indonesia yang saat itu morat-marit.[4]
Kisah Penyelundupan Candu
Pada masa itu, Indonesia yang baru saja meraih kemerdekaan memiliki kondisi ekonomi yang buruk apalagi ditambah dengan adanya blokade oleh Belanda dari segala penjuru membuat Indonesia semakin kesulitan melakukan perdagangan dengan negara lain untuk mengisi kas negara. Di sinilah Tony Wen berperan besar dalam membantu mengisi kas negara.
Kurangnya kas negara untuk biaya operasional pemerintahan menyebabkan Menteri KeuanganA.A. Maramis menyarankan menjual candu ke luar negeri. Dengan keahlian Tony Wen di Solo yang menyuplai logistik dan senjata untuk pejuang di sana,ia dipercaya untuk menjual candu-candu mentah dari pabrik candu di Salemba. Mukarto Notowidagdo ditunjuk sebagai koordinator tim sementara Tony Wen menjadi pelaksana. Ia kemudian menghubungi temannya di Singapura yang memiliki jaringan distribusi candu dan operasi itu pun dilaksanakan.
Soal penyelundupan ke Singapura itu dicatat oleh Sam Setyautama dalam Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia (2008:24). Pada 1948, Tony bersama Soebeni Sosrosepoetro, Karkono Partokusumo (Kamadjaja), dan dibantu Lie Kwet Tjien menyelundupkan candu ke Singapura untuk dibelikan senjata bagi Republik Indonesia. Dengan naik perahu, Tony Wen membawa setengah ton candu dari Pantai Popoh di Kediri dan melintasi pantai selatan Jawa ke Selat Lombok untuk menghindari patroli Belanda dalam perjalanannya ke Singapura. Operasi lanjutan ini kemudian dilaksanakan oleh Laksamana John Lie dengan menggunakan pesawat amphibi Catalina. Dengan pesawat ini, Indonesia berhasil melakukan pengiriman sebanyak dua kali dan membawa 4 ton candu ke Singapura. Akan tetapi, operasi ini akhirnya diketahui oleh Belanda sehingga Tony Wen ditangkap oleh polisi Inggris di Singapura.[3][5][6]
Mengikuti Brigade Internasional
Tony juga tergabung dalam International Volunteers Brigade (IVB) alias Brigade Internasional, kesatuan tentara yang terdiri dari orang-orang (keturunan) berbagai macam bangsa Asia (Tiongkok, Filipina, Malaysia, India, dan Pakistan). Menurut Arsip Kementerian Pertahanan nomor 1735: Laporan harian Kementerian Pertahanan Bagian V Kepada Menteri Muda Pertahanan tanggal 30 Oktober 1947, pada IVB ada orang-orang dari Filipina yang dipimpin Ir. Estrada, orang-orang India yang dipimpin Abdulmadjid Khan serta orang-orang Malaya yang dipimpin Adnan.[3]
Dalam arsip yang sama dituliskan, Brigade yang sekretariatnya berada di Jalan Poncowinatan 50, Yogyakarta ini terdiri atas bagian ketentaraan, ekonomi, sosial dan penerangan meskipun tidak seluruhnya aktif di front pertempuran. Dari golongan tadi, orang-orang India-lah yang tergolong aktif bertempur. “Yang sudah turut berperang di medan Gombong semua orang-orang India, sedang pasukan Tionghoa di bawah Tony Wen sampai sekarang (20 Oktober 1947) hanya menjalankan latihan belaka,” tulis laporan Kementerian Pertahanan Bagian V itu.[3]
Masa Setelah Kemerdekaan
Pada tahun 1950-an ia diangkat menjadi anggota Komite Olimpiade Indonesia dan pengurus PSSI. Pada tahun 1952, ia masuk menjadi anggota PNI. Sejak Agustus 1954 sampai Maret 1956, ia diangkat menjadi anggota DPR (konstituante) mewakili PNI untuk daerah pemilihan Sumatra bagian Selatan. Ia pernah menjabat di Kabinet Interim Demokrasi dan pada tahun 1955 pernah masuk di Kabinet Ali Sastroamidjojo. Tony juga masih bergelut dalam dunia olahraga. Ia juga bergiat di cabang bola basket. Tony menjadi salah satu pendiri Persatuan Basketball Seluruh Indonesia (Perbasi) pada 23 Oktober 1951 dan Ialah ketua pertama Perbasi.[3][7][8]
Wafat
Tony Wen meninggal dunia karena sakit pada 30 Mei 1963 dan dimakamkan di Menteng Pulo, Jakarta. Banyak sekali sanak saudara dan temen seperjuangan datang memberi penghormatan terakhir.[3]
Keterangan dari Henry Boen, keponakan Tony Wen (Siauw Giok Tjhan, 1981), (Leo Suryadinata,1981), etc
Apakah Almarhum Tony Wen menjadi salah satu pemrakarsa merobek bagian biru dari bendera Belanda, dan mengibarkannya kembali sebagai Merah Putih tidak ditulis dalam buku ini. Tentunya akan baik sekali kalau kita dapat mendengar/membaca keseluruhan peristiwa ini. Sebenarnya peristiwa perobekan bendera di Hotel Yamato (Oranye) itu terjadi tanggal 19 September 1945.
Untuk menanggulanginya, Go Gien Tjwan sebagai jurubicara Angkatan Muda Tionghoa (AMT) mengucapkan pidato yang menekankan bahwa musuh rakyat Indonesia bukan etnis Tionghoa melainkan Belanda. Ia juga menyatakan bahwa etnis Tionghoa juga menjadi korban penjajahan Belanda dan tidak menginginkan kembalinya penjajahan Belanda.
Siaw Giok Tjhan bersama kawan-kawannya pergi menemui Bung Tomo agar mengubah sikapnya terhadap etnis Tionghoa, namun Bung Tomo tidak bisa diyakinkan dan tetap berpendapat bahwa sebagian besar entis Tionghoa pro-Belanda. Pada akhir Oktober 1945, Siauw Giok Tjhan memimpin delegasi pemuda Tionghoa untuk bertemu dengan Bung Tomo dan sejumlah tokoh Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) Soemarsono dan Soedisman di Nangkajajar, sebuah kota kecil yang terletak antara Surabaya dan Malang. Di dalam pertemuan tersebut berhasil disepakati bahwa para pemuda Tionghoa akan bergabung dengan BPRI dan Pesindo.