Tjong A Fie dilahirkan dengan nama Tjong Fung Nam (Aksara Tionghoa: 张鸿南) dari keturunan orang Hakka di Sungkow, Meixian, Guangdong, (Tiongkok) pada tahun 1860.[1][2]
Kemudian juga mendapat nama Tjong Yiauw Hian (aksara Tionghoa sederhana: 张耀轩; klasik: 張耀軒; pinyin: Zhang Yaoxuan), dan akhirnya lebih dikenal dengan nama Tjong A Fie (張阿輝).[5]
Ia berasal dari keluarga yang sederhana.[4] Bersama kakaknya Tjong Yong Hian (1850-1911), Tjong A Fie meninggalkan bangku sekolah dan membantu menjaga toko ayahnya.[4] Walaupun hanya mendapatkan pendidikan seadanya, tetapi Tjong A Fie sangat cerdas dan menguasai cara-cara berdagang sehingga usaha keluarganya cukup sukses.[4]
Tjong A Fie memutuskan untuk merantau ke Hindia Belanda (Indonesia) untuk mencari penghidupan yang lebih baik.[4] Pada tahun 1875 Tjong A Fie pergi ke Medan (Sumatera Utara) untuk mengadu nasib.[1][3] Saat itu ia baru berusia 18 tahun.[4] Dengan berbekal sedikit uang, ia menyusul kakaknya, Tjong Yong Hian, yang sudah terlebih dahulu datang ke Medan dan tinggal selama 5 tahun.[1][3][4] Pada saat itu kakaknya sudah menjadi kapitan (pemimpin) Tionghoa di Medan.[4] Tjong A Fie bekerja di toko milik teman kakaknya yang bernama Tjong Sui Fo.[2][4] Di toko tersebut, Tjong bekerja dari memegang buku, melayani pelanggan, menagih utang serta tugas-tugas lainnya.[4] Ia dikenal pandai bergaul, tidak hanya dengan orang Tionghoa, namun juga dengan warga Melayu, Arab, India, dan orangBelanda.[4] Ia mulai belajar berbicara dengan bahasa Melayu yang menjadi bahasa perantara masyarakat di tanah Deli.[4]
Tjong A Fie tumbuh menjadi sosok yang tangguh, menjauhi candu, judi, mabuk-mabukan, dan pelacuran.[4] Ia menjadi teladan dan menampilkan watak kepemimpinan yang sangat menonjol.[4] Ia sering menjadi penengah jika terjadi cekcok antara orang Tionghoa dengan etnis lain.[4] Di daerah perkebunan milik Belanda sering terjadi keributan di kalangan buruh yang menimbulkan kekacauan dan karena kemampuannya, Tjong A Fie sering diminta Belanda untuk membantu mengatasi masalah-masalah tersebut.[4] Ia lalu diangkat menjadi Letnan Tionghoa dan pindah ke kota Medan.[4] Karena prestasinya yang luar biasa, dalam waktu singkat Tjong A Fie naik pangkat menjadi Kapitan pada tahun 1911, untuk menggantikan kakaknya yang telah wafat.[4] Dengan rekomendasi Sultan Deli, Tjong A Fie menjadi anggota gemeenteraad (dewan kota) dan cultuurraad (dewan kebudayaan) selain menjabat sebagai penasihat pemerintah Hindia Belanda untuk urusan Tiongkok.[4]
Keluarga
Ketika masih berada di Changnam,Tiongkok, Tjong A Fie telah menikahi seorang gadis yang bermarga Lie.[4] Saat tiba di Deli ia menikah dengan Nona Chew dari Penang dan memilki tiga orang anak, yakni Tjong Kong Liong, Tjong Song-Jin, dan Tjong Kwei-Jin.[4] Namun istri keduanya meninggal dunia.[4] Untuk ketiga kalinya ia menikah dengan Lim Koei Yap dari Timbang Langkat, Binjai, putri seorang mandor perkebunan tembakau di Sungai Mencirim Lim Sam-Hap.[4] Bersama Lim Koei Yap, Tjong A Fie memiliki tujuh orang anak, yakni Tjong Foek-Yin (Queeny), Tjong Fa-Liong, Tjong Khian-Liong, Tjong Kaet Liong (Munchung), Tjong Lie Liong (Kocik), Tjong See Yin (Noni), dan Tjong Tsoeng-Liong (Adek).[4]
Membangun usaha
Di tanah Deli, Tjong A Fie menjalin hubungan baik dengan Sultan Deli, Ma'moen Al Rasyid Perkasa Alamsyah dan Tuanku Raja Muda sehingga membuka jalan baginya untuk menjalankan usaha.[4] Sultan memberinya konsesi penyediaan atap daun nipah untuk keperluan perkebunan tembakau untuk pembuatan bangsal.[4]
Tjong A Fie dikenal menjadi orang Tionghoa pertama yang memiliki perkebunan yang sangat luas.[4] Ia mengembangkan usaha perkebunan tembakau di Deli, teh di daerah Bandar Baru, dan Si Bulan, serta perkebunan kelapa.[4] Di Sumatera Barat, ia menanamkan modalnya di bidang pertambangan di Sawah Lunto, Bukit Tinggi.[4] Perkebunan yang dimilikinya mempekerjakan lebih dari 10.000 orang tenaga kerja dan luas kebunnya mengalahkan luas perkebunan milik Deli Maatschappij yang dirintis oleh Jacobus Nienhuys.[6] Bahkan, ketika itu pemerintah Belanda memberikan 17 kebun kepadanya untuk dikelola.[2]
Bersama kakaknya Tjong Yong Hian, Tjong A Fie bekerja sama dengan Chang Pi Shih, paman sekaligus konsul Tiongkok di Singapura mendirikan perusahaan kereta api The Chow-Chow & Swatow Railyway Co.Ltd. di Tiongkok Selatan.[4] Karena jasanya tersebut mereka berkesempatan bertemu muka dengan Ibu Suri Cixi di Beijing.[4]
Dalam menjalankan bisnisnya, Tjong A Fie selalu mengamalkan 3 hal yakni, jujur, setia dan bersatu.[2] Ia selau berprinsip "di mana langit dijunjung di situ bumi dipijak".[2] Ia pun membagikan lima persen keuntungannya kepada para pekerjanya.[2]
Empat bulan sebelum menghembuskan napas terakhir, Tjong A Fie mewasiatkan seluruh kekayaannya di Sumatra maupun di luar Sumatra kepada Yayasan Toen Moek Tong yang harus didirikan di Medan dan Sungkow pada saat ia meninggal dunia.[4] Ia menuliskan permintaanya agar yayasan tersebut memberikan bantuan keuangan kepada pemuda berbakat dan berkelakuan baik dan ingin menyelesaikan pendidikannya, tanpa membedakan kebangsaan.[4] Tjong juga berpesan agar yayasan membantu mereka yang tidak mampu bekerja dengan baik karena cacat serta membantu para korban bencana alam tanpa memandang kebangsaan atau etnis.[4]
Tjong A Fie dikenal dermawan dan sangat dekat dengan masyarakat pribumi dan Tionghoa Kota Medan sehingga ia disenangi orang-orang.[2][4] Sebagai dermawan, ia banyak menyumbang untuk warga yang kurang mampu.[2] Ia sangat menghormati warga muslim, bahkan berperan serta dalam mendirikan tempat ibadah yakni Masjid Raya Al-Mashum dan Masjid Gang Bengkok serta ikut merayakan hari-hari besar keagamaan bersama mereka.[2] Nama Tjong A Fie pernah akan dijadikan sebagai nama sebuah jalan di Kota Medan, tapi dibatalkan dan jalan itu menjadi Jalan K.H. Ahmad Dahlan.[1] Karena sifatnya yang dermawan dan toleran tanpa membeda-bedakan bangsa, ras, agama dan asal usul, Tjong A Fie senantiasa dikenang oleh warga Medan dan sekitarnya.[4]
Bangunan kediaman Tjong A Fie berada di Jalan Ahmad Yani, Kesawan, Medan, yang didirikan pada tahun 1900, saat ini dijadikan sebagai Tjong A Fie Memorial Institute dan dikenal juga dengan nama Rumah Tjong A Fie.[1][6][7] Rumah ini dibuka untuk umum pada 18 Juni 2009 untuk memperingati ulang tahun Tjong A Fie yang ke-150.[6][8]
Rumah ini merupakan bangunan yang didesain dengan gaya arsitekturTionghoa, Eropa, Melayu dan art-deco dan menjadi objek wisata bersejarah di Medan.[1][3][7] Di rumah ini, pengunjung bisa mengetahui sejarah kehidupan Tjong A Fie lewat foto-foto, lukisan serta perabotan rumah yang digunakan oleh keluarganya serta mempelajari budaya Melayu-Tionghoa.[6][7]
^Suryadinata, Leo (1995), Prominent Indonesian Chinese: Biographical Sketches (edisi ke-3rd), Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, ISBN978-981-3055-04-9.