Artikel ini sebagian besar atau seluruhnya berasal dari satu sumber. Tolong bantu untuk memperbaiki artikel ini dengan menambahkan rujukan ke sumber lain yang tepercaya.
Tjong Yong Hian (1850-1911) adalah seorang kapitan yang berasal dari Tiongkok dan mempunyai jasa besar terhadap perkembangan masyarakat di kota Medan sekitar awal tahun 1900an pada masa kolonial Belanda
Hijrah ke Hindia Belanda
Beliau mulai ke masuk Hindia Belanda pada tahun 1867 atau saat berusia sekitar 17 tahun, Tjong Yong Hian dikenal juga sebagai Zhang Yu Nan atau Zhang Rong Xuan, keturunan keluarga Hakka, lahir di Guangdong, kota Songkou, distrik Meixian, Tiongkok Selatan, pada tahun 1850. Dia merantau dari Tiongkok ke Indonesia,berangkat melalui pelabuhan Shantou dan berlayar mengarungi Laut China Selatan, setelah berlayar selama 21 hari, dia mendarat di Jakarta (dulu namanya Batavia), tahun 1867 pada usia 17 tahun. Tiga tahun kemudian, setelah mempunyai tabungan yang cukup, Tjong Yong Hian meninggalkan Batavia menuju Medan, Sumatera, dengan niat memulai usaha sendiri. Tjong Yong Hian fasih berbahasa Melayu yang merupakan bahasa terhormat di Sumatera Utara.
Dibarengi dengan jiwa filantropis, dimana rasa kasih sayangnya terhadap sesama perantau dan terhadap sahabat serta terhadap lingkungan sekitar. Berkawan akrab dengan siapa saja, dari berbagai bangsa, mulai dari Belanda, Arab, India dan Melayu. Tjong Yong Hian menjadi seorang pengusaha yang cepat meraih kesuksesan.
Tahun 1870 memulai usaha sendiri mendirikan NV. Wan Yun Chong. Usahanya berkembang pesat sampai berinvestasi di perkebunan tebu, tembakau, karet dan agrikultur yang lain. Dia bekerja sama dengan bekas majikannya di Batavia, yaitu Tjong Fatt Tze memulai perusahaan perkebunan di Yogyakarta. menanam karet, kelapa, kopi dan teh. Mereka memiliki tanah seluas ratusan km persegi, meliputi 8 perkebunan karet dan pabrik pengolahan teh, sehingga dapat menyediakan lapangan kerja untuk ribuan orang. Kemudian membuka bank Jogja bekerja sama dengan Tjong Fatt Tze. Dengan bantuan adiknya Tjong A Fie, bisnis Tjong Yong Hian berkembang makin maju, berusaha lagi di bidang pembangunan real estate, di Medan yang dikenal kawasan Kesawan. Tahun 1907 mendirikan bank Deli bersama adiknya Tjong A Fie, dimana Bank Deli berusaha menghilangkan monopoli Bank Hindia Belanda, dimana Bank Hindia Belanda memiliki prosedur yang rumit untuk mengirimkan uang ke negara Tiongkok oleh orang Tiongkok perantauan di Sumatera. Usahanya menyebar ke berbagai penjuru dunia, dengan kapitalisasi modal terbesar di Asia Tenggara pada masa itu. Tjong bersaudara kembali bekerja sama dengan Tjong Fatt Tze mendirikan dua perusahaan pelayaran, di Batavia dan Medan bernama Yi Chong dan Fuk Guang.
Diangkat menjadi pemimpin Tionghoa
Tjong Yong Hian diangkat oleh Belanda menjadi mayor dan adiknya Tjong A Fie diangkat menjadi sebagai kapten. Mayor adalah pangkat perwira menengah, peringkat terendah dalam ketentaraan, satu tingkat dibawah letnan kolonel dan satu tingkat diatas kapten.
Tjong Yong Hian sangat dihormati oleh komunitas Tionghoa dan sangat dihargai pemerintahan Belanda.
Pada tahun 1904, Tjong Yong Hian mendapat penghargaan tertinggi dari Belanda, atas dedikasi pengorbanan tenaga, pikiran dan waktu, demi keberhasilan suatu tujuan mulia: pengabdian melaksanakan cita-cita yang luhur untuk kemanusiaan.
Kontribusi pembangunan Medan
Kontribusinya dalam pembangunan Masjid Raya Al-Mashun, Rumah Sakit di Belawan, Vihara Tian Hou, dan Masjid Lama di Gang Bengkok. Dengan hadirnya Tjong Yong Hian ini, kita dapat melihat bagaimana kerukunan antar umat beragama pada zaman dahulu. Saling membantu dalam membangun rumah ibadah bagi setiap umat walaupun berbeda agama, ras, dan suku.
Tjong Yong Hian memiliki dua bank. Pertama adalah bank Jogja yang berpatungan dengan bekas majikannya Tjong Bi Shi, dan kedua adalah bank Deli berpatungan dengan adiknya Tjong A Fie dan kawan-kawan.
Salah satu bentuk apresiasi dan penghargaan yang diberikan Pemerintah Kota Medan terhadap Tjong Yong Hian (abang kandung dari Tjong A Fie) adalah menabalkan nama Jalan Bogor menjadi Jalan Tjong Yong Hian dan meresmikan Taman Tjong Yong Hian di Jalan Kejaksaan Medan. Penabalan dan peresmian taman disaksikan langsung oleh pewaris dan keturunan Tjong Yong Hian, yaitu Budihardjo Chandra (Chang Hung Kuin). Penghargaan yang diberikan Pemko Medan kepada keluarga Alm. Tjong Yong Hian juga sebagai bentuk ucapan terima kasih terhadap kontribusi Tjong Yong Hian yang telah ikut serta membangun kota Medan di masa lalu. Taman Tjong Yong Hian yang ada di Jalan Kejaksaan Medan adalah tempat peristirahatan terakhir Tjong Yong Hian dan isterinya. Di gapura pintu masuk ke kawasan ini tertulis Taman Kebun Bunga (Mao Rong Yuan), setelah masuk beberapa meter ke dalam, di atas pintu masuk berpagar warna hijau baru ada tertulis Taman Tjong Yong Hian.
Kontribusi sosial
Kontribusi yang diberikan oleh Tjong Yong Hian terhadap Medan, Penang dan China ternyata mendapat perhatian dan penghargaan dengan gelar dari Pemerintah Qing untuk kontribusi sosialnya di China. Ia juga mendapat kehormatan diterima dua kali di Beijing oleh Ratu Ci Xi dan Kaisar Guang Xu. Pada tahun 1904, atas kontribusinya terhadap pembangunan Medan Tjong Yong Hian diberikan penghargaan dengan menamai sebuah jalan yang ramai Jalan Tjong Yong Hian, kemudian berubah menjadi Jalan Bogor. Serangkaian dengan Hari Pahlawan tahun 2013, Jalan Bogor ditabalkan kembali menjadi Jalan Tjong Yong Hian oleh Pelaksana Tugas (Plt) Wali kota Medan Dzulmi Eldin.
Tjong Yong Hian memiliki banyak rumah di Medan dan juga beberapa rumah di kampung halamannya China. Alamatnya di China adalah: Guangdong City, Meizhou province, Meizhou state, South Songnan village. Ia dan isterinya (Nee Xu) mempunyai tiga anak laki-laki Pu Ching, Cen Ching dan Min Ching dan empat anak perempuan. Rumah keluarga Tjong di Medan terletak di Jalan Kesawan (sekarang Jalan A. Yani). Sementara di China, Tjong dan leluhurnya memiliki rumah di Meixian, China. Tjong Yong Hian meninggal dunia di usia 61 tahun (11 September 1911), ribuan pelayat dari segala suku dan kebangsaan. Tempat peristirahatan terakhir Tjong Yong Hian adalah di Taman Mao Rong sebuah taman miliknya di kawasan Jalan Kejaksaan Medan. Saat berada di Taman Tjong Yong Hian ini, luasnya tidak seperti aslinya lagi. Makam berwarna merah menyala Tjong Yong Hian dan isterinya menghadap ke kolam teratai. Taman ini tetap terjaga keberadaannya karena dirawat oleh cicit Tjong Yong Hian, Budihardjo Chandra (Chang Hung Kuin), generasi keempat, dan keluarganya.
Kematian
Setelah wafat pada 1911, putra tertuanya Chang Pu Ching beserta saudaranya melanjutkan kegiatan sosial ayahnya dengan membangun jembatan Tjong Yong Hian yang melintasi Sungai Babura (Jalan KH. Zainul Arifin). Kini jembatan itu diberi nama Jembatan Kebajikan dan telah dijadikan sebagai salah satu warisan sejarah dan budaya Kota Medan, serta mendapatkan penghargaan Unesco Award Of Merit Tahun 2003.
Adik Tjong Yong Hian, yaitu Tjong A Fie yang meninggal pada tahun 1921, membuat surat wasiat tentang harta warisannya yang tidak boleh dipindah-tangan maupun diperjual-belikan kepada pihak lain. Semua warisannya harus dikelola oleh yayasan Toen Moek Tong.
Sementara, sampai saat ini, belum diketahui dengan jelas bagaimana isi surat wasiat dari Tjong Yong Hian. Tetapi dari berbagai sumber, didapat kabar bahwa SURAT WASIAT Tjong Yong Hian dan anaknya Chang Pu Ching, saat ini berada di tangan satu penerusnya yaitu Budihardjo Chandra.
Keluarga Tjong Yong Hian
Tjong Yong Hian mendarat di Batavia pada tahun 1867 di saat Indonesia berada dalam masa penjajahan Belanda. Kepintaran Tjong Yong Hian dalam melihat kesempatan usaha sangat terpuji, berangkat dari seorang kuli toko, Tjong Yong Hian membaca kondisi keperluan masyarakat dan kebutuhan pengusaha pada saat itu. Tjong Yong Hian bergaul baik dengan otoritas Hindia Belanda dan juga menjaga hubungan yang baik dengan Raja Sultan Deli pada masa itu. Hubungan yang baik dengan para penguasa tersebut, membuat Perusahaan Tjong Yong Hian mengalami kemajuan yang sangat pesat.
Generasi kedua, Chang Pu Ching/Tjong Hau Lung, Chan Cen Ching/Tjong Hian Lung dan Chang Min Ching/Tjong Seng Lung, masih berada dalam lingkungan kondisi Indonesia dalam masa penjajahan Belanda. Kementerian perdagangan Kerajaan Qing, China mengangkat Chang Pu Ching sebagai inspektur untuk mengawasi proyek pembangunan jalan kereta api antara kota Chao Chow dan kota Chow Shan Tou, hal ini karena pemilik Perusahaan pembangunan kereta api sebelumnya adalah Tjong Yong Hian dan adiknya Tjong A Fie, sedangkan pada tahun 1904 anak-anak Tjong A Fie masih dalam masa pendidikan sekolah.
Tentang kemewahan kehidupan generasi penerus Tjong Yong Hian, tertulis dalam buku keponakan Tjong Yong Hian bahwa: “Kami menikmati mobil Fiat kuning pertama di Medan tahun 1920, suamiku membuka bank barunya Kong Siong Bank mengikuti jejak papa saya Tjong A Fie dengan Bank Delinya. Sesuai status barunya sebagai konsul China, sepupu saya Chang Pu Ching merombak rumah Tjong Yong Hian menjadi Konsulat China, disitu Chang Pu Ching tinggal dengan keluarganya menikmati kehormatan dari komunitasnya dan kekebalan hukum. Saudara Chang Pu Ching, Kung We, Kung Lip dan Kung Tat selalu menjelajahi jalanan kota dengan model mobil terbaru seperti Hudson dan Cadillac, dan istri-istri mereka berusaha pamer satu sama lain dengan busana mewah dan perhiasan mahal. Mereka seolah melupakan Perang Dunia Pertama yang baru terjadi, dan menyimpang dari kehidupan sebelumnya, mereka menjadi orang kaya baru. Mereka tidak bijaksana terhadap warisan orang tuanya yang bersusah payah dalam mendapatkan uang dan tidak menghormati warisannya. Mamanya istri Tjong Yong Hian dari desa, tante Hsi, seorang yang rajin dan hidup hemat sudah melihat kehidupan anaknya yang menjadi bahan kritikan masyarakat. Dan ketika buku ini terbit, semua kehidupan mewah itu sudah sirna” (Queeny Chang, 1981, hal 159)
Generasi ketiga pada masa itu menghadapi keadaan politik yang sedang rawan, dimana Indonesia pada saat itu sedang menanggung hutang luar negeri yang besar akibat dari kekosongan kas Negara karena baru merdeka, lalu pasca kemerdekaan. Kondisi politik yang kacau dan tidak stabil, membuat para keturunan generasi ketiga ini berhamburan menyelamatkan diri keluar negeri, ada yang ke China, Malaysia, Eropa dll. Hal ini membuat Perusahaan Keluarganya juga terlantar tanpa control dari pimpinannya.
Generasi keempat pada masanya juga berusaha memulai usaha baru seperti biro travel untuk penjualan tiket dan tour "Hari-Hari Travel" yang dibuka oleh generasi keempat Fadjar Pranoto.
Generasi keempat yang lain yaitu Budiharjo pada tahun 1972, membuka pabrik Industri Pembungkus Indonesia (IPI) berpatungan dengan saudara perempuannya yang saat ini menetap di Singapura dan bersama satu lagi teman baiknya William Tiopan. Usaha IPI dikembangkan lagi Budiharjo membuka sebuah pabrik kertas untuk mensupply bahan baku kertas ke IPI, yaitu PT. Evergreen International Paper. Usaha Budiharjo juga dikembangkan oleh anak Budiharjo ke sektor sawit dan pembangunan perumahan serta pembangunan pergudangan, dan juga pabrik minyak kelapa sawit (PKS).
Pembongkaran rumah besar Tjong Yong Hian yang didirikan dari hasil jerih payah Tjong Yong Hian, bukti hasil jerih payahnya sirna seketika atas keputusan generasi penerus kedua yang membongkar dan membangun menjadi ruko-ruko, membuat kesedihan besar bagi sebagian keturunannya, pada awal tahun 1963.
Galeri
Daftar Pustaka
Chang, Queeny. 1981. Kisah Nyata Queeny Chang. Putri Orang Terkaya Indonesia Asal Medan.
Nyauw Kam,Chun . 2011.Warisan Seorang Pemimpin Sejati Tjong Yong Hian.Medan. Intan Printing.
Hasil wawancara langsung dengan generasi penerus Tjong Yong Hian
Setiono, Benny G, 2008, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, Jakarta, Gudang Penerbit.
Jakarta: [Pusat Penelitian Politik], Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI): LIPI Press, 2007
Medan, Budihardjo Chandra, 2010, Warisan Seorang Pemimpin Sejati
Pin Pin. 2020. Peranan Keluarga Tjong Yong Hian terhadap Pembangunan Indonesia. Batu.Literasi Nusantara. ISBN : 978-623-329-003-6