Tenaga nuklir adalah penggunaan terkendali reaksi nuklir guna menghasilkan energi panas, yang digunakan untuk pembangkit listrik. Penggunaan Tenaga nuklir guna kepentingan manusia saat ini masih terbatas pada reaksi fisi nuklir dan peluruhan radioaktif.
Para peneliti sedang melakukan percobaan fusi nuklir untuk menghasilkan energi. Energi panas dari fusi nuklir jauh lebih banyak dari fisi nuklir, tetapi sampai saat ini belum dapat ditemukan wadah atau tempat sebagai reaktornya. Semua jenis batu kawah gunung meleleh jika dipakai fusi, jadi sampai saat ini fusi nuklir belum dapat digunakan untuk menghasilkan energi listrik.
Tenaga nuklir menyumbangkan sekitar 6% dari seluruh kebutuhan energi dunia, dan 13-14% kebutuhan listrik di dunia. Gabungan energi nuklir di Amerika Serikat, Prancis, dan Jepang menyumbang 50% dari seluruh pembangkit listrik nuklir yang ada.[1]
Penggunaan energi nuklir sampai saat ini masih kontroversial dan banyak memunculkan perdebatan.[2][3][4] Para pendukungnya, seperti Asosiasi Nuklir Dunia dan IAEA, mengatakan bahwa energi nuklir adalah salah satu sumber energi yang dapat mengurangi emisi karbon.[5]Yang menolak, seperti Greenpeace dan NIRS, mempercayai bahwa nuklir akan membahayakan manusia dan lingkungan.[6][7][8]
Sampai tahun 2005, pembangkit listrik nuklir menyediakan 6.3% dari jumlah energi dunia, dan 15% dari listrik terpasang dunia. Negara-negara seperti Amerika Serikat, Prancis, dan Jepang menyumbang 56.5% dari seluruh energi nuklir dunia.[1] Tahun 2007, IAEA melaporkan ada 439 reaktor nuklir yang dioperasikan[13] di 31 negara di dunia.[14] Pada bulan Desember 2009, jumlahnya turun menjadi 436 reaktor.[15] Sejak energi nuklir komersial mulai digunakan tahun 1950an, tahun 2008 adalah tahun pertama dimana tidak ada satu pun reaktor nuklir yang dibangun, meskipun tahun berikutnya ada 2 reaktor baru lagi yang dibangun.[15][16]
Penggunaan energi nuklir belakangan ini sedikit menurun sejak tahun 2007, turun 1.8% pada tahun 2009 menjadi 2558 TWh dengan menyumbang 13–14% kebutuhan listrik dunia.[17] Salah satu faktor penyebabnya adalah karena penutupan reaktor besar di Jepang di Pembangkit listrik nuklir Kashiwazaki-Kariwa karena adanya Gempa Chūetsu 2007.[17]
Amerika Serikat memproduksi paling banyak energi nuklir, dengan 19% dari konsumsi listrik mereka diambil dari nuklir.[18] Sedangkan Prancis adalah negara pengguna nuklir dengan persentase terbesar- negara ini mengandalkan 80% kebutuhan listriknya pada tahun 2006 dari nuklir.[19] Di Uni Eropa secara keseluruhan, energi nuklir menyediakan 30% kebutuhan listrik di kawasan itu.[20]Peraturan energi nuklir di setiap negara Uni Eropa berbeda-beda. Contohnya, ada beberapa negara Uni Eropa seperti Austria, Estonia, Irlandia dan Italia, tidak mempunyai reaktor nuklir aktif. Di sisi lain, Prancis memiliki pembangkit nuklir dalam jumlah besar, ada 16 pembangkit nuklir multi-unit yang sekarang digunakan.
Reaksi fusi nuklir mempunyai potensi karena diyakini lebih aman dan mengeluarkan sifat radioaktif lebih kecil daripada fisi nuklir.[21][22] Meski begitu, secara teknik masih susah untuk direalisasikan, dan masih butuh pengembangan lagi sehingga skala penggunaannya bisa cocok untuk sebuah pembangkit listrik. Penelitian terhadap digunakannya fusi nuklir sudah dilakukan sejak tahun 1950-an.
Penggunaan energi nuklir sebagai membangkitkan listrik dimulai pada awal abad ke-20, ketika elemen-elemen radioaktif seperti radium, dapat menghasilkan energi yang sangat besar, sesuai dengan prinsip E=mc². Penggunaan energi nuklir saat itu masih sulit untuk dilakukan karena elemen radiokatifnya mempunyai paruh waktu yang pendek. Situasi ini mulai agak berubah pada tahun 1930-an dengan adanya penemuan fisi nuklir.
Tahun 1932, James Chadwick menemukan neutron, yang kemudian dengan cepat menjadi alat yang potensial untuk eksperimen nuklir karena tidak adanya muatan listrik. Eksperimen dengan neutron membuat Frédéric dan Irène Joliot-Curie menemukan radioaktivitas induksi tahun 1934, yang bisa membuat elemen "seperti radium" yang harganya lebih murah daripada radium asli. Selanjutnya pada tahun 1930-an Enrico Fermi berfokus untuk menyempurnakan keefektifan dari radioaktivitas induksi ini. Percobaan yang terus ia lakukan membuatnya menemukan satu elemen baru yang dinamakan hesperium.
Pada tahun 1938, seorang ahli kimia asal Jerman Otto Hahn[23] and Fritz Strassmann, bersama dengan fisikawan asal Austria Lise Meitner[24] dan keponakan Meitner, Otto Robert Frisch,[25] melakukan eksperimen dengan hasil dari uranium-dengan-neutron, untuk meneliti lebih lanjut klaim Fermi. Mereka menemukan bahwa neutron tersebut dapat membelah nukleus atom uranium menjadi 2 bagian sama persis, kebalikan dari Fermi. Hasilnya adalah seseatu yang sangat mengejutkan: semua bentuk peluruhan nuklir hanya berakibat kecil bagi massa dari nuklues, dimana proses ini kemudian dinamakan sebagai fisi. Para peneliti selanjutnya, termasuk Leó Szilárd, kemudian ia mengetahui, jika reaksi fisi melepaskan neutron tambahan, sebuah reaksi rantai nuklir yang stabil bisa dihasilkan. Setelah hasil percobaan ini diumumkan oleh Frédéric Joliot-Curie tahun 1939, para peneliti dari banyak negara (termasuk Amerika Serikat, Britania Raya, Prancis, Jerman, dan Uni Soviet) memberikan petisi pada pemerintah mereka masing-masing untuk mendukung penelitian nuklir fisi, tepat saat jatuhnya Perang Dunia II.
Pasca Perang Dunia II, kemungkinan digunakannya energi atom untuk penggunaan sehari-hari, tidak untuk perang, diusahakan secara meluas sehingga digunakan sebagai alasan agar semua penelitian nuklir tidak mesti diawasi oleh sebuah lembaga militer. Meski begitu, para peneliti tetap setuju kalau seorang sipil yang belajar nuklir membutuhkan sedikitnya satu dekade untuk dapat menguasai nuklir. Fakta lainnya adalah reaktor nuklir juga dapat digunakan untuk memproduksi senjata nuklir (plutonium) yang membuat pemerintahan di berbagai negara (termasuk Amerika Serikat, Britania Raya, Kanada, dan Uni Soviet) mencoba menerapkan aturan agar semua percobaan nuklir berada di bawah kontrol dan klasifikasi pemerintah. Di Amerika Serikat, penelitian reaktor berada di bawah Komisi Energi Atom Amerika Serikat, yang berlokasi di Oak Ridge, Tennessee, Situs Hanford, dan Laboratorium Nasional Argonne.
Pekerjaan mengenai nuklir terus berlanjut di Amerika Serikat, Kanada, Inggris, dan Uni Soviet di akhir 1940-an dan awal 1950-an. Listrik pertama yang dihasilkan oleh reaktor nuklir untuk pertama kali terjadi pada tanggal 20 Desember 1950 di stasiun percobaan EBR-I dekat Arco, Idaho, dan berhasil memproduksi listrik sekitar 100 kW. Nuklir juga digunakan pada kapal selam Amerika Serikat, seperti pada kapal selam USS Nautilus milik AS yang diluncurkan tahun 1955. Tahun 1953, Presiden Amerika Dwight Eisenhower memberikan pidatonya yang berjudul "Atom untuk Perdamaian" di Perserikatan Bangsa-Bangsa, ia menginginkan agar pengembangan energi nuklir untuk tujuan "damai" dapat terealisasi dengan cepat.
Pada tahun 1954, Lewis Strauss, Direktur dari Komisi Energi Atom Amerika Serikat mengatakan bahwa produksi listrik pada masa depan "bisa sangat murah".[28] Strauss merujuk pada fusi hidrogen[29][30]—yang pada waktu itu secara rahasia dikembangkan menjadi bagian dari Proyek Sherwood—tapi perkataan dari Strauss diterjemahkan sebagai suatu janji bahwa fisi nuklir akan menjadi sumber energi yang sangat murah.
Di acara Konferensi Pertama Jenewa Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1955, para insiyur dan peneliti bertemu untuk menyelidiki lebih lanjut teknologi nuklir ini. Tahun 1957 EURATOM diluncurkan di Komunitas Ekonomi Eropa (nantinya dikenal sebagai Uni Eropa). Pada tahun yang sama, Badan Energi Atom Internasional (IAEA) didirikan.
Pembangkit listrik tenaga nuklir komersial pertama di dunia, Calder Hall di Sellafield, Inggris, dibuka pada tahun 1956 dan menghasilkan listrik 50 MW (nantinya 200 MW).[31][32] Sedangkan generator nuklir komersial pertama di dunia yang dioperasikan adalah Reaktor Shippingport, Pennsylvania, Amerika Serikat, dibuka Desember 1957.
Organisasi pertama di dunia yang mengembangkan energi nuklir adalah Angkatan Laut Amerika Serikat. Mereka menggunakan nuklir untuk menggerakkan kapal selam dan kapal induk. Kapal selam pertama bertenaga nuklir, USS Nautilus (SSN-571), diluncurkan pertama kali bulan Desember 1954.[33] Beberapa kecelakaan nuklir telah dialami oleh beberapa kapal selam ini.[9][11]Kapal selam Soviet K-19 mengalami kecelakaan reaktor tahun 1961 dan menyebabkan 8 kematian dan 30 orang lainnya terkena papara radiasi tinggi.[10]Kapal selam Soviet K-27 juga mengalami kecelakaan reaktor tahun 1968 dan menyebabkan 9 kematian dan 83 lainnya terluka.[11]
U.S. Army juga memulai program nuklir sejak tahun 1954. Pembangkit nuklir nuklir SM-1 di Fort Belvoir, Virginia, adalah reaktor pertama di AS yang menyuplai listrik di Amerika mulai bulan April 1957, sebelum Shippingport. SL-1 adalah percobaan reaktor nuklir Angkatan Darat AS di Laboratorium Nasional Idaho di Utara Idaho. Pembangkit nuklir ini akhirnya meledak dan mengalami kecelakaan nuklir bulan Januari 1961, yang membunuh 3 operatornya.[34]
Perkembangan selanjutnya
Pemasangan energi nuklir untuk elektrifikasi tumbuh sangat cepat, dari sebelumnya kurang dari 1 gigawatt (GW) pada tahun 1960 menjadi 100 GW di akhir 1970-an, dan 300 GW di akhir 1980-an. Sejak akhir 1980-an pertumbuhannya mulai melambat sampai akhirnya mencapai 366 GW tahun 2005. Lebih dari dua pertiga pembangkit nuklir yang direncanakan akan dibangun, akhirnya dibatalkan setelah awal tahun 1970.[33] Total ada 63 pembangkit yang dibatalkan di AS antara tahun 1975 dan 1980.[35]
Selama tahun 1970-an dan 1980-an, biaya ekonomi naik (ditandai dengan banyaknya pembangunan baru)[36] dan harga minyak mentah yang turun drastis membuat pembangkit nuklir tidak lagi menarik. Pertumbuhan energi listrik yang melambat dan adanya liberalisasi listrik juga menyebabkan kurangnya minat untuk membangun pembangkit baru.
Krisis minyak 1973 menyebabkan efek yang sangat drastis di beberapa negara, seperti Prancis dan Jepang, karena mereka mengandalkan minyak bumi sangat besar sebagai sumber bahan bakar pembangkit mereka (Prancis 39% dari total kebutuhan[37]
Artikel dengan pernyataan yang tidak disertai rujukan[dibutuhkan verifikasi sumber] dan Jepang 73% dari total kebutuhan) sehingga mereka berinvestasi besar-besaran di nuklir.[38] Saat ini, Prancis mengandalkan 80% kebutuhan listriknya dari nuklir dan Jepang mengandalkan 30% kebutuhan listriknya dari nuklir.
Beberapa oposisi lokal yang menolak energi nuklir mulai merebak di awal 1960-an,[39] dan di akhir 1960-an beberapa anggota komunitas peneliti mulai memberikan perhatian mereka.[40] Perhatian mereka mengarah ke kecelakaan nuklir, proliferasi nuklir, mahalnya pembangunan pembangkit nuklir, terorisme nuklir, dan limbah radioaktif.[41] Awal tahun 1970-an, ada protes besar tentang pembangkit nuklir yang akan dibangun di Wyhl, Jerman. Akhirnya proyek ini dibatalkan tahun 1975, dan aksi protes anti-nuklir di Wyhl ini menginspirasi banyak pihak oposisi lainnya di Eropa dan Amerika Utara.[42][43]
Di pertengahan 1970-an, aktivitas anti nuklir menjadi daya tarik bagi para politisi lokal untuk mendapatkan simpati luas dai masyarakat, sehingga energi nuklir menjadi isu protes utama di kalangan publik.[44][45] Di beberapa negara, debat energi nuklir ini "telah mencapai puncak intensitas dari semua kontroversi sepanjang sejarah teknologi."[46] Di Prancis, antara tahun 1975 dan 1977, ada 175.000 orang dalam 10 kali demontrasi menolak adanya energi nuklir.[47]
Di Jerman Barat, antara Februari 1975 dan April 1979, ada 280.000 orang dalam 7 demonstrasi berorasi di 7 lokasi nuklir. Beberapa lokasi itu juga dicoba untuk diduduki oleh mereka. Setelah adanya musibah Three Mile Island tahun 1979, 120.000 orang melakukan demonstrasi menolak energi nuklir di Bonn.[47] Bulan Mei 1979, ada sekitar 70.000 orang, termasuk Gubernur California Jerry Brown, melakukan pawai menolak nuklir di Washington, D.C.[48] Grup anti nuklir lainnya kemudian tumbuh di setiap negara yang memiliki energi nuklir. Di beberapa negara, para pemrotes ini juga memasang iklan-iklan mengenai isu nuklir dan energi.[49]
Tumbuhnya kesadaran mengenai keselamatan dan kesehatan, ditambah musibah nuklir di Three Mile Island tahun 1979 dan Bencana Chernobyl tahun 1986, memainkan peran penting dalam penyetopan pembangunan pembangkit listrik nuklir baru di banyak negara.[50][51]
Tidak seperti insiden Three Mile Island, bencana di Chernobyl yang lebih besar pada tahun 1986 tidak membawa banyak pengaruh bagi perubahan regulasi di negara-negara barat. Hal ini terjadi karena insiden di Chernobyl menggunakan reaktor yang memang hanya didesain di Uni Soviet, yang pada dasarnya memiliki banyak masalah.[52] Sampai sekarang, masih banyak reaktor zaman Uni Soviet yang masih dipakai, hanya saja dengan banyak perubahan, misalnya dengan menggunakan uranium yang diperkaya lebih rendah, dan kontrol yang lebih ketat untuk menghindari adanya kecelakaan lain.
Sebuah organisasi internasional, Asosiasi Dunia untuk Operator Nuklir, didirikan tahun 1989 untuk meningkatkan keselamatan dan pengembangan profesional bagi fasilitas nuklir.
Seperti pembangkit listrik thermal lain pada umumnya, pembangkit listrik tenaga nuklir juga menggunakan uap yang dihasilkan reaksi fisi nuklir untuk menggerakkan turbin generator.
Ketika sebuah nukleus atom uranium-235 atau plutonium-239 menyerap neutron dalam jumlah besar, maka hasilnya adalah fisi dari atom. Fisi menyebabkan atom terbelah menjadi 2 bagian atau lebih yang lebih kecil dengan energi kinetik dan juga melepaskan radiasi sinar gamma dan neutron bebas.[53] Sebagian neutron lainnya diserap oleh atom lainnya dan membuat fisi lainnya, yang melepaskan lebih banyak neutron, dan seterusnya.[54]
Reaksi rantai nuklir ini dapat dikontrol dengan menggunakan racun neutron dan moderator neutron, sehingga neutron yang bisa menyebabkan fisi ini jumlahnya bisa diubah-ubah.[54] Reaktor nuklir memiliki sistem manual dan otomotis yang dapat menghentikan reaksi fisi dengan segera jika terdeteksi adanya kondisi yang tidak aman.[55]
Ada banyak macam desain reaktor yang berbeda, menggunakan bahan bakar yang berbeda, sistem pendinginan yang berbeda designs, serta sistem kontrol yang berbeda pula, semuanya diatur sesuai dengan kebutuhan spesifik. Reaktor-reaktor di kapal selam bertenaga nuklir misalnya, membutuhkan uranium yang diperkaya dengan tinggi sebagai bahan bakar. Pemilihan bahan bakar ini dapat meningkatkan kekuatan reaktor dan memperpanjang usia pemakaian, tetapi biayanya lebih mahal dan kemungkinan adanya kebocoran nuklir juga lebih tinggi.[56]
Desain-desain terbaru untuk pembangkit nuklir, seperti contohnya Reaktor Generasi 4, sekarang terus menjadi subjek penelitian, dan mungkin akan betul-betul digunakan pada masa depan. Desain-desain ini terus diusahakan agar membuat reaksi fisi nuklir semakin bersih, aman, dan semakin kecil kemungkinan munculnya kebocoran nuklir, atau malah dikembangkan ke senjata nuklir. Keamanan pasif untuk reaktor nuklir (seperti ESBWR) sudah siap untuk dibuat.[57] Desain-desain reaktor ini juga dibuat agar semakin tahan terhadap kesalahan-kesalahan pengoperasian yang dilakukan manusia.[58] Sekarang ini para ilmuwan berusaha untuk mengembangkan reaktor fusi, yang nantinya diharapkan dapat mengurangi atau malah menghilangkan bahaya dari reaktor fusi sekarang ini. Reaktor fusi ini mungkin akan beroperasi pada masa depan.[59]
Sistem pendingin
Sistem pendingin akan mengeluarkan panas dari inti reaktor dan memindahkannya ke tempat lain, dimana panasnya ini dapat digunakan lagi untuk memproduksi listrik. Biasanya, cairan panas ini akan digunakan sebagai sumber panas untuk pendidih, dan panas bertekanan dari pendidih dapat digunakan untuk memberi tenaga pada turbin uap untuk menggerakkan generator elektrik.[60]
Fleksibilitas dari pembangkit listrik tenaga nuklir
Sering disebutkan bahwa pembangkit nuklir tidak fleksibel, dibutuhkan sumber tenaga lain untuk memenuhi kebutuhan pada saat beban puncak. Saat ini, reaktor-reaktor modern sudah dapat mengatasi masalah tersebut.[61]
Pembangkit nuklir yang ada di Prancis dapat dioperasikan di beberapa mode.[62] Unit A di Pembangkit listrik nuklir Biblis di Jerman didesain agar dapat meningkatkan atau mengurangi keluaran listriknya sebesar 15 % per menit, dengan besarannya berkisar antara 40-100% dari keluaran aslinya.[63]
Reaktor uap air (Boiling water reactors) dapat diubah-ubah sesuai tingkat kebutuhan, dengan cara memvariasikan aliran air.
Sebuah reaktor nuklir hanya merupakan bagian dari siklus-hidup untuk energi nuklir. Proses awalnya sendiri dimulai dari penambangan. Penambangan uranium biasanya dilakukan secara terbuka. Di kasus lain, logam uranium ini akan diekstrak dan diubah menjadi logam stabil dengan bentuk kompak bernama yellowcake, kemudian setelah itu diantar menuju tempat pemrosesan. Di tempat pemrosesan, yellowcake diubah menjadi uranium heksafluorida, dan kemudian akan diperkaya dengan beberapa macam teknik. Uranium yang diperkaya ini (biasanya mengandung lebih dari 0.7% U-235) kemudian dijadikan bahan bakar sesuai dengan kebutuhan reaktor tersebut. Bahan bakar nuklir ini akan mengalami 3 siklus operasi di dalam reaktor (kira-kira butuh waktu 6 tahun), secara umum sampai 3% dari uraniumnya sudah difisi. Setelah itu, sisanya akan diletakkan ke kolam pembuangan nuklir. Setelah 5 tahun berada di kolam pembuangan nuklir, sisa nuklir tadi sudah bisa dikendalikan lagi dan bisa dipindahkan lagi ke tempat penyimpanan kering atau diproses ulang.
Uranium merupakan elemen kimia yang cukup banyak ditemukan di kerak bumi. Cadangan uranium kira-kira sama banyaknya dengan cadangan timah dan germanium, dan masih 40 kali lebih banyak daripada cadangan perak.[64] Uranium merupakan komponen yang terdapat di kebanyakan bebatuan, tanah, dan air laut. Masalahnya adalah uranium ini begitu tersebar sehingga hanya penambangan uraniumlah yang bernilai ekonomis karena tersedia dalam konsentrasi yang besar. Sekarang ini harga pasaran uranium di dunia adalah sekitar 130 dolar AS per kilogram (Rp 1,12 juta, kurs Rp8600,00) dan cadangan yang ada setidaknya masih cukup untuk kebutuhan satu abad ke depan (sesuai dengan pemakaian saat ini)[65][66] Tingginya persediaan nuklir ini menunjukkan bahwa sumber bahan bakar ini masih terjamin.
Harga yang mahal dari sebuah pembangkit listrik nuklir adalah membangun pembangkitnya. Pengaruh harga bahan bakarnya sendiri terhadap biaya produksi listriknya sebenarnya kecil, jadi jikalaupun terjadi kenaikan harga bahan bakar, pengaruhnya tidak besar. Contohnya, saat harga uranium menjadi 2 kali lipat dari harga semula, maka ongkos bahan bakar untuk reaktornya naik 26% dan biaya produksi listrik akan naik 7% saja. Sedangkan, bila harga gas naik 2 kali lipat dari harga semula, maka biaya produksi listrik dari gas akan naik 70%. Bahkan, saat harganya memang benar-benar tinggi, ekstraksi dari sumber lain seperti granit dan air laut dapat menjadi bernilai ekonomis.[67][68]
Reaktor air ringan (light water reactor) yang sekarang ini digunakan masih relatif tidak efisien dalam penggunaan bahan bakar nuklir, reaktor ini hanya mem-fisikan isotop uranium-235 yang sangat jarang. Dalam proses ulang nuklir, sisa bahan bakar dari reaktor ini dapat membuat sisa ini menjadi dapat digunakan kembali. Sekarang ini, reaktor didesain agar semakin efisien dalam pemakaian bahan bakar.[69]
Lawan dari reaktor air ringan (light water reactor), yang menggunakan uranium-235 (0.7% dari uranium asli), adalah sebuah reaktor peranakan cepat yang dapat menggunakan uranium-238 (99.3% dari uranium asli). Telah diestimasikan bahwa penggunaan uranium-238 dapat bernilai hingga kira-kira 5 miliar tahun.[70]
Teknologi peranakan telah digunakan di beberapa reaktor, tetapi karena biaya pengolahan kembali bahan bakar yang tinggi membutuhkan harga uranium lebih dari 200 dolar AS per kg untuk mencapai titik ekonomis.[71] Sampai bulan Desember 2005, satu-satunya reaktor peranakan yang dibuat adalah BN-600 di Beloyarsk, Rusia. Reaktor ini dapat menghasilkan listrik sampai 600 MW dan Rusia berencana untuk membangun unit yang lain, BN-800, di tempat itu juga. Di Jepang, mereka berencana untuk mengaktifkan kembali reaktor Monju yang sebelumnya sudah dimatikan sejak tahun 1995. China dan India juga berencana untuk membangun reaktor jenis ini.
Alternatif lainnya adalah uranium-233 yang dikembangbiakkan dari thorium sebagai bahan bakar fisi di siklus bahan bakar thorium. Cadangan Thorium sekitar 3,5 kali lebih banyak daripada cadangan uranium di kerak bumi. Persediaan yang banyak ini menjadikan sumber bahan bakar yang bisa digunakan untuk fisi meningkat sampai 450%.[72] Tidak seperti peranakan U-238 menjadi plutonium, reaktor peranakan cepat tidak diperlukan disini. India tertarik untuk menggunakan teknologi ini, dikarenakan persediaan thorium mereka yang berlimpah tetapi terabaikan, ditambag lagi negara itu hanya memiliki sedikit uranium.
Fusi
Energi fusi mengutamakan penggunaan dari deuterium, atau tritium, dua-duanya isotop dari hidrogen, sebagai bahan bakar. Bisa juga menggunakan litium dan boron di desain-desain belakangan ini. Jika diasumsikan keluaran listrik energi fusi sama dengan keluaran listrik global sekarang ini (dan tidak bertambah), maka cadangan litium yang sekarang ini cukup sampai 3000 tahun ke depan, cadangan litium dari air laut cukup sampai 60 juta tahun. Untuk proses fusi yang lebih rumit lagi menggunakan deuterium dari air laut yang cadangan mungkin cukup untuk 150 miliar tahun lagi.[73] Meskipun proses fusi ini masih butuh untuk diteliti lebih lanjut, banyak para ahli percaya kalau fusi ini dapat menjadi sumber energi pada masa depan. Keuntungan dari fusi ini di antaranya tingkat radioaktivitas yang singkat pada limbahnya, emisi karbonnya yang rendah, dan keluaran tenaganya yang menjanjikan.
Sampah utama yang dihasilkan oleh pembangkit listrik tenaga nuklir adalah bahan bakar nuklir terpakai. Bahan ini terutama terdiri dari uranium tak terubah dan juga aktinida transuranik, seperti plutonium dan curium. Sekitar 3% dari sisa bahan tadi merupakan hasil dari reaksi fisi nuklir. Aktinidanya (uranium, plutonium, dan curium) berpengaruh pada radioaktivitas jangka panjang, sedangkan hasil reaksi fisi berpengaruh pada radioaktivitas jangka pendek.[74]
Sekitar 5% dari bahan bakar nuklir direaksikan di dalam reaktor nuklir sampai bahan bakar tersebut tidak dapat digunakan lagi. Sekarang ini, para peneliti sedang melakukan percobaan bagaimana untuk mendaur ulang bahan bakar ini sehingga bisa mengurangi banyaknya limbah, dan juga menggunakan aktinida yang tersisa sebagai bahan bakar lagi (pemrosesan ulang ini telah dilakukan di beberapa negara).
Sebuah reaktor nuklir berkapasitas 1000-MWe akan menghasilkan sekitar 27 ton bahan bakar nuklir terpakai setiap tahunnya. Tapi, volume padatnya sendiri hanya sekitar 3 meter kubik jika diproses ulang.[75][76] Bahan bakar nuklir terpakai yang sekarang dihasilkan oleh semua pembangkit nuklir komersial di Amerika Serikat dapat menutupi sebuah lapangan sepak bola setinggi satu meter.[77]
Bahan bakar nuklir terpakai pada dasarnya bersifat sangat radioaktif dan harus ditangani secara matang. Tingkat radioaktif bahan-bahan ini akan berkurang secara bertahap seiring berjalannya waktu. Setelah 40 tahun, pancaran radioaktifnya 99.9% lebih rendah daripada saat bahan itu baru saja selesai digunakan. Tapi, sisa 0,1% radioaktif ini masih berbahaya.[69] Setelah 10.000 tahun meluruh, barulah sisa bahan bakar nuklir ini tidak lagi berbahaya bagi kesehatan dan keamanan.
Ketika pertama kali diekstrak, bahan bakar nuklir terpakai disimpan di baskom terlindung yang terisi air, biasanya terletak secara on-site. Air tersebut digunakan untuk mendinginkan hasil reaksi fisi tersebut, dan melindungi dari proses radioaktif yang terus berjalan. Setelah beberapa tahun (biasanya 5 tahun untuk reaktor di AS), sisa bahan nuklir tadi telah mengalami pendinginan dan tingkat radioaktivitasnya sudah rendah, maka dipindahkan lagi ke tempat penyimpanan kering, dimana bahan bakar tadi disimpan di ruangan berdinding baja dan bata.
Sampai tahun 2007, Amerika Serikat sudah mengumpulkan lebih dari 50.000 metrik ton bahan bakar nuklir terpakai dari reaktor-reaktor nuklir mereka[78] Tempat penyimpanan permanen sebenarnya sudah direncanakan di daerah Gunung Yucca, tetapi sampai saat ini proyeknya dibatalkan dan masalah limbah radioaktif ini masih menjadi masalah yang tidak terselesaikan.[79]
Jumlah limbah tingkat tinggi yang banyak ini dapat dikurangi dengan proses ulang nuklir. Meski begitu, sifat radioaktifnya masih akan bertahan selama paling tidak 300 tahun (kalau aktinidanya dihilangkan) dan bisa memakan ribuan tahun kalau aktinidanya tidak dihilangkan. Masalah ini menjadi masalah dengan jangka waktu yang lama. Jika menggunakan Reaktor subcritical atau reaktor fusi, maka dapat mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk menyimpan limbahnya.[80]
Menurut cerita penayangan 60 Minutes pada tahun 2007, energi nuklir membuat Prancis menjadi negara yang udaranya paling bersih di antara semua negara industri lainnya, dan juga biaya listriknya paling murah di antara semua negara Eropa.[81] Prancis memproses ulang limbah nuklir sehingga massanya berkurang dan bisa memproduksi energi lagi.[82] Meski begitu, artikel itu juga mengatakan bahwa, "Hari ini kita menyimpan berkontainer-kontainer limbah karena para peneliti yang sekarang tidak tahu bagaimana cara mengurangi atau menghilangkan tingkat beracunnya. Tapi mungkin 100 tahun lagi para peneliti itu akan bisa... Limbah nuklir sampai saat ini menjadi problem serius sehingga sampai saat ini belum ada negara yang bisa menemukan jalan keluarnya. Jika Prancis tidak tahu cara menyelesaikan masalah ini, kata Mandil, maka "aku tidak bisa melihat bagaimana kita akan melanjutkan program nuklir ini.'" [82] Tambah lagi, pemrosesan ulang nuklir ini juga dikritik oleh Union of Concerned Scientists.[83]
Industri nuklir juga menghasilkan limbah radioaktif tingkat rendah dalam jumlah yang besar. Biasanya limbah ini berbentuk barang biasa yang terkontaminasi, misalnya pada baju, alat-alat, resin water purifier, dan juga material-material yang digunakan untuk membangun gedung reaktor. Di Amerika Serikat, Komisi Pelaksana Nuklir telah berulangkali mencoba agar limbah nuklir tingkat rendah ini dapat diperlakukan seperti sampah biasa: ditimbun, didaur ulang kembali, dll. Kebanyakan limbah radioaktif tingkat rendah hanya mengeluarkan radioaktif dalam jumlah yang sangat kecil, limbah ini menjadi radioaktif biasanya dikarenakan dari penggunaan sebelumnya.[84]
Membandingkan limbah radioaktif dengan limbah industri
Di negara-negara dengan energi nuklir, limbah radioaktif hanya menyumbang kurang dari 1% dari seluruh jumlah limbah industri. Secara keseluruhan, energi nuklir juga menghasilkan material limbah lebih sedikit daripada menggunakan energi fosil. Pembangkit listrik dengan batu bara tercatat menghasilkan racun dalam jumlah besar dan material radioaktif dalam jumlah kecil (karena mengandung logam), juga material radioaktif dari batu baranya sendiri.
Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Laboratorium Nasional Oak Ridge menyatakan bahwa energi dari batu bara sebenarnya menghasilkan radioaktif lebih banyak daripada nuklir. Dosis radiasi normal dari pembangkit batu bara juga 100 kali lebih besar daripada pembangkit nuklir.[85] Meski begitu, debu batu bara mengandung radioaktif yang jauh lebih kecil daripada limbah nuklir. Tapi, debu batu bara ini dilepas begitu saja ke udara, sedangkan limbah nuklir akan dibangunkan sebuah tempat khusus sehingga melindungi lingkungan dari bahaya radioaktif.[86]
Pemrosesan ulang dapat dapat mendaur ulang nuklir sampai 95% dari jumlah uranium dan plutonium di bahan bakar nuklir terpakai, dengan mencampurkannya di bahan bakar oksida campuran. Hal ini akan mengurangi lamanya sifat radioaktif dari limbah yang dihasilkan. Selain itu, akan mengurangi volume limbah sampai 90%. Pemrosesan ulang nuklir dari reaktor-reaktor nuklir ini sudah dilakukan di Inggris, Prancis, dan (dulunya) Rusia.
Dalam waktu dekat ini, China dan kemungkinan India juga akan melakuaknnya. Seluruh potensi pemrosesan ulang nuklir ini sebenarnya juga belum bisa dicapai, karena membutuhkan reaktor peranakan yang belum dapat tersedia secara komersial. Saat ini, Prancis dianggap sebagai negara yang paling sukses melakukan pemrosesan ulang nuklir, tetapi mereka pun baru dapat memroses 28% dari total bahan bakar nuklir yang dipakai tiap tahunnya.[87]
Pemrosesan ulang nuklir dilarang di Amerika Serikat.[88] Pemerintah Obama melarang hal ini karena takut adanya kemungkinan munculnya proliferasi nuklir.[89] Di Amerika Serikat, bahan bakar nuklir terpakai sekarang ini dianggap sebagai limbah nuklir.[90]
Pengayaan uranium akan menghasilkan berton-ton uranium terdeplesi (depleted uranium atau DU) yang terdiri dari isotop U-238, dan kebanyakan isotop U-235nya telah hilang. U-238 merupakan logam keras yang sering dipakai dalam penggunaan komersial, misalnya pada produksi pesawat terbang, pelindung radiasi, dan senjata (karena massa jenisnya lebih besar dari timbal). Penggunaan uranium terdeplesi untuk amunisi pun sampai saat ini masih menjadi kontroversi.[91][92]
Ekonomi yang dihasilkan dari sebuah pembangkit listrik tenaga nuklir sampai saat ini masih merupakan seseatu yang kontroversial. Pembangkit listrik tenaga nuklir membutuhkan biaya yang tinggi untuk membangun reaktornya, tetapi biaya bahan bakarnya rendah. Biaya ini juga mesti ditambah dengan biaya penutupan reaktor jika sudah tidak lagi digunakan serta biaya limbah radioaktif. Di sisi lain, adanya pemanasan global juga bisa memberikan manfaat ekonomi lebih bagi energi nuklir.
Pada tahun-tahun belakangan ini, permintaaan listrik agak menurun serta keadaan keuangan juga semakin sulit, sehingga proyek-proyek besar seperti reaktor nuklir pasti akan terkena dampaknya. Di Eropa Timur, proyek nuklir mengalami masalah keuangan, seperti di Belene (Bulgaria) dan reaktor tambahan di Cernavoda (Romania).[93] Selain itu, harga gas yang cukup murah menjadikan proyek nuklir ini menjadi hambatan bagi proyek nuklir.
Setelah adanya kecelakaan nuklir di reaktor Fukushima I di Jepang tahun 2011, ongkos untuk mengoperasikan reaktor baru kelihatannya akan semakin mahal dikarenakan adanya penambahan biaya untuk manajemen dan desain dasar.[94]
Sebuah bahaya nuklir dideklarasikan setelah munculnya tsunami dan kegagalan dari bencana nuklir Fukushima di Jepang. Hal ini merupakan pertama kalinya bencana nuklir dideklarasikan di Jepang. Sebanyak 140.000 penduduk dievakuasi dari jarak 20 km dari pembangkit nuklir.[96]
Beberapa negara, seperti Britania Raya, Prancis, dan beberapa negara lain menginstruksikan warganya untuk keluar dari Tokyo agar tidak terkontaminasi nuklir. Kecelakaan ini menyebabkan pemerintah Jepang ingin mengevaluasi ulang program nuklirnya. Sampai bulan April 2011, air masih dialirkan ke reaktor yang rusak untuk mendinginkan bahan nuklir yang meleleh.
John Price, mantan anggota Safety Policy Unit di Lembaga Nuklir Nasional Britania Raya, berkata bahwa masalah nuklir Fukushima di Jepang mungkin akan membutuhkan 100 tahun sampai pembangkit itu benar-benar aman.[97]
Insiden Pembangkit nuklir yang memakan biaya lebih dari 300 juta dolar AS, sampai 2009[98][99][100]
Sistem instumen mengalami malafungsi, sehingga pengoperasian ketiga reaktor di Browns Ferry - reaktor akhirnya dioperasikan kembali tahun 1991 untuk unit 2, 1995 untuk unit 3, dan 2007 untuk unit 1
Ledakan yao dan kebocoran menyebabkan 4.057 kematian (lihat Bencana Chernobyl) dan menyebabkan 300.000 orang dievakuasi di Belarusia, Rusia, dan Ukraina. Material radioaktif menyebar di seluruh Eropa.
Banyaknya teknologi dan material yang digunakan dalam program energi nuklir dapat menjadi dualisme, yaitu negara yang bersangkutan juga bisa membuat senjata nuklir kalau mereka mau. Ketika mereka memilih untuk melakukan program senjata nuklir, hal ini dapat berujung ke pembuatan bom nuklir. Hal ini juga yang sekarang menjadi perhatian di Iran[102]
Seluruh negara di dunia berusaha memperkecil adanya risiko menuju senjata nuklir, karena jika nuklir tidak dimanajemen dengan baik, masa depannya akan menjadi sangat berbahaya.[102]
Organisasi-organisasi yang mengurusi masalah nuklir
^Pfau, Richard (1984) No Sacrifice Too Great: The Life of Lewis L. Strauss University Press of Virginia, Charlottesville, Virginia, p. 187ISBN 978-0-8139-1038-3
^Sharon Beder, 'The Japanese Situation', English version of conclusion of Sharon Beder, "Power Play: The Fight to Control the World's Electricity", Soshisha, Japan, 2006.
^Lutz Mez, Mycle Schneider and Steve Thomas (Eds.) (2009). International Perspectives of Energy Policy and the Role of Nuclear Power, Multi-Science Publishing Co. Ltd, p. 279.
^Robert Gerwin: Kernkraft heute und morgen: Kernforschung und Kerntechnik als Chance unserer Zeit. (english Nuclear power today and tomorrow: Nuclear research as chance of our time) In: Bild d. Wissenschaft. Deutsche Verlags-Anstalt, 1971. ISBN 3-421-02262-3.
^Benjamin K. Sovacool. The costs of failure: A preliminary assessment of major energy accidents, 1907–2007, Energy Policy 36 (2008), pp. 1802-1820.
^Benjamin K. Sovacool. A Critical Evaluation of Nuclear Power and Renewable Electricity in Asia, Journal of Contemporary Asia, Vol. 40, No. 3, August 2010, pp. 369–400.
^Property damage costs include destruction of property, emergency response, environmental remediation, evacuation, lost product, fines, and court claims.