Peristiwa yang menimbulkan krisis di PLTN Pulau Three Mile itu termasuk beberapa kegagalan peralatan kecil, dan kesalahan operator.[1] Musibah Pulau Three Mile banyak dipandang sebagai kegagalan manajemen krisis:[2]
Operator reaktor tak dilatih untuk menangani keadaan bahaya, dan Nuclear Regulatory Commission (NRC) tak mengadakan komunikasi efektif dengan prasaranya. Apalagi, begitu bencana terjadi, jalur otoritas terbukti tak ditetapkan dengan baik. Khayalak menerima laporan yang saling bertentangan yang menyebabkan kepanikan dan evakuasi tak perlu. Kelemahan sistem pengaturan itulah yang menyebabkan orang membuat kesalahan.[2]
Sekitar separuh dari inti reaktor TMI-2 mencair, membebaskan banyak gashidrogen ke sistem pendingin reaktor dan ke bangunan pengurungan. Untunglah, kerusakan serius itu tak menimbulkan jatuhnya korban jiwa, sebagian besar karena rancangannya yang kuat. Pembersihan TMI-2 terjadi dalam 11 tahun dan menghabiskan biaya sebanyak US$1 miliar.[1]
Bencana Pulau Three Mile menimbulkan kritik meluas atas teknologi nuklir, industri nuklir, dan NRC. Kritik menuding performa industri dan NRC yang buruk sebelum dan setelah musibah. Perhatian internasional melipatgandakan penentuan, dan meningkatkan kredibilitas gerakan anti-nuklir. Reaksi publik atas kejadian itu kemungkinan dipengaruhi oleh peluncuran (12 hari sebelum bencana) film berjudul The China Syndrome, menggambarkan musibah di reaktor nuklir. Tak dapat disangkal, industri nuklir AS tak pernah pulih.[3] Hal itu diikuti dengan terhentinya pembangunan ladang nuklir baru di AS.