Tembawang (dalam daerah bekas perladangan disebut gupung)[1] merupakan suatu bentuk pengelolaan lahan dengan sistem wanatani asli dari masyarakat Suku Dayak dari pedalaman Kalimantan Barat yang dimiliki oleh komunitas adat. Tembawang biasa dibentuk setelah perladangan berpidah di mana sebelum lahan itu ditinggal biasanya ia ditanami pohon buah, penghasil kayu, getah, ataupun rempah-rempah sebagai tanaman obat. Selain ditanam, ada pula tembawang yang tumbuh sendiri secara alami. Selain pada kawasan-kawasan di atas selain perkebunan, dan pekarangan-pekarangan, ia dapat tumbuh pada bekas rumah panjang yang semula dihuni masyarakat adat Dayak.
Pada dasarnya, tembawang merupakan satu jenis daripada hutan adat yang tergolong sebagai wanatani kompleks yang dahulunya secara historis pernah dijadikan sebagai kawasan berladang dan pemukiman penduduk,[2] dengan unsur segolongan besar pepohonan, perdu, tanaman musiman, dan/atau rumput. Karena itulah, bisa disimpulkan bekas pemukiman yang ditinggalkan jadi hutan itu akhirnya malah kemudian ditumbuhi tanaman sembarang (biasanya pohon buah, bahan kerajinan, penghasil madu, dan lain-lain) serupa tengkawang, durian, cempedak, dan sebagainya akibat bijinya yang tidak sengaja tumbuh ataupun memang sengaja disebar.[4][5] Meskipun tembawang memang tumbuh dan terbentuk sendirinya, namun ada pula yang dari semula —mengikuti pola pemukiman dan perladangan masyarakat Dayak yang berpindah— menanami lokasi pemukiman itu dengan berbagai jenis tanaman yang dianggap sebagai sumber pangan, bumbu, dan buah-buahan. Ada pula tumbuhan yang muncul alami, seperti nyatoh (Palaquium sp.), tumbuhan liana/merambat, herba, bahkan sampai ke jenis-jenis anggrek.[6]
Tembawang dikelola mengikuti kearifan lokal setempat berikut aturan-aturan sosial setempat yang karenanya, dapat terbentuk keanekaragaman yang menyerupai ekosistem hutan alami.[6] Ia dapat dikelola dalam jumlah orang yang banyak. Ada tembawang umum yang biasanya dikelola oleh penduduk satu desa/lebih,[1] dan ada pula tembawang yang memang khusus dipelihara secara turun temurun diwariskan yang disebut pula dengan nama gupung. Ada pula gupung yang memang, dijadikan sebagai tempat keramat bagi masyarakat lokal dan suatu kebanggaan oleh garis keturunan tertentu.[1] Tembawang sendiri dapat dibagi jadi 4 golongan lagi, yakni tembawang umum seperti di atas, dikelola 1 desa ataupun lebih. Kemudian tembawang waris tua yang dikelola oleh 3-6 kelompok seketurunan. Lalu tembawang waris muda 1-2 generasi yang dimanfaatkan oleh keluarga besar, dan tembawang pribadi yang dimiliki perseorangan.[6]
Pengelolaannya yang dilakukan setiap perkerabatan akan dikenang sebagai anak cucu kerabat pemiliknya meskipun sudah pergi berpencar.[7] Dari sini, dapat diketahui silsilah keluarga turun-temurun, dan di saat musim buah, keluarga dapat akan kumpul bareng untuk makan buah bersama. Karenanya, ia berperan menyatukan keluarga.[2] Manakala ada yang menjual tembawang secara diam-diam, umpamanya pada korporasi sampai beralih fungsi jadi perkebunan, maka retaklah hubungan antar keluarga.[2]
Setiap generasi yang mewarisi tembawang akan menanaminya dengan tanaman baru. Terlebih ketika musim buah, biji buah-buahan akan ditabur di berbagai sudut hutan sehingga tanaman baru akan bermunculan.[2] Selain itu, bisa dikatakan pengelolaan tembawang sangat minimal. Ia tidak membutuhkan tenaga kerja dan modal yang besar. Begitu pula, tak diperlukan pembersihan gulma, pemupukan, apalagi pemberantasan hama penyakit.[6]
Peranan adat
Ada adat-adat yang berlaku dalam pengelolaan tembawang: di Sungai Mawang, sebuah desa di Kabupaten Kapuas Hulu misalnya, memakai peranan Patih, Kepala Dusun sebagai pelaksana hukum adat. Sanksi dan denda dilaksanakan oleh petinggi adat, perangkat desa dan penegak hukum.[8]
Di Desa Tae, Kabupaten Sanggau, ada satu ritual syukuran yang dinamai mpaya, yang dilaksanakan tiap tiba musim buah.[2] Desa yang juga diasuh oleh sistem ketemanggungan juga mengadakan satu upacara ritual adat dinamai nyamut muai. Tujuannya, agar para tamu yang berkunjung beroleh selamat dan dilindungi Yang Maha Kuasa.[9]
Di Desa Sidahari, Kabupaten Ketapang dikenal 3 upacara adat, yakni Pa alapan buah, upacara di musim berbunga dengan tujuan bunga dari pohon-pohon berbuah seperti langsat, duku, rambutan, dan lain-lain tetap terjaga bunganya sampai terbentuk buah yang baik.[11] Kedua, menjangkap, upacara menjelang pemanenan buah durian sebagai rasa syukur durian akan panen dengan ketentuan para pewaris tembawang tidak memungut buahnya di malam hari.[11] Ketiga, senggayong, dilaksanakan ketika pemanenan/pemungutan buah berakhir.[11]
Kekayaan dan potensi
Bagi masyarakat Dayak Iban misalnya, tembawang punya fungsi sosial budaya, religius magis, ekonomi, dan ekologi. Sebagai contoh, pada tembawang kadang didapati makam leluhur sebagai penghormatan kepada arwah nenek moyang. Masyarakat setempat memercayai, jika tembawang diganggu atau dialihfungsi, akan terjadi malapetaka.[12]
Tembawang juga menyimpan potensi kelestarian tanaman-tanaman langka. Di tembawang desa Sungai Mawang, tumbuh pula 3 jenis durian, semisal durian biasa (Durio zibethinus), durian lai (D. kutejensis), dan durian burung (D. graveolens) atau yang di daerah setempat dinamai durian rean laki.[13] Appendix CITES II menggolongkan durian yang terakhir itu, masuk golongan VU/Vulnerable atau rentan dan ia pun termasuk tanaman yang dilindungi menurut PP No.7/1999.[13]
Di tembawang Ampar di Desa Cempedak, Kabupaten Sanggau, penelitian tahun 2014 menunjukkan sejumlah tanaman langka yang tumbuh di sana.[14] Antaranya yakni gaharu (Aquillaria microcarpa) tergolong VU menurut IUCN dan Apendix CITES II, bacang (Mangifera foetida) yang tergolong LR/Lower Risk atau risiko rendah, meranti padi (Shorea leprosula) yang tergolong EN/Endangered atau genting, meranti batu (S. palembanica) yang tergolong CR/Critically Endangered atau kritis dan dilindungi dalam PP No.7/1999. Tanaman lain semisal tengkawang tungkul (S. stenoptera) yang turut dilindungi PP di atas juga tumbuh di situ.[14]
Ancaman & upaya perlindungan
Di daerah Kalimantan Barat, tembawang merupakan penyatu dan kerukunan yang sayangnya mulai terkikis. Hal ini telah lama terjadi sejak tahun 1960-70an, melewati Orde Baru, hingga zaman yang agak kekinian sekarang. Tembawang tak dapat terjaga dengan baik karena penghancuran sistem masyarakat adat sejak dulu. Di zaman itu, kekuatan politik, militer, dan modal bersatu mengeksekusi lahan pada daerah tempatan yang menyebabkan tembawang beralih fungsi jadi lahan sawit ataupun perkebunan.[7] Menurut catatan lain, deforestasi tembawang telah menyebabkan penurunan vegetasitengkawang sebanyak 50-70%, padahal tanaman itu punya filosofi tinggi bagi masyarakat Dayak dan ia bisa diolah sebagai bahan baku minyak nabati.[3] Di masa kini, tembawang terancam oleh perkebunan sawit dan pertambangan.[7]
Mengingat mulai munculnya pengakuan soal hutan adat, perjuangan terhadap pengakuan hutan adat mulai membuahkan hasil di Kalimantan Barat. Sampai 20 Agustus 2018, hutan adat di Desa Tae —berikut tembawang di dalamnya—, hutan adat Tembawang Tampun Juah, juga hutan adat Pikul di Desa Sahan di Kabupaten Bengkayang telah diakui.[2][15] Perjuangan berat ini semisal pada daerah Desa Tae. Usulan pengesahan hutan adat telah berlangsung sejak 2007/2008. Pemetaan partisipatif dimulai pada tahun 2011-14, dan hasilnya diserahkan pada Pemkab Sanggau pada tahun yang sama. Raperda dan SK yang mengakui masyarakat adat dikeluarkan pada tahun 2017, dan SK Hutan Adat Tae baru diserahkan Presiden Jokowi pada tahun 2018.[2]
Meskipun ada sejumlah hutan adat yang diselamatkan, banyak pula hutan adat dan tembawang yang hilang karena alih fungsi lahan. Hal ini mengakibatkan terputusnya pewarisan pengetahuan antargenerasi, berubahnya relasi sosial masyarakat, dan warga-warga yang tiada bertanah, banyak menjadi buruh perkebunan di tanahnya sendiri.[2]