Telaga Ngebel (bahasa Jawa: ꦠ꧀ꦭꦒꦔꦼꦧꦼꦭ꧀, translit. Tlaga Ngebel) adalah sebuah waduk yang dibangun di Ngebel, Ponorogo untuk menampung air dari Sungai Jeram. Walaupun begitu, sebagian besar air yang ditampung oleh waduk ini sebenarnya berasal dari Sungai Talun, yang airnya dialirkan ke waduk ini melalui sebuah saluran yang dibangun mulai tahun 1920 hingga 1924. Waduk ini terutama dimanfaatkan untuk mengairi lahan pertanian seluas sekitar 10.000 hektar dan membangkitkan listrik melalui sebuah PLTA berkapasitas 2,25 MW.[2]
Waduk ini terletak di kaki Gunung Wilis pada ketinggian sekitar 730 meter di atas permukaan laut dan sekitar 12,5 kilometer dari pusat kota Ponorogo. Kedalaman waduk ini awalnya mencapai 59 meter, tetapi kini diperkirakan tinggal 20 meter, karena terjadinya sedimentasi.[2] Suhu udara di waduk ini berkisar antara 20-26 °C, sehingga juga menjadi salah satu obyek wisata andalan Ponorogo. Di bagian hulu dari salah satu sungai yang mengalir ke waduk ini terdapat sebuah air terjun yang diberi nama Air Terjun Toyomarto.
PLTA Ngebel
Untuk memaksimalkan pemanfaatan air yang tertampung di waduk ini, pada tahun 1959, PLN pun menugaskan Ir. Bagoes Moedjiantoro untuk merancang pembangunan PLTA di dekat waduk ini di bawah bimbingan dari Ir. Sedijatmo. PLTA Ngebel lalu dirancang dapat membangkitkan listrik sebanyak 1.600 MWh per tahun untuk memenuhi kebutuhan listrik di Karesidenan Madiun. PLTA Ngebel kemudian dibangun sendiri oleh PLN dengan menggunakan dana dari APBN. Awalnya, dibangun terowongan headrace sepanjang 640 meter untuk mengalirkan air dari waduk ke kolam tandon harian. Air lalu dialirkan ke PLTA melalui pipa pesat berdiameter 1 meter sepanjang 1 kilometer yang dibuat dari baja tahan karat setebal 6 milimeter dan dibungkus dengan beton bertulang setebal 10 centimeter. Kombinasi baja dan beton diperlukan, karena dengan beda tinggi sebesar 183,5 meter, maka tekanan pada ujung bawah pipa pesat akan mencapai 18 atmosfer, sehingga jika dibuat dari beton bertulang saja akan terlalu tebal dan berat, tetapi jika hanya dibuat dari baja tahan karat akan terlalu mahal. Pipa pesat tersebut dirancang oleh Ir. Sedijatmo dan kemudian dipatenkan di Belanda pada tahun 1954. Rancangan pipa pesat Sedijatmo juga digunakan di PLTA Golang, PLTA Timo, dan PLTA Cikalong.[2]
Legenda
Telaga Ngebel dihubungkan dengan kisah seekor ular naga bernama “Baru Klinting“. Ular tersebut merupakan jelmaan dari Patih Kerajaan Bantaran Angin. Kala itu Sang patih sedang bermeditasi dengan wujud ular dan secara tak sengaja ada seorang warga yang membawa ular jelmaan tersebut ke desa.[3]
Sesampainya di desa, ular jelmaan tersebut hendak dijadikan makanan karena ukuran tubuhnya yang besar. Sebelum dipotong ular tersebut secara ajaib menjelma menjadi anak kecil, yang kemudian mendatangi masyarakat dan memutuskan membuat sayembara.[3]
Sang bocah kemudian menancapkan lidi di tanah,[3] versi yang lainnya menyebutkan bahwa yang ditancapkan adalah centong nasi.[4] Namun tidak ada yang berhasil mencabutnya. Bocah ajaib itulah yang berhasil mencabutnya. Dari lubang bekas ditancapkannya lidi atau centong tersebut keluarlah air yang kemudian menjadi mata air yang menggenang hingga membentuk sebuah Telaga. Oleh penduduk desa sekitarnya, telaga tersebut diberi nama telaga Ngebel, artinya telaga yang mengeluarkan bau menyengat.[4]
Legenda Telaga Ngebel ini konon terkait erat dan memiliki peran penting dalam sejarah Kabupaten Ponorogo. Konon salah seorang pendiri Kabupaten ini yakni Batoro Katong. Sebelum melakukan syiar Islam di Kabupaten Ponorogo, Batoro menyucikan diri terlebih dahulu di mata air, yang ada di dekat Telaga Ngebel yang kini dikenal sebagai Kucur Batoro.[3]
Galeri
Catatan kaki
^Badan Penelitian dan Pengembangan Pekerjaan Umum (1995). Bendungan Besar Di Indonesia(PDF). Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum. hlm. 174.