Untuk tempat lain yang bernama sama, lihat
Tegalsari.
Tegalsari adalah sebuah desa di wilayah Kecamatan Jetis, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur.
Di Tegalsari terdapat pondok pesantren tertua di Jawa yang bernama Gebang Tinatar asuhan Kyai Ageng Hasan Besari yang hingga saat ini menjadi cagar budaya dan wisata religi di Ponorogo.
Pada era kolonial Belanda, Tegalsari merupakan tanah perdikan atau merdeka yaitu desa istimewa yang bebas dari segala kewajiban membayar pajak kepada kerajaan.[1] Di desa ini tokoh nasional Hos Tjokroaminoto dilahirkan.[2]
Sejarah
Pendirian
Pendirian desa Tegalsari berawal dari seorang ulama bernama Kiai Ageng Muhammad Besari—dikenal juga dengan nama Kiai Ageng Tegalsari I—yang membangun pertapaan di hutan lebat yang membentang dari kaki Pegunungan Wilis sampai ke wilayah dataran Ponorogo. Ia hidup menyendiri dan sepenuhnya mengabdikan diri kepada Tuhan. Tak lama kemudian banyak rekan seimannya datang untuk berguru kepadanya. Kiai Ageng mengajari mereka ilmu Al-Qur'an serta pelaksanaan Ilahi dan Nabi Muhammad. Jumlah pengikutnya berangsur-angsur bertambah dan dengan segera berkembang. Daerah pertapaan itu kemudian menjadi desa yang berkembang pesat dan diberi nama "Tegalsari".
Nama "Tegalsari" berasal dari kata tegal yang berarti "ladang", hal ini merujuk pada kondisi desa yang awal mulanya berupa ladang. Sementara kata sari berarti "bunga", merujuk pada kondisi desa yang berkembang setelahnya.
Desa perdikan
Sekitar tahun 1742, Tegalsari diangkat menjadi desa perdikan—desa yang dibebaskan dari pajak, pengiriman upeti, dan kewajiban pelayanan kepada kerajaan—oleh Pakubuwono II sebagai balasan atas bantuan pemimpin desa, yakni Kiai Ageng Muhammad Besari selama masa pelarian sang raja.
Sebelum 1830, Ponorogo termasuk mancanegara timur—daerah-daerah terluar atau provinsi-provinsi terjauh milik Yogyakarta atau Surakarta. Pada tahun tersebut, pemerintah Hindia Belanda mengambil alih mancanegara timur, baik milik Yogyakarta maupun Surakarta. Hal itu berarti bahwa Desa Tegalsari berada di bawah administrasi pemerintah kolonial. Haluan pemerintah kolonial menetapkan bahwa lembaga keagamaan akan dibiarkan seperti pada mulanya ditentukan oleh raja-raja Jawa. Dengan demikian, desa-desa perdikan juga mempertahankan statusnya.
Pada 1870-an, seperti kebanyakan desa perdikan, penduduk Tegalsari mewarisi tingkat kemakmuran materi yang berkecukupan. Rumah-rumah mereka pun tampak bersih. Tegalsari adalah salah satu desa terbesar di Kabupaten Ponorogo pada masa tersebut. Jumlah penduduknya mencapai 1.679 jiwa. Selain itu, sawahnya membentang seluas sekitar 208 bau (1 bau sama dengan 7.096 meter persegi; 208 bau sama dengan 147,6 hektare). Di Tegalsari, terdapat pula Pasar Wagé yang cukup besar menumbuhkan aktivitas ekonomi penduduk dan membuat desa menjadi makmur.
Administrasi
Secara administratif, Tegalsari terletak di Kecamatan Jetis, Kabupaten Ponorogo, Provinsi Jawa Timur. Posisinya dibatasi oleh wilayah desa-desa tetangga, sebagai berikut:[8]
Desa Tegalsari terdiri dari 3 dukuh, yaitu: Setono, Jinontro, dan Gendol. Masing-masing dukuh dipimpin oleh seorang kamituwo atau kepala dusun. Dari 3 dukuh tersebut terbagi menjadi 6 Rukun Warga (RW) dan 16 Rukun Tetangga (RT).[8]
Berdasarkan data BPS Ponorogo, jumlah penduduk Tegalsari pada 2019 adalah 1.681 jiwa, yang terdiri dari 830 laki-laki dan 851 perempuan.[9]
Geografi
Secara geografis, Tegalsari terletak pada posisi 7°93′25″ Lintang Selatan dan 111°78′65″ Bujur Timur. Topografi ketinggian desa ini adalah berupa daratan sedang yaitu sekitar 105 mdpl.[8] Berdasarkan data BPS Ponorogo tahun 2019, luas daerah Tegalsari adalah 203 km².[9] Sementara curah hujan di Desa Tegalsari selama tahun 2016 rata-rata mencapai 1.500 mm/tahun dan suhu udara rata-rata 27°C.[8]
Pariwisata
Di Tegalsari terdapat sebuah masjid kuno yaitu Masjid Tegalsari. Masjid ini merupakan peninggalan Kiai Ageng Muhammad Besari yang dibangun pada abad ke-18.[10][11] Masjid Tegalsari menjadi salah satu tempat wisata religi di Ponorogo; di samping Makam Bathara Katong, Sendang Tirto Waluyojati, dan Makam Astana Srandil.[10] Di depan masjid ini, terdapat makam sang kiai yang ramai dikunjungi para peziarah dari berbagai kota di Indonesia.[11]
Lihat pula
Referensi
Daftar pustaka
Pranala luar