Tanggul Laut Raksasa Jakarta adalah bagian dari pengembangan pesisir raksasa di Jakarta yang dimulai pada tahun 2014 dan diharapkan akan terwujud pada tahun 2025.[1][2] Proyek pengembangan pesisir tersebut meliputi konstruksi dinding sepanjang pantai, bangunan penampung air, dan reklamasi lahan. Pembangunan 8 km bagian dari dinding laut di sepanjang pantai ini secara resmi diluncurkan pada 9 Oktober2014.[3]
Latar belakang
Jakarta sangat rawan banjir khususnya selama musim hujan. Pada tahun 2007, kota ini menderita dari bencana banjir yang mengakibatkan 76 orang tewas dan setengah juta korban banjir.[4] Jakarta terletak di tanah yang datar 23 meter di atas permukaan laut. Namun, 40 persen dari daratan di Jakarta khususnya di daerah utara berada di bawah permukaan laut, karena banyaknya kegiatan ekstraksi air tanah dan tekanan dari gedung pencakar langit perkembangan. Selain banjir, Jakarta tenggelam sekitar 5 sampai 10 sentimeter per tahun, bahkan bisa sampai 20 sentimeter. Dari tahun 2000 sampai tahun 2050 potensi banjir pesisir sejauh ini diperkirakan meningkat 110,5 km2, karena penurunan muka tanah dan kenaikan permukaan laut,[5] dan diperkirakan kota Jakarta akan tenggelam seluruhnya pada tahun 2050.[6]
Untuk mengatasi hal itu, sebuah studi kelayakan untuk membangun tanggul di Teluk Jakarta telah dilakukan.[7] proyek ini dikenal sebagai National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) master plan atau Giant Sea Wall Jakarta. Proyek ini, yang juga memiliki tugas revitalisasi pantai dan yang paling penting membuka visi ke depan untuk Jakarta, dirancang oleh arsitektur firma Kuiper Compagnons dari Rotterdam dan dengan kolaborasi dengan Indonesia, dan konsorsium dari perusahaan-perusahaan Belanda (Witteveen+Bosa dan Grontmij), membentuk National Capital Integrated Coastal Development dan semua yang terlibat dalam pembuatan master plan yang dimulai pada tahun 2008.
Masterplan proyek
Yang termasuk dalam NCICD adalah pembangunan Giant Sea Wall di teluk Jakarta sebagai langkah untuk melindungi potensi terjadinya banjir dari laut. Di dalam tembok ini, laguna besar yang akan dibangun untuk menyangga aliran dari 13 sungai di Jakarta. Proyek ini dibangun dalam bentuk Garuda dan diharapkan menjadi salah satu ikon kota Jakarta. Proyek ini akan memakan waktu 10 hingga 15 tahun. Tanggul-tanggul yang ada akan diperkuat seiring berjalannya waktu. Setelah proyek selesai, Teluk Jakarta akan menjadi penampung air tertutup dibalik Giant Sea Wall dan pada akhirnya akan menjadi sumber air bersih untuk seluruh kota. Biaya proyek ini diperkirakan sekitar US$ 40 miliar,[8] dan akan menjadi kerja sama internasional antara Pemerintah Indonesia dan Belanda, membuka jalan bagi perdagangan bilateral lebih lanjut antara kedua negara.[9] Dua fase ini megaproyek ini adalah:
Memperkuat dan meningkatkan tanggul penahan yang sudah ada sepanjang 30 kilometer, dan pembangunan 17 pulau buatan di Teluk Jakarta. Peletakan batu pertama ini tahap pertama telah dilakukan pada Oktober 2014.
Giant Sea Wall juga akan menjadi pusat pengembangan perkotaan, yang akan dibangun oleh kemitraan investasi swasta. Pengembangan perkotaan yang didalamnya termasuk kantor-kantor dan perumahan kelas atas, rumah rendah biaya, area hijau, dan pantai. Waterfront City yang baru terintegrasi yakni 17 pulau buatan, lengkap dengan jalan tol, kereta api, dan pelabuhan, dan sudah harus mampu menyerap sekitar dua juta orang. Panjang Giant Sea Wall dapat mencapai 32 kilometer dari Tangerang ke Pelabuhan Tanjung Priok.
Kontroversi
Proyek ini bukan tanpa dampak negatif terhadap lingkungan dan sosial: salah satu studi yang dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan menemukan bahwa proyek ini saat dikerjakan dapat mengikis pulau-pulau di bagian barat Teluk Jakarta, menghancurkan terumbu karang dan mencemarkan air yang di balik dinding laut. Kemungkinan ini ditolak oleh para ahli Belanda yang, sebaliknya, yakin bahwa karena air kota akan lebih baik, sehingga sungai-sungai akan membuang air bersih ke teluk. Program reklamasi juga bertemu dengan oposisi dari beberapa kelompok lingkungan dan nelayan. Forum Indonesia untuk Lingkungan Hidup (WALHI) dan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan Indonesia (Kiara) mengajukan banding untuk menghentikan pekerjaan konstruksi di Pulau G, salah satu dari 17 pulau yang akan dibuat namun Mahkamah Agung menolak banding.[10] Pekerjaan konstruksi pada proyek reklamasi Jakarta untuk pernah dilarang oleh pemerintah pusat pada tahun 2016 dan meminta pemenuhan beberapa persyaratan. Namun larangan ini telah dicabut pada bulan Oktober 2017.[11]
^Abidin, H. Z.; Andreas, H.; Gumilar, I.; Sidiq, T. P.; Fukuda, Y. (2013-09-01). "Land subsidence in coastal city of Semarang (Indonesia): characteristics, impacts and causes". Geomatics, Natural Hazards and Risk. 4 (3): 226–240. doi:10.1080/19475705.2012.692336. ISSN1947-5705.