Sima Qian
Sima Qian ([sɨ́mɑ̀ tɕʰján]; ca 145 – ca 86 SM) adalah seorang sejarawan dan negarawan pada zaman Dinasti Han.[1] Karyanya yang termashyur adalah Catatan Sejarah Agung yang merupakan catatan sejarah terlengkap pertama di Tiongkok bahkan di dunia yang mencatatkan sejarah peradaban Tiongkok sejak zaman Kaisar Kuning sampai masa Dinasti Han.[1][2][3][4] Masa kecil dan perkembangan hidupnyaSima Qian dilahirkan tahun 145 SM di Longmen (sekarang Provinsi Shanxi), yang bertepatan pada tahun kelima pemerintahan Kaisar Jing dari Dinasti Han Timur (25 SM – 220 SM) .[1] Ketika ayahnya, Sima Tan, ditunjuk sebagai Sejarawan Agung pada tahun 140 SM, seluruh keluarganya pindah ke Mao Ling, sebuah kota yang dibangun oleh Kaisar Han Wu sebagai mausoleum untuk dirinya.[2] Pada usia 10 tahun, Sima Qian mulai belajar membaca karya-karya klasik Cina dari gurunya Kong Anguo.[4] Kemudian selanjutnya dia banyak bergaul dengan penghuni kota Mao Ling sehingga bakatnya terasah.[2] Perjalanan napak tilas yang dilakukannyaKetika berusia 20 tahun, ia mengadakan perjalanannya yang pertama.[1][2][3][4] Ia bepergian dari utara ke selatan, sepanjang Sungai Kuning dan Sungai Yangtze.[1][2][3][4] Ia juga mendaki gunung Hui Ji untuk menjelajah kuburan Yu, pendiri Dinasti Xia yang terkenal dan pergi ke gunung Jinyi di provinsi Hunan untuk menyelidiki tanah pemakaman Shun, raja terkenal dari Cina kuno.[3] Perjalanan berikutnya melalui sungai Yuan dan Xiangjiang kemudian menuju utara sepanjang sungai Wen dan Si.[3] Kemudian ke Sungai Buluo tempat penyair patriotik Qu Yuan melompat bunuh diri setelah mengalami ketidakadilan.[3] Tempat bersejarah lain yang dia kunjungi adalah kota benteng Xiehe yang merupakan tempat raja-raja Chu dan Han bertempur demi kekuasaan. Dan dalam perjalanan pulang ke Chang'an, dia melalui negara bagian Liang dan Chu.[3] Sekembalinya dari perjalanannya, ia ditunjuk sebagai pegawai istana yang akhirnya membawanya kembali dalam perjalanan dinas yang kali ini menuju provinsi Hunan dan Sichuan.[3] Ia berjalan melalui provinsi Guichuan, Guangxi, Yunnan, dan Kunming.[3] Kemudian mengunjungi bagian barat daya China tempat suku Yi tinggal dan kemudian ia kembali pulang ke Ibu kota saat ayahnya dalam keadaan kritis akibat penyakit yang dideritanya.[3][4] Wasiat ayahnyaMenjelang wafatnya, ayahnya meminta Sima Qian agar meneruskan upaya leluhurnya sebagai Sejarawan Agung.[2] Alasannya adalah agar ada yang melanjutkan upaya Konfusius yang telah mencatat peristiwa peristiwa 500 tahun pertama dalam catatan musim semi dan musim gugur namun setelah 500 tahun setelah kematian Konfusius, tidak ada yang tertarik dalam masalah sejarah.[2] Ayahnya memintanya untuk melengkapi Catatan Musim Semi dan Musim Gugur yang telah dikerjakan Konfusius, yakni catatan 500 tahun yang berikutnya.[2] Sima Qian sendiri berusia 36 tahun saat ayahnya wafat.[2][4] Perjalanan karier dan peristiwa yang mengubah hidupnyaTiga tahun kemudian, Sima Qian menggantikan posisi ayahnya sebagai sejarawan agung kenegaraan.[2] Dalam posisi ini, ia bisa membaca semua arsip dan dokumen istana.[2] Pada tahun 104 SM, Sima Qian mulai menggunakan waktu senggangnya untuk menulis Catatan Sejarah Agung.[2] Namun lima tahun kemudian, pada usia 47 tahun, Sima Qian mengalami goncangan keras dalam hidupnya ketika masalah Li Ling terjadi.[1][2][3][4] Peristiwa ini diawali ketika adanya invasi yang dipimpin oleh Li Guang, Wei Qing, dan Huo Quibing terhadap orang orang Tatar yang saat itu menunjukkan keberhasilan dan menandakan masa keemasan dari kebijakan ekspansionis dari Kaisar Wu dari Han.[5] Kaisar memerintahkan Li Ling, yang adalah cucu dari Li Guang, untuk mendampingi Li Guangli ke gunung Hao Lian untuk bertempur melawan Tatar. Namun Li Ling yang hanya membawa 5000 pasukan untuk mengalihkan pasukan Tatar dihadapi oleh 80.000 pasukan utama Tatar di bawah pimpinan Dan Yu. Dalam delapan hari pertempuran, Li Ling kehilangan separuh kekuatan pasukannya namun berhasil menghancurkan lebih dari 10.000 pasukan Tatar. Namun karena tidak ada bantuan, Li Ling terpaksa menyerah.[3] Peristiwa ini menimbulkan kemarahan kaisar di ibu kota dan memerintahkan hukuman mati untuk Li Ling, bahkan beredar desas desus bahwa Li Ling justru melatih pasukan Tatar padahal sebenarnya ada kesalahan pada berita ini.[3] Kesamaan marga Tionghoa Li pada kedua orang tersebut menyebabkan kesalahpahaman.[4] Nama dari pengkhianat itu sendiri adalah Li Xu.[4] Hal ini yang menyebabkan Sima Qian yang juga teman dari Li Ling mengajukan keberatan atas keputusan kaisar dengan memberikan gambaran yang sebenarnya dalam peperangan yang berjalan tidak seimbang.[4] Bahkan Sima Qian memprotes kebijakan ekspansi militer kaisar.[4] Pernyataannya berbunyi: “Li Ling hanya membawa 5000 tentara, masuk ke daerah musuh, membasmi ribuan musuh. Biarpun kalah, tetapi ia telah membunuh banyak musuh, masih terhitung dapat dipertanggung jawabkan kepada bumi dan langit. Bukan hanya Li Ling yang akan meninggal, tetapi pengetahuannya juga. Jika ia diberikan kesempatan ia pasti akan menebusnya.“[4] Pernyataan Sima Qian menyebabkan Kaisar menjatuhkan hukuman mati untuk Sima Qian atas protesnya.[4] Tapi pernyataan inilah yang akhirnya diingat Kaisar yang menjadi tolak ukur pertimbangannya untuk kasus-kasus lain.[4] Pada saat itu, tahanan yang akan dihukum mati bisa lepas dari hukuman dengan dua cara. Cara pertama dengan menggunakan uang jaminan pembebasan. Namun keluarga Sima Qian terlalu miskin untuk menyediakan uang. Bahkan, teman-temannya juga dari golongan yang sama dan tidak seorang pun yang membantunya. Cara kedua adalah dengan dikebiri. Kebanyakan sarjana lebih baik mati daripada menerima hukuman seperti ini.[4] Namun karena janji Sima Qian kepada ayahnya untuk meneruskan usaha ayahnya sebagai sejarahwan agung, akhirnya Sima Qian memilih untuk dikebiri.[1][2][3][4] Sima Qian becermin bahwa kemalangan selalu membentuk bagian terbesar dari kehidupan seseorang.[1][2][3][4] Beberapa tokoh besar banyak memberikan karya-karya sumbangsihnya setelah mengalami hal yang tidak enak dalam hidupnya.[1][2][3][4] Sima Qian juga becermin dari Kaisar Wen yang menemukan Prinsip Perubahan saat dipenjara, Konfusius yang menulis Catatan Musim Semi dan Musim Gugur ketika terjebak di Chen Ji.[1][2][3][4] Penyair Qu Yuan menulis Antologi Yi Shao setelah dibuang ke Jiangnan, Zhuo Qiuming menulis kisah klasik Guo Yu setelah menjadi buta.[1][2][3][4] Sun Bin menulis analek militer setelah kehilangan kedua kakinya. Lu Buwei menulis Analek Musim Semi dan Musim Gugur tentang Lu setelah dibuang ke Chu dan Han Feizi menulis berbagai kisah klasik ketika dipenjarakan di negara bagian Qin.[1][2][3][4] Dengan keadaannya, Sima Qian menulis Arsip Sejarawan yang mencakup 2000 tahun sejarah bangsa Tionghoa dari masa Kaisar Yao dan Sun, sampai pada Kaisar Han, Wu, menangkap Bai Lin.[3][4][6] Catatan Sejarah AgungPada awalnya Catatan Sejarah Agung (Hanzi tradisional: 史記; Hanzi: 史记; Pinyin: shiji) ini bernama Buku Sejarah oleh Guru Agung (太师公书) tetapi kemudian berubah menjadi Catatan Sejarah Agung karena orang umumnya lebih suka menyebutnya dengan Catatan Sejarah Agung.[4] Catatan Sejarah Agung selesai sekitar 91 SM, semuanya ada 130 volume dan dibagi menjadi lima kategori.[2] Dua Belas Analek (Hanzi tradisional: 本紀; Hanzi: benji) mencatat dua belas pemerintahan terpenting dari Kaisar Kuning sampai masa pemerintahan dimana Sima Qian hidup.[1][3][4] Perubahan kehidupan sosial juga dimasukkan di sini dalam urutan kronologis. Sepuluh Tabel menampilkan pergantian dinasti, hubungan antara negara berbeda dan penunjukkan pejabat penting. Peristiwa sejarah yang tidak ada dapat dikelompokkan ke dalam tahun yang tepat juga dimasukkan di sini. Delapan Traktat mencatat perkembangan upacara, musik, hukum, kalender, ilmu pengetahuan, astronomi, pengorbanan, penyimpanan air serta berat dan ukuran. Tiga Puluh Rumah Warisan mencatat kaum terhormat dan pangeran selama Zaman Musim Semi dan Gugur, Periode Negara Perang dan selama Dinasti Qin dan Dinasti Han awal. Tujuh Puluh Kehidupan adalah biografi dari beberapa orang penting selama berabad-abad, kisah negara asing dan penduduk minoritas di China, dalam hubungannya dengan orang-orang Han. Arsip ini biasanya berakhir dengan komentari dari Sima Qian untuk memberi fakta tambahan dari penyelidikan pribadinya atau untuk mencegah salah pengertian. Hal lain dalam karyanya adalah dalam proses pembuatannya, ia sering bepergian untuk mencari materi sejarah, mencatat arsip dasarnya berdasarkan pemilihan materi yang cermat dan kemudian membuktikan faktanya dengan membandingkan dengan versi yang berbeda yang tersedia.[4] Dalam tulisannya, ia tidak mengingkari tempatnya sebagai pahlawan terkalahkan dalam sejarah dan ia tidak menganggap wanita kalah penting dari pria.[2] Sebagi contoh, Kaisar pertama digantikan oleh putranya namun kekuasaan sebenarnya ada ditangan Ibu Suri Lu, sehingga Sima Qian memberi catatan khusus tentangnya.[2] Selain itu, ia juga orang yang jujur dengan sikap benar dan salah yang kuat.[2] Ia menulis dengan terus terang tentang perbuatan buruk para penguasa, ia menggambarkan perbuatan mereka dengan jujur dan mengecamnya dengan jelas.[2] Sikapnya menyinggung kaum penguasa, dan beberapa rekannya mengatakan karyanya sebagai "buku fitnah".[2] Namun, hal itu yang membuat Sima Qian dikenal sebagai penegak keadilan dan juru bicara rakyat.[2] Referensi
|