Raden Adipati Arya Setjoadiningrat VIII (lahir dengan nama Raden Adipati Arya Sarwadji, biasa dipanggil Raden Setjo atau Kanjeng Setjo; EYD : Setjoadiningrat; lahir di Jombang, 31 Agustus 1897 - meninggal di Surabaya, 9 Juni 1963 pada umur 65 tahun) adalah Bupati Jombang yang menjabat pada 1930 hingga 1946 dan Residen Surabaya setelah tahun 1946. Sebagai Bupati, ia memerintah pada tiga masa sekaligus, yakni pada zaman penjajahan Belanda, Pendudukan Jepang, dan zaman awal-awal kemerdekaan Indonesia. Ia adalah putra dari Bupati sebelumnya, Raden Adipati Arya Soeroadiningrat dan Raden Ayu Maimunah Soeroadiningrat.
Silsilah
Setjoadiningrat adalah keturunan ke-16 dari Prabu Brawijaya V (raja Majapahit terakhir). Menurut silsilah, ia adalah putra dari R.A.A. Soeroadiningrat V (Bupati Jombang pertama), dan cucu dari R.A.A. Soeroadiningrat IV yang merupakan Bupati (regent) Sedayu 1855-1884. Raden Adipati Arya Soeroadiningrat IV merupakan putra dari Raden Museng atau Raden Adipati Arya Soeroadiningrat III (Bupati Sedayu 1816-1855). Raden Museng adalah keturunan Raden Anom dan Raden Ayu Suradilaga (Patih Panembahan Madura). Raden Anom adalah keturunan Tjakraningrat IV (1718-1745). Tjakraningrat IV adalah keturunan dari Raden Undakan atau Raden Tjakraningrat II (Panembahan Madura 1648-1707 dan Bupati/Wedana Bangwetan[1] 1705-1707). Raden Undakan adalah putra dari Raden Prasena atau Raden Tjakraningrat I (Adipati Madura 1624-1628). Raden Prasena adalah putra dari Raden Kara (Pangeran Tengah Arosbaya, Bangkalan, 1592-1621). Raden Kara adalah putra Raden Pratanu (Pangeran Lemahluhur/Lemahduwur (Pangeran Atas) Arosbaya, Bangkalan 1531-1592). Raden Pratanu putra dari Ki Pragalba (Pangeran Palakaran, Bangkalan). Ki Pragalba adalah putra Ki Demung (Demang Palakaran, Kota-Anyar, Arosbaya, Bangkalan). Ki Demung adalah putra Nyi Ageng Buda. Nyi Ageng Buda, putri dari Aria Pratikel/Pabekel (Madekan, Sampang). Aria Pratikel putra Aria Menger (Madekan, Sampang). Aria Menger adalah putra Raden Lembu Peteng (Madekan, Sampang). Raden Lembu Peteng adalah putra Prabu Brawijaya V dan Kanjeng Ratu Handarawati (Putri Campa).[2][3]
Berdasarkan silsilah ini, Raden Setjo memiliki hubungan darah dengan beberapa tokoh dari Madura seperti gubernur Jawa Timur, Raden Panji Mohammad Noer (1967-1976).[2]
Kehidupan awal
R.A.A. Setjoadiningrat merupakan putra dari Bupati Jombang pertama Raden Adipati Arya Soeroadiningrat dan istrinya Raden Ayu Maimunah Soeroadiningrat. Nama lahirnya adalah Raden Adipati Arya Sarwadji. Ia memiliki dua kakak perempuan yakni Raden Ayu Badariyah dan Raden Ayu Asiyah Airmuna. Karena ia satu-satunya anak laki-laki RAA Soeroadiningrat, dia lah yang berhak mewarisi takhta kepemimpinan Jombang dari ayahnya. Maka ayahnya mempersiapkan hal ihwal kepemimpinan sejak dini. Raden Setjo lalu dimasukkan ayahnya ke Opeldings School (Sekolah Pamongpraja/Sekolah Pemerintahan) di Blitar.[4]
Menjadi bupati
Pada masa awal pemerintahannya, Raden Setjo menitikberatkan pembangunan pada sektor pertanian. Pengairan pada waktu itu masih mudah dikarenakan pepohonan di hutan-hutan Pegunungan Wonosalam masih rimbun. Pembangunan juga diarahkan kepada penggalakan penanaman karet dan tebu, karena pada saat itu permintaan pasar dunia terhadap dua komoditas tersebut sangat besar.[4]
Pada sekitar tahun 1941-1942 (awal Perang Dunia II), ayahnya Soeroadiningrat V, memasuki masa pensiun. Dan pada saat itu Jepang mulai menduduki Jawa. Dimulai dari pendaratan tentara ke-16 Jepang di beberapa tempat sepeti Teluk Banten, Eretan (Jawa Barat) dan di Kragan. Divisi-48 yang mendarat di Kragan lalu menyebar ke tiga jurusan, satu kolone menuju ke Semarang, satu lagi menuju ke Surabaya dan sisanya (Kolone Sakguchi) menuju ke Cilacap.[5] Kolone yang menuju Surabaya lalu menyebar ke daerah-daerah disekitarnya termasuk Jombang. Kedatangan Jepang tersebut pada awalnya dielu-elukan oleh para pemuda, karena Jepang menganggap diri sebagai "saudara tua" bangsa Indonesia dan juga masyarakat mepercayai ramalan Jayabaya (raja Kediri) yang berbunyi "kelak akan datang jago kate dari arah timur laut, berpakaian seperti klaras (daun pisang kering) yang akan membebaskan Nusantara". Namun, seiring berjalannya waktu, Jepang menjadi kejam dan beringas. Keadaan di Jawa menjadi kacau, termasuk di Jombang. Kekacauan ini ditandai dengan langka dan mahalnya barang-barang dan kebutuhan pokok. Bahkan Jepang memprovokasi masyarakat untuk menjarah toko-toko dan usaha-usaha milik etnis Tionghoa di Jombang. Inilah masa-masa tersulit kepemimpinan Raden Setjo. Raden Setjo bersama Mbah Jimbrak, Lurah Gambang (Desa Plumbongambang, Kecamatan Gudo) menyarankan ayahnya beserta keluarga untuk mengungsi ke Desa Gempollegundi (sekarang termasuk dalam wilayah Kecamatan Gudo) selama empat hari untuk menghindari kekejaman Jepang.[4] Pada masa pendudukan Jepang ini, Raden Setjo masih dipertahankan sebagai pemimpin di Jombang. Bahkan putranya, Raden Panji Willy Soedjono mendapat didikan militer dari Jepang dan menjadi Shodanco (Letnan).
Pada saat Jepang dikalahkan Sekutu, menyerah dan hengkang dari Nusantara, Belanda kembali menduduki Jawa Timur. Mantan Residen Surabaya, Dr. Van Der Plass, meminta kepada Raden Setjo untuk tetap menjadi bupati di Jombang sebagai kepanjangan tangan Belanda. Hal ini sempat membuat tidak senang pihak-pihak yang pro-Republik yang mengira Raden Setjo merupakan figur pro-Belanda. Pada kenyataannya, kesediaannya adalah bentuk strategi agar pembelaannya terhadap para pejuang tidak diketahui Belanda. Secara kasatmata, ia tetap terlihat pro-Belanda, namun ia tetap menjalin komunikasi dengan para pejuang melalui kurir yang datang malam hari. Si kurir menyampaikan kebutuhan para pejuang dan Raden Setjo menyediakan semua yang diperlukan, seperti persenjataan yang dibeli di pasar gelap.[4]
Ketika pertempuran melawan Belanda (Agresi Militer Belanda) meletus secara sporadis di Mojoagung. Istri Raden Setjo, Raden Ayu Poppy menggalang aksi dapur umum di belakang Pendapa Kabupaten untuk mendukung perjuangan. Setiap hari, truk-truk sisa pendudukan Jepang datang ke Pendapa membawa bahan-bahan makanan dan sayur-mayur dari para lurah dan rakyat di Kabupaten Jombang, lalu membawa kembali ke garis depan pertempuran.[4]
Setelah tidak menjadi Bupati
Setelah tidak lagi menjadi bupati. Ia dipercaya sebagai Residen di Surabaya sampai ia pensiun. Ia meninggal pada 9 Juni 1963 dan dimakamkan di Pemakaman keluarga di Pulosampurno, Jombang.[4]
Keluarga
Raden Adipati Arya Setjoadiningrat VIII menikah dua kali.
Dengan istrinya yang pertama, Raden Ayu Susiah, Puteri dari R.P. H Suryonegoro/Tejo Diningrat, Putera R. Adipati Aria Tejokusumo - Bupati Kediri ke III, dikaruniai enam putera-puteri, yakni :
- Raden Arya Willy Soedjono, Kolonel. Purn TNI AD - menikah dengan R. Ajeng Mudariah (Puteri dari R. Murtejo)
- Raden Arya Eddy Soewondo, Let. Kol. Purn TNI AD - menikah dengan R. Ayu Wilhelmani Noeryati Poerboadikoesoemo
- Raden Ayu Anni Rochani - menikah dengan Slamet Kertodipuro, SH
- Raden Ayu Nora Soetarinah - menikah dengan Sumitro, kemudian dengan Kadim Gambiro
- Raden Arya Poegoeh Soeratno - menikah dengan Marie
- Raden Ayu Mimiek Soeseni - menikah dengan Suhanto, TNI AL
R. Ajeng Susiah, meninggal dunia. Kemudian R.A.A Setjoadiningrat VIII menikah lagi dengan Raden Ayu Poppy Kadarin, putri dari dr. R.M. Abdul Kadir (dokter pribadi Keraton Yogyakarta). Pernikahannya dengan Raden Ayu Poppy dikaruniai dua anak :
- Raden Arya Sarwoko Puspohadi
- Raden Ajeng Ine Sarwindah Puspowardani
Agus Heliyana dan Raden Panji Darmodi, yang banyak memberi informasi mengenai Raden Setjo dan Kanjeng Sepuh (Raden Soeroadiningrat V).[4]
Di perbarui per Tgl. 20 Oktober 2015. oleh R. Ay. Wiendari Noerhayati Soewondo (Wientje), cucu dari R. Arya Setjoadiningrat, puteri ke-2 dari R. Arya Eddy Soewondo dengan R. Ay. Wilhelmani Noeryati Poerboadikoesoemo (Manik). Dikutip dari "Sarasilah R.Arya Surodilagan - R. Arya Surodilogo (Ryksbestuurder)
Pepatih - Pangeran Tjakraningrat - V, Seda Mukti, Bangkalan". yg dibuat oleh R. Arya Willy Soedjono.
Referensi