Sultan Siak ke 4, Sultan Alamuddin naik tahta atas bantuan Belanda, tetapi ia tidak mau mendapat kekangan dari mereka dalam urusan pemerintahan. Apalagi setelah semakin tampak kelakuan buruk Belanda yang lantas menancapkan kuasa di Mempura dan menguasai jalur perdagangan Sungai Siak. Selain itu, para orang-orang besar pengikut sultan sebelumnya menampakkan ketidaksenangan atas perubahan pucuk kekuasaan itu. Maka, diutuslah Agam dari suku Limapuluh untuk meninjau bandar Senapelan dan berunding dengan batin (kepala suku)nya untuk dijadikan pusat kekuasaannya yang baru. Kemudian setelah dipersiapkan segala sesuatunya, ia membawa serta seluruh perangkat kerajaan dan pindah ke Senapelan.
Senapelan yang merupakan simpang lalu lintas perdagangan itu semakin ramai setelah menjadi ibu kota Siak. Baginda membangun sebuah pekan (pasar) untuk mengurangi peran Petapahan yang sebelumnya menjadi pekan bagi saudagar-saudagar dari tanah Minangkabau. Selanjutnya, baginda membuka jalur transportasi menghubungkan dengan negeri-negeri penghasil lada, damar, kayu, gambir, dan rotan. Jalur tersebut menuju ke selatan sampai ke Teratak Buluh dan Buluh Cina dan ke barat sampai ke Bangkinang terus ke Rantau Berangin.
Perekonomian yang semakin maju di Senapelan tersebut telah memotong jalur perdagangan ke hilir sungai Siak. Akibatnya, Mempura menjadi sepi dan Belanda dirugikan. Kerugian besar tersebut bahkan mendesak Belanda untuk menutup lojinya di Pulau Guntung pada tahun 1765.
Sultan Alamuddin mangkat di Senapelan pada tahun 1766 dan Muhammad Ali naik tahta dengan gelar Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah. Ia meneruskan usaha ayahnya membangun bandar Senapelan yang kemudian dikenal dengan nama Pekanbaru. Bandar ini menjadi pusat perdagangan di hulu sungai Siak, bahkan para saudagar Petapahan mulai menjual dagangan mereka ke Senapelan.[3]
Batas wilayah
Adapun batas wilayah kecamatan Senapelan yakni sebagai berikut:[2]
Sebelah Utara, berbatasan dengan kecamatan Rumbai
Sebelah Timur, berbatasan dengan kecamatan Lima Puluh
Sebelah Barat, berbatasan dengan kecamatan Payung Sekaki
Sebelah Selatan, berbatasan dengan kecamatan Sukajadi
Demografi
Provinsi Riau merupakan provinsi di Indonesia yang memiliki nilai dan budaya Melayu yang cukup kuat. Meski demikian, provinsi Riau termasuk provinsi yang penduduknya berasal dari beragam suku bangsa. Selain suku Melayu, beberapa suku lain memiliki jumlah signifikan, termasuk di wilayah Kota Pekanbaru sebagai ibu kota provinsi, yakni Jawa, Minangkabau, Batak, Tionghoa dan Banjar.[4] Suku lainnya termasuk Bugis, Nias, Aceh dan sebagian kecil suku lain.[4]
Kemudian berdasarkan agama, penduduk kecamatan Senapelan ini juga memiliki beragam agama yang dianut. Dalam data Kementerian Dalam Negeri tahun 2021, adapun besaran penduduk kecamatan Senapelan menurut agama yang dianut yakni mayoritas beragama Islam sebanyak 73,72%, kemudian Buddha sebanyak 17,36%. Penduduk yang beragama Kekristenan sebanyak 8,86%, dimana Protestan sebanyak 7,03% dan Katolik sebanyak 1,83%. Sebagian lagi menganut agama Hindu sebanyak 0,03%, Konghucu dan kepercayaan sebanyak 0,03%.[5]
^Muchtar Lutfi, Suwardi MS, dkk (1998/ 1999), Sejarah Riau, Biro Bina Sosial Setwilda Tk. I Riau. Di Kecamatan ini terdapat kelurahan bernama kampung bandar. Kelurahan tersebut adalah kelurahan dimana keluarga Ibnu Alhafizh Urmaini tinggal.