Sasi dapat diartikan sebagai larangan untuk mengambil hasil sumberdaya alam tertentu sebagai upaya pelestarian demi menjaga mutu dan populasi sumberdaya hayati (hewani maupun nabati) alam tersebut. Karena peraturan-peraturan dalam pelaksanaan larangan ini juga menyangkut pengaturan hubungan manusia dengan alam dan antar manusia dalam wilayah yang dikenakan larangan tersebut, maka sasi, pada hakikatnya, juga merupakan suatu upaya untuk memelihara tata-krama hidup bermasyarakat, termasuk upaya ke arah pemerataan pembagian atau pendapatan dari hasil sumberdaya alam sekitar kepada seluruh warga/penduduk setempat. Saat ini, sasi memang lebih cenderung bersifat HUKUM ADAT bukan tradisi, dimana sasi digunakan sebagai cara mengambil kebijakan dalam pengambilan hasil laut dan hasil pertanian. Namun, secara umum,
sasi berlaku di masayarakat sebagai bentuk etika tradisional. Sasi tidak berhubungan dengan ritus kelahiran, perkawinan, kematian dan pewarisan, melainkan lebih cenderung bersifat tabu dan kewajiban setiap individu dan masyarakat dalam mengelola sumber daya alam yang dimiliki. Seperti yang kita tahu, bahwa taboo atau tabu berfungsi untuk menjaga kestabilan hidup masyarakat. Tabu sering kali dikaitkan dengan sesuatu yang terlarang, karena akan mengakibatkan dampak buruk bagi orang yang melanggar tabu.
Lokollo (1925) menjelaskan bahwa terdapat enam tujuan falsafah yang mempengaruhi pelaksanaan adat sasi, yakni sebagai berikut:
Memberikan petunjuk umum tentang perilaku manusia, untuk memberikan batasan tentang hak-hak masyarakat;
Menyatakan hak-hak wanita, untuk memberikan definisi status wanita dan pengaruh mereka dalam masyarakat:
Mencegah kriminalitas, untuk mengurangi tindakan kejatahan seperti mencuri;
Mendistribusikan sumber daya alam yang mereka miliki secara merata untuk menghindari konflik dalam pendistribusian sumber daya alam, yakni antara masyarakat dari desa atau kecamatan yang berbeda;
Menentukan cara pengelolaan sumber daya alam yang di laut dan di darat guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
Secara tradisional, sasi diterapkan dalam tiga tingkat, yaitu sebagai berikut:
Sasi perorangan, yakni melindungi sumber daya alam yang bisa menjadi milik pribadi dalam batas waktu tertentu. Adapun orang-orang yang boleh mengambil pohon buah-buahan hanya orang yang menaruh tanda sasi pada pohon tertentu.
Sasi umun, yakni yang diterapkan untuk perkebunan campuran berbagai pohon yang ada di Maluku dan Papua, disebut sebagai dusun, kemudian diterapkan untuk sumber daya tertentu yang ada dalam kebun tersebut.
Sasi desa, yakni berlaku bagi seluruh lapisan di desa tersebut, biasanya terdiri dari beberapa dusun.
Setelah kewenangan sasi semakin luas dan bertambah, akhirnya sasi berkembang menjadi empat kategori, yakni sebagai berikut:
Sasi perorangan, yakni berlaku hanya untuk lahan saja, karena laut milik umum.
Sasi umun, hanya berlaku untuk tingkat desa saja.
Sasi gereja dan sasi masjid, yaitu sasi yang disetujui oleh pihak gereja, masjid atau masyarakat umum.
Sasi negeri, yakni sasi yang disetujui oleh pemerintah lokal, seperti kepala desa, para bupati, contohnya untuk mengatasi masalah perselisihan mengenai batas wilayah.
Sasi berdasarkan lokasi dan jenis sumber daya alam. Sasi juga dapat diberlakukan lokasi-lokasi dan jenis-jenis sumber daya alam, yang terbagi menjadi empat kelompok utama, yakni sebagai berikut:
1. Di laut (Sasi laut), sasi tersebut diberlakukan dari batas air surut ke batas awal air yang dalam pada saat tertentu, yakni sebagai berikut:
Menangkap ikan seperti lompa (Thryssa baelama) (Engraulidae) serta jenis ikan lainnya, termasuk teripang Holothuroidea dan udang;
Menangkap ikan-ikan di teluk-teluk tertentu dan pada waktu-waktu tertentu;
Menangkap ikan dengan menggunakn jaring yang bermata kecil (redi karoro);
Menangkap ikan dengan menggunakan bom atau bahan beracun;
Menangkap ikan dengan menggunakan jaring khusus untuk daerah penangkapan tertentu;
Mengambil lola (Trochus niloticus), karang laut, karang laut hitam, batu karang dan pasir;
Mengumpulkan rumput laut untuk keperluan makanan atau untuk dijual.
2. Di sungai (Sasi kali) pada saat:
Menangkap ikan dan udang;
Menangkap ikan dengan menggunakan jaring bermata kecil;
Menangkap ikan dengan bom atau racun;
Mengumpulkan kerikil dan pasir;
Menebang pohon dalam radius 200 dari sungai atau dari sumber-sumber air.
3. Di Daratan (Sasi hutan) pada saat:
Mengambil hasil pohon-pohon liar yang ditanam di hutan, seperti kelapa, durian, cengkih, pala, langsat, mangga, nenas, kenari, pinang, sagu, enau dan lain sebagainya;
Mengambil daun sagu untuk atap rumah;
Menebang pohon pinang dan pohon lainnya yang sedang berbuah untuk membuat pagar;
Menebang pohon untuk kayu bakar atau kayu bangunan;
Menebang pohon pada lereng-lereng tertentu;
Penghijauan;
Berburu burung mamalia di hutan.
4. Di pantai (Sasi pantai) pada saat:
Mengambil hasil hutan mangrove;
Mengambil telur burung gosong/maleo yang hitam.
Dilema
Namun, terjadi dilema dimana sasi sendiri sudah tidak berlaku seperti pada awal mula sasi diberlakukan. Hal ini karena kepala desa atau kewang, yakni orang yang ditunjuk untuk mendisiplinkan kewenangan atas sumber daya alam dan wilayah sudah mulai malas untuk memperhatikan tradisi sasi itu sendiri. Selain itu, banyak pendatang yang susah untuk ditertibkan, karena pada pendatang tersebut tidak terikat oleh sasi. Akibatnya, pemberlakuan sasi tidak dapat ditindak secara tegas, meskipun terdapat hukuman-hukuman atas pelanggaran sasi yang sudah disepakati sebelumnya. Banyaknya pendatang serta perusahaan-perusahaan besar yang mengambil sumber daya alam di Maluku semakin mengaburkan sistem sasi secara perlahan-lahan. Contoh yang terjadi akibat adanya pendatang adalah yang terjadi di Nus Leur dan Terbang Utara, dimana terdapat perahu-perahu penangkap ikan yang melanggar batas ketika mengambil hasil laut.