Dataran luas di sisi selatan Danau dihuni penduduk To Puumboto (To Pu'umboto) , To Puumboto artinya "penduduk kaki gunung"[2].
Menurut pemerintah Hindia Belanda To Puumboto kini menempati wilayah yang dihuni To Lamusa[3], tetapi Keberadaan To Lamusa amatlah sangat meragukan penduduk di selatan Danau Poso, hal tersebut karena sejarah To Lamusa berbeda dengan sejarah To Puumboto, dan juga karena semua sejarah To Lamusa berasal dari para MisionarisKristen dari Belanda, sedangkan Sejarah To Puumboto tidak demikian, hal itu bisa di temukan dari sejarah Tana poso yang mana penduduk To Puumboto pernah berjuang bersama-sama To Napu melawan pemerintah Hindia Belanda yang bertujuan untuk mencegah pemerintah Hindia Belanda mendirikan Sekolah misi Kristen di desa pendolo, wilayah Puumboto[4].
Sejarah To Puumboto berbeda dengan Sejarah To Lamusa, sejarah To Lamusa dulunya dianggap dongeng dari pemerintah Hindia Belanda karena dipenuhi cerita mistis seperti : patung naga lamusa dan dongeng semua anak nakal akan di bawa oleh roh jahat ke TandongKasa seperti cerita natal "Sinterklas dan Pit Hitam"[5], dan para peneliti sejarah dari Sulawesi tidak akan menemukan sejarah To Lamusa yang berhubungan dengan suku-suku asli di Sulawesi Tengah seperti halnya Sejarah To Puumboto dengan To Napu.
To Puumboto yang artinya "penduduk kaki gunung" adalah penduduk yang menempati wilayah di sisi sebelah sekatan Danau Poso wilayah dari To Lage (ToLage), di sebelah timur To Puumboto adalah wilayah Suku To Mori, dan di sebelah selatannya berbatasan dengan pegunungan Takolekaju (Takole kadjoe) wilayah Sukunya i Dori[7] (suku di Kerajaan Luwu).
Beberapa sejarah To Puumboto yang tercatat dalam Sejarah Tana Poso baik yang berasal dari rakyat Suku Bare'e To Lage (ToLage) maupun yang berasal dari pemerintah Hindia Belanda seperti Monangu Buaja, To Puumboto melawan Belanda, patung naga lamusa, dan Dongeng semua anak nakal akan di bawa oleh roh jahat ke TandongKasa.
Monangu Buaja
Monangu Buaja[8] (monangu buaja;krokodilzwemmen) atau "berenang seperti buaya", yakni berenang langsung menuju sasaran tanpa melihat ke kiri dan ke kanan yaitu semacam gerakan menarik upeti ciptaan Misionaris Hindia Belanda untuk memperluas wilayah jajahan mereka, gerakan Monangu Buaya ini ditujukan untuk semua Toradja-Stammen dan Umat Kristen di poso untuk mendukung budaya luwu, jadi semacam taktik mengadu domba antara Kerajaan Tojo dengan Kerajaan Luwu, dengan melihat kepada Tokoh Alkitab yaitu "sejarah kematian Lazarus" yang menceritakan bahwa Baju Adat Inodo bukan bajunya umat kristen yang diwakili tokoh Lazarus.
Dan dari gerakan Monangu Buaya maka suku asli (alfouren) di wilayah Toraja Bare'e dibedakan menjadi Suku Bare'e[9] (Bare'e-Stammen) dan Toraja (Toradja).
To Puumboto melawan Belanda
Pada tahun 1905 di sulawesi bagian tengah wilayah To Napu dan To Puumboto terjadi taktik adu dombaBelanda antara Kerajaan Tojo dan Kerajaan Luwu, sejarahnya yaitu "Di Polepa, Tonapoe berjanji untuk membayar pengawas di Poso dengan denda 50 kerbau, karena Suku To Napu di denda Penjajah Belanda atas pembunuhan di Tambarana sebanyak 50 ekor kerbau. Janji itu tidak terpenuhi. Sebaliknya, mereka pindah ke Danau Posso, di mana mereka bergabung dalam pemberontakan ToPoeoemboto melawan Luwu (Loewoe) yang bekerja sama dengan pemerintah Hindia Belanda"[10].
"Untuk memaksa Uma i Soli bergerak cepat ke Mapane, para Tonapoe yang ada di Mapane ditangkap dan disandera. Mendengar berita tentang peristiwa ini, dan dengan patroli harian di sekitar Posso dan Mapane, semua Tonapoe segera melarikan diri kembali ke negara mereka".
Penjajah Belanda yang bermukim di Mapane poso menjebak Suku To Napu untuk ke Desa Mapane dan menangkap Banyak To Napu.
"Untuk mempercepat penyelesaian masalah dengan Tonapoe, 31 Agustus di bawah komando Letnan H.J. Voskuil melakukan perjalanan ke Napu dengan barisan 50 tentara dan 30 tentara polisi, menyampaikan tuntutan untuk tunduk kepada pemerintah; tanpa penyerahan itu, Tonapoe tidak dapat diperintah". Selanjutnya Penjajah Belanda memanggil orang Compagnie yang bernama Letnan H.J. Voskuil untuk membawa surat perintah penangkapan Uma i Soli.[11]
Patung Naga Lamusa
Naga merupakan salah satu makhluk legenda yang memiliki karakteristik serupa dengan reptil yang muncul dalam banyak cerita rakyat dalam berbagai budaya di dunia, tetapi hampir tidak pernah ada cerita naga di suku-suku manapun di negara Indonesia.[12]
Kecuali To Lamusa karena konon dahulu kala pernah ada penduduk To Lamusa, To Lamusa memiliki desa utama yaitu PantjawoeEnoe ('menaburkan manik-manik') dan TandongKasa.[13]
Di TandongKasa ada dua buah batu, yang oleh orang Toraja disebut patung naga. Batu yang satu mempunyai lengan dan kepala. Menurut cerita, suatu ketika Loewoe datang menyerbu TandongKasa, pada kesempatan itu batu tersebut terlepas dari batu di atas para penyerang dan meremukkan beberapa di antara mereka. Orang Loewoe mati berubah menjadi batu. Batu lainnya terletak di sisi timur bekas desa, yang dibangun di atas titik yang sangat berbatu. Albertus Christiaan Kruyt ketika sampai di TandongKasa tidak menemukan Patung Naga Lamusa yang dimaksud.[14].
Anak Nakal dan TandongKasa
Di Kodina sebelah timur, dahulunya adalah tempat tinggal To Lamoesa, dinamakan demikian setelah desa Lamoesa yang telah lama ditinggalkan di tepi kanan sungai tersebut, disebuah tanah terjal yang amat sulit ditempati penduduk, di tanah yang hampir menyerupai sebuah jurang yang di himpit oleh dua bukit (Gunung ?) lebih tepatnya di TandongKasa, Albertus Christiaan Kruyt yang merupakan seorang MisionarisKristen yang berasal dari Belanda menemukan sebuah cerita yang sudah menjadi turun temurun yaitu semua anak yang nakal akan di bawa oleh roh jahat ke TandongKasa[15].
Penelitian
Di Puumboto atau suatu tempat yang dinamakan Lamusa oleh para MisionarisBelanda, pada tahun 1916 Walter Kaudern yang seorang peneliti dari negara swedia datang ke wilayah yang dulunya di tempati oleh to lamusa, Walter Kaudern menemukan sebuah "kebohongan besar" tentang Lamusa[16], yang Lamusa tersebut ada sebuah tempat yang bernama TandongKasa (Tando Ngkasa) yang merupakan sebuah tempat di Lamusa, Kabupaten Poso sekarang , kemudian Walter Kaudern hanya menemukan tanah kosong tanpa penghuni, dan adapun kalau ditempati tanah tersebut sudah ditinggalkan dalam waktu yang lama sekali, karena tanahnya sangat sulit untuk dibuatkan semacam rumah tempat tinggal, jadi kemudian dia menyimpulkan ternyata to lamusa sudah lama meninggalkan wilayahnya dan di bekas tanah yang ditempati oleh to lamusa pada jaman dahulu kini didirikan desa-desa oleh orang-orang to pu’umboto (puumboto).
Dan setelah zaman penjajahan, di Tando Ngkasa yang sebagai tempat berdirinya Benteng Lamusa, dari penelitian oleh Albertus Christiaan Kruyt dari Belanda tahun 1912, dan Walter Kaudern dari Swedia tahun 1925 telah membuktikan sebuah "kebohongan besar[17]" tersebut.
Referensi
^WILAYAH-WILAYAH SUKU BARE'E, De Bare'e-Sprekende de Toradja van midden celebes jilid 1 halaman 119.[1].
^TO POE'OE MBOTO, De Bare'e-Sprekende de Toradja van midden celebes jilid 1 halaman 32.[2].
^SEMUA WILAYAH SUKU BARE'E, De Bare'e-Sprekende de Toradja van midden celebes jilid 1 halaman 119.[3].
^Stromberg, Joseph (23 January 2012). "Where Did Dragons Come From?". Smithsonian. Diarsipkan dari versi asli tanggal 4 October 2019. Diakses tanggal 2 September 2019.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)