Puisi esai(Bahasa Inggris: Essay Poetry) adalah perpaduan antara dua jenis pemikiran yaitu puisi dan esai.[1]Gagasan mengenai puisi esai pertama kali dikemukakan oleh Denny Januar Ali dan secara kreatif diwujudkannya pada tahun 2012 melalui buku berjudul "Atas Nama Cinta." [2] Sebuah karya tulis dapat disebut sebagai puisi esai apabila telah memenuhi empat kriteria, yaitu sisi batin dan sisi kehidupan kemanusiaan tokoh utama tergambar dengan jelas, tata bahasanya indah dan mudah dipahami, pengalaman batin dan fakta sosial dikemukakan melalui catatan kaki dan menyajikan data dan fakta sosial yang mampu membuat pembaca memahami kondisi tokoh utama dalam cerita.[3]
Latar Belakang
Pada tahun 2006, pemimpin Poetry Foundation yaitu John Barr menulis sebuah buku berjudul "American Poetry in New Century". Buku ini diterbitkan oleh tim redaksi Poetry. Di dalam buku tersebut, John Barr menulis kritik terhadap perkembangan puisi di Amerika Serikat. Selain itu, kritik tersebut juga ditujukan bagi dunia perpuisian masa kini di Indonesia. John Barr mengemukakan bahwa puisi belum memahami perubahan yang berarti selama berabad-abad dan semakin sulit dipahami oleh publik.[4] Menanggapi hal tersebut, pada tahun 2011, Denny Januar Ali melakukan riset terbatas tentang perkembangan puisi di Indonesia. Riset ini dilakukan sepenuhnya oleh Lembaga Survei Indonesia yang didirikan olehnya.[5] Hasil riset tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia, bahkan yang berpendidikan tinggi, sangat sulit memahami makna puisi-puisi masa kini. Sebaliknya makna puisi-puisi lama seperti puisi karya Chairil Anwar dan W.S. Rendra dapat dipahami dengan mudah walaupun diberi pemaknaan yang beragam.[6]
Sebelum John Barr mengemukakan pendapatnya tersebut, Joseph Epstein telah lebih dahulu mengemukakan bahwa karya-karya penyair kontemporer hanya mampu dipahami oleh kalangan mereka sendiri dan tidak dikenal oleh para pelajar karena kurangnya adaptasibahasa. Hal ini diungkapkannya dalam esainya yang berjudul "Who Killed Poetry?". Hal yang sama turut dikemukakan oleh Delmore Schwartz dalam esainya yang berjudul "The Isolation of Modern Poetry". Schwartz mengungkapkan bahwa alasan puisi modern kekurangan peminat adalah karena kerumitan bahasa yang digunakan dalam puisi modern itu sendiri.[7]
Menanggapi hal tersebut, Denny Januar Ali mulai memikirkan sebuah medium baru yang mampu memberikan pemahaman mengenai isu-isu sosial sekaligus menyentuh hati pembacanya. Denny menetapkan empat kriteria medium baru tersebut, yaitu harus menyentuh hati dan mengeksplorasi sisi batin, mengungkapkan kehidupan sosial manusia secara konkret, ditulis dengan bahasa yang mudah dimengerti namun indah, serta menggambarkan dinamika sosial maupun dinamika karakter tokoh utama dalam cerita. Kemudian, Denny menemukan sebuah medium baru yang disebutnya dengan nama "puisi esai". Medium ini merupakan perpaduan antara puisi dan esai.[8] Bersamaan dengan penemuan puisi esai, Denny pun menerbitkan sebuah buku berjudul "Atas Nama Cinta" pada bulanMaret 2012.[9] Sebelum menetapkan nama medium "puisi esai", Denny Januar Ali telah beberapa kali melakukan pergantian nama, mulai dari opini liris, esai liris, puisi opini, dan puisi naratif. Pemilihan nama puisi esai merupakan hasil akhir dari diskusi yang dilakukan oleh Denny Januar Ali bersama rekan-rekannya, yaitu Sapardi Djoko Damono, Ignas Kleden, Eriyanto, Fatin Hamama dan Mohamad Sobary.[10]
Penggagas
Gagasan mengenai puisi esai pertama kali dikemukakan oleh Denny Januar Ali dan secara kreatif diwujudkannya pada tahun 2012 melalui buku berjudul "Atas Nama Cinta".[2] Tokoh puisi esai di Sulawesi Barat antara lain Syuman Saeha, Subriadi, Adi Arwan Alimin, Asad Sattari dan Ika Lisrayani.
Ciri Khas
Sebuah karya tulis dapat disebut sebagai puisi esai apabila telah memenuhi empat kriteria. Pertama, sisi batin dan sisi kehidupan kemanusiaan tokoh utama tergambar dengan jelas. Kedua, tata bahasa yang digunakan indah dan mudah dipahami. Ketiga, pengalaman batin dan fakta sosial dikemukakan bersamaan melalui catatan kaki. Keempat, menyajikan data dan fakta sosial yang mampu membuat pembaca memahami kondisi tokoh utama dalam cerita.[3]
Puisi esai pada dasarnya adalah cerita pendek atau drama yang dipuisikan, sehingga bentuknya berupa puisiberbabak yang panjang. Pembabakan ini merupakan akibat dari adanya kisah dinamika karakter dan dinamika sebuah kenyataan sosial.[11] Penanda khas dari puisi esai adalah adanya catatan kaki. Keterangan faktual dan referensial mengenai segala bentuk penokohan dan latar peristiwa dapat diperiksa melalui catatan kaki. Di dalam puisi esai, catatan kaki ini juga berfungsi untuk mencegah terjadinya pemfaktaan hal-hal yang bersifat fiksi dan juga mencegah terjadinya pemfiksian hal-hal yang merupakan fakta.[12]
Rujukan
^Jurnal Sajak (2013), hlm. 3."Puisi esai, dilihat dari namanya, merupakan gabungan dari dua state of mind dalam tulisan, yakni puisi dan esai."
^ abNarudin (2017), hlm. xiii"Dia memperkenalkan apa yang disebutnya puisi esai, yang secara konseptual dirumuskannya sedemikian rupa dan secara kreatif dijalankannya sendiri lewat buku kumpulan puisi esainya, Atas Nama Cinta (2012)."
^ abDenny J.A. (2012), hlm. 11."Saya mencari medium dengan beberapa kriteria. Pertama, ia mengeksplor sisi batin, psikologi dan sisi human interest pelaku. Kedua, ia dituangkan dalam larik dan bahasa yang diikhtiarkan puitik dan mudah dipahami. Ketiga, ia tak hanya memotret pengalaman batin individu tapi juga konteks fakta sosialnya. Kehadiran catatan kaki dalam karangan menjadi sentral. Keempat, ia diupayakan tak hanya menyentuh hati pembaca/pemirsa, tapi juga dicoba menyajikan data dan fakta sosial. Karangan ini ditargetkan berhasil jika ia tak hanya menggetarkan hati tapi juga membuat pembaca lebih paham sebuah isu sosial di dunia nyata."
^Denny J.A., et al. (2017), hlm. vii."Menurut John Barr, puisi semakin sulit dipahami publik. Penulisan puisi juga mengalami stagnasi, tak ada perubahan berarti selama puluhan tahun. Publik luas merasa semakin berjarak dengan dunia puisi. Para penyair asyik masyuk dengan imajinasinya sendiri, atau hanya merespons penyair lain. Mereka semakin terpisah dan tidak merespons persoalan yang dirasakan khalayak luas."
^Denny J.A., et al. (2017), hlm. viii."Saya sendiri pernah melakukan riset terbatas mengenai puisi yang berkembang di Indonesia pada tahun 2011. Saya mendirikan Lingkaran Survei Indonesia (LSI), yang melakukan riset ratusan kali."
^Denny J.A., et al. (2017), hlm. viii-ix."Cukup mengagetkan, bahkan mereka yang tamat pendidikan tinggi sekalipun tidak mengerti dan tidak memahami apa isi puisi tahun 2011 yang dijadikan sampel itu. Mereka yang pendidikannya menengah dan bawah lebih sulit lagi memahaminya. Mereka menilai bahasa dalam puisi ini terlalu menjelimet. Jika bahasanya saja tidak dimengerti, mereka juga sulit untuk tahu apa yang ingin disampaikan puisi itu. Responden yang diteliti masih bisa memahami dan menebak pesan puisi Chairil Anwar atau Rendra."
^Gaus, Ahmad (2018), hlm. 3-4."Sebelum John Barr, telah ada pula pandangan-pandangan yang kurang lebih senada. Misalnya, suara yang cukup pedas dari seorang kritikus paling fenomenal, Joseph Epstein. Dalam sebuah esainya yang menjadi bahan perdebatan panjang di dunia Barat yang berjudul “Who Killed Poetry?”, ia mengatakan bahwa karya-karya para penyair kontemporer hanya dibaca oleh ratusan orang saja. Para penyair tidak dikenal oleh sebagian besar kalangan terpelajar. Pasalnya, mereka tinggal di dunia yang sudah berubah, sementara mereka sendiri tidak mau menyesuaikan diri. Pandangan lainnya datang dari Delmore Schwartz dalam esainya yang berjudul “The Isolation of Modern Poetry”, ia menulis, “It is not a simple matter of the poet lacking an audience, for that is an effect, rather than a cause, of the character of modern poetry.” (Bukan masalah sederhana bahwa penyair kekurangan audiens, karena ini adalah efek, bukan penyebab, dari karakter puisi modern). Karakter puisi modern dalam pandangan Schwartz tidak lain ialah tingkat kesulitannya (its difficulty). Bahasa puisi telah membuat jarak antara penyair dengan masyarakat."
^Denny J.A., et al. (2017), hlm. xiii-xiv"Medium tulisan yang saya idamkan adalah yang bisa menyentuh hati. Namun medium itu juga membuat pembaca mendapatkan pemahaman tentang sebuah isu sosial, walau secuplik. Beberapa kriteria saya susun:· Ia harus menyentuh hati dengan cara mengeksplorasi sisi batin, dan mengekspresikan interior psikologi manusia kongkret. · Ia harus memotret manusia kongkret itu dalam suatu event sosial, sebuah realitas kongkret juga yang terjadi dalam sejarah. Tak terhindari sebuah riset dibutuhkan untuk memahami realitas sosial itu. Tak terhindari juga catatan kaki menjadi sentral dalam medium itu. · Ia harus dituliskan dalam bahasa yang mudah dimengerti publik luas, tapi tersusun indah. · Ia harus menggambar suatu dinamika sosial atau dinamika karakter pelaku. Tak terhindari medium itu menjadi panjang dan berbabak. Empat kebutuhan itu tak bisa dipenuhi dengan medium yang ada sekarang. Esai atau makalah atau kolom jelas tidak mengeksplorasi sisi batin manusia. Sementara puisi yang ada juga tidak bercatatan kaki hasil riset layaknya sebuah makalah. Saya mengembangkan medium sendiri yang kemudian disebut puisi esai."
^Denny J.A. (2012), hlm. 13."Ucapan terima kasih pertama saya ucapkan kepada rekan yang menjadi teman diskusi soal karangan ini: Sapardi Djoko Damono, Ignas Kleden, Eriyanto, Fatin Hamama dan Mohamad Sobary. Lima rekan tersebut banyak ikut mempengaruhi ruh karangan. Ikut juga merumuskan nama untuk gaya penulisan tak biasa ini. Akhirnya saya pilih nama puisi esai, setelah mengalami perubahan berkali-kali dari opini liris, esai liris, puisi opini, dan puisi naratif."
^Jamal D.R., et al. (2014), hlm. 732."Menurut Denny JA, puisi esai ialah puisi panjang dan berbabak, karena ia pada dasarnya adalah drama atau cerpen yang dipuisikan. Dalam sebuah puisi esai, lanjutnya, selayaknya tergambar dinamika karakter pelaku utama atau perubahan sebuah realitas sosial. Dinamika karakter dan perubahan sebuah realitas sosial itu dengan sendirinya membutuhkan kisah yang berbabak."
^Jamal D.R., et al. (2014), hlm. 733."Bahkan, catatan kaki menjadi penanda khas bagi puisi esai. Dengan catatan kaki, semua keterangan faktual maupun referensial yang dibutuhkan bagi penokohan, latar, peristiwa, sikap tertentu, dan sebagainya menjadi terbuka dan dapat dicek kembali maupun digugat/dilengkapi pembaca. Mungkin ada yang beranggapan bahwa catatan kaki dalam puisi esai hanya sekedar keterangan tambahan, atau bahkan dianggap mengada-ada. Padahal, dalam puisi esai, catatan kaki adalah sesuatu yang dapat dianggap prinsip karena menjamin ketegangan hubungan fakta dengan fiksi sekaligus menjamin tidak terjadinya pemfiksian fakta maupun pemfaktaan fiksi."
Daftar Pustaka
Denny J.A. (2012). Atas Nama Cinta: Sebuah Puisi Esai. Jakarta Selatan: Renebook Project. ISBN978-602-19153-2-5.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Denny J.A.; et al. (2017). Memotret Batin dan Isu Sosial Melalui Puisi Esai. Jakarta Selatan: Inspirasi.co Book Project (PT Cerah Budaya Indonesia).Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)Pemeliharaan CS1: Penggunaan et al. yang eksplisit (link)
Gaus, Ahmad (2018). Pergolakan Puisi Esai: Membawa Puisi Kembali ke Masyarakat. Tangerang Selatan: Inspirasi.co Book Project.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Jamal D.R.; et al. (2014). 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Kepustakaan Populer Gramedia.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)Pemeliharaan CS1: Penggunaan et al. yang eksplisit (link)
Jurnal Sajak (2013). Puisi Esai: Kemungkinan Baru Puisi Indonesia. Depok: PT Jurnal Sajak Indonesia. ISBN978-602-17438-2-9.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Narudin (2017). Membawa Puisi ke Tengah Gelanggang: Jejak dan Karya Denny JA. Jakarta Selatan: Inspirasi.co Book Project (PT Cerah Budaya Indonesia).Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)