Artikel ini membahas tentang pertempuran darat dan laut di Balikpapan pada tahun 1942. Untuk informasi pendaratan angkatan Australia di daerah yang sama pada tahun 1945, lihat Pertempuran Balikpapan (1945).
Pertempuran Balikpapan pertama terjadi pada tanggal 23–25 Januari 1942, di lepas pantai kota penghasil minyak utama dan pelabuhan Balikpapan, di Borneo (sekarang Kalimantan), di Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Setelah merebut sebagian besar kilang minyak yang hancur di Tarakan, pasukan Jepang mengirim ultimatum kepada Belanda bahwa mereka akan dieksekusi jika mereka menghancurkan kilang minyak di sana, tetapi tidak berhasil.
Setelah menghancurkan semua kilang minyak, pasukan Belanda mundur ke daratan, mengambil posisi di dalam dan sekitar Landasan Udara (Lanud) Samarinda II, sementara Jepang mendarat dan merebut Balikpapan. Tak lama kemudian, satu satuan tugas (satgas) Angkatan Laut Amerika menyergap konvoi Jepang dan menenggelamkan beberapa kapal pengangkut. Namun pada akhirnya, mereka gagal menghentikan Jepang dari sepenuhnya menduduki Balikpapan.
Latar Belakang
Sebelum perang, Balikpapan adalah pusat penting bagi pengembangan ekonomi Belanda di Borneo. Dalam wilayah kota, terdapat 2 pabrik pengolahan minyak mentah, pabrik minyak parafin dan pelumas, pabrik perengkahan, pabrik asam sulfat dan pabrik penyulingan minyak bumi, pabrik timah dan drum dan beberapa bengkel.[1] Namun yang paling penting, Balikpapan memiliki kilang minyak dengan kompleks tangki minyak yang dapat menampung delapan kali lebih banyak minyak daripada Tarakan. Kilang ini juga mempekerjakan hingga 7.000 pekerja penduduk asli dan 100 pengusaha Eropa, dan menghasilkan hingga satu juta ton minyak setiap tahun sebelum perang.[2][3]
Ketika Belanda mulai memikirkan kemungkinan agresi militer Jepang, mereka mulai memperkuat pertahanan untuk melindungi fasilitas pulau itu. Pada tahun 1942, satu detasemen berisi 6 brigade infanteri ditempatkan untuk mempertahankan ladang minyak Balikpapan, serta ladang minyak Semboja dan Sanga Sanga (mereka didukung oleh 3 brigade tambahan dari Samarinda).
Seperti halnya detasemen di Tarakan, pasukan dari Jawa akan memperkuat detasemen Balikpapan jika terjadi situasi yang mengancam. Pada tahun 1933, satu staf batalyon dan 2 kompi dikirim untuk memperkuat pertahanan Balikpapan, karena ketegangan di Pasifik sedang meningkat pada saat itu. Setelah 4 bulan, bala bantuan ini kembali ke Jawa. Setelah itu, kekuatan detasemen di Balikpapan dikurangi menjadi satu batalyon infanteri.[4]
Dalam rencana Jepang untuk menduduki Hindia Belanda, Balikpapan memiliki makna strategis dan taktis sebagai target. Secara strategis, kilang minyaknya sangat penting untuk produksi minyak Jepang sendiri, dan mereka juga dapat memiliki akses langsung ke ladang-ladang minyak besar lainnya di pedalaman Kalimantan. Secara taktis, kota itu juga memiliki pelabuhan dan lapangan terbang (Manggar) yang penting bagi pendudukan Jepang di Kalimantan bagian selatan dan penaklukan Jawa.[5][6]
Susunan Pasukan
Jepang
Pasukan Darat
Detasemen Sakaguchi (Komandan: Mayor Jenderal Shizuo Sakaguchi)[7]
Unit Razia
(Komandan: Kol. Ken’ichi Kanauji
dari Batalyon Ke-2)
Unit Perebut Lanud
(Komandan: Letkol. Motozō Kume dari Batalyon Ke-1)
Unit Penyerbu
(Komandan: Kol. Kyōhei Yamamoto
dari Resimen Infanteri Ke-146)
Unit Lainnya
- Batalyon Ke-2
(minus Kompi Ke-7)
- Satu regu meriam
- Tiga regu radio
- Satu peleton insinyur
- Salah satu elemen unit medis
- Batalyon Ke-1
(minus Kompi Ke-2 dan -4)
- Satu regu radio
- Satu peleton mobil lapis baja
(Hanya untuk perebutan lapangan terbang)
- Satu baterai artileri medan
- Resimen Infanteri Ke-146
(dikurangi Batalyon Ke-1 dan -2)
- Pasukan Pendaratan Khusus Kure ke-2
- Unit mobil lapis baja (minus satu peleton)
- Batalyon Artileri Lapangan Ke-1
(minus satu baterai)
- Satu peleton insinyur
- Satu peleton masing-masing dari Unit Perebut Lanud dan Unit Perebut Samboja (Setelah merebut Lanud Manggar dan Samboja)
- Unit Perebut Samboja
Kompi Infanteri Ke-2 (satu peleton mobil lapis baja dan satu unit artileri akan dipasang ke kompi setelah Lanud Manggar direbut)
- Unit Penyelamatan Sumber Daya Medan Perang
Unit Angkatan Laut
Unit Serang Barat (Komandan: Laksamana Muda Shoji Nishimura, berbasis di kapal penjelajah Naka)[8][9]
Garnisun Belanda di Balikpapan diperintahkan untuk mempertahankan kota, khususnya kilang minyaknya dari serangan kejutan dan melakukan aksi penundaan untuk meluangkan waktu untuk agar semua fasilitas penting bisa dihancurkan. Setelah tampak jelas bahwa kota ini akan jatuh ke tangan musuh, pasukan Belanda harus melancarkan perang gerilya di pedalaman.
Untuk rentang waktu penghancuran fasilitas, detasemen penghancur Belanda memberikan alokasi waktu masing-masing 3 jam dan 8 jam untuk Balikpapan dan Sambodja. Namun, latihan penghancuran menunjukkan bahwa akan membutuhkan lebih banyak waktu jika penghancuran dilakukan sebagaimana mestinya.[11]
Untuk persiapan pertahanan, van den Hoogenband membentuk posisi pertahanan di Klandasan untuk memblokir jalan dari Lanud Manggar ke kota. Garis pertahanan kedua ditempatkan di sekitar stasiun radio (posisi Radio), dengan garis ketiga (posisi Rapak) dibangun untuk menutupi mundurnya pasukan ke pedalaman untuk kampanye gerilya.[11]
Untuk mencegah pendaratan musuh, penyebar ranjau Angkatan Laut Belanda (Koninklijke Marine) Gouden Leeuw, Eland Dubois dan Soemenep menaruh 290 ranjau di sekitar Teluk Balikpapan antara September 1939 dan Desember 1941.[12]
Terakhir, untuk mempersiapkan kampanye gerilya, van den Hoogenband mendirikan kamp-kamp pengungsian yang dapat menampung sekitar 3,000 orang sekitar 6 sampai 9 km dari Balikpapan. Tak lama setelah jatuhnya Tarakan, dia segera mengevakuasi semua warga sipil Balikpapan ke kamp-kamp tersebut. Selain itu, depot makanan juga dibangun di tepi sungai setiap 10 km dari kota dan dekat stasiun pompa minyak di Sungai Wain dan Mentawir untuk menopang pasukannya selama kampanye gerilya.[13][14]
Rencana Jepang
Karena penangkapan Tarakan berlangsung lebih cepat dari jadwal yang diperkirakan, Detasemen Sakaguchi dan Unit Serangan Barat langsung bergerak untuk menduduki Balikpapan. Perintah mereka adalah:[5]
Musuh akan dihancurkan sementara semua usaha akan dilakukan untuk mencegah penghancuran instalasi kilang minyak. Setelah landasan udara direbut, ia akan digunakan untuk invasi ke Jawa. Unit penyerbu akan bekerja sama untuk pemeliharaan lapangan terbang.
Segera setelah mendarat di dekat lanud, unit perebut akan segara menangkapnya. Bersamaan dengan itu, sebagian dari kelompok akan secara diam-diam masuk ke sungai dan melakukan serangan mendadak di belakang musuh untuk mematahkan semua perlawanan terorganisir. Sebisa mungkin, mereka juga akan mencegah penghancuran instalasi kilang minyak.
Setelah perebutan Balikpapan, ladang minyak Sanga Sanga akan dibersihkan dan diamankan.
Persiapan akan dilakukan untuk menjadikan Balikpapan sebagai pusat pemerintahan militer di Kalimantan Selatan.
Meskipun waktu serangannya lebih awal dari jadwal, kegiatan debarkasi dan konstruksi untuk memastikan kesiapan lanud Tarakan hanya mengalami sedikit kemajuan. Karena penundaan kapasitas lanud yang akan digunakan sebagai basis untuk penyerangan ke Balikpapan, Nishimura dan Sakaguchi akhirnya sepakat untuk menunda pendaratan di Balikpapan dari 21 hingga 24 Januari. Namun, karena penundaan ini tidak memberikan waktu yang cukup untuk mempersiapkan lanud Tarakan untuk penggunaan pesawat angkut, rencana untuk menyerang Balikpapan menggunakan pasukan terjun payung dibatalkan.[15][16]
Khawatir bahwa pasukan Belanda akan menghancurkan ladang minyak di Balikpapan, pasukan Jepang berencana untuk melepaskan beberapa tawanan perang Belanda. Mereka akan membawa ultimatum peringatan bahwa pembalasan akan jatuh kepada semua pasukan dan warga sipil jika mereka menghancurkan kilang minyak.[5]
Pertempuran
Ultimatum dan penghancuran (16-20 Januari)
Tugas penyampaian ultimatum ini Mayjen. Sakaguchi berikan kepada Kapt. Gerard Reinderhoff, mantan kepala staf untuk komandan garnisun Tarakan, Letkol. Simon de Waal dan Kapt. Anton Colijn, manajer perusahaan minyak BPM di Tarakan dan putra mantan perdana menteri Belanda Hendrikus Colijn. Pada pagi hari tanggal 16 Januari, mereka berangkat ke Balikpapan dengan kapal motor BPM Parsifal bersama seorang kapten Indonesia dan tiga penerjemah Jepang[5] (sumber lain mengatakan dua letnan angkatan laut Jepang dan dua pelaut;[17] yang lain menyebutkan tiga juru bahasa Jepang dan dua petugas polisi Indonesia).[18]
Dua pesawat amfibi Dornier Do-24 dari Skuadron GVT.4 MLD melihat kapal Parsifal pada 19 Januari. Sumber yang berbeda menunjukkan bahwa Colijn dan Reinderhoff entah megalahkan atau menipu para penahan mereka —beberapa sumber mengklaim bahwa semua orang Jepang dikapal itu sedang mabuk — dan berhasil mengunci mereka di dalam kabin.[19] Colijn kemudian langsung merobohkan panji Jepang di kapal itu dan Reinderhoff segera mengibarkan bendera Belanda. Karena laut terlalu berombak untuk mendarat, para pesawat Dornier kembali ke pangkalan dan hanya baru bisa menjemput Colijn dan Reinderhoff keesokan harinya dan menerbangkan mereka ke Balikpapan, di mana mereka menyampaikan ultimatum Sakaguchi ke van den Hoogenband. van den Hoogenband tidak membuang waktu dan segera memerintahkan tim penghancur untuk mulai menghancurkan semua sumur, kilang dan fasilitas pelabuhan di Balikpapan. Penghancuran ini sebenarnya sudah dimulai lebih dulu pada 18 Januari. Di ladang minyak Louise yang terletak di utara Balikpapan, tim penghancur Belanda membongkar tabung sumur, menggali hingga kedalaman 15 meter, dan kemudian menjatuhkan potongan-potongan tabung itu ke lubang bersama dengan plunger pompa dan batang aksesori. Untuk menyelesaikan pekerjaan ini, bahan-bahan lain seperti baut, mur, dan mata bor berat dilemparkan juga ke dalam lubang. Akhirnya, sebuah kaleng berisi empat buah TNT dilemparkan ke dalam untuk menghancurkan pipa casing. Dalam beberapa hari “semua motor, pompa, dinamo dan turbin diledakkan.[20]
Di Balikpapan sendiri, pertama, semua penyulingan dan ketel uap dirusak dalam satu setengah hari; proses heavy stoking selama sekitar 30 jam diperlukan untuk meruntuhkan para cangkang penyulingan. Setelah itu, tim demolisi menghancurkan ketel selama lima hingga delapan jam. Penghancuran instalasi kemudian berlanjut di seluruh wilayah dan di pelabuhan itu sendiri.[21]
Pertama, tim itu membakar dermaga dengan mengelilingi saluran dengan minyak bakar dari drum bensin yang menyala. Mereka kemudian meledakkan pabrik-pabrik; pabrik lilin parafin, toko drum minyak pelumas yang dikemas, stasiun pompa air asin semuanya dinamit. Pabrik timah yang baru dibangun di Pandansari juga dibakar.[22] Terakhir, laboratorium, peternakan tank, dan pembangkit listrik dihancurkan dalam rantai ledakan yang menghancurkan jendela-jendela di seluruh kota. Menjelang malam pada tanggal 20 Januari, kobaran api dari kehancuran ini dapat terlihat lebih dari 100 km jauhnya.[21]
Evakuasi (20-23 Januari)
Dari pertengahan Januari 1942, personel BPM dan warga sipil mulai diterbangkan dari Balikpapan. Setelah jatuhnya Tarakan, tiga Lockheed Lodestars dari ML-KNIL dan satu DC-2 dari KNILM ditempatkan di Surabaya untuk melakukan penerbangan suplai dan evakuasi. Ratusan pengungsi diterbangkan ke Surabaya dari Lanud Manggar serta Lanud Oelin dekat Banjarmasin. Namun, mulai dari 20 Januari, evakuasi dari kota hanya dapat dilakukan dengan kapal terbang. Untuk menghindari pembalasan, para insinyur BPM dan KNIL yang melakukan penghancuran dan Colijn serta Reinderhoff juga dievakuasi. Pada malam 20 Januari, kedua petugas tersebut bersama 25 pengungsi lainnya berangkat ke Jawa. Pada saat yang sama, BPM mengirim satu pesawat Grumman Goose untuk mengevakuasi pejabat dan karyawan perusahaan mereka, dengan penerbangan terakhir dilakukan pada 23 Januari.[23][24] Pada malam itu, MLD juga memulai evakuasi mereka dengan dua Dornier dari Skuadron GVT.4 yang melakukan penerbangan antara Balikpapan dan Surabaya. Mereka mengevakuasi komandan pelabuhan kota dan personelnya, serta tim yang telah menghancurkan kilang minyak Samboja. Pada penerbangan berikutnya di 22 Januari, dua Dornier tambahan bergabung dengan konvoi ini, tetapi hanya dua yang berhasil mendarat di Sungai Wain dan mengevakuasi 58 anggota BPM dari tim penghancur dan personel darat MLD yang tersisa. Meski mengalami cuaca buruk dan masalah bahan bakar, mereka berhasil mendarat di Surabaya. Dari dua Dornier yang tersisa, satu kembali karena cuaca buruk, sementara yang lain jatuh dan meledak saat mencoba mendarat di Sungai Wain, menewaskan empat dari lima awak pesawat. Sepanjang evakuasi, kobaran api dari kota membantu memandu pesawat masuk, karena para pilot sudah bisa melihatnya satu jam jauhnya dari Balikpapan.[23][24][25]
Sisa dari tim penghancur, 87 orang Eropa serta 10 orang Indonesia dari BPM dan para perusahaan lain, dibantu oleh 140 porter Indonesia, berjalan ke Banjarmasin. Ketika pasukan Jepang memotong rute mereka, para porter melarikan diri, dan grup ini memutuskan untuk berpisah menjadi kelompok-kelompok kecil yang akan mencoba mencapai Lanud Samarinda II dengan laju mereka sendiri. Kelompok terbesar akhirnya mencapai Samarinda II pada akhir Februari dan dievakuasi ke Jawa, sementara satu kelompok lain mencapai lanud pada 8 Maret, ketika Belanda sudah menyerah. Dari kelompok-kelompok kecil lainnya, beberapa mencapai Banjarmasin menggunakan perahu, dua kelompok mencapai Jawa setelah menyerah dan satu mencapai Lombok. Namun ada juga yang ditangkap dan dibunuh oleh tentara Jepang. Secara keseluruhan, dari 87 orang Eropa, 41 selamat.[26]
Pencegatan Armada (21-23 Januari)
Pada pukul 17.00 tanggal 21 Januari, armada invasi Jepang yang terdiri dari satu kapal penjelajah ringan, sepuluh kapal perusak, empat kapal penyapu ranjau, tiga kapal pemburu kapal selam, tiga kapal patroli dan enam belas kapal angkut meninggalkan Tarakan menuju Balikpapan. Sebuah Do-24 MLD menemukan armada ini pada hari yang sama, namun awan tebal dengan angin kencang dan hujan yang berkepanjangan mencegah pesawat membayangi armada. Pada hari berikutnya, kapal selam Angkatan Laut AS S-40, Pickerel, Porpoise, Saury, Spearfish and Sturgeon diperintahkan untuk mencegat armada. Kemudian, mereka bergabung dengan kapal selam Belanda K-XIV dan K-XVIII. Sturgeon menembakkan beberapa torpedo ke konvoi dan melaporkan menenggelamkan tiga kapal. Namun, catatan pascaperang gagal mengkonfirmasi kerusakan pada konvoi.[27][28][29]
Pada 23 Januari, satu pesawat amfibi PBY Catalina Amerika dari Patrol Wing 10 melihat armada tersebut pada pukul 12:20 dan membayanginya selama satu jam. Mulai pukul 16:25, sebanyak tiga gelombang pesawat pengebom Martin B-10 Belanda (total 19) dikawal oleh 12 pesawat Brewster Buffalo menyerang armada ini. Gelombang pertama dan kedua tidak mengenai apapun, dan banyak yang terpaksa kembali karena cuaca buruk. Pada gelombang ketiga, pesawat-pesawat Belanda nyaris mengebom Kawakaze, merusak ringan kapal angkut Tatsugami Maru, dan menenggelamkan kapal angkut Nana Maru, dan hanya kehilangan satu pengebom Martin.[30][31]
Terlepas dari serangan-serangan ini, pada pukul 22:30 Jepang mulai mendarat di Balikpapan, saat Unit Razia Kol. Kanauji turun dari kapal dan menysusup melalui teluk untuk mendarat di belakang garis pertahanan van den Hoogenband. Pada pukul 01:40 tanggal 24 Januari, Unit Perebut Lanud Lapangan Udara dan Unit Penyerbu Mayjen. Sakaguchi masuk ke kapal pendarat mereka dan juga mulai menuju pantai.[32]
Pertempuran Darat (23-25 Januari)
Sekitar tengah malam, van den Hoogenband menerima laporan kapal-kapal di Teluk Balikpapan yang menuju posisi Klandasan. Asap tebal dari semua fasilitas yang terbakar mempersulit lampu sorot Belanda untuk mengamati laut di depan mereka, dan memungkinkan Unit Razia Kanauji untuk berlayar tanpa hambatan ke Sungai Wain di belakang garis Belanda. Patroli Belanda segera melaporkan hal ini ke van den Hoogenband, dan ia memerintahkan Kompi Ke-2 untuk mengamankan semua meriam pantai Belanda dan mengirimkan mobil lapis baja overvalwagen untuk berpatroli dan melaporkan aktivitas pasukan musuh di rute mundur mereka. Pada pukul 03:30 tanggal 24, Unit Razia memasuki muara Sungai Wain dan bertemu dua petugas polisi Indonesia yang membimbing mereka ke pedalaman.[33][34]
Saat fajar menyingsing, Kompi ke-2 melaporkan bahwa mereka berhasil mencegah Kanauji mencapai Balikpapan dan mengancam rute mundur mereka. Namun pada pukul 06:30, van den Hoogenband menerima laporan bahwa pasukan Jepang sedang maju ke timur menuju garis pertahanan mereka, dan pada pukul 07:00, pasukan Jepang sudah mendekati posisi Klandasan. Dengan sedikit cadangan yang dimilikinya, van den Hoogenband harus memilih antara memperkuat posisi Klandasan, atau mengalahkan Unit Razia dan mundur ke pedalaman. Melihat bahwa tidak ada gunanya mempertahankan kota yang hancur, ia memilih untuk mundur. Dia memberi tahu Markas Besar di Bandung tentang keputusannya dan memerintahkan pasukannya untuk menghancurkan semua artileri, lampu sorot dan stasiun radio serta memperkuat pertahanan belakang untuk gerakan mundurnya.[33]
Kompi ke-2 sekarang diperintahkan untuk merebut dan mempertahankan stasiun pompa Sungai Wain untuk memungkinkan pasukan lainnya mundur. Kemudian, meskipun tidak ada laporan dari mereka, van den Hoogenband mengira bahwa Kompi Ke-2 berhasil menguasai stasiun pompa dan bahwa patroli overvalwagennya telah menjaga rute mundur aman dari pasukan Jepang. Pada pukul 09:00, dia mengumpulkan pasukannya dan keluarga mereka, sekitar 700 orang di dalam sekitar 100 truk dan kendaraan lain. Dipimpin oleh satu overvalwagen, mereka mulai mundur ke Batoehampar (Batu Ampar).[35]
Unit Razia Kanauji akhirnya mendarat pukul 17:30 hari itu. Pada tanggal 25, Kanauji memecah pasukannya, dengan satu elemen maju untuk merebut stasiun pompa, satu yang lain maju ke Balikpapan, dan sisa pasukannya bergerak menuju jalan antara Batu Ampar dan Balikpapan. Pada pukul 14:40, saat sisa pasukan Kanauji maju ke Batu Ampar, mereka mengalahkan pasukan Belanda (tidak diketahui, entah dari Kompi Ke-2 atau bagian dari kolom van den Hoogenband) dan membawa mereka sebagai tawanan. Dengan ini jalur mundur ke pedalaman berhasil terpotong.[34]
Sementara itu, pada pukul 02:40 di tanggal 24, Unit Penyerbu dan Perebutan Lanud mendarat tanpa perlawanan dan menjelang fajar, mereka telah merebut Lanud Manggar. Meskipun pasukan van den Hoogenband telah menghancurkan jembatan di sepanjang jalan pantai, pasukan Yamamoto berhasil mencapai ujung utara Balikpapan pada malam hari. Pukul 04:00 pada tanggal 25, Unit Penyerbu memasuki Balikpapan tanpa perlawanan.[36] Setelah malam tiba, dengan terhubungnya Unit Razia dengan Unit Penyerbu ketika saat memasuki kota, Balikpapan telah jatuh di tangan Jepang.[37]
Pertempuran Laut (24 Januari)
Saat pasukan Jepang mulai naik ke kapal pendarat mereka dan menuju Balikpapan, kapal selam Belanda HNLMS K-XVIII yang dipimpin oleh Letnan Komandan Carel A.J. van Well Groeneveld menemukan konvoi invasi Balikpapan. Pada 00:35, van Well Groenveld menembakkan tiga torpedo ke apa yang dia laporkan sebagai "penghancur 1.400 ton," yang sebenarnya adalah kapal penjelajah Naka. Namun setelah semua torpedo tidak mengenai Naka, kapal selam itu menembakkan torpedo lain yang menabrak dan menenggelamkan kapal pengangkut Tsuruga Maru antara 00:40 dan 00:45. Satu kru dan 39 pasukan Detasemen Sakaguchi tenggelam bersamanya.[38][39][40]
Saat Naka dan Armada Penghancur ke-4 meninggalkan konvoi untuk berburu K-XVIII, mereka membuka jalan bagi Divisi Perusak Ke-59 Amerika untuk menyerang kapal-kapal transportasi yang tidak dikawal. Laksamana Thomas Hart, komandan Armada Asiatik Angkatan Laut AS, mengumpulkan Satuan Tugas (Task Force (TF) 5) yang berlayar dari Teluk Koepang (Kupang), Timor pada 20 Januari. Dipimpin oleh Laksamana William Glassford and Paul Talbot, TF 5 terdiri dari kapal penjelajah Boise dan Marblehead dan kapal perusak John D. Ford, Pope, Parrott, Paul Jones, Pillsbury, dan Bulmer. Glassford menjabat sebagai komandan keseluruhan, sementara Talbot memimpin para kapal perusak.[41][42]
Pada saat itu, Marblehead hanya memiliki satu turbin yang berfungsi, sehingga kecepatannya terbatas hanya sampai 15 knot. Pada 21 Januari, Boise menabrak karang yang belum dipetakan di lepas Pulau Kelapa di Selat Sape yang menyebabkan lubang sepanjang 120 kaki di lunas kapal. Bersama dengan Marblehead, kedua kapal penjelajah itu terpaksa mundur ke Teluk Waworada bersama Bulmer dan Pillsbury. Dari sana, Boise dan Pillsbury kembali ke Tjilatjap (Cilacap), sementara Marblehead dan Bulmer berlayar menuju Surabaya. Empat kapal perusak yang tersisa di bawah Komandan Talbot melanjutkan perjalanan menuju Balikpapan.[43]
Untuk menjaga unsur kejutan dalam serangan, Talbot memerintahkan kapal perusaknya untuk hanya menggunakan torpedo mereka sebagai senjata utama mereka malam itu dan hanya menembakkan meriam mereka setelah seua torpedo habis. Dipandu oleh bangkai kapal Nana Maru yang terbakar dan kobaran api Balikpapan, TF 5 memasuki Selat Makassar setelah tengah malam pada tanggal 24 Januari. Pukul 02:35, mereka bertemu dengan Naka dan empat kapal perusak. Salah satu kapal perusak Jepang memberi sinyal tantangan, namun tidak mendapat jawaban dari TF 5. Para kapal Jepang, berasumsi bahwa itu adalah kapal Jepang yang lain, akhirnya melewati TF 5 tanpa membunyikan alarm.
Sepuluh menit kemudian, Talbot melihat armada transportasi Jepang, dibayangi oleh api dari ladang minyak yang terbakar di depan mereka dan dijaga oleh tiga kapal patroli, empat kapal penyapu ranjau, dan empat pemburu kapal selam. Pada 02:57, penyapu ranjau W-15 melihat para kapal Amerika, tetapi berasumsi bahwa itu adalah Naka. Parrott, diikuti oleh John D. Ford dan Paul Jones, menembakkan tujuh torpedo ke W-15, tetapi semuanya meleset karena sudut yang buruk. Saat mereka mencapai ujung utara armada transportasi, Parrott menembakkan tiga torpedo pada pukul 03:00 yang menghantam Sumanoura Maru dan menyebabkan ledakan luar biasa yang menenggelamkannya, karena ia membawa bom laut dan ranjau pada saat itu.[44][45]
Pada saat yang sama, W-15 memberi tahu Laksamana Nishimura bahwa armada transportasi mereka sedang diserang. Meskipun demikian, dia menolak untuk percaya bahwa kapal musuh dapat menembus pelabuhan dan berasumsi bahwa serangan itu pasti datang dari K-XVIII. Di tengah semua kekacauan ini, Pope, Parrott dan Paul Jones menembakkan 10 torpedo pada pukul 03:06 dan salah satunya mengenai Tatsugami Maru. Diperparah dengan kerusakan akibat serangan udara Belanda sehari sebelumnya, kapal bermuatan amunisi itu akhirnya meledak dan tenggelam 30 menit kemudian. Pada 03:14, Talbot membelokkan TF 5 untuk menyerang ujung selatan armada.[46]
Lima menit kemudian, Pope dan Parrott menembakkan lima torpedo ke sesuatu yang mereka duga sebagai kapal perusak, tapi sebenarnya kapal patroli P-37. Eks-kapal perusak Perang Dunia I itu menerima tiga torpedo yang menewaskan 35 awaknya. John D. Ford dan Paul Jones menyerang Kuretake Maru, tetapi ia berhasil menghindari dua torpedo pertama. Torpedo berikutnya dari Paul Jones kemudian menghantam bagian tengah kapal dan ia segera tenggelam. Pope, Parrott, dan Paul Jones sekarang memberi isyarat kepada Talbot bahwa mereka telah menggunakan semua torpedo mereka, dan dia mengizinkan mereka untuk menggunakan meriam 4 inci mereka.[47][48]
Namun pada saat ini, formasi TF 5 mulai terpencar. John D. Ford melanjutkan perjalanan ke arah barat laut pada pukul 03:35, diikuti oleh Pope. John D. Ford kemudian menembakkan dua torpedo terakhirnya ke bangkai kapal Tsuruga Maru, sebelum menyerang Kumagawa Maru dan Asahisan Maru secara bersamaan. Peluru dari meriam 4 inci dan senapan mesin kaliber 50 segera menghujani kedua kapal, menewaskan 6 awak di Kumagawa Maru dan 50 di Asahisan Maru. Namun, sebuah peluru meriam menghantam bagian belakang John D. Ford pada pukul 03:47 dan melukai empat awak. Untuk menghindari kandas di perairan dangkal, komandan kapal itu, Letnan Komandan Jacob D. Cooper, berbelok ke kiri dan mundur untuk menyusul dengan sisa TF 5 yang sudah menjauh dari Teluk Balikpapan. John D. Ford akhirnya menyusul dengan sisa TF 5 pada 06:42, di mana Talbot memerintahkan pengibaran bendera sinyal di kapal perusak: WELL DONE (Kerja bagus).[49][50]
Saat itu, Laksamana Nishimura dan Armada Penghancur Ke-4 masih mengejar K-XVIII hampir enam hingga tujuh kilometer (tiga hingga empat mil) jauhnya. Ketika sudah pukul 05:20, dia akhirnya memerintahkan Divisi Penghancur ke-9 untuk memotong rute pelarian TF 5. Namun, karena tidak ada dari mereka yang mengetahui keberadaan kapal-kapal Amerika, Nishimura akhirnya memerintahkan Divisi Ke-9 untuk melanjutkan tugas mereka sebelumnya. Saat Naka berlayar ke pelabuhan untuk memastikan kondisi kapal angkut, ia dipisahkan dari Divisi Ke-9 dan bergabung kembali dengan eselon kapal angkut.[51][52]
Mundur ke Lanud Samarinda II (24 Januari - 6 Februari)
Setelah mencapai Batu Ampar, van den Hoogenband menyadari bahwa pasukan Jepang telah menduduki titik-titik pertahanan menuju ke stasiun pompa. Pasukannya sekarang harus mundur melalui kamp-kamp evakuasi, di mana beberapa ratus wanita dan anak-anak, sebagian besar keluarga tentara Indonesia, bergabung dengan konvoinya. Pada tanggal 25 Januari, mereka menerima laporan bahwa stasiun pompa Sungai Wain sudah berada di bawah kendali Jepang.[53]
Karena pasukannya sudah terlalu lelah saat ini, van den Hoogenband menahan diri untuk tidak menyerang stasiun pompa dan membujuk para wanita dan anak-anak untuk kembali ke Balikpapan, karena ada kesempatan lebih baik di sana untuk mendapatkan makanan. Sebagian dari mereka kembali ke kamp pengungsian, sementara yang lain tetap berada di kampung-kampung di sekitar Sungai Wain. 500 tentara Belanda yang tersisa melanjutkan gerak mundur ke utara.[54][55]
Selama mundur, pasukan Belanda mengalami kesulitan dalam mengisi peralatan dan memperoleh makanan, karena sebagian besar depot makanan telah diambil alih oleh pasukan Jepang. Baru setelah mereka mencapai jalan antara Mentawir dan Semoi, akhirnya mereka berhasil menemukan gudang beras di sebuah kamp kerja paksa. Pada tanggal 3 Februari, rombongan mencapai kampung Boeat (Buat) dan memperoleh lebih banyak perbekalan, serta intelijen tambahan. Pejabat setempat memberi tahu van den Hoogenband bahwa pasukan Jepang telah menduduki kota Samarinda pada hari yang sama, tetapi Lanud Samarinda II masih berada di bawah kendali Belanda.[54]
Disarankan oleh pejabat, kolom Belanda sekarang mundur ke Kota Bangoen (Kota Bangun), di mana ada kapal pengangkut yang dapat membawa mereka sepanjang Sungai Mahakam ke Samarinda II. Orang sakit dari kolom dipindahkan menggunakan perahu kayu (perahu) langsung dari hilir Buat ke Mahakam. Setelah tiga hari perjalanan, van den Hoogenband dan 200 tentara mencapai Kota Bangun pada tanggal 5 Februari dan tiba di Samarinda II keesokan harinya. Dari tanggal 7 sampai 8 Februari, sebagian besar dari mereka diterbangkan ke Jawa, meskipun ada prajurit dari kolom yang memperkuat garnisun di lanud.[54][55]
Serangan udara Sekutu di Balikpapan (24 - 30 Januari)
24 Januari
Setelah penaklukkan Balikpapan, Angkatan Udara ABDA (ABDAIR), terutama dari Belanda, melancarkan serangan udara harian dari lanud Samarinda II untuk membantu mengacaukan, jika tidak mengusir pasukan Jepang. Pada tanggal 24 Januari, gelombang pertama, terdiri dari 10 pesawat pengebom Martin B-10 dari Skuadron 1-VLG-I yang dikawal oleh 14 pesawat tempur Buffalo dari Skuadron 1-VLG-V dan 2-VLG-V, menyerang pasukan Jepang pada pukul 07: 15. Meskipun tembakan anti-pesawat (AA) Jepang cukup intensif, tidak ada pesawat Belanda yang ditembak jatuh. Pilot Belanda mengklaim bahwa mereka menenggelamkan sebuah kapal pengangkut, merusak satu lagi serta kembali menghantam kapal perusak Kawakaze. Namun, laporan Jepang menunjukkan bahwa serangan ini gagal merusak atau menenggelamkan kapal apapun.[56][57]
Sekitar pukul 08:00, tiga pesawat Zero Angkatan Laut Jepang yang beroperasi di Tarakan memberondongi Samarinda II. Sebuah KNILM DC-3 dengan tiga pegawai BPM di dalamnya tertembak tetapi berhasil mendarat tanah di hutan. Sekelompok orang Dayak dan seorang misionaris menyelamatkan mereka, namun salah satu pegawai BPM akhirnya meninggal karena lukanya. Tembakan AA Belanda dari lapangan terbang menembak jatuh sebuah Zero yang mendarat secara utuh, sehingga pasukan Belanda bisa mendapatkan informasi tentang kekuatan dan kelemahan pesawat tempur itu.[58]
Antara pukul 09:00 dan 09:50, delapan B-17 Flying Fortress dari Grup Pembom Ke-7 dan Ke-19 AS berangkat dari Malang untuk menyerang para kapal. Mereka menembak jatuh dua Zero yang berusaha mencegat, dengan hasil akhir tiga pesawat pengebom rusak ringan dan tidak ada kapal yang terkena.[56][57] Pada sore harinya, 14 Buffalo dari Skuadron 1-VLG-V, diikuti oleh 10 Martin B-10 terbang dari Samarinda II untuk mengintai dan membombardir posisi pasukan Jepang. Awan tebal dan tembakan AA Jepang membubarkan formasi mereka dan serangan itu tidak menghasilkan apapun, tetapi mereka berhasil menembak jatuh dua pesawat pengintai Mitsubishi F1M Pete.[59] Ketika mereka mendarat pada pukul 15:30, enam Zero dan satu Babs menembaki mereka dalam serangan kedua ke Samarinda II. Tiga Zero menghancurkan tiga Martin B-10. Tiga Buffalo dari 1-VLG-V berusaha menghalau, tetapi para Zero menembak jatuh dua Buffalo. Satu pesawat Zero rusak parah oleh tembakan AA dan jatuh ke laut.[60]
25 Januari
Keesokan harinya, pengeboman dimulai oleh sembilan Martin B-10 dari Skuadron 1-VLG-I, namun cuaca buruk membubarkan mereka lagi. Saat para pengebom sampai di Balikpapan pukul 08.00, mereka langsung dihalau oleh empat Zero. Dalam pertempuran udara 25 menit, satu Martin tertembak jatuh dan tiga lainnya rusak, sementara satu Zero jatuh oleh tembakan para Martin. Pembom yang tersisa kemudian dipindahkan ke Lapangan Udara Oelin (Ulin) di Banjarmasin.[61]
Belanda lalu mengirim 6 Buffalo dari Skuadron 2-VLG-V untuk pengintaian bersenjata di sekitar Balikpapan. Penerbangan ini tidak membuahkan hasil karena lapisan asap tebal dan hujan lebat mengaburkan penglihatan pilot. Begitu mereka kembali sekitar 09:30, 27 pembom Mitsubishi G4M 'Betty' membombardir Samarinda II dari ketinggian 21.000 kaki (6.500 m), yang membuat mereka kebal dari tembakan AA Belanda. Tiga Buffalo lepas landas dan berusaha mencegat mereka, tetapi mereka gagal merusak atau menembak jatuh pembom manapun. Serangan ini membuat sebagian landasan pacu Samarinda II tidak dapat digunakan dan merusak dua Buffalo. Kemudian pada pukul 15:30, empat Zero dan satu Babs menyerang lapangan terbang dan menghancurkan satu Martin dan satu Buffalo.[62]
Amerika melanjutkan rangkaian serangan ini dengan delapan B-17 dari Grup Pembom Ke-7 dan Ke-19 pada pukul 11:00. Cuaca buruk memaksa empat dari mereka untuk kembali ke Malang, dan tiga dari empat pembom ini akhirnya melakukan pendaratan darurat di pantai Pulau Madura karena kekurangan bahan bakar. Bertemu dengan nasib yang sama seperti para pesawat Belanda, para Flying Fortress yang tersisa dicegat oleh Zero Jepang, namun pertahanan mereka berhasil menembak jatuh dua Zero. Satu dari empat B-17 ini rusak parah, sehingga ia harus melakukan pendaratan darurat di Oelin. Pada akhir hari, semua serangan ini gagal menimbulkan kerugian apapun terhadap armada Jepang.[63][64]
27 Januari
Serangan berikutnya terjadi dua hari kemudian, karena awan tebal menghalangi Jepang dan Sekutu untuk melancarkan serangan sama sekali. Sebelumnya, ML-KNIL sudah menarik sebagian besar B-10 dan Buffalo mereka dari Kalimantan antara 25 dan 27 Januari, karena penemuan Samarinda II sudah membuatnya tidak berguna sebagai lanud yang efektif. Para Martin ditarik ke Makassar pada 25 Januari, dan dari sana mereka terbang ke Bandoeng (Bandung) pada hari berikutnya. Sementara itu, para Buffalo mundur ke Banjarmasin sebelum terbang ke Surabaya. Pada 26 Januari, Komando ABDAIR memerintahkan ML-KNIL dan Komando Pengebom Ke-5 Amerika untuk melanjutkan serangan mereka terhadap Balikpapan. Pada tanggal 27, Grup Pembom Ke-7 dan Ke-19 mengirimkan enam Flying Fortress dari Malang. Meski salah satu di antara mereka harus mundur karena cuaca buruk, pada pukul 13.00 para pengebom berhasil menghamtam tender pesawat amfibi Sanuki Maru, sehingga ia mundur ke Selat Makassar.[64][65]
Pada waktu yang hampir bersamaan, enam Zero dan satu Babs dari Tarakan menyerang armada B-10 di Oelin yang masih ditugaskan untuk melanjutkan serangan di Balikpapan. Upaya Belanda untuk menembak jatuh pesawat Jepang dengan Senapan Lewis dan senapan mesin sedang mereka gagal, dan enam Martin dari Skuadron 3-VLG-III dihancurkan. Selain itu, tiga Martin dari Skuadron 1-VLG-I mengalami rusak berat. Karena kehilangan ini, ABDAIR hanya bisa bergantung pada pembom Amerika untuk melanjutkan misi.[66]
29 Januari
Dua hari kemudian, lima Flying Fortress kembali menyerang armada Jepang. Salah satu pembom kembali dalam perjalanan, sementara empat lainnya diserang oleh 13 Zero selama 30 menit di atas Balikpapan. Satu B-17 jatuh pada penerbangan kembali karena kerusakannya. Para pilot percaya bahwa mereka berhasil menembak jatuh enam Zero, tetapi catatan Jepang menunjukkan bahwa hanya satu yang ditembak jatuh, dan satu lagi rusak saat mendarat di Lapangan Terbang Manggar.[67][68]
30 Januari
Sehari setelahnya, Grup Bom Ke-19 melakukan dua serangan terpisah, yang keduanya tidak menimbulkan kerusakan apa pun. Serangan pertama pada siang hari oleh tiga B-17 tidak berhasil karena cuaca buruk dan kerusakan mesin. Malamnya, dua pengebom LB-30 menyerang armada satu per satu, namun tidak mengenai apapun. Serangan malam ini merupakan upaya terakhir Sekutu untuk membendung pergerakan armada Jepang di Balikpapan.[69]
Pasca Pertempuran
Setelah selesai menduduki daerah kota Balikpapan pada hari sebelumnya, Detasemen Sakaguchi mulai membersihkan semua perlawanan Belanda dan mempersiapkan Lanud Manggar pada 26 Januari. Meskipun kilang minyak dan fasilitas pendukung lainnya sudah dihancurkan secara menyeluruh, zeni Jepang berhasil memperbaiki ladang minyak dan mempertahankannya dari Juni 1942 hingga Agustus 1943, ketika serangan udara pertama Sekutu mulai membombardir mereka lagi.[68]
Dengan bilangan oktan yang tinggi, kilang Balikpapan sangat dimanfaatkan dalam mendukung operasi militer Jepang di teater Pasifik. Lanud Manggar diperbaiki pada tanggal 27 Januari dan pada hari berikutnya, sembilan Zero dari Grup Armada Udara ke-23 mendarat di sana, dan mendirikan markas grupnya pada tanggal 30. Detasemen Sakaguchi juga menempatkan kekuatan utamanya dan mendirikan pemerintahan militer di Balikpapan.[70]
Korban
Secara keseluruhan, kerugian yang dialami Detasemen Sakaguchi dalam operasi tersebut adalah delapan orang tewas di darat dan 39 orang di laut (saat Tsuruga Maru tenggelam). Dari Angkatan Laut Jepang, setidaknya 121 orang tewas.[71] Secara keseluruhan, kerugian material Jepang adalah:[72]
Tenggelam:
Nana Maru (Bahan bakar pesawat)
Tsuruga Maru (Markas besar Batalyon Artileri Lapangan, satu baterai artileri lapangan, markas Batalyon AA, satu baterai AA, unit medis)
Tsuruga (Turuga) Maru, bagian dari kapal kelas Lima Maru.
Sumanoura Maru, bagian dari kapal kelas Eihuku Maru di kanan.
Tatsugami (Tatukami) Maru, kiri.
Sanuki Maru, bagian dari kapal kelas Sado Maru.
Dari 1.100 pasukan Belanda, hanya 200 yang berhasil mencapai Samarinda II pada 6 Februari. Dari situ, mayoritas dari mereka dievakuasi ke Jawa.[73]
Analisis
Selama pertempuran laut, Satgas 5 menembakkan 48 torpedo, tetapi hanya berhasil menenggelamkan empat dari 12 transportasi dengan tujuh torpedo (tingkat keberhasilan 15%). Performa yang buruk ini disebabkan oleh torpedo Mark 15 yang tidak dapat diandalkan yang memiliki kecenderungan untuk meluncur lebih dalam dari pengaturannya atau tidak meledak saat mengenai sasarannya.[74] Talbot juga dikritik karena menyerang dengan kecepatan tinggi, yang mungkin mengganggu akurasi torpedo, yang juga dioperasikan oleh kru yang tidak berpengalaman.[75]
Meskipun pertempuran ini tidak berhasil mencegah penaklukkan Balikpapan, ia masih merupakan pertempuran laut pertama di Asia Tenggara yang dilakukan oleh Angkatan Laut AS sejak Pertempuran Teluk Manila pada tahun 1898. Keberhasilannya meningkatkan moral di antara para prajurit Amerika dan memberitahu Belanda tahu bahwa sekutu mereka tidak akan menghindar dari pertarungan. Balikpapan tetap di bawah kendali Jepang sampai akhirnya pasukan Australia membebaskan kota itu pada Juli 1945.
Catatan Kaki
^Koninklijke Nederlands Indonesisch Leger (1948), p. 582
Boer, P.C. (1987). De Luchtstrijd Rond Borneo December 1941 – Februari 1942. Houten: Van Holkema & Warendorf. ISBN90-269-4253-2.
Cox, Jeffrey (2014). Rising Sun, Falling Skies: The Disastrous Java Sea Campaign of World War II. London, England: Osprey Publishing. ISBN978-1-4728-1060-1.
Kehn, Donald. M. (2017). In the Highest Degree Tragic: The Sacrifice of the U.S. Asiatic Fleet in the East Indies During World War II. Dulles Town Center, VA: Potomac Books. ISBN978-1-61234-920-6.
Lohnstein, Marc. (2021). The Netherlands East Indies Campaign 1941–42: Japan's Quest for Oil. Oxford: Osprey Publishing. ISBN978-1-4728-4352-4.
Office of Naval Intelligence United States Navy. (2017). The Java Sea Campaign: Combat narratives - 75th Anniversary Edition. Washington Navy Yard, DC: Naval History and Heritage Command. ISBN978-1-943604-04-3.
Remmelink, William (ed. and trans.). (2015). The invasion of the Dutch East Indies. Leiden: Leiden University Press. ISBN978-90-8728-237-0.
Remmelink, William (ed. and trans.). (2018). The Operations of the Navy in the Dutch East Indies and the Bay of Bengal. Leiden: Leiden University Press. ISBN978-90-8728-280-6.
Stille, Mark. (2019). Java Sea 1942: Japan's conquest of the Netherlands East Indies. Oxford: Osprey Publishing. ISBN 978-1472831613.
Womack, Tom (2006). The Dutch Naval Air Force Against Japan: The Defense of the Netherlands East Indies, 1941-1942. Jefferson, NC: McFarland.
Womack, Tom (2016). The Allied Defense of the Malay Barrier, 1941–1942. Jefferson: McFarland et Company. ISBN978-1-4766-6293-0