Masjid tradisional Banjar pada dasarnya mengambil pola masjid tradisonal Jawa khususnya masjid Agung Demak, karena Kesultanan Banjar pertama kali mendapat pengaruh agamaIslam dari Kesultanan Demak Bintoro. Pada masa itu Kesultanan Demak mengirim Khatib Dayan yang merupakan cucu Sunan Gunung JatiCirebon untuk mengajarkan agama Islam kepada rakyat negeri Banjar di Kalimantan Selatan.
Namun masjid gaya Banjar akhirnya memiliki ciri khasnya sendiri misalnya terlihat pada atap kemuncaknya yang tinggi menjulang.
Masjid bergaya Banjar pernah dibangun di Sumatra dan Malaysia Barat, misalnya:
Masjid Tinggi, Jalan Banjar di Bagan Serai, negara bagian Perak.[1]
Beberapa perbedaan pola masjid tradisional Jawa dan Banjar:
Masjid di negeri Banjar dibangun dengan konstruksi panggung.
Masjid di negeri Banjar pada bagian pengimamam (mihrab) memiliki atap tersendiri terpisah dari bangunan induk.
Pada puncak masjid terdapat sungkul bangunan masjid yang disebut pataka yang terbuat dari kayu ulin. Di Jawa disebut mustoko/memolo terbuat dari tanah liat.
Pada ujung-ujung pertemuan atap pada jurai luar terdapat Jamang.
Masjid di Tanah Jawa terdiri atas 2 bangunan utama yaitu bangunan yang beratap tumpang tiga yang merupakan "nDalem" dan bangunan beratap limas di depannya yang merupakan "pendopo" sedangkan Masjid di negeri Banjar hanya terdiri atas satu bangunan utama yang beratap tumpang tiga. Atap tumpang (tajug) paling atas lebih runcing (curam) daripada masjid di Jawa.
Masjid bergaya Banjar di tepian sungai.
Lukisan keadaan Masjid Sultan Suriansyah tempo dulu, pengimamannya masih beratap kecil menempel.
Pengimaman yang beratap pada Masjid Sultan Suriansyah.