Pembatalan perkawinanPembatalan perkawinan, dalam lingkup Gereja Katolik terkadang disebut anulasi (bahasa Inggris: annulment),[1] adalah suatu hukum acara untuk menyatakan bahwa suatu perkawinan/pernikahan batal dan tidak berlaku (atau batal demi hukum).[2] Tidak seperti perceraian, anulasi umumnya bersifat retroaktif, yang berarti bahwa suatu perkawinan yang dianulasi dianggap tidak valid sejak awal seolah-olah tidak pernah terjadi (meskipun beberapa yurisdiksi menyatakan bahwa perkawinan hanya tidak berlaku dari tanggal anulasi tersebut; sebagai contoh adalah kasus dalam pasal 12 Matrimonial Causes Act 1973 di Inggris dan Wales[3]). Dalam terminologi hukum, anulasi menjadikan suatu perkawinan yang tidak sah ataupun suatu perkawinan yang sah (perkawinan yang dapat dibatalkan) dianggap tidak ada (atau batal).[4] KekristenanKatolisismeDalam Hukum kanon Gereja Katolik, anulasi atau pembatalan perkawinan secara tepat disebut "Pernyataan nulitas" karena, menurut teologi Katolik, Sakramen Perkawinan (Gereja Katolik) dari orang-orang yang telah dibaptis adalah suatu Sakramen Gereja Katolik sehingga, sekali konsumasi (terjadi persetubuhan) dan karenanya dikonfirmasi, tidak dapat dibubarkan selama kedua belah pihak masih hidup di dunia ini. "Pernyataan Nulitas" bukan pembubaran atas suatu perkawinan, tetapi sekadar temuan secara hukum bahwa tidak pernah terjadi suatu perkawinan yang valid/sah. Hal ini dapat dianologikan dengan temuan bahwa suatu kontrak penjualan tidak valid, dan karenanya properti yang dijual harus dianggap tidak pernah dialihkan secara hukum menjadi kepemilikan orang lain. Di sisi lain, perceraian dipandang sebagai pengembalian properti tersebut setelah suatu penjualan yang terwujud/terlaksana. Takhta Suci dapat memberikan dispensasi atas perkawinan ratum sed non consummatum karena, meski telah diratifikasi (ratum) tetapi belum di konsumasi (sed non consummatum), tidak benar-benar tak terpisahkan. Namun, perkawinan kodrati yang valid tidak dianggap sebagai suatu sakramen jika salah satu pihak belum dibaptis. Pada keadaan-keadaan tertentu, perkawinan dapat dibubarkan dalam kasus privilegium Paulinum[5] dan privilegium Petrinum,[6] tetapi hanya demi kebaikan rohani yang lebih tinggi dari salah satu pihak.
Meskipun dengan demikian anulasi merupakan suatu pernyataan bahwa "perkawinan tidak pernah ada", Gereja mengakui bahwa hubungan tersebut adalah suatu perkawinan putatif, yang mengakibatkan adanya "kewajiban-kewajiban kodrati". Dalam Kitab Hukum Kanonik 1983, anak-anak yang dikandung atau dilahirkan baik dari perkawinan yang valid ataupun putatif dipandang legitim/sah,[7] dan anak-anak yang tidak legitim dilegitimasi oleh perkawinan putatif orang tua mereka, sebagaimana oleh perkawinan yang valid.[8] Kondisi-kondisi tertentu diperlukan demi validitas ikatan perkawinan sesuai hukum kanon. Ketiadaan salah satu kondisi tersebut menjadikan suatu perkawinan tidak valid dan merupakan dasar hukum untuk suatu pernyataan nulitas. Dengan demikian, terlepas dari halangan-halangan yang menggagalkan yang disebutkan di bawah, terdapat klasifikasi rangkap empat kecacatan ikatan perkawinan: cacat forma (tata peneguhan), cacat konsensus, cacat kemauan, cacat kapasitas. Untuk anulasi, diperlukan bukti adanya salah satu cacat tersebut, karena hukum kanon mengandaikan bahwa semua perkawinan valid sampai terbukti sebaliknya.[9] Hukum kanon menetapkan halangan-halangan perkawinan. Suatu "halangan yang menggagalkan" menghalangi pernikahan dari keterikatan secara valid, kendati terdapat juga halangan prohibitive yang menjadikan suatu perkawinan valid tapi tidak licit. Persatuan seperti demikian disebut perkawinan putatif. Perkawinan yang tidak valid dapat validasi perkawinan|divalidasi, baik dengan validasi sederhana (pembaruan kesepakatan untuk menggantikan kesepakatan yang tidak valid) atau dengan sanatio in radice ("penyembuhan pada akar", dispensasi retroaktif dari suatu halangan yang menggagalkan). Beberapa halangan dapat diberikan dispensasi, sementara yang de jure divino (dari hukum ilahi) tidak dapat. Pembatalan Pernikahan Dalam IslamMenurut KHI (Inpres Nomor 1 Tahun 1991), menjelaskan bahwa berdasarkan hukum Islam, yang disebut dengan pernikahan merupakan akad sakral suci yang kuat/Mistaqan Ghalidha yang dilaksanakan atas perintah Allah SWT sebagai ibadah dan memiliki tujuan membentuk kehidupan keluarga Sakinah, Mawadah dan Rahmah. Mistaqan Ghalidha memiliki makna adanya hubungan sorang laki-laki dengan seorang perempuan yang telah melakukan aqdah pernikahan dan memiliki ikatan kuat sepeti simpul tali yang sulit terputuskan. Didalam agama Islam pengajuan pembatalan suatu pernikahan oleh orang tua atau keturunan sedarah dan sekandung yang menginginkan Perceraian, mempunyai tenggang waktu pengajuan pembatalannya seperti yang telah dalam pasal 27 Undang-undang perkawinan tentang tenggang waktu pengajuan pembatalan perkawinan, pengajuan pembatalan pernikahan boleh diajukan dalam waktu 6 (enam) bulan sejak berlangsungnya akad pernikahan sakral tersebut dan jika lebih dari 6 bulan masih hidup bersama sebagai suami istri, maka hak untuk mengajukan permohonan pembatalan sakral suci pernikahan dianggap gugur atau dengan sebutan lain daluarsa, Hal ini berbeda dengan Khulu dan Iddah[10]. Lihat pulaCatatan
Pranala luarLihat entri Annulment atau :en:Annulment di kamus bebas Wiktionary.
|