Ottomanisme (bahasa Turki: Osmanlıcılık) merupakan sebuah gagasan yang berkembang sebelum Era Konstitusional Pertama Kekaisaran Ottoman pada tahun 1876-1878. Pendukung percaya bahwa gagasan ini akan menciptakan kerekatan sosial, sesuai dengan keperluannya untuk menjaga agar millet tidak memecah-belah kekaisaran.[1]
Sejarah
Asal Usul Ottomanisme
Para ilmuwan seperti Montesquieu (1689-1755) dan Rousseau (1712–1778), serta peristiwa Revolusi Prancis tahun 1789, sangat memengaruhi terbentuknya Ottomanisme. Sehingga hal ini memengaruhi pandangan kesetaraan di dalam millet. Gagasan Ottomanisme dimotori oleh Ottoman Muda (didirikan pada tahun 1865) dengan membawa paham seperti penerimaan semua etnis yang terpisah dari kekaisaran terlepas dari agama mereka, semua harus menjadi "Ottoman" dengan hak-hak yang sama.
Dengan kata lain, Ottomanisme menyatakan bahwa semua subjek sama di mata hukum. Idealnya, semua warga negara Ottoman harus berbagi wilayah geografis, bahasa, budaya, dan perasaan yang sama dengan pihak "non-Ottoman". Inti dari kehadiran sistem millet adalah kelompok-kelompok agama tidak akan dibubarkan, namun kebijakan dan organisasi sekuler harus diterapkan. Pendidikan dasar, wajib militer, pajak per kepala, dan dinas militer harus diterapkan, baik kepada Muslim maupun non-Muslim.[2]
Perkembangan Ottomanisme
Ottomanisme diilhami dan dibentuk sebagai reaksi terhadap ide-ide yang berasal dari Eropa dan campur tangan Barat di wilayah Kekaisaran Ottoman. Setelah reformasi Tanzimat dimulai pada tahun 1839, Ottomanisme berkembang dari kebutuhan untuk menyatukan masyarakat dalam wilayah kekaisaran.[3] Kekaisaran Ottoman khawatir akan ancaman yang muncul dari orang-orang Eropa, terutama setelah peristiwa-peristiwa seperti Perjanjian Balta Liman pada tahun 1838. Perjanjian ini memaksa para pedagang Inggris di wilayah kesultanan untuk dikenakan pajak yang sama seperti penduduk setempat. Di sisi lain, terdapat kekhawatiran dari kekuatan besar mengenai perlakuan kesultanan terhadap orang-orang Kristen di wilayahnya. Kekaisaran berpikir bahwa jika mereka dapat menyatukan masyarakat di bawah satu entitas negara, maka mereka akan menjadi lebih kuat dan orang-orang Eropa akan lebih sulit melanggar batas wilayah kekaisaran.
Sebelum Tanzimat, Kekaisaran Ottoman telah terbagi-bagi menjadi banyak komunitas kecil yang pada umumnya mengatur diri mereka sendiri. Sultan mengawasi komunitas-komunitas ini, namun sebagian besar wilayah menganut hukum dan kepercayaan mereka masing-masing.[4] Hal ini menjadi salah satu penyebab langgengnya Kekaisaran Ottoman, karena ketika menaklukkan sebuah wilayah, sultan tidak pernah memaksakan perubahan radikal terhadap penduduknya. Munculnya pandangan menentukan nasib sendiri, nasionalisme etnis, dan konsep negara-bangsa, serta meningkatnya rasa kesamaan identitas (terutama dengan Perang Kemerdekaan Yunani tahun 1821-1830), mulai memengaruhi berbagai bangsa lain di wilayah Kekaisaran Ottoman. Pada akhirnya, Ottomanisme berkembang sebagai respons sosial dan politik, dengan harapan dapat menyelamatkan kekaisaran dari keruntuhannya.
Kebangsaan Ottoman
Pelopor utama Ottomanisme adalah Dekrit Reformasi tahun 1856, yang menjanjikan kesetaraan penuh di mata hukum tanpa memandang agama. Selain itu, Undang-Undang Kebangsaan Ottoman tahun 1869 menawarkan gagasan kewarganegaraan Ottoman yang setara, terlepas dari afiliasi agama maupun etnis. UU Kebangsaan ini adalah gagasan yang muncul pada abad ke-19, namun Kekaisaran Ottoman telah mengadopsinya lebih awal. UU Kebangsaan Ottoman dirumuskan sebelum konsep internasional diadopsi dalam elemen dasar UU ini.
Meski demikian, gagasan sistem millet mendapatkan respons penolakan dari kalangan Muslim maupun non-Muslim. Di satu sisi, kalangan non-Muslim menganggapnya sebagai langkah untuk menghapuskan hak-hak istimewa tradisional mereka. Di sisi lain, kalangan Muslim melihatnya sebagai degradasi posisi superior mereka. Terdapat klaim bahwa Ottomanisme adalah sebuah bentuk reaksi terhadap Tanzimat tahun 1839-1876, yakni pada saat dilakukannya restrukturisasi intensif Kekaisaran Ottoman oleh para elit birokrasi. Peresmian Majelis Umum pada tahun 1876 berkontribusi pada semangat reformasi, karena semua millet diwakili dalam majelis bikameral ini.
Revolusi Turki Muda
Ottomanisme sempat mengalami kebangkitannya selama Revolusi Turki Muda tahun 1908,[5] dan selama Era Konstitusi Kedua tahun 1908 hingga 1920.[6] Ottomanisme hampir kehilangan sebagian besar pendukungnya ketika kekalahan Kekaisaran Ottoman pada Perang Balkan Pertama tahun 1912-1913, yang menyebabkannya hilangnya kekuasaan kekaisaran di sebagian besar Eropa. Kekecewaan atas kegagalan ini menjadi bagian integral dari gelombang Kemalisme pada 1920-an.
Setelah pembentukan Republik Turki modern, wacana Ottomanisme tidak serta merta hilang. Ottomanisme berkembang dan menemukan wajah barunya, Neo-Ottomanisme. Menguatnya wacana ini didukung oleh proses westernisasi singkat Republik Turki, sehingga membangkitkan nostalgia dan keinginan untuk "membawa masa lalu Ottoman dan Islam" kembali ke masa kini, guna memulihkan harga diri dan menggali lebih dalam identitas kebangsaan Turki.[7] Lebih jauh, Ottomanisme dan rekonstruksinya saat ini, Neo-Ottomanisme, berfungsi sebagai imajiner sosial. Gagasan ini menawarkan kerangka sosiohistoris yang bersifat simbolis dan mendalam, dibagi secara inter-subjektif untuk bagian-bagian ideologis yang beragam dalam masyarakat Turki.[8]