Hak menentukan nasib sendiri (bahasa Inggris: right to self-determination) adalah hak setiap orang untuk ara bebas menentukan kehendaknya sendiri, khususnya dalam hal prinsip mengenai status politik dan kebebasan mengejar kemajuan di bidang ekonomi, sosial, serta budaya. Kepentingan akan menentukan nasib sendiri, oleh sebab itu terletak pada adanya kebebasan dalam membuat pilihan.[1] Namun demikian, dewasa ini, penggunaan menentukan nasib sendiri lebih mengacu pada hak untuk menentukan nasib politik. Namun dalam acuan tersebut, tidak ada kriteria hukum yang menjelaskan siapa orang/pihak yang dimaksud, atau kelompok mana yang dapat secara sah membuat klaim terhadap hak tersebut dalam kasus tertentu, yang menjadikannya salah satu di antara isu kompleks yang dihadapi para pembuat kebijakan.[2]
Istilah right to self determination atau hak untuk menentukan nasib sendiri mendapat perhatian yang cukup besar di Indonesia pada proses penyelesaian konflik yang sangat sensitif, termasuk peristiwa referendum Timor Timur pada tahun 1999 dan perundingan Aceh yang kemudian melahirkan Otonomi Khusus.[3] Pada mulanya prinsip menentukan nasib sendiri merupakan pedoman dalam pembangunan ulang Eropa pasca-Perang Dunia I.[1] Ketika sistem Eropa terdahulu mulai hancur setelah berakhirnya Perang Dunia I, prinsip menentukan nasib sendiri mendapat pembelaan dari tokoh internasional yang memiliki landasan ideologi berbeda, yakni Vladimir Lenin (dari 1903 sampai 1917)[4][5] dan presiden Woodrow Wilson (pada 1918)[4].[6] Pidato Lenin bersifat lebih universal, meskipun pada akhirnya kurang berpengaruh. Sebaliknya, 14 Pokok Wilson menguraikan sejumlah prinsip berkenaan dengan menentukan nasib sendiri,[7] namun hanya diterapkan untuk orang-orang Eropa,[8] dimana gagasan menentukan nasib sendiri tersebut berkembang secara berbeda di Eropa Tengah dan Eropa Timur, dengan di Eropa barat.[9] Berkembangnya negara-negara modern di Eropa, dan meningkatnya kesadaran nasional yang tengah populer di masa itu, meningkatkan status ‘menentukan nasib sendiri’ sebagai prinsip politik.[2]
Lingkup prinsip menentukan nasib sendiri dianalisis oleh dua kelompok ahli internasional yang ditunjuk oleh League of Nations (liga bangsa-bangsa – LBB) untuk memeriksa kasus pulau Aland, wilayah yang secara budaya dan bahasa termasuk wilayah orang-orang Swedia, dan wilayah tersebut menginginkan kembali bersatu dengan pulau induk Swedia daripada tetap menjadi bagian negara Finlandia yang baru merdeka dari kekaisaran Rusia pada Desember 1917.[10] Kelompok ahli yang pertama berpendapat bahwa menentukan nasib sendiri jelas tidak mendapat status hukum internasional karena meskipun prinsip menentukan nasib sendiri berperan penting dalam pandangan politik modern, terutama sejak Perang Dunia I, prinsip ini tidak ditemukan dalam perjanjian LBB.[7] Pengakuan prinsip menentukan nasib sendiri pada sejumlah perjanjian internasional tertentu tidak dapat dianggap cukup untuk prinsip ini dapat diletakkan pada kaki yang sama dengan peraturan positif Hukum Bangsa-Bangsa (Law of Nations).[11] Kelompok ahli kedua mencapai simpulan yang hampir serupa dengan lingkup menentukan nasib sendiri kelompok pertama, mengistilahkannya sebagai “sebuah prinsip keadilan dan kebebasan yang diekspresikan dalam formula yang samar-samar dan umum, sehingga menimbulkan bermacam-macam interpretasi dan pendapat yang berbeda-beda.”[12]
Varian interpretasi
Di dalam konteks masyarakat internasional yang semakin berkembang, beberapa masalah timbul dari prinsip menentukan nasib sendiri. Salah satu manifestasi menentukan nasib sendiri yakni menentukan nasib sendiri nasional, yang merupakan solusi terkait masalah teritorial yang kronis dalam hubungan internasional, tetapi di lain pihak merupakan sumber ancaman bagi stabilitas teritorial.[6] Mendekati abad ke-20, prinsip ini dapat berarti:[2]
hak orang-orang dalam wilayah perbatasan tertentu untuk memilih bentuk pemerintahan mereka sendiri, atau mendapatkan kemerdekaan mereka dari tangan kolonial.
hak suatu kelompok etnis, bahasa, atau agama untuk mendefinisikan ulang batas-batas wilayah mereka agar memperoleh kedaulatan nasional yang terpisah, atau lebih sederhananya mendapatkan derajat otonomi dan bahasa atau identitas agama yang lebih besar, di dalam sebuah negara yang berdaulat.
hak sebuah unit politik di dalam suatu sistem federal seperti Kanada, Chechnya, Uni Soviet, atau Yugoslavia untuk melepaskan diri dari federasi dan menjadi negara independen yang berdaulat.
Demikian lebarnya pandangan-pandangan berlainan terkait situasi dalam suatu negara menyebabkan sulitnya menemukan definisi yang pasti mengenai hak menentukan nasib sendiri agar bisa digunakan sebagai alat hukum untuk menyelesaikan perselisihan.[10] Kebingungan mengenai prinsip menentukan nasib sendiri, yakni bersumber dari kegagalan mendefinisikan pihak yang berhak membuat klaim yang dimaksud dalam dokumen-dokumen hak asasi manusia internasional- orang perseorangan, kelompok, atau bangsa- dan seperti apa hak tersebut diberikan. Presiden Woodrow Wilson merupakan negarawan yang teridentifikasi paling dekat dengan prinsip menentukan nasib sendiri.[13] Ia mempertimbangkan penerapan beberapa prinsip untuk mengakhiri perang dan mendasari era baru perdamaian dan keadilan.[14] Namun, istilah/prinsip menentukan nasib sendiri itu tidak muncul dalam ‘Fourteen Points’ (14 pokok) yang dikemukakannya mengenai hak minoritas di dalam negara yang lebih besar, dan ia juga tidak pernah menyebutkan pendirian negara baru yang independen.[13] Prinsip menentukan nasib sendiri kemudian terdapat pula dalam piagam Atlantik dan proposal Dumbarton Oaks.[1]
Menentukan nasib sendiri menjadi resmi secara hukum setelah tahun 1945, ketika prinsip ini dimuat dalam Piagam PBB, meskipun prinsip ini diterapkan untuk negara yang sudah ada, dan bukan untuk kelompok orang atau kelompok bangsa.[13] Prinsip menentukan nasib sendiri dalam piagam PBB berada dalam konteks pengembangan hubungan persahabatan antar negara-negara dan yang bersinggungan dengan prinsip persamaan hak. Konteks ini jelas berada di luar konteks negara, termasuk di dalamnya wilayah yang tidak memiliki pemerintahan sendiri, sehingga orang/pihak yang dimaksud dalam konteks tersebut tentu belum mencapai pengertian apa yang disebut saat ini dengan swapraja atau daerah yang berpemerintahan sendiri.[10] Meski demikian, menentukan nasib sendiri secara cepat berkembang dari sebuah prinsip menjadi sebuah hak, terutama setelah deklarasi tahun 1960, ketika istilah tersebut digunakan untuk menandakan dekolonialisasi. Pada saat itu, penerapan menentukan nasib sendiri tetap pada wilayah, dan bukan pada kelompok orang.[13] Dengan berlangsungnya proses dekolonialisasi, prinsip penentuan nasib sendiri yang definisinya dalam Piagam PBB bersifat samar-samar, semakin berkembang menjadi “hak” untuk menentukan nasib sendiri. Perkembangan ini mencapai puncaknya pada dekade antara 1960 dan 1970 ketika sebagian besar negara jajahan meraih kemerdekaan.[10]
Periode sejarah menentukan nasib sendiri
Hurst Hannum, seorang profesor dari sekolah hukum dan diplomasi Fletcher (Fletcher School of Law and Diplomacy), menjelaskan tiga periode yang membentuk sejarah konsep menentukan nasib sendiri.
Periode pertama
Periode pertama konsep menentukan nasib sendiri dimulai pada abad ke-19, bertahan hingga zaman pemerintahan Amerika Serikat dipimpin oleh presiden Woodrow Wilson, dan berakhir pada sekitar tahun 1945. John Stuart Mill, di antara ahli yang lainnya, menyatakan bahwa keterkaitan antara etnisitas; bahasa; dan budaya pada satu sisi, dan status sebagai negara pada sisi lain, merupakan pijakan yang melatarbelakangi pergerakan nasional pada abad ke-19. Namun Hanum berpendapat, pergerakan nasional klasik pada periode tersebut bukanlah untuk memecah suatu kekuasaan, melainkan untuk menggabungkan kelompok-kelompok/bangsa-bangsa, seperti yang terjadi di Jerman dan Italia. Menentukan nasib sendiri sebagai kekuatan politik dalam masyarakat internasional merupakan fenomena yang baru muncul sebagai akibat dari perang dunia I, dan akibat pemecahan wilayah yang termasuk dalam kekaisaran Ottoman dan kekaisaran Austro-Hungaria. Kelompok-kelompok nasional yang lebih kecil di dalam kekaisaran berkehendak menarik diri dan membagi wilayah mereka. Menentukan nasib sendiri setelah terdisintegrasinya kekaisaran Ottoman dan kekaisaran Austro-Hungaria, dengan demikian, mengambil bentuk berupa pembagian/pemisahan diri daripada penggabungan teritorial.[7][13]
Konferensi perdamaian
Periode pertama setelah perang dunia I ini yang menyebabkan menentukan nasib sendiri menjadi terkemuka secara internasional, dimana prinsip menentukan nasib sendiri suatu bangsa berubah menjadi hak suatu bangsa untuk mendapatkan kemerdekaan.[2][14] Oleh sebab itu, dalam istilah umum, prinsip ini disederhanakan menjadi suatu kepercayaan bahwa setiap bangsa mempunyai hak untuk membuat negara sendiri dan menentukan pemerintahan mereka sendiri.[2] Namun pada Konferensi Perdamaian Paris (Paris Peace Conference) pada tahun 1919, kekuatan kolonial (colonial powers) terlibat dalam sebuah perdebatan yang berujung pada suatu kesimpulan bahwa tidak mungkin menentukan nasib sendiri diberikan kepada semua orang.[14][15] Perwakilan kekuatan kolonial berpendapat bahwa pada saat itu, orang-orang jajahan harus dikecualikan dari proses karena belum memiliki kedewasaan dalam berpolitik. Menentukan nasib sendiri oleh sebab itu menjadi sebuah prinsip ad hoc (khusus) yang dapat diberikan hanya kepada negara-negara yang terkait dengan berakhirnya perang. Dengan demikian, pihak yang dapat menjalankan menentukan nasib sendiri ialah kelompok etnis yang dimobilisasi secara nasional selama abad ke-19 di bawah kekaisaran Austro-Hungaria, kekaisaran Jerman, kekaisaran Ottoman, dan kekaisaran Rusia.[14] Dengan cepat, menentukan nasib sendiri bergulir menjadi isu etnis. Pemahaman kedaulatan menjadi berakar pada ide bangsa, dan bangsa secara spesifik terdefinisi menjadi istilah nasional-etnis (ethno-national). Selama konferensi perdamaian tersebut diketahui mustahil untuk menetapkan batas negara dari negara-negara yang baru terbentuk pascapemecahan area-area dalam kekaisaran tersebut.[14] Konstitusi negara-negara baru yang berada di wilayah yang sebelumnya dimiliki oleh kekaisaran Eropa dinyatakan dalam basis persamaan warga negara, dan mereka memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri. Tetapi beberapa bulan setelah pembentukan negara secara resmi, otoritas domestik meletakkan prioritas kelompok-kelompok populasi berdasarkan identifikasi etnis masing-masing. Praktik-praktik diskriminasi seperti itu sering kali dibenarkan secara domestik atas nama menentukan nasib sendiri dan toleransi internasional, disebabkan karena formulasi yang ambigu dari prinsip hak minoritas.[14]
Praktik diskriminasi
Kerajaan Serbia, Kroasia dan Slovenia (Kerajaan Yugoslavia) merupakan kasus yang menjadi simbol untuk praktik diskriminasi etnis. Terbentuk sehari sebelum Konferensi Perdamaian Paris, dan secara resmi dibentuk berdasarkan persamaan orang-orang yang berada di dalamnya, negara berbentuk kerajaan tersebut diakui oleh Entente Powers (aliansi informal) beberapa bulan kemudian dengan penandatanganan Perjanjian Saint-Germain. Serupa dengan perjanjian lain yang mengakui negara-negara baru antara tahun 1919 dan 1923, dokumen dalam perjanjian Saint-Germain secara simultan mengatur perlakuan terhadap minoritas di dalam Kerajaan.[16] Penandatanganan perjanjian sebagai persyaratan pengakuan internasional terhadap Kerajaan bersifat kondisional, yakni apabila otoritas nasional kerajaan dapat menjamin bahwa persamaan individu dalam pemerintahan, dan pengakuan kelompok etnis yang berbeda dapat dihormati. Namun demikian, sementara delegasi nasional mendeklarasikan bahwa kerajaan tersebut seperti halnya terdiri dari satu orang, tetapi dengan tiga nama- Serbia, Kroasia, dan Slovenia- sensus terakhir yang dilakukan Austro-Hungaria pada tahun 1910 mengindikasikan bahwa di daerah yang termasuk wilayah negara baru tersebut, sekurangnya terdapat sembilan kelompok etnis berbeda yang hidup berdampingan disana.[14] Setelah perpanjangan diskusi dalam konferensi perdamaian tersebut, pada akhirnya diputuskan bahwa empat minoritas diakui secara internasional, yaitu: orang-orang Bulgaria, orang-orang Austria, orang-orang Hungaria, dan “orang-orang Muslim,” meski tetap tidak ada kejelasan mengenai bagaimana hasil seleksi itu dibuat.[14] Hasil langsung pengakuan politik yang tidak seimbang itu berdampak pada sering dikecualikannya pihak minoritas yang tidak diakui secara internasional, dari keikutsertaan penuh mereka dalam komunitas politik nasional.[14] Konferensi Perdamaian Paris hanya menciptakan lebih banyak subkelompok yang tidak diberikan negara mereka sendiri, dan secara formal hanya diberikan jaminan untuk menjaga budaya mereka. Pemenang Perang Dunia I mensyaratkan negara-negara baru di Eropa Tengah dan Eropa Timur menerima kondisi tersebut agar dapat diakui, tetapi menolak untuk menerima kewajiban tersebut untuk diri mereka sendiri.[8] Terobsesi oleh ide keseragaman nasional, negara-negara yang terbentuk setelah pemecahan kekaisaran itu mendirikan administrasi pemerintahan terpusat, dan melakukan denasionalisasi atau penghilangan hak kebangsaan terhadap orang-orang minoritas.[17] Selain itu, sebagaimana sejumlah petisi diterima oleh Liga Bangsa-Bangsa sejak tahun 1920an, praktik denasionalisasi tersebut sering kali disertai dengan penggunaan kekerasan oleh negara dan otoritas lokal sebagai bentuk intimidasi. Praktik-praktik diskriminasi telah dijadikan instrumen oleh pihak otoritas negara, dengan mengatasnamakan menentukan nasib sendiri dan hak minoritas.[14]
Periode kedua
Periode kedua konsep menentukan nasib sendiri ditandai dengan berdirinya United Nation – UN (Perserikatan Bangsa-Bangsa – PBB) pada tahun 1945.[13] Menentukan nasib sendiri kelompok etnis, seperti yang didefinisikan dalam Konferensi Perdamaian Paris, yang muncul dari Perang Dunia II ini relatif lebih lemah daripada akibat yang ditimbulkan oleh Perang Dunia I sebelumnya. Penerapan menentukan nasib sendiri yang dilakukan secara sistematik justru berakibat pada bencana yang terjadi secara tidak parallel.[14] Para penganut nazisme dan fasisme telah menggunakan konsep menentukan nasib sendiri untuk menghilangkan kelompok minoritas dan merasionalkan pembunuhan.[18] Semakin meluasnya pandangan mengenai menentukan nasib sendiri muncul setelah beberapa dekade akibat sejumlah alasan tertentu, antara lain:[8]
adanya ketegangan ekonomi dan politik yang menurunkan keinginan kekuatan Eropa untuk mempertahankan koloni/wilayah jajahan mereka.
pertempuran perang dingin yang mengekspos kontradiksi klaim barat dalam membela kebebasan, tetapi pada saat yang sama mempertahankan kekuasaan di wilayah jajahan mereka.
bahaya perang nuklir dan kepentingan yang saling menguntungkan di antara negara-negara adidaya dalam menopang supremasi mereka, menempatkan sebuah batas ketat pada derajat masing-masing negara dunia ketiga untuk meraih apa yang disebut sebagai prinsip ‘menentukan nasib sendiri’.[6]
kegiatan para aktivis dalam memperjuangkan hak asasi manusia yang mendapat perhatian luas internasional.
Pada tahun 1945, blok sekutu mengakui adanya dua kelemahan utama dalam konsep menentukan nasib sendiri dari yang diformulasikan setelah Perang Dunia I. Kelemahan pertama ialah norma etnis yang melekat pada konsep menentukan nasib sendiri, dan definisi orang-orang, yang dapat digunakan untuk mendukung praktik-praktik yang tidak boleh dilakukan. Kelemahan kedua ialah kurang terformulasikan dengan jelasnya konsep menentukan nasib sendiri setelah Perang Dunia I, sehingga menyebabkan digunakannya konsep tersebut sebagai instrumentalisasi berbahaya dan menciptakan fenomena yang belum pernah terjadi sebelumnya secara internasional.[14] Di musim semi tahun 1945, blok sekutu menghadapi tanggung jawab melakukan rekonstruksi pascaperang. Di antara tugas mereka ialah mengutuk dan memberikan penghukuman atas kejahatan sistematik terhadap populasi domestik yang dilakukan atas nama prinsip yang diakui secara internasional, menentukan nasib sendiri. Di dalam konteks yang tengah dihadapi oleh blok sekutu pada saat itu, satu hal yang jelas bagi mereka ialah peninjauan dan formulasi ulang yang harus dilakukan terhadap prinsip menentukan nasib sendiri. Oleh sebab itu, prinsip tersebut kemudian diformalkan dalam hukum internasional melalui inklusinya di dalam piagam PBB.[14]
Piagam PBB
Menentukan nasib sendiri di dalam PBB menempati posisi yang lebih penting dibandingkan di dalam organisasi pendahulunya, LBB,[19] karena menentukan nasib sendiri secara jelas tertera dalam artikel Piagam PBB.[1] Perjanjian LBB tidak menyebut secara langsung prinsip menentukan nasib sendiri (tidak menggunakan kata/istilah tersebut) di dalam sistem mandat yang didirikannya, dan identifikasi mandat dan implementasi sistem sepenuhnya bergantung pada politik, bukan pada hukum.[10][20] Tidak seperti dalam perjanjian LBB, Piagam PBB menyebut menentukan nasib sendiri sebanyak dua kali.[13] Artikel 1(2) Piagam PBB secara eksplisit menyebutkan bahwa tujuan PBB ialah menjadi pengembang “hubungan persahabatan di antara bangsa-bangsa berdasarkan penghormatan terhadap prinsip persamaan hak dan menentukan nasib sendiri orang-orang, dan mengambil langkah yang sesuai untuk memperkuat kedamaian universal.” Artikel 55 piagam PBB, berhubungan dengan ekonomi internasional dan kerjasama sosial, menyatakan bahwa PBB akan mendorong obyektif tertentu “dengan pandangan untuk menciptakan kondisi yang stabil dan kesejahteraan yang diperlukan untuk kedamaian dan hubungan persahabatan di antara bangsa-bangsa berdasarkan penghormatan terhadap prinsip persamaan hak dan menentukan nasib sendiri…”[19] Pencantuman menentukan nasib sendiri dalam Piagam PBB menandai pengakuan universal prinsip ini sebagai dasar pemeliharaan hubungan perdamaian dan persahabatan di antara negara-negara.[1] Namun seperti halnya dalam Konferensi Perdamaian Paris, menentukan nasib sendiri terdefinisi secara lepas dan mengundang perbantahan karena mengandung norma yang diduga melebihi ukuran yang dapat terjadi pada semua pihak.[14] Istilah dalam piagam tersebut merujuk pada negara, dan bukan pada orang-orang atau kelompok. Meskipun demikian, dengan dituliskannya di dalam piagam, gagasan tersebut segera berkembang dari sebuah prinsip menjadi sebuah hak.[13] Pada artikel 73 Piagam PBB bahkan ditekankan mengenai keunggulan pemerintahan kolonial atas nama “kesejahteraan penduduk wilayah (yang tidak diperintah sendiri).”[7] Hal ini mengungkap kontradiksi yang semakin berkembang, yang oleh delegasi kekuatan kolonial itu temukan dalam diri mereka sendiri.[14] Referensi mengenai menentukan nasib sendiri lebih jauh ditelusuri hingga ke proposal Dumbarton Oaks, yang merupakan rancangan yang dibuat oleh anggota pendiri PBB pada saat akan mendirikan PBB.[19]
Pekerjaan persiapan (travaux preparatoires)
Dalam proposal Dumbarton Oaks, pada artikel 1(2) dan artikel 55 tidak mengandung referensi apapun mengenai menentukan nasib sendiri. Proposal Dumbarton Oaks sesuai artikel 1(2) dirancang sederhana “untuk mengembangkan hubungan persahabatan di antara bangsa-bangsa dan mengambil langkah dalam memperkuat kedamaian internasional.” Pernyataan “berdasarkan penghormatan terhadap prinsip persamaan hak dan menentukan nasib sendiri orang-orang” ditambahkan untuk pertama kalinya di Konferensi San Fransisco, pada saat empat kekuatan pendukung- Tiongkok, Kerajaan Inggris, Amerika Serikat, dan Uni Soviet- berkumpul.[19] Disebutkan bahwa Uni Soviet menginisiasi penambahan yang muncul di artikel 1(2) proposal Dumbarton Oaks, yang mengandung referensi untuk “menentukan nasib sendiri orang-orang.” Dalam menjelaskan lingkup konsep tersebut, Tuan Molotov dilaporkan telah mengatakan dalam sebuah konferensi pers bahwa Uni Soviet “meletakkan kepentingan peringkat pertama” prinsip “persamaan dan menentukan nasib sendiri bangsa-bangsa” yang baru ditambahkan tersebut. Tujuan penambahan tersebut dituduh dapat “menarik perhatian populasi tertentu dari berbagai koloni dan wilayah-wilayah yang dimandatkan,” yang dapat membantu merealisasikan kepentingan mereka dengan segera.[19][21] Keempat kekuatan pendukung tidak meninggalkan penjelasan definitif mengenai pengertian menentukan nasib sendiri, ataupun konteks dalam kedua artikel yang mencantumkan konsep menentukan nasib sendiri. Namun demikian, komite yang mendiskusikan konsep tersebut telah mengatakan bahwa: berkenaan dengan prinsip menentukan nasib sendiri, ditekankan dengan kuat pada satu sisi bahwa prinsip ini menerangkan keinginan orang-orang dimanapun berada, dan oleh karena itu sudah seharusnya secara jelas disampaikan di dalam isi Bab; di sisi lain, dikatakan bahwa prinsip menentukan nasib sendiri sesuai dengan tujuan piagam hanya sejauh apabila prinsip tersebut menyiratkan hak pemerintahan sendiri dari orang-orang, dan bukan hak untuk melepaskan diri (secession).[19][22]
Pendapat hukum
Pendapat hukum menghasilkan jawaban yang bervariasi atas pertanyaan sifat alami prinsip menentukan nasib sendiri. Beberapa pendapat menyatakan bahwa prinsip menentukan nasib sendiri merepresentasikan sebuah perkembangan baru dalam hukum internasional.[19][23] Pendapat lainnya mengatakan bahwa prinsip tersebut tidak berarti lebih daripada deklarasi aturan yang sudah ada dalam hukum internasional.[19][24] Terlepas dari kedua pandangan tersebut, tersisa fakta bahwa menentukan nasib sendiri merupakan bagian dari Piagam PBB dan mempunyai signifikansi hukum yang mendalam terhadap dunia politik moderen.[19]
Dekolonialisasi
Transformasi besar terjadi pada tahun 1950an ketika delegasi dari negara dunia ketiga yang telah independen menggunakan PBB sebagai arena politik untuk menegakkan perkara menentukan nasib sendiri untuk orang-orang yang masih berada di bawah pemerintahan kolonial.[14] Perang dingin turut memberikan dampak pula dengan batas tertentu terhadap proses dekolonialisasi.[6] Dengan berakhirnya perang dingin, semakin banyak negara yang menagih hak untuk menentukan nasib sendiri, yang berarti mereka menginginkan negara bangsa mereka sendiri, atau beberapa tingkat otonomi di dalam negara bangsa lainnya.[8] Pergerakan tersebut mengimbangi keinginan negara induk koloni, tetapi tetap memerlukan hingga sepenuh dekade, atau selama keseluruhan periode negosiasi UN Covenants on human rights (perjanjian PBB mengenai hak asasi manusia) untuk dapat mewujudkannya. Selama dekade tersebut, negara-negara pascakolonial berusaha mencangkok “hak menentukan nasib sendiri” menjadi norma hak asasi manusia.[14][25]
Pada gilirannya, kelompok elit pribumi di dalam koloni mengatur untuk menangkap bahasa hak asasi manusia dalam menjustifikasi klaim mereka mengenai menentukan nasib sendiri dan persamaan. Pencapaian ini termaktub dalam 1960 General Assembly’s Resolution 1514 (resolusi 1514 majelis umum 1960), yang meminta penghentian kolonialisme. Selain permintaan menentukan nasib sendiri dan hak asasi manusia, Resolusi 1514 juga bermuara pada pembentukan serangkaian negara baru di Asia dan Afrika.[14] Naskah terkemuka pertama pada era pascakolonialisasi,[10] sekaligus dokumen yang paling penting dalam mempromosikan hak untuk menentukan nasib sendiri, dan juga salah satu dokumen yang memberikan indikasi jelas mengenai makna menentukan nasib sendiri selama periode kedua ialah Declaration on the Granting of Independence to Colonial Countries and Peoples (deklarasi pengabulan kemerdekaan terhadap negara jajahan dan orang-orang di dalamnya) oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1960.[13] Kriteria yang mendasari hak tersebut tidak termasuk pemilikan etnis, bahasa, atau budaya yang berbeda, tetapi menentukan nasib sendiri dalam dokumen tersebut merupakan istilah yang digunakan untuk dekolonialisasi. Pada kenyataannya terdapat empat prinsip yang menandai gagasan menentukan nasib sendiri selama periode dua ini, yaitu:[13]
menentukan nasib sendiri hanya merujuk pada dekolonialisasi, dengan kolonialisme merupakan satu-satunya bentuk interferensi yang dapat menjamin pengaplikasian prinsip menentukan nasib sendiri.[6]
tidak diterapkan pada orang-orang, tetapi pada wilayah.
menentukan nasib sendiri pada saat itu dipertimbangkan sebagai hak mutlak- meskipun, sekali lagi, hanya diterapkan untuk koloni; prinsip ini menandakan perubahan signifikan dari periode sebelumnya.
menentukan nasib sendiri tidak mengizinkan penarikan/pemisahan diri; melainkan integritas teritorial dari negara yang sudah ada, dan diasumsikan untuk wilayah jajahan.
Euforia umum yang menimbulkan opini publik internasional sedemikian halnya sehingga menandakan tahun 1960 sebagai “tahun Afrika,” tidak terjadi dengan cara yang sama di antara beberapa negara yang baru terbentuk. Ketika negara bekas jajahan menarik batas komunitas politik mereka, diskriminasi sering kali masih berlaku dengan suatu pengecualian kecil, pemimpin dari negara yang baru diproklamirkan menetapkan praktik diskriminasi formal dan informal, dan sering melibatkan ikatan kekerabatan yang dekat dengan mereka untuk menyokong kelompok domestik tertentu atas kelompok lainnya.[14] Perangkat nilai yang mengatur orde liberal internasional dalam negara yang baru dibentuk, secara sederhana tidak tecermin dalam wilayah negara baru tersebut. Hal itu dapat dipahami karena negara-negara baru tersebut tidak mempunyai pengalaman dengan struktur negara dan pengakuan hak. Negara-negara baru tersebut kesemuanya terbentuk mengikuti prinsip arbitrase uti possidetis, bahwa status negara merdeka diberikan dengan syarat mengikuti panduan formal dari negara-negara kolonial/penjajah mereka.[14] Meski demikian, penjelasan yang menekankan persistensi norma kolonial di dalam negara yang baru terbentuk, tidak mendapatkan banyak popularitas. Sebagai gantinya, sebagian besar ahli berpendapat bahwa diskriminasi terjadi karena penerapan menentukan nasib sendiri berakibat pada kemerdekaan yang prematur, atau pada suatu retribalisasi politik.[14][26]
Menentukan nasib sendiri merupakan prinsip yang menyebabkan berakhirnya sejumlah kekaisaran, yang pertama terjadi di Eropa, dan kemudian di wilayah kolonial, selanjutnya pada konstitusi kemerdekaan di berbagai negara.[14] Untuk beberapa kasus, karena adanya norma tidak campur tangan (non-interference) selama perang dingin,[14][27] bila kekerasan terjadi setelah kemerdekaan, hal tersebut secara fundamental menjadi masalah domestik. Prinsip menentukan nasib sendiri, meski demikian, terdapat pula dalam artikel pertama perjanjian PBB mengenai Hak Sipil dan Hak Politik tahun 1966- walaupun dokumen tersebut telah dinegosiasi di sepanjang tahun 1950an, dan sekali lagi definisi menentukan nasib sendiri tidak sepenuhnya tepat.[14][28]
Periode ketiga
Periode ketiga perkembangan prinsip menentukan nasib sendiri dimulai dengan berakhirnya masa dekolonialisasi di akhir tahun 1970an, dan berlanjut hingga ke masa sekarang. Tahap ini ditandai dengan percobaan dalam beberapa dekade terakhir untuk menggabungkan dua periode menentukan nasib sendiri sebelumnya, yaitu hak etnis dan budaya minoritas, seperti yang dicetuskan presiden Woodrow Wilson, dengan absolutisme teritorial dekolonialisasi. Periode ketiga ini menghasilkan kecenderungan untuk mendefinisikan ulang gagasan menentukan nasib sendiri yang berarti setiap etnis atau kelompok nasional berbeda mempunyai hak untuk merdeka. Meskipun gagasan menentukan nasib sendiri dalam pengertian populer telah diartikan sedemikian, pengertian tersebut tidak diterima oleh negara manapun, ataupun oleh hukum internasional.[13] Selanjutnya prinsip menentukan nasib sendiri disebut dalam 1975 Helsinki Final Act (undang-undang akhir Helsinki), yang memberikan asal-mula pada konferensi untuk keamanan dan kerjasama di Eropa (Conference for Security and Cooperation in Europe). Namun, Koskenniemi berpendapat bahwa suatu hal yang meragukan, apakah pernyataan prinsip yang dimaksud akan diambil secara harfiah, sebab potensi revolusioner prinsip yang dihasilkan dari konferensi tersebut menekankan pada integritas teritorial.[14]
Pada periode ketiga ini telah terdapat gerakan untuk mengombinasikan gagasan hak minoritas dan dekolonialisasi, yang mendukung pendefinisian menentukan nasib sendiri sebagai hak untuk setiap kelompok etnis. Sisi menarik dari nilai demokratis juga mendorong kesadaran diri masyarakat etnis, dan pada beberapa kasus menyebabkan gerakan pemisahan diri. Komunikasi massa oleh sebab itu, memiliki peran yang besar pula dalam penyebaran gagasan menentukan nasib sendiri seperti yang diartikan dalam periode ketiga ini. Nasionalisme, etnisitas, dan agama semakin meningkat penggunaannya sebagai alat untuk mengekspresikan ketidakseimbangan kekuatan ekonomi serta bentuk kerugian lain yang dialami, dan utamanya lebih terlihat di beberapa negara dunia ketiga yang tengah menghadapi perkembangan ekonomi yang cepat, serta urbanisasi, seiring dengan merosotnya pelayanan publik. Di negara-negara berkembang, kelompok-kelompok marjinal mencari sumber identitas dan loyalitas baru di luar negara yang mengabaikan mereka. Alternatif sumber identitas seperti etnisitas dan agama, dan penggunaannya sebagai instrumen politik, oleh sebab itu, menjadi semakin meningkat.[13]
Pemisahan Yugoslavia
Sementara waktu perdebatan atas menentukan nasib sendiri dianggap telah berakhir, pemisahan Yugoslavia membawa kembali klaim nasional menentukan nasib sendiri atas nama etnisitas kepada dunia internasional. Menentukan nasib sendiri pada kasus pemisahan Yugoslavia diformulasikan untuk mengesahkan negara-negara baru, dan juga untuk menjustifikasi praktik pembersihan etnis secara fisik dan administratif.[14] Meskipun PBB telah mendorong pemerintahan ideal yang tidak bergantung pada etnis setelah Perang Dunia II, etnisitas sebagai kategori identifikasi tidak pernah benar-benar hilang dari Balkan.[14][29] Menentukan nasib sendiri mengandung konflik antara dua komponen di dalamnya yang saling bersaing.[6] Setelah hampir setengah abad, pada kenyataannya, etnisitas tetap menjadi permasalahan yang berkaitan dengan pengakuan politik nasional.[14] Setelah berakhirnya perang dingin, bentuk disintegrasi merupakan hasil yang diambil untuk kasus menentukan nasib sendiri antara Uni Soviet dan Yugoslavia.[6] Dengan kematian Josip Broz Tito pada tahun 1980 dan diikuti dengan krisis yang berakhir dengan pemecahan Yugoslavia, dunia menemukan keberlanjutan klaim menentukan nasib sendiri atas nama etnisitas. Di samping itu, klaim tersebut juga dibuat secara tepat di area dimana pada tahun 1919, para penggagas Konferensi Perdamaian Paris mencoba memberikan jaminan pada proses transisi dari kekaisaran menuju negara-bangsa. Perbedaannya ialah, ketika pada tahun 1990an para pemimpin yang baru memproklamirkan diri menyampaikan klaim menurut perspektif mereka sendiri, sedangkan pada tahun 1919 klaim yang dibuat tidak ditoleransi secara internasional. Dengan kata lain, upaya mengonstitusikan negara-etnis bangsa diterima sebagai suatu penyimpangan dari ide liberal mengenai hak asasi manusia dan status negara yang sah.[14]
Pada tahun 1991, lebih dari satu tahun setelah Kroasia dan Slovenia menunjukkan tanda-tanda awal mereka ingin memproklamasikan kemerdekaan dari Serbia, Council of Ministers of the European Community – EC (dewan menteri komunitas Eropa) membentuk komisi arbitrase khusus, yang dikenal dengan nama Komite Badinter. Pada September 1991, dimulai Konferensi Internasional mengenai Yugoslavia yang dipimpin oleh Sekretaris Luar Negeri Inggris Lord Carrington. Konferensi ini terdiri dari para mediator dewan komunitas Eropa dan perwakilan pihak-pihak yang terlibat, yakni delegasi Yugoslavia dan perwakilan masing-masing republik konstituen. Beberapa bulan kemudian, Komite konferensi tersebut mengikuti prinsip uti possidetis mengakui batas antara Kroasia, Bosnia, dan Serbia. Dengan menerapkan prinsip kolonial pengakuan batas kepada orang-orang Balkan, Konferensi mengakui batas internal yang diakui sebelumnya, sebagai perbatasan internasional yang baru. Dalam melakukan hal tersebut, Konferensi mengakui kemungkinan adanya kebetulan (coincidence) di antara batas-batas negara-negara baru tersebut dengan klaim bangsa etnis. Maka sejak tahun 1990an, pemimpin yang baru memproklamirkan diri menemukan di dalam pengakuan internasional, adanya justifikasi tidak langsung untuk membentuk negara berdasar pada etnis.[14]
Kebingungan yang meliputi respon terhadap klaim menentukan nasib sendiri etnis menjadi semakin menonjol. Intervensi terakhir yang terjadi di Bosnia, bersamaan dengan pendirian daerah perlindungan internasional, stigmatisasi Serbia, dan indulgensi internasional terhadap Kroasia, diikuti dengan kejadian panjang di Kosovo, mengendapkan hal yang diistilahkan sebagai krisis menentukan nasib sendiri internasional.[14] Dalam pidato di depan Majelis Umum PBB pada tahun 1991, pangeran Hans-Adam II dari Liechtenstein mengutarakan niatnya untuk mengejar arahan baru untuk menentukan nasib sendiri. Pandangan yang ia terangkan ialah untuk menciptakan kerangka hukum baru dengan tujuan memberikan administrasi sendiri yang lebih besar kepada komunitas lokal. Ia berharap agar dalil menentukan nasib sendiri menjadi berkurang, kaitannya dengan batas nasional. Beberapa pihak melihat manfaat proposal dari pangeran Liechtenstein itu berpotensi menegaskan hak menentukan nasib sendiri secara simbolik, dan pada saat yang sama membatasi potensi yang dapat membuat sistem internasional menjadi tidak stabil.[8][30]
Dalam hukum internasional
Menentukan nasib sendiri dalam hukum internasional mengambil dua bentuk. Satu bagian yakni mengembangkan hukum hak asasi manusia, yang disebutkan dalam gagasan memberikan kepada setiap individu kendali yang lebih besar atas kehidupan mereka. Bagian lainnya, yaitu bagian yang lebih mengundang perdebatan, melibatkan kelompok yang membuat klaim untuk mendirikan negara independen yang berkedaulatan.[8][31] Atau dalam gagasan moderen mengenai hak menentukan nasib sendiri diusulkan adanya spektrum atau rentang dimana hak tersebut dapat diterapkan, yang dapat dibedakan menjadi menentukan nasib sendiri internal dan eksternal. Menentukan nasib sendiri internal mengacu pada variasi hak politik dan sosial, dan menentukan nasib sendiri eksternal mengacu pada kemerdekaan hukum penuh atau pemisahan diri untuk segolongan orang dari segi politik-hukum (politico-legal) yang lebih besar, misalnya negara.[32] Namun demikian, klaim mendirikan negara dengan dalil menentukan nasib sendiri seperti yang diakui pada era 1960an, ditafsirkan sebagai hak menentukan nasib sendiri bagi wilayah kolonial untuk merdeka, atau menggunakan status lain yang mereka pilih atau inginkan. Etnis atau kelompok yang berbeda di dalam koloni tidak mempunyai hak untuk memisahkan diri dari orang-orang di wilayah yang sama dengan mereka secara keseluruhan.[10] Hak untuk menentukan nasib sendiri terpisah dari hak untuk melepaskan diri dan membentuk negara merdeka, sebagaimana tidak ada hak untuk membentuk negara baru yang tercantum di dalam hukum internasional.[13]
Beberapa ahli menilai bahwa semua klaim separatis terikat pada wilayah, dan berakar dari sejarah keluhan mereka, sehingga penyelesaian apapun memerlukan pemecahan terkait kebutuhan wilayah. Hanya beralasan pada sekumpulan orang-orang yang berbeda, tidak cukup kuat membuat kelompok orang mengklaim menentukan nasib sendiri, menurut pandangan Brilmayer.[8][33] Norma hukum internasional, oleh sebab itu, tidak berakar dari klaim teritorial, tetapi pada kelompok yang dirugikan, apakah berasal dari orang-orang yang berbeda.[8] Karena kehendak menentukan nasib sendiri suatu kelompok berakar dari berbagai sumber pemicu, termasuk penyangkalan hak minoritas, perdebatan wilayah, aspirasi kelompok, dan kelangsungan hidup secara politik dan ekonomi, maka mendorong demokrasi, menghormati hak asasi manusia, serta memberikan otonomi lokal, kemungkinan merupakan jawaban untuk dilema yang ditimbulkan oleh prinsip menentukan nasib sendiri. Namun pendekatan tersebut tidak menyelesaikan permasalahan menentukan nasib sendiri yang melewati kapasitas, sebab perjuangan menentukan nasib sendiri yang seperti itu dapat berujung pada permintaan pemisahan diri/aksi separatis bahkan di dalam sistem demokrasi yang sudah maju seperti contohnya separatis Quebecois Kanada dan Gerakan Nasional Rakyat Skotlandia (Scottish National Movement).[13]
Dalam tinjauan HAM
Menentukan nasib sendiri telah dipandang dalam tinjauan hak asasi manusia (HAM), yang membutuhkan pengakuan bahwa hak tersebut dibatasi oleh keperluan melindungi hak orang lain dan komunitas umum, sebagaimana halnya dengan hak asasi manusia lainnya.[8][34] Hak untuk mempunyai pemerintahan sendiri juga semakin terjalin dengan norma hak asasi manusia, terutama terjadi di dalam kelompok minoritas dan warga asli yang mendiami suatu wilayah. Sementara tidak ada hak untuk memisahkan diri yang diakui di bawah naungan hukum internasional,[10] sebab hukum internasional tidak memberikan standar yang jelas dalam kaitannya dengan pandangan tersebut,[8][35] memungkinkan adanya pengakuan hak pemisahan diri itu di masa depan sebagai bahan pengecualian apabila suatu kelompok/segolongan orang secara sistematis ditolak haknya dalam berpartisipasi di dalam pemerintahan negara, atau bilamana sekelompok individu di dalam suatu kelompok menderita pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang menyebabkan partisipasinya di dalam pemerintahan menjadi tidak mungkin dilakukan.[8]
Wallensteen dan Sollenberg menemukan bahwa setidaknya setengah dari perang yang diperjuangkan di akhir abad ke-20 melibatkan kelompok yang mengklaim hak menentukan nasib sendiri mereka dirugikan oleh pihak/negara yang ingin mereka memisahkan diri darinya.[6] Kasus-kasus yang terjadi berkenaan dengan menentukan nasib sendiri, timbul sebagai gejala krisis di dalam hak asasi manusia. Hal tersebut dikarenakan setiap klaim dalam menentukan nasib sendiri biasanya mengindikasikan masalah hak asasi manusia pada tahap akhirnya. Oleh sebab itu, alasan utama keluhan mengenai pelanggaran hak asasi manusia sepatutnya ditangani terlebih dahulu sebelum mencapai ranah menentukan nasib sendiri, dan[13] upaya apapun yang dilakukan untuk membangun sebuah standar, sepatutnya memperhitungkan pula hak asasi manusia serta kemampuan dalam menerapkan standar tersebut.[8][35] Secara hukum, menentukan nasib sendiri umumnya terbatas pada level negara. Namun secara empiris, pergerakan menentukan nasib sendiri yang mempergunakan kekerasan dan mendapat kesuksesan, cenderung akan mendapatkan pengakuan (menyebarkan pesan melalui jalan kekerasan).[8][31] Hal ini menimbulkan konflik dengan pemahaman yang sudah berjalan lama bahwa perbatasan internasional tidak dapat diganggu gugat.[8]Barkin dan Cronin berpendapat, kekuatan besar dalam hal tersebut belum dapat ditentukan secara konsisten prioritas yang seharusnya disetujui untuk prinsip yang saling bersaing, kedaulatan territorial dan menentukan nasib sendiri nasional.[6]
Penolakan secara mutlak pemisahan diri untuk setiap kasus, juga berada dalam landasan yang tidak kokoh, terutama toleransi penindasan suatu pihak atau pembantaian terhadap pihak lainnya atas nama integritas territorial. Pemisahan diri dapat merupakan arahan yang sah untuk beberapa gerakan menentukan nasib sendiri, khususnya sebagai jawaban atas pelanggaran yang berat serta sistematik atas hak asasi manusia, dan ketika entitas tersebut berpotensi sehat secara politik dan ekonomi. Beberapa bangsa atau kelompok yang dirugikan dan ditindas sedemikian buruknya oleh pemerintah mereka, sehingga otonomi lokal yang mungkin tercukupi untuk suatu kasus tertentu, tidak lagi dinilai cukup, maka kemerdekaan penuh dapat menjadi tujuan yang dapat diterima. Oleh sebab itu, dalam konteks tersebut, Scheffer tidak setuju dengan pendapat Hanum, bahwa konsep menentukan nasib sendiri harus dikembalikan ke dalam kerangka statik periode-periode terdahulu.[13]Richard Falk membuat kategori klaim menentukan nasib sendiri dengan berbagai tipe. Tabel berikut merupakan ringkasan tipe klaim yang dibuat olehnya.[8]
pilihan hukum pemerintah menjamin dan melindungi hak atas akses, partisipasi, dan persamaan
Orde keempat:
pilihan pengaturan jaminan fidusia diberikan oleh kedaulatan wilayah tradisional, sebagai usaha untuk mempertahankan hak tradisional menyakralkan teritori (termasuk berburu dan mencari ikan) dan cara hidup orang-orang asli dan minoritas
Penerimaan menentukan nasib sendiri yang terlalu bermurah hati dapat berakibat pada fragmentasi dan meningkatnya intoleransi karena tidak diperlukan lagi adanya hidup berdampingan dengan damai.[8] Sementara itu, tantangan utama pendefinisian menentukan nasib sendiri dengan mengeluarkan pemisahan diri dari dalam definisi, dapat digambarkan dengan situasi di Kosovo yang diatur oleh kekuatan/pihak berwenang PBB sejak berakhirnya kampanye pengeboman oleh NATO pada tahun 1999 sampai deklarasi kemerdekaan unilateral Kosovo pada Februari 2008.[10] Kemerdekaan Kosovo diakui oleh hampir seratus negara hingga pertengahan tahun 2010, tetapi tidak oleh Serbia yang menetapkan Kosovo tetap merupakan bagian integral Serbia. Sebagian karena alasan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Kosovo antara tahun 1989 dan 1999 dan selama kampanye NATO, para pengamat Barat memberikan simpati terhadap klaim kemerdekaan yang dibuat Kosovo. Misalnya 22 negara anggota Uni Eropa, Amerika Serikat, Australia, dan Kanada di antara negara-negara lainnya mengakui kemerdekaan negara baru tersebut. Namun demikian, tidak ada yang menghubungkan keinginan pemisahan diri Kosovo secara spesifik dengan tingginya tingkat pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi disana, dan deklarasi kemerdekaan Kosovo itu sendiri teramati sebagai kasus khusus dari pemisahan non-konsensual Yugoslavia yang tidak dapat dijadikan pedoman untuk situasi lainnya.[10] Kelompok tersebut berbagi suku, bahasa, serta karakteristik yang sama lainnya, tetapi hak menentukan nasib sendiri dalam hukum internasional, sebagaimana bertentangan dengan beberapa keterangan dan anjuran yang bersifat tidak mengikat, tidak memberikan hak khusus kepada kelompok-kelompok demikian yang terjadi di Kosovo.[10] Di masa sekarang, keadaan yang kurang lebih serupa terjadi pada warga Rohingya di Myanmar. Selain anggapan bahwa warga Rohingya adalah pendatang di Myanmar, faktor yang menimbulkan konflik berkepanjangan ialah penghapusan Rohingya dari konstitusi (Constitution of the Republic of the Union of Myanmar 2008). Secara resmi otoritas Myanmar hanya mengakui 135 kelompok etnis berbeda, yang dikelompokan dalam delapan ras etnis nasional utama, yaitu Kachin, Kayah, Kayin, Chin, Mon, Bamar, Rakhine, dan Shan. Dewan HAM PBB yang telah menyetujui resolusi untuk meluncurkan penyelidikan terhadap pemerintah Myanmar yang diduga kuat melakukan pelanggaran HAM dan pembersihan terhadap etnis Rohingya mendapat kecaman dan penolakan dari otoritas Myanmar yang menilai bahwa pembentukan misi pencari fakta internasional, bukan menyelesaikan masalah, tetapi justru akan semakin membakar konflik. Tantangan secara politik, teknis, dan proses yang ditunjukkan dalam situasi tersebut merupakan cerminan relatif sulit dipenuhinya pemenuhan hak untuk menentukan nasib sendiri.[3] Terlepas dari problematika yang melingkupinya, klaim atas hak menentukan nasib sendiri tidak menjadi berkurang, dan diperlukan pengembangan yang lebih baik oleh komunitas internasional dalam menghadapi permintaan tersebut agar dapat menghindari tindakan kekerasan dan konflik yang merusak.[8] Sampai definisi hak ini menjadi jelas, hak menentukan nasib sendiri tetap menjadi alat retorika yang dipergunakan kelompok-kelompok di dalam negara yang menginginkan kemerdekaan, otonomi, atau menginginkan kendali atas permasalahan yang secara langsung berhubungan dengan kepentingan mereka.[10]
^Report of the International Committee of Jurists entrusted by the Council of the League of Nations with the task of giving an advisory opinion upon the legal aspects of the Aaland Islands question, League of Nations Off. J., Spec. Supp. No. 3 (Oct. 1920) at 5.
^The Aaland Islands Question, Report presented to the Council of the League by the Commission of Rapporteurs, League of Nations Doc. B.7.21/68/106 (1921) at 27.
^Manela, Erez. The Wilsonian Moment : Self-Determination and the International Origins of Anticolonial Nationalism. Oxford; New York: Oxford University Press, 2007.
^Djokic, Dejan. Pasic & Trumbic : The Kingdom of Serbs, Croats and Slovenes. London: Haus, 2010.
^Claude, Inis. National Minorities an International Problem,. Cambridge: Harvard University Press, 1955.
^Mazower, Mark. Dark Continent : Europe’s Twentieth Century. New York: A.A. Knopf : Distributed by Random House, 1999.
^Quincy Wright, Mandates under the League of Nations (Chicago: Univ. of Chicago Press, 1930); R.N. Chowdhuri, International Mandates and Trusteeship Systems: A Comparative Study (The Hague: Martinus Nijhoff, 1955).
^Russell & Muther, A History of the United Nations Charter 810-811 (1958).
^Wright, International Law and the United Nations 49 (1960).
^Lachs, The Law in and of the United Nations, 1 Indian J. Int’l. L. 429, 432 (1961).
^Reus-Smit, Christian. Individual Rights and the Making of the International System, Cambridge: Cambridge University Press 2013.
^Mazrui, Ali A. Africa’s International Relations: The Diplomacy of Dependence and Change. London [u.a.]: Heinemann [u.a.], 1977.
^Glanville, Luke. Sovereignty and the Responsibility to Protect: A New History, 2014.
^Nowak, Manfred. UN Covenant on Civil and Political Rights : CCPR Commentary. Kehl [u.a.]: Engel, 1993.
^Stiks, Igor. “A Laboratory of Citizenship: Nations and Citizenship in the Former Yugoslavia and Its Successor States.” 2009.
^Richard Falk, Self-Determination Under International Law: The Coherence of Doctrine Versus the Incoherence of Experience. In The Self-Determination of Peoples: Community, Nation, and State in an Interdependent World, ed. Wolfgang Danspeckgruber (Boulder: Lynne Rienner Publishers, 2002).
^ abRichard Falk, Self-Determination Under International Law: The Coherence of Doctrine Versus the Incoherence of Experience. In The Self-Determination of Peoples: Community, Nation, and State in an Interdependent World, ed. Wolfgang Danspeckgruber (Boulder: Lynne Rienner Publishers, 2002), 42-3.
^Mamlyuk, Boris (2010-04-04). "Self determination (international law)". LII / Legal Information Institute (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-09-06. Diakses tanggal 2017-12-06.
^Lea Brilmayer, "Secession and Self-Determination: A Territorial Interpretation," Yale Journal of International Law 16 (1991): 177-202.
^Robert McCorquodale, "Self-Determination: A Human Rights Approach," International and Comparative Law Quarterly 43 (1994): 857-885.
^ abPatricia Carley, Self-Determination: Sovereignty, Territorial Integrity, and the Right to Secession (Washington DC: United States Institute of Peace Press, 1996).