Orang Tanimbar Kei
Orang Tanimbar Kei (Kei: Tanebar Evav[a]) adalah kelompok etnis yang mendiami pulau Tanimbar Kei di Maluku Tenggara, Provinsi Maluku. Orang Tanimbar Kei merupakan sub-etnis Kei yang bertutur menggunakan bahasa Kei dialek Tanimbar Kei. SejarahAsal-usul dan hukum larvul ngabalBerdasarkan penelusuran sejarah di Ohoi Tanimbar Kei, kepala desa pertama di Tanimbar Kei adalah Som Salimubun yang berasal dari mata rumah Rahan Sokdit. Masyarakat yang mendiami pulau Tanimbar Kei juga mempunyai aturan-aturan adat yang berlaku dan mengatur kehidupan mereka. Masyarakat Tanimbar Kei mengenal norma-norma adat seperti pada umumnya yang terdapat di Maluku Tenggara yang disebut urlim dan ursiu (di Maluku Tengah disebut sebagai patasiwa dan patalima). Ursiu memiliki sebuah undang-undang sebagai norma pengatur tata kehidupan masyarakat yang dikenal dengan nama ngabal. Kedua aturan adat ini kemudian dipadukan menjadi satu bentuk hukum yang disebut hukum larvul ngabal. Hukum ini berfungsi sebagai kontrol sosial dalam tata kehidupan masyarakat, bila terjadi pelanggaran maka dikenakan sanksi berupa hukuman badan. Ketertiban dalam mayarakat mengenai bidang hukum diatur oleh dua lembaga adat yaitu larvul-lanturuk dan ngabal-adun, bila terjadi pelanggaran maka dihadapkan kepada larvul-lanturuk.[4] Terbentuknya undang-undang larvul dan ngabal bertepatan dengan terbentuknya kerajaan-kerajaan yang disebut un enen uni wau, yang artinya "enam raja dan delapan raja". Kelompok urlim memiliki enam buah kerajaan, yaitu Tuhlei, Yarbadan, Idet, Bamav, Saangli, dan Kirkes, sedangkan kelompok ursiu memiliki delapan buah kerajaan, yaitu Famur, Sokmas, Beldu, Ketil, Elhel, Wahadat, Barir, dan Bentar. Keenam kelompok kerajaan urlim dipimpin oleh kerajaan yang berpusat di Tual yaitu Tuhlei. Sebaliknya, kelompok ursiu dipimpin oleh kerajaan yang berpusat di pulau Dullah yaitu Beldu. Keempatbelas kelompok kerajaan tersebut adalah kelompok kerajaan adat.[4] Penyebaran Hindu di kepulauan KeiDari beberapa informasi yang diperoleh dari masyarakat Kei dikatakan bahwa leluhur mereka berasal dari pulau Jawa dan Bali. Apabila cerita ini dikaitkan dengan berbagai sumber sejarah, kiranya memiliki kebenaran yang dapat dipercaya. Dari beberapa naskah kuno yang diyakini sebagai sumber sejarah, seperti berita yang tertulis dalam Kitab Pararaton dan Negarakertagama, dapat diketahui bahwa wilayah seperti Gurun (kepulauan Kei), Seran (pulau Seram), Wandan (kepulauan Banda), Ambwan (pulau Ambon), dan juga Jailolo telah menjadi taklukan Majapahit, sehingga adanya kedatangan orang dari Jawa dan Bali dapat diterima dan masuk akal.[5][6][7] Dalam kedua naskah sejarah tersebut, dijelaskan bahwa Majapahit menaklukkan kerajaan Bali pada tahun 1343 M, Setelah penaklukan tersebut, oleh Majapahit kemudian tentara kerajaan Bali dipergunakan untuk menyerang dan menaklukkan kerajaan yang ada diwilayah timur seperti: Lombok, kerajaan-kerajaan di pulau Sumbawa (Bima, Dompu, Sumbawa), yang besar kemungkinannya sampai pula di kepulauan Maluku. Hal ini diperkuat dengan adanya 2 buah arca yaitu arca perwujudan dan arca perwujudan Dewi Parwati (Ratu Tribhuwana Tungga Dewi) yang bergaya Majapahit yang ditemukan di Ternate. Kedua arca tersebut kini disimpan di Museum Siwa Lima, Ambon.[8] Berdasarkan penuturan beberapa orang tokoh masyarakat Kei, dikatakan bahwa agama Hindu (orang Jawa dan Bali) masuk di wilayah tersebut secara bertahap dan sedikitnya ada 6 tahapan kedatangan orang Hindu khususnya di kepulauan Kei (Nuhu Metin Evav, Yuut, Nuhuroa).[7] Ekspedisi pertama tiba pada tahun 1348 dipesisir timur tengah pulau Kei Besar (Nuhufo), dipimpin oleh Rajawang, kemudian ekspedisi kedua mendarat di Teluk Wain, ekspedisi ketiga tiba di pantai Faan, yang ke empat tiba di pantai Tetoat, Ngursit, ekspedisi kelima datang dari Bali dibawah pimpinan Kasdewa yang mendarat di pantai utara desa Letvuan, dan ekspedisi keenam dibawah pimpinan Jinggra tiba di pesisir barat tengah pulau Kei Besar (Ler Ohoilim).[7][9] Pada akhirnya, ekspedisi keenam dibawah pimpinan Kasdewa dan Jinggra mendapat sambutan masyarakat Kei. Kasdewa datang ke Letvuan bersama istrinya Dit Ratngil dan 3 orang anak lelakinya yang bernama Tatbut, Fadir Samai, dan Atman serta 5 orang anak perempuannya yaitu Dit Sakmas, Bainful, Dit Nangan, Sakin, dan Dit Renyar. Mereka diterima baik oleh penduduk setempat, dan dianggap sebagai wakil dewa dari Bali.[7] Masa kolonial BelandaSetelah daerah kepulauan Kei berada dibawah kekuasaan kolonial Belanda, kemudian diangkat raja yang disebut raja angkatan.[4][10] Sistem kepercayaanSecara umum, wilayah Kepulauan Maluku sebelum masuknya agama-agama besar seperti Islam dan Kristen masyarakat di daerah tersebut hidup dalam kepercayaan tradisional yang bercorak animistis. Demikian halnya di Maluku Tenggara, masyarakatnya mengenal konsep pemujaan terhadap leluhur dan kepercayaan pada nenek moyang. Anggapan masyarakat mengenai posisi dan peranan tuhan serta posisi dan peranan roh-roh leluhur didalam kehidupan mereka sehari-hari nampak pula pada ungkapan mereka pertama Tuhan dan kedua tete-nene moyang (leluhur). Di samping substansi yang ada pada setiap upacara seperti unsur janji, ikatan, sumpah, hukum, dan lain-lain. Bukan hanya disaksikan oleh mereka orang-orang yang hadir pada upacara tetapi juga oleh roh-roh para leluhur mereka.[4][11] Saat ini, ada 4 agama yang dianut oleh masyarakat Tanimbar Kei, yakni Hindu, Islam, Protestan, dan Katolik. Orang Tanimbar Kei merupakan satu-satunya kelompok etnis asli di Indonesia Timur yang masyarakatnya mayoritas menganut Hindu; sebanyak 67% beragama Hindu. Kedatangan Hindu di Tanimbar Kei diduga berasal dari asal-usul leluhur mereka, yakni orang Bali yang berasal dari desa Pedawa di Buleleng, Bali.[3][12] Berikut ini jumlah orang Tanimbar Kei menurut penganut agama pada tahun 2011 (per-kepala keluarga) dan 2022 (per-jiwa).[1][3]
Struktur masyarakatOrang Tanimbar Kei yang mendiami pulau Tanimbar Kei termasuk kedalam sub-suku Kei. Terdapat dua ohoi atau desa yang didiami oleh marga asli di Tanimbar Kei, yakni Ohoi Tanebar Evav didiami oleh marga Salimubun, Tabalubun, Elier, Rahayaan, Soarubun, Manteanubun, Sarmav, Kidatubun, Fuakubun, Tanifanubun, Singerubun, Sarmabubun, Yaudam, Yamko, dan Tabatubun, kemudian Ohoi Munyang didiami oleh marga Ohorenan, Masaide, Ondeoso, Manteanubun, Yamko, Kudamase, dan Yahawadan.[13] Dalam masyarakat Tanimbar Kei, wilayahnya terbagi menjadi 3 petuanan, antara lain;[3]
Pulau Tanimbar Kei terbagi lagi menjadi tiga lokasi pemukiman, yakni kampung atas, kampung bawah, dan kampung kecil.[3] Mata pencaharianKeadaan sosial ekonomi di Tanimbar Kei tidak jauh berbeda dengan kehidupan masyarakat di Maluku Tenggara lainnya. Aktivitas masyarakatnya mencerminkan dua corak kehidupan sesuai dengan alam lingkungannya yaitu sebagai petani dan nelayan.[4] Berkenaan dengan keadaan daerah yang mempunyai dataran yang cukup luas maka interaksi tertinggi masyarakat di desa tersebut adalah pertanian. Pada umumnya jenis pertanian yang bisa dikembangkan adalah bertani ladang. Pembukaan kebun baru biasanya dikerjakan secara masohi atau gotong royong. Teknik yang dipakai dalam pengolahan tanah dilakukan dengan cara tradisional yaitu dengan mencangkul tanah, kemudian membuat kuming (tanah yang telah dicangkul ditumpuk berbentuk gunung) untuk menanam petatas, ubi, kembili, jagung, pisang, keladi, sayur-sayuran, dan kacang-kacangan. Di samping usaha pertanian tanaman umur pendek, perkebunan yang paling menonjol adalah perkebunan kelapa, sehingga kelapa di Tanimbar Kei merupakan tanaman andalan mereka yang dapat mendukung keperluan hidupnya setiap hari. Buah kelapa dapat diproduksi menjadi gula, sehingga masyarakat Tanimbar Kei selain sebagai petani dan nelayan juga sebagai penghasil gula merah.[4] Masyarakat Tanimbar Kei juga banyak memelihara hewan terutama babi dan sapi. Mereka memeliharanya secara tradisional yaitu dengan melepas (tidak dikandangkan) dan mencari makanan disekitar kampung. Sedangkan hasil dari kebun-kebun tanaman umur pendek dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari di samping juga ada beberapa yang dijual.[4] Selain bertani, berburu binatang juga dikenal oleh masyarakat ini. Perburuan sering diadakan di daerah perburuan desa yang bersangkutan, tetapi sering terjadi seorang pemburu memasuki daerah perburuan desa lain. Menurut keterangan yang diperoleh, dikatakan bahwa hal tersebut tidak merupakan pelanggaran, tidak ada yang dikenakan sangsi, karena hewan-hewan buruan itu tidak mengenal domisili. Tetapi bila seorang pemburu dari suatu tempat hendak berburu pada suatu tempat yang letaknya cukup jauh, terlebih dahulu harus diperoleh izin dari badan saniri desa yang bersangkutan. Alat-alat yang biasa dipergunakan adalah perangkap, tombak, busur, panah, dan bambu runcing. Hasil-hasil perburuan itu biasanya dipergunakan untuk kepentingan keluarga, tetapi jika ada kelebihan hasil barulah dijual.[4] Sebagai masyarakat pesisir pantai, selain memanfaatkan sumber daya yang ada di darat juga mampu memanfaatkan sumber daya akuatik, baik berupa penangkapan ikan maupun transportasi laut. Pada umunya penangkapan ikan bagi penduduk pedesaan daerah pesisir pantai berfungsi sebagai mata pencaharian tambahan, tapi ada juga di beberapa daerah cendrung sebagai mata pencaharian pokok di samping pertanian. Alat-alat yang lazim dipakai untuk menangkap ikan adalah berupa jaring, sero, bubu, rureho, dan kail. Daerah penangkapan adalah lautan petuanan desa yang bersangkutan atau yang disebut labuang. Tiap-tiap desa pesisir memiliki labuangnya sendiri, bila para nelayan suatu desa melakukan penangkapan pada labuang desa lain, maka ia diharuskan membayar sejumlah uang untuk desa tersebut, dengan istilah membayar labuang. Jumlahnya tergantung dari permintaan badan saniri desa yang bersangkutan.[4][10] Lihat jugaCatatan
Referensi
|