Suku Tanimbar adalah sekelompok etnis atau masyarakat asal Indonesia yang mendiami Kepulauan Tanimbar yang berasal dari campuran Austronesia-Papua. Kata ”Tanimbar” berasal dari kata Tanempar dalam bahasa Yamdena Timur (Nustimur) atau Tnebar dalam bahasa Fordata, yang berarti ”Terdampar”.
Suku Tanimbar sendiri lebih suka menyebut diri sebagai orang Numbar. Kata Tanimbar digunakan pada awalnya oleh para penjelajah Barat. Masyarakat lain ada juga yang menyebutnya orang Timur Laut. Suku bangsa ini mendiami Pulau Yamdena, Selaru dan pulau-pulau kecil lain di lingkungan Kepulauan Tanimbar di Kecamatan Yamdena, Kabupaten Maluku Tenggara, Provinsi Maluku. Jumlah populasinya sekitar 10.000 jiwa. Suku bangsa ini sebenarnya terbagi menjadi tiga sub-suku bangsa yaitu Tomata Yamdena, Tomata Laru dan Tomata Nember. Sub suku bangsa Tomata Nember mendiami Pulau Fordata dan pulau-pulau di utara Pulau Yamdena. Sub suku bangsa Tomata Yamdena mendiami sebagian besar pulau Yamdena, sedangkan Tomata Laru mendiami Pulau Selaru dan pulau-pulau lain di bagian barat pulau Yamdena.[2][3]
Asal Usul
Banyak cerita tentang asal-usul Suku Tanimbar. Setiap keluarga, marga atau kelompok masyarakat tertentu, memiliki cerita sendiri-sendiri tentang asal usulnya. Ada cerita yang mempunyai kemiripan dengan yang lain, namun ada juga yang bertolak belakang. Namun demikian, menurut cerita pada umumnya (anggap saja dongeng), dahulu kala Orang Tanimbar berasal dari wilayah tertentu di belahan bumi tertentu. Oleh karena satu dan lain hal (alasan peperangan, bencana alam, dll), kemudian mereka mencari wilayah baru. Dan dari perjalanan pelayaran yang panjang, akhirnya mereka tiba (Terdampar = Tanempar/Tnebar) di Kepulauan Tanimbar.
Ada pendapat lain tentang asal-usul orang/suku Tanimbar. bahwa orang Tanimbar berasal dari suku-suku seperti Buton, Bugis; dan suku-suku di Maluku, seperti Halmahera, Seram, Lease dan sebagainya (kecuali wilayah bagian tenggara).
Budaya Duan - Lolat
Budaya Orang Maluku yang paling kental dan paling dikenal adalah budaya "Pela Gandong". Berbeda dengan orang Tanimbar (Maluku Tenggara Barat), Pela Gandong adalah bagian dari hierarki kearifan lokal yang terpusat pada Duan Lolat.[4]
Berkenalan dengan Duan & Lolat
Duan dan Lolat merupakan status sosial yang berasal dari hubungan perkawinan, dan perkawinan merupakan dasar untuk menentukan status sosial Duan dan Lolat. Dalam perkawinan, pihak yang memberikan anak perempuan pada gilirannya akan menjadi Duan, sedangkan pihak yang menerima anak perempuan akan menjadi Lolat. Setelah menikah pihak keluarga perempuan menjadi Duan sedangkan pihak keluarga laki-laki, yaitu keturunan dari pasangan yang menikah menjadi Lolat dari pihak keluarga perempuan. Tidak hanya terbatas dalam konteks perkawinan, Duan-Lolat telah menjadi pola relasi sosial yang terbangun dalam kehidupan sosial masyarakat Tanimbar. Pola relasi sosial yang lahir dari budaya ini adalah pola yang hirarkis di mana ada perbedaan status antara Duan dan Lolat. Duan dipandang sebagai pihak yang superior sedangkan Lolat adalah pihak yang inferior.[5]
Perbedaan status ini pada gilirannya memiliki dampak positif dan negatif bagi kehidupan masyarakat Tanimbar. Secara positif, perbedaan status tersebut menjadi sarana yang efektif untuk menciptakan hubungan-hubungan interaksi sosial dan psikologis antara sesama serta menjadi perekat dalam membina dan melestarikan kehidupan sosial antar warga masyarakat. Hubungan Duan-Lolat memungkinkan orang-orang Tanimbar untuk membangun persekutuan yang lebih luas di antara mereka. Hubungan Duan-Lolat tidak hanya terbatas pada orang-orang yang tinggal dalam satu desa saja atau pada satu pulau saja, tetapi juga mencakup orang-orang pada desa-desa dan pulau-pulau lainnya. Dalam frame yang lebih besar, hal ini berarti bahwa semua orang, yang berkembang secara kuantitas melalui proses perkawinan adalah sama-sama terhisap dalam relasi Duan-lolat.[5]
Sedangkan dampak negatifnya adalah perbedaan status Duan-Lolat menciptakan kesenjangan sosial di antara warga di mana perbedaan status itu dimanfaatkan untuk menunjukkan pengaruh sosial dan mencari keuntungan ekonomis. Dampak negatif inilah yang kemudian tidak sesuai dengan adanya tuntutan akan suatu masyarakat yang seimbang, dan bertentangan dengan ajaran Kristen yang tidak setuju dengan pemanfaatan perbedaan status sosial yang demikian. Hal yang menarik adalah pola relasi sosial yang hierarkis itu juga terbentuk oleh karena peran dan fungsi sosial Duan dan Lolat dalam masyarakat. Tatanan hierarkis itu, selain berpotensi untuk menciptakan relasi yang tidak setara dalam masyarakat, juga sangat dekat dengan ketidakadilan. Dalam budaya Duan-Lolat, ketidakadilan itu dialami oleh Lolat, oleh karena ia yang pertama-tama akan menerima dampak dari kesalahan yang dilakukan oleh para Duannya, yang berada pada jenjang yang lebih tinggi.[5]
Seorang Duan dihargai oleh Lolatnya, oleh karena jasanya terhadap Lolat. Seorang Duan bertanggungjawab penuh terhadap kehidupan Lolatnya. Apapun yang terjadi dalam kehidupan Lolat menjadi tanggungjawab Duan. Misalnya ketika seorang Lolat akan menikah, atau ketika ia sedang mengalami masalah dalam kehidupannya, maka Duannya akan menebus segala beban “harta” yang ditimpakan atas Lolatnya, baik untuk pernikahan maupun persoalan seperti perkelahian atau pelanggaran-pelanggaran terhadap hukum adat. Seorang Lolat, hanya perlu datang kepada Duannya untuk menyampaikan maksud atau masalahnya dengan membawa sebotol “sopi”. Karena itulah, seorang Duan kemudian dipandang dan dipercaya sebagai penyelamat dan penebus sedangkan Lolat adalah orang yang diselamatkan atau ditebus.
Dalam relasi Duan-Lolat, masyarakat Tanimbar meyakini bahwa pembangkangan atau pemberontakan seorang Lolat terhadap Duannya akan mendatangkan kutuk bagi sang Lolat. Pihak Duan sebagai pihak perempuan adalah sumber kehidupan bagi Lolat. Amarah dari sang Duan diyakini akan mendatangkan musibah kepada sang Lolat dan keturunannya, seperti sakit, susah untuk melahirkan, anak mengalami cacat pada saat dilahirkan oleh ibunya, dan bahkan bisa sampai meninggal dunia.
Dalam konteks ini, pihak Duan juga berperan dalam urusan religius yaitu untuk mempersembahkan korban kepada para leluhur, maka pemberian kain atau pakaian dari Duan kepada Lolatnya kemudian berarti bahwa pihak kehidupan Lolatnya itu tidak hanya mendapatkan perlindungan dari Duannya itu, tetapi juga dari para leluhur sehingga menjamin kehidupan yang berkembang di pihak Lolat. Sebaliknya, dengan memberikan sopi kepada Duannya maka seorang Lolat sedang mengharapkan perlindungan tidak hanya dari Duannya, tetapi juga dari para leluhur sehingga menjamin pertumbuhan dan perkembangan di pihaknya.[5]
Dalam konteks masyarakat Tanimbar, orang mengenal sosok ilahi yang disebut sebagai Ubilaa yang dipahami sebagai realitas tertinggi. Kata Ubilaaberasal dari kata Ubu yang berarti leluhur maupun cucu (baik laki-laki maupun perempuan) dan kata Ilaa yang berarti besar, agung. Penggunaan kata Ubu yang bisa berarti leluhur maupun cucu ini merefleksikan relasi asal-usul kehidupan yaitu bahwa anak-cucu, orang-orang Tanimbar, berasal dari Ubilaa, yaitu leluhur agung. Selain disebut sebagai Ubilaa, realitas tertinggi itu disebut juga sebagai Duadilaa. Penggunaan istilahDuadilaa ini berkaitan erat dengan budaya Duan-Lolat, dan karena itu, sekali lagi, merefleksikan relasi asal-usul kehidupan, yaitu bahwa semua orang Tanimbar berasal dari Duadilaa. Ubilaa/Duadilaa adalah leluhur pertama yang darinya semua orang Tanimbar berasal. Dalam tatanan hierarkis Duan-Lolat, Ubilaa/Duadilaa berada pada puncak tatanan hierarkis itu.
Dalam perkembangan kemudian, sangat mungkin ketika orang-orang Tanimbar telah menjadi Kristen, kata Ubilaa/Duadilaa digunakan untuk menyebut Allah. Dengan menyebut Allah sebagai Ubilaa/Duadilaa, maka orang-orang Tanimbar kemudian memahami bahwa Allah adalah Leluhur Pertama atau Leluhur Agung yang dari-Nya semua orang Tanimbar memperoleh kehidupan yang sekarang. Jadi, bagi orang-orang Tanimbar, dalam konteks budaya Duan-Lolat, Allah adalah Leluhur Agung. Karena Allah sebagai Ubilaa/Duadilaa adalah sumber kehidupan pertama bagi semua orang Tanimbar, maka Allah adalah Allah yang universal bagi semua orang Tanimbar apapun marga, desa, maupun agamanya.[5]
Berkaitan dengan tatanan Duan-Lolat yang bersifat hierarkis maka Allah sebagai Ubilaa/Duadilaa berada pada puncak tatanan hierarkis tersebut. Karena Allah sebagai Ubilaa/Duadilaa berada pada puncak tatanan hierarkis Duan-Lolat dan semua orang Tanimbar berasal darinya, maka pada dasarnya semua orang Tanimbar adalah setara, yaitu mereka semua adalah Lolat dari Allah sebagai Ubilaa/Duadilaa. Dalam kaitan itu maka hanya ada satu jenjang hierarkis, yaitu antara Allah sebagai Duadilaa dan manusia (Tanimbar) sebagai Lolat. Dengan demikian maka pemahaman bahwa Allah adalah Ubilaa/Duadilaa sekaligus mentransformasi tatanan hierarkis Duan-Lolat itu sendiri.[5]
Pihak Duan, selain diakui sebagai sumber kehidupan bagi Lolatnya, ia juga berperan sebagai pelindung dan perantara antara Lolat dan para leluhur. Dalam perannya sebagai pelindung maka pihak Duan kemudian dipandang sebagai penebus dan penyelamat bagi Lolatnya, oleh karena ia akan atau menebus atau menyelamatkan Lolatnya dari kesalahan yang dilakukan oleh Lolatnya dalam kehidupan sosial masyarakat Tanimbar. Sedangkan para leluhur merupakan sosok yang sangat penting oleh karena meskipun mereka telah meninggal, mereka tetap diyakini memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan anak cucu dan berperan sebagai perantara antara anak-cucu mereka dengan realitas tertinggi (Ubilaa/Duadilaa).
Allah dalam terminologi masyarakat tanimbar (Ubilaa/Dudilaa), diyakini sebagai sumber segala sesuatu yang berbeda atau bertentangan di dalam dunia, dan segala sesuatu yang berbeda atau bertentangan di dunia itu berasal dari Allah. Jadi, Ubilaa/Dudilaa-lah yang mengadakan segala sesuatu yang kelihatannya berbeda di dalam dunia seperti langit dan bumi, bulan dan matahari, laki-laki dan perempuan. Intinya, segala sesuatu berasal dari Ubilaa/Duadilaa dan tanpa Ubilaa/Duadilaa maka segala sesuatu itu tidak akan pernah ada. Dalam kekristenan juga ada gagasan bahwa segala sesuatu “berasal” dari Allah dan Allah-lah yang mengadakan segala sesuatu yang ada di dalam dunia, Allah sebagai aktor utama dari proses penciptaan alam beserta segala isinya. (Bgk. Narasi penciptaan dalam Kej.1-2).[5]
Dalam kosmologi masyarakat Tanimbar, Allah sebagai Ubilaa/Duadilaa, kemudian dipahami sebagai “sumber kehidupan” tetapi sekaligus juga “sumber kematian”, terutama bagi orang-orang yang tidak taat dan melanggar perintahnya (Bgk. cerita pemusnahan Sodom dan Gemora (Kej. 19). Meskipun demikian Allah adalah sang pro-hidup. Allah tidak selalu menggunakan kemahakuasaan-Nya untuk menghukum dan mendatangkan kematian. Gambaran Allah yang mahakuasa tetapi pro-hidup ini digambarkan secara jelas dalam Perjanjian Baru, dalam diri Yesus Kristus. Kehadiran Allah dalam diri Yesus Kristus adalah untuk tujuan membebaskan manusia dari segala dosa dan kesalahannya. Kehadiran Allah dalam diri Yesus Kristus bukan untuk menghakimi, melainkan untuk mengampuni dan menebus manusia dari dosa-dosa. Yesus Kristus dapat dipahami sebagai Duan dan Leluhur oleh karena Ia juga adalah sumber kehidupan, penebus dan penyelamat manusia serta perantara antara manusia dengan Allah.
Dampak positif dari pola relasi antara sesama dalam bingkai budaya duan-lolat yang telah menjadi dasar perilaku etis-normatif bagi kehidupan bermasyarakat di antara pihak “hamba” (Lolat) terhadap pihak “Tuan” (Duan) mestinya diadopsi ke dalam pemahaman berelasi antara jemaat/gereja sebagai pihak Lolat terhadap Allah sebagai Duan. Dengan demikian sikap ketaatan yang di tuntut pihak Duan terhadap Lolatnya harus dipahami sebagai bentuk ketaatan Lolat (Gereja) terhadap Duannya (Allah). Pemahaman ini secara implisit terdapat pengakuan bahwa semua manusia Tanimbar pada dasarnya adalah setara, yaitu mereka semua adalah Lolat dari Allah sebagai Duadilaa. Dalam kesadaran bahwa semua manusia adalah Lolat dari Allah yang adalah Duadilaa itu, maka dengan sendirinya jenjang-jenjang hierarkis itu menjadi hilang. Hanya ada satu jenjang hierarkis yaitu antara Allah sebagai Duadilaa dan manusia (laki-laki dan perempuan) sebagai Lolat.[5]
Budaya Duan-Lolat juga dapat memberikan sumbangsih yaitu dengan memahami gereja dan orang-orang Kristen sebagai “kain tenun milik Allah yang diserahkan kepada dunia sebagai simbol encompassment dari pihak Allah kepada Dunia.” Encompassment atau pencakupan tersimbolisasi melalui kain atau pakaian yang diberikan oleh pihak Duan kepada pihak lolat. Dalam kaitan dengan budaya Duan-Lolat, kain yang dimaksudkan yakni Kain tenun, yang juga merupakan simbol yang penting bagi masyarakat Tanimbar. Dengan mengacu pada proses pembuatan kain tenun, gereja dapat dipahami sebagai kain tenun yang sudah dan sedang dikerjakan oleh Allah. Dengan sabarnya, Allah sebagai penenun (Mazmur 139:13), memintal benang, mengikat motif, merajut dan menenun kain tenunya itu yaitu gereja. Seperti halnya sejumlah benang itu ditenun menjadi suatu kesatuan dalam sebuah kain, Allah pun berinisiatif untuk menghimpun orang-orang dari berbagai latar belakang yang berbeda untuk disatukan dalam gereja-Nya. Orang-orang percaya yang berbeda, terbagi-bagi dan terpecah-pecah itu kemudian dipanggil dan dihimpun untuk mewujudkan hidup bersama dalam satu persekutuan yaitu gereja. Selanjutnya, gereja yang adalah kain tenun milik Allah itu menjadi “surat Kristus” (2 Korintus 2:3) untuk memperkenalkan Allah dan kehendak-Nya kepada dunia (2 Petrus 1: 9-10), seperti halnya kain tenun yang dikerjakan oleh kaum perempuan yang menunjukkan identitas, asal, dan pandangan hidup dari para pemilik kain tenun itu.
Dengan pemahaman tentang gereja yang demikian maka gereja tidak akan menjadi komunitas yang esklusif melainkan komunitas yang terbuka untuk merangkul pihak-pihak yang berbeda dan menjadi komunitas yang menghargai perbedaan dan kepelbagaian. Dalam konteks budaya Duan-Lolat, kain tenun menjadi simbol encompassment atau pencakupan dari pihak Duan kepada pihak Lolat, di mana pihak Duan merangkul pihak Lolat yang berbeda atau bertentangan dengannya. Dalam perangkulan itu, identitas Lolat yang berbeda dari pihak Duan tidak dihilangkan tetapi dipertahankan dan dihargai. Artinya, encompassment atau pencakupan itu tidak menghilangkan perbedaan, tetapi justru mengapresiasi dan menghargai perbedaan yang ada. Gereja sebagai kain tenun milik Allah yang merupakan simbol encompassment dari pihak Allah kepada dengan demikian haruslah menjadi komunitas yang terbuka, yang bersedia merangkul pihak-pihak yang berbeda atau bertantangan dengannya.[5]
Selain itu, dalam budaya Duan-Lolat, encompassment atau pencakupan dari pihak Duan itu juga bermakna bahwa kehidupan Lolat telah dilindungi oleh Duan sehingga menjamin kehidupan yang bertumbuh dan berkembang di pihak Lolat. Demikian pula, encompassment dari pihak Allah bermakna bahwa dunia ini telah mendapat perlindungan dari Allah. Encompassment yang bermakna perlindungan dari pihak Allah itu ditunjukkan melalui kasih-Nya kepada dunia yang mendatangkan hidup, sumber damai sejahtera dan keadilan. Gereja sebagai simbol encompassment dari pihak Allah kepada dunia mesti mewartakan dan mewujudkan encompassment yang mendatangkan hidup, damai sejahtera dan keadilan di tengah-tengah dunia. Hal itu mesti dilakukan gereja dengan meneladani apa yang telah dilakukan oleh Yesus Kristus, yaitu dengan menujunjukkan solidaritas, keberpihakan dan berjuang bersama-sama dengan mereka yang lemah, tertindas, terpinggirkan dan yang menderita di tengah-tengah dunia.[5]
Duan Lolat sebagai pandangan hidup dan hukum tertinggi
Setiap individu Tanimbar hidup dalam keteraturan budaya/adat istiadat setempat. Hukum Adat “Duan Lolat” menjadi pandangan hidup sekaligus menjadi hukum tertinggi bagi Orang Tanimbar
Dalam kehidupan masyarakat Tanimbar, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, telah sejak lama terpelihara sebuah nilai kekerabatan yang disebut sebagai duan lolat.[6] Duan Lolat bisa berarti banyak hal dengan makna yang sama yaitu interaksi antara dua pihak dan yang paling utama adalah Duan Agung yaitu Tuhan dan Lolat yaitu manusia. Bermula dari sang pencipta dan manusia, hukum adat ini mulai berregenerasi menjadi hukum - hukum adat lainnya seperti:
Duan sebagai pemberi dan Lolat sebagai penerima
Duan sebagai ayah dan lolat sebagai ibu
Duan sebagai kakak dan lolat sebagai adik
Duan sebagai lelaki dan Lolat sebagai perempuan
Duan sebagai matahari dan lolat sebagai bulan
Duan sebagai yang berkuasa dan lolat sebagai yang dikuasai
Duan sebagai tuan dan lolat sebagai hamba, dll.
Masyarakat
Masyarakat Tanimbar mayoritas memeluk agama Katolik. Setiap mantra yang diucap dalam upacara atau ritual adat selalu diakhiri dengan doa agama Katolik. Di bukit tertinggi di Saumlaki, di mana kita dapat melihat hampir seluruh pulau Yamdena, terdapat goa maria dan patung Kristus Raja. Biasanya masyarakat melakukan prosesi setiap hari-hari besar keagamaan di tempat ini.[4]
Badendang
Badendang merupakan salah satu jenis tarian suku Tanimbar. Dari sekian banyak tarian khas Tanimbar, Badendang merupakan salah satu tarian yang populer, karena tariannya sederhana dan melibatkan banyak orang.
Yang khas dalam tarian ini, yaitu;
-Tidak banyak gerakkan yang ditampilkan. Hanya satu / dua gerakkan, yang polanya tidak banyak berbeda (pola tetap: dua langkah maju, dan dua langkah mundur).
-berbentuk lingkaran,
-bergandengan tangan,
-para penari tidak perlu memiliki keahlian/keterampilan khusus,
-siapapun boleh ikut badendang; perempuan, laki-laki, tua, muda dan remaja.
-biasanya diiringi dengan lagu dan alat music (tifa, gitar, gambus, gong, dll)
– dan yang sangat khas, yaitu Badendang biasanya menjadi ajang bagi para penyair untuk beradu/tanding pantun.
Kini, Badendang sudah tidak lagi ada pada perayaan-perayaan akbar ataupun pesta rakyat di desa-desa Tanimbar.[7]
Presiden Jokowi dan Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2023
Presiden Joko Widodo menghadiri Sidang Tahunan MPR Tahun 2023 di Kompleks Parlemen, Jakarta mengenakan pakaian adat Tanimbar Maluku.
Baju adat pria Tanimbar oleh Presiden Jokowi memiliki semangat untuk mengangkat kebudayaan dan pakaian suku Tanimbar Maluku ke panggung tertinggi kenegaraan di Indonesia.
Literatur
Антипов В. И. Индонезия / Антипов Владимир Иванович. - М. : Географиз, 1961.
Кашмадзе И. И. Индонезия: острова и люди. - М. : Наука, 1987.
Chlenov, Mikhael. 1976. Nasalenie Molukkskikh Ostrovov [The population of the Moluccan Islands]. Moscow: Nauka.
McKinnon, Susan. "8. The Tanimbarese Tavu: The Ideology of Growth and the Material Configurations of Houses and Hierarchy in an Indonesian Society" In Beyond Kinship: Social and Material Reproduction in House Societies edited by Rosemary A. Joyce and Susan D. Gillespie, 161-176. Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 2000.
Kjellgren, E. P. (1997). [Review of Forgotten Islands of Indonesia: The Art and Culture of the Southeast Moluccas, by N. de Jonge & T. van Dijk]. Pacific Arts, 15/16, 135–137.
Jock, Hughes (1987). "The languages of Kei, Tanimbar and Aru: Lexicostatistic classification". Miscellaneous studies of Indonesian and other languages in Indonesia(PDF). NUSA: Studi Bahasa dalam bahasa Indonesia dan bahasa di Indonesia 27 (dalam bahasa Inggris). Jakarta: Badan Penyelenggara Seri Nusa, Universitas Atma Jaya. hlm. 71–111. OCLC896429711.Parameter |access date= yang tidak diketahui mengabaikan (|tanggal-akses= yang disarankan) (bantuan); Parameter |part= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan); Lebih dari satu parameter |author= dan |last= yang digunakan (bantuan)