Orang Gelaralam (bahasa Sunda: ᮅᮛᮀ ᮌᮨᮜᮁᮃᮜᮙ᮪, translit. Urang Gelaralam), sebelumnya dikenal sebagai Ciptagelar,[3] adalah kelompok masyarakat adat yang merupakan bagian dari sub-suku Sunda yang mendiami wilayah sekitar pegunungan Salak dan Halimun,[4] tepatnya di Kasepuhan Gelaralam, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi yang wilayahnya berbatasan langsung dengan Kecamatan Cilograng, Kabupaten Lebak di Banten.[5]
Sejarah
Sejarah Urang Gelaralam dimulai bersamaan dengan didirikannya Kampung Adat Ciptagelar pada tahun 1368, yang menurut sejarah didirikan oleh pasukan Kerajaan Sunda yang diperintah Prabu Siliwangi dan dibebastugaskan karena Prabu Siliwangi ingin melakukan moksa. Para prajurit tersebut kemudian dipisahkan menjadi tiga kelompok dan membentuk desa baru yang saling berhubungan. Salah satunya adalah Kampung Gede yang berfungsi sebagai pusat kasepuhan. Sejak saat itu terbentuklah masyarakat adat yang dikenal dengan sebutan Urang Gelaralam yang saat ini mendiami wilayah Kasepuhan Gelaralam.[6]
Bahasa
Bahasa yang digunakan oleh masyarakat Gelaralam adalah bahasa Sunda, tetapi kebanyakan dari mereka juga bisa berbahasa Indonesia dengan baik, terkecuali orang tua yang usianya 70 tahun ke atas, diantara mereka ada yang tidak dapat berbahasa Indonesia. Bahasa yang digunakan oleh orang Gelaralam sama dengan bahasa Sunda Banten pada umumnya, namun mereka bisa membedakan mana kosakata yang halus mana yang kasar, tergantung siapa lawan bicaranya.[7]
Struktur kepemimpinan
Urang Gelaralam di Kasepuhan Gelaralam dipimpin oleh seorang ketua adat yang disebut sesepuh girang. Pemimpin masyarakat Kasepuhan Gelaralam ini diturunkan secara garis keturunan.[8] Dalam menjalankan tugasnya, sesepuh girang dibantu oleh beberapa orang yang dalam struktur hierarkisnya yang disebut sebagai baris kolot. Baris kolot adalah beberapa orang yang dijadikan pembimbing, penasihat serta yang memberikan pertimbangan kepada sesepuh girang berkaitan dengan kepentingan kelompok sosial Kasepuhan Gelaralam. Masing-masing baris kolot ini mempunyai tanggung jawab sesuai bidangnya.[9]
Baris kolot juga bertugas untuk mengatur sistem norma adat yang mengatur masyarakat berbasis pada kepercayaan dimana sanksi adat tidak diberikan secara fisik oleh pemimpin dan sesepuh adat, melainkan berupa penyakit atau nasib buruk yang akan menimpa. Nilai dan norma adat pelaksanaannya adalah syarat bagi seseorang untuk dapat
mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian dari masyarakat adat Gelaralam.
Sistem nilai dan norma adat berlaku sebagai dasar bagi perilaku masyarakat. Jabatan dalam sistem adat seperti rorokan dan baris kolot adalah hal yang diberikan berdasarkan keturunan, hal ini termasuk dalam salah satu sistem norma yang terlaksana hingga
sekarang. Kepercayaan bekerja sebagai sistem penyimpanan bagi pengalaman masa lalu, termasuk pikiran, ingatan, dan interpretasi terhadap suatu peristiwa.[10]
Kebudayaan
Urang Gelaralam merupakan masyarakat adat yang sangat mengamalkan ajaran leluhur dan norma adat lainnya termasuk juga etika berpakaian masyarakat. Masyarakat Gelaralam mempunyai aturan khusus yaitu menggunakan ikat kepala bagi laki-laki dan menggunakan kain yang dililitkan ke pinggang bagi kaum perempuan. Arti dari aturan ini yaitu dalam hidup harus saling terikat dan menjaga kebersihan.[11]
Kemudian tata cara makan di masyarakat Gelaralam juga masih mempertahankan adat istiadat yang diwariskan oleh leluhur begitu pula dalam adab makan sehari-hari. tata cara makan yaitu piring harus diletakkan di bawah, makan tidak boleh sambil berbicara, tidak boleh ada suara ketika menyendok makanan di piring, dan perempuan tidak boleh makan dengan duduk bersilang. Perempuan yang sehari-hari menggunakan kain akan sangat tidak elok dipandang jika duduk bersilang. Selain itu perempuan juga diharapkan dapat berperilaku anggun, lemah lembut, dan sopan.
Di Kasepuhan Gelaralam juga para masyarakatnya masih memanfaatkan kebudayaan lama dalam memisahkan gabah padi yakni dengan menggunakan lesung dan alu. Gabah pada padi baru akan dipisahkan pada pagi hari. Kegiatan ini dilakukan oleh perempuan dari Kasepuhan Gelaralam. Warna beras yang ditumbuk dengan lesung dan alu berbeda dengan beras yang digiling. Beras berwarna kecoklatan karena masih terbalut dengan bekatul. Sedangkan, beras yang digiling dengan mesin akan berwarna putih. Memasak beras yang dilakukan oleh Urang Gelaralam juga masih dengan cara tradisional. Masyarakat Gelaralam tetap mempertahankan memasak nasi dengan cara tradisional. Keberadaan kompor gas hanya digunakan untuk memasak sayuran serta lauk pauk. Tentu saja cara tersebut mengacu pada kebudayaan Sunda setempat yang telah turun-temurun. Alat yang digunakan antara lain adalah tungku (Sunda: hawu), dandang (Sunda: seeng), kukusan (Sunda: aseupan), dan kayu bakar.
Kemudian juga listrik yang digunakan oleh masyarakat Gelaralam berasal dari masyarakat Gelaralam sendiri. Kasepuhan Gelaralam tidak teraliri listrik dari PLN tetapi dengan alat mikrohidro. Mikrohidro digerakkan menggunakan air untuk mengaliri listrik di kawasan Kasepuhan Gelaralam.[12]
Kemudian terdapat upacara seren taun yang dimaksudkan untuk menghormati leluhur dan sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil panen padi yang telah dilakukan. Berbagai pertunjukan seni budaya masyarakat yang ditampilkan dalam perayaan ini. Acara seren taun biasanya berlangsung selama 3 hari 2 malam.[13]
Kepercayaan
Masyarakat Gelaralam umumnya beragama Islam,[14] dengan kepercayaan lokal seperti Sunda Wiwitan yang masih bercampur didalamnya.[15] Kasepuhan Gelaralam juga dikenal sebagai Kasepuhan Islam Ciptagelar (Gelaralam) yang berarti tetua adat serta sebagian besar masyarakatnya menganut agama Islam.[16]
Referensi