Museum Siginjei Jambi merupakan museum yang menyimpan berbagai koleksi benda-benda bersejarah, benda seni tradisi serta sejumlah instalasi edukasi pewarisan budaya lainya.[1]
Sejarah
Museum Siginjai Jambi dibangun pada tanggal 18 Februari 1981 oleh Gubernur Jambi, Masjchun Syofwan dan diresmikan pada tanggal 6 Juni 1988 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Fuad Hassan.[2] Museum Siginjei dulu dikenal dengan Museum Negeri Provinsi Jambi. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, nama Museum Negeri Provinsi Jambi berubah menjadi Museum Negeri Jambi (Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2002) berdasarkan Peraturan Gubernur Nomor 26 nama Museum Negeri Jambi diganti nama menjadi Museum Siginjei pada tanggal 30 Oktober 2012.[3]
Terbuat dari jalinan kawat emas lengkap dengan gespernya. Ditemukan di Desa Lambur I, Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Seluruhnya terbuat dari emas 18 karat dengan sebuah bandul kecil masih terikat diujungnya. Kalung ini ditemukan tahun 1994 oleh seorang wanita saat akan membersihkan ladangnya di dalam timbunan abu gambut. Pemerintah memberi imbalan seharga emas ditambah uang sebagai tanda terima kasih karena telah menyerahkannya kepada negara.[5]
Sabuk emas
Ditemukan di Desa Lambur, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, kadar emasnya 18 dan 20 karat, terbuat dari sambungan ribuan cincin-cincin kecil terikat menjadi satu. Asal-usulnya sukar diketahui karena tidak ada tanda yang spesifik, mengingat lokasinya yang berada dekat pantai, didominasi oleh rawa-rawa maka dapat dipastikan sabuk emas ini atau logam emasnya, didatangkan dari luar daerah Lambur. Emas sendiri banyak dihasilkan melalui penambangan di tepi sungai Batang Hari hingga sekarang, terutama daerah pedalaman pada aliran Sungai Batanghari yaitu Kabupaten Bungo dan Kabupaten Merangin.[5]
Arca Budha
Arca kecil ini ditemukan di situs Rantau Kapas Limau Manis, Kabupaten Tebo. Lokasi aslinya tidak diketahui karena saat diterima tahun 80-an oleh pemerintah tanpa disertai catatan yang memadai. Seperti halnya arca-arca Budha lainnya di Jambi, arca ini pun memiliki gaya seni Gandhara yang dicirikan oleh jubah tipis yang dikenakan sang Budha. Awalnya seluruh permukaan arca dilapisi oleh emas, namun karat-karat timbul akibat korosi yang terbentuk di bawah lapisan emas menyebabkan permukaannya rusak dan mengelupas.[5]
Medali Turki
Medali Turki merupakan bukti persahabatan antara Kesultanan Jambi dengan Kesultanan Turki. Sultan Turki memberikanya sebagai penghargaan kepada utusan Sultan Taha Saifuddin yang berkunjung ke Turki dalam upaya meminta dukungan Sultan Turki dalam menghadapi Belanda di Jambi. Pada bagian lingkaran terdapat tulisan Arab.[5]
Tanduk Bertuliskan Incung
Naskah ditulis pada tanduk kerbau dengan teknik gores, bagian ujung tanduk terdapat motif melingkar. Tulisan naskah berbahasa kerinci kuno dengan aksara incung. Naskah yang diperkirakan telah berumur 3 abad lebih ini berisikan tentang tata cara memanggil roh para leluhur, petuah-petuah dan syarat-syarat menjadi pemimpin. Dari bentuknya seperti terompet, kemungkinan digunakan sebagai media untuk memberitahukan atau khabar tentang keadaan bahaya, adanya kerjaan besar dan pengumuman pemimpin kepada masyarakatnya.[5]
Arca Dewi Dipalksmi & Arca Dewi
Arca wanita ini terbuat dari perunggu dengan tinggi 32 cm lebar 11,5 Cm. Ditemukan di Koto Kandis Muara Sabak, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi dan diperkirakan berasal pada abad ke 13-14 Masehi. Nama Dipalaksmi, karena memegang lampu (Dipa), Dipalaksmi adalah satu Pantheon dalam kebudayaan Hindu. Dipa adalah atribut dari Dewi Laksmi, gaya seninya dari Kerajaan Chola (India). Arca ini serupa dengan arca di Museum Price of WWales di Bombai.[5]