Muhammad Djosan
Sutan Muhammad Djosan gelar Sutan Bidjo Radjo[3][4][5] (8 November 1906 – 20 Februari 1988) adalah seorang birokrat dan politikus Indonesia pada masa Orde Lama. Ia merupakan Gubernur Maluku kedua, yang menjabat dari tahun 1955 sampai 1960, setelah menggantikan pejabat sebelumnya, Johannes Latuharhary yang menjabat Gubernur dari tahun 1950 sampai 1955. Pada tahun 1960, Muhammad Djosan digantikan oleh Muhammad Padang yang menjabat sampai tahun 1965.[6] Sebelum menjabat gubernur, Djosan sempat menjadi Residen Ambon dan Pejabat Gubernur Maluku.[2][7][8] Karier birokratMuhammad Djosan lahir di Kampung Pauh, Pariaman pada 8 November 1906. Ayahnya bernama Abdullah dan ibunya bernama Putri Sari.[9] Ia mengawali kariernya sebagai birokrat setelah lulus dari sekolah pamong praja School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA). Ia tercatat berkarier di pemerintahan Pantai Barat Sumatera, dengan posisi di antaranya wakil jaksa Pengadilan Negeri Fort de Kock dan asisten demang Bayang, Pesisir Selatan.[10][11] Meskipun bekerja di birokrasi pemerintahan Hindia Belanda, Djosan mendukung penuh perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ia berhubungan dekat dengan Soekarno dan istrinya, Fatmawati. Pada saat Soekarno dalam pelarian dari Bengkulu menuju Padang jelang pendudukan Jepang, Djosan menyediakan tempat kediamannya di Painan sebagai tempat persinggahan Soekarno yang ditinggalkan begitu saja oleh tentara Belanda. Kelak, ketika Fatmawati keluar dari Istana pada 1957 karena tak menerima Soekarno berpoligami dengan Hartini, Soekarno meminta Djosan untuk mendamaikan hubungan mereka.[9] Setelah kemerdekaan, Djosan bergabung dengan pemerintah Indonesia yang baru dibentuk dan terlibat dalam birokrasi. Ia diangkat sebagai Kepala Luhak (Bupati) Agam pada 8 November 1945.[12] Dalam kapasitasnya itu, ia mengawal pembebasan tawanan perang Jepang oleh tentara Sekutu karena Jepang kalah perang. Namun, lantaran kemarahan rakyat terhadap Jepang, serangan-serangan yang menyasar tentara Jepang tak dapat terhindarkan. Buntutnya, tentara Jepang menangkap Djamin Datuk Bagindo yang saat itu menjabat sebagai demang di Agam dan mengancam akan membunuhnya. Demi menyelesaikan persoalan, Djosan memimpin perundingan dengan Komandan Tentara Pertahanan Sumatera Jenderal Watanabe yang waktu itu berada di Payakumbuh sehingga tercapai kesepakatan untuk menyudahi pertikaian.[9] Pada 17 Mei 1946, Djosan diangkat sebagai penyelidik anggaran gaji pegawai negeri.[13] Di luar jabatannya di dalam pemerintahan, ia pernah terlibat dalam negosiasi antara pasukan Indonesia dan Belanda pada awal Januari 1947.[14] Selanjutnya, ia menjadi Staf Gubernur Sumatera (Agustus 1947–Oktober 1948) dan Staf Gubernur Sumatera Tengah (Oktober 1948–Mei 1949).[9] Djosan diangkat sebagai Residen Ambon pada tahun 1952. Selama menjabat sebagai residen, ia memfasilitasi diskusi lintas agama antara kelompok Muslim dan Kristen di Maluku[15] dan melakukan penggantian Bupati Maluku Tengah.[16] Gubernur MalukuPenunjukanDjosan diangkat sebagai penjabat Gubernur Maluku pada 1 Februari 1955[17] menggantikan gubernur sebelumnya, Johannes Latuharhary, yang dicopot karena tekanan dari Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Partai Masyumi.[18] Latuharhary menyerahkan jabatannya kepada Djosan pada tanggal 9 Februari.[19] Sebagai anggota Partai Sosialis Indonesia (PSI), Djosan juga dicalonkan sebagai calon anggota Konstituante teratas dari daerah pemilihan Maluku, tetapi tidak terpilih.[20] Selama proses pemilihan gubernur definitif, beberapa nama seperti Pieter Andreas de Queljoe, Mohammad Padang, dan dr. Rehatta dicalonkan.[21] Partai Masyumi dan Partai Kristen Indonesia (Parkindo) yang menang dalam pemilihan umum 1955 membuat kesepakatan bahwa gubernur merupakan putra daerah Maluku dan apabila gubernur beragama Kristen, sekretarisnya harus Muslim dan sebaliknya. Masyumi mencalonkan Abdullah Soulisa, mantan Bupati Maluku Tengah, sedangkan Parkindo memajukan nama Martinus Putuhena, Johannes Leimena, dan M. A. Pellaupessy.[22] Djosan, yang pindah ke partai Nahdlatul Ulama (NU) setelah dicalonkan sebagai gubernur,[23] menyatakan bahwa gubernur berikutnya tidak boleh terafiliasi dengan partai politik mana pun dan meminta dirinya untuk ditempatkan di nomor paling bawah di daftar calon gubernur.[21] Menteri Dalam Negeri (Mendagri), yang merupakan anggota NU, memilih Djosan sebagai gubernur definitif pada sidang kabinet pada 25 November 1955.[24][25] dan melantiknya pada 6 Januari 1956.[26] Empat tahun setelah itu, Djosan mengakhiri masa jabatannya sebagai gubernur pada 1960.[27] ReaksiPengangkatan Djosan diprotes oleh PNI, Parkindo, dan Masyumi. PNI menolak mengakui Djosan sebagai gubernur definitif, sementara Parkindo dan Masyumi menganggap Djosan melanggar konsensus tentang etnisitas gubernur. Surat kabar Masyumi di Maluku, Tifa, memuat pernyataan dari berbagai pihak yang tidak setuju dengan penunjukan Djosan sebagai gubernur di halaman depan dan meragukan netralitas menteri dalam negeri dalam proses pemilihan Gubernur Maluku.[23] Parkindo, di sisi lain, meminta pemerintah pusat untuk mengangkat lebih banyak pegawai negeri sipil lokal untuk pemerintah Maluku.[28] PSI adalah satu-satunya partai bersama dengan NU yang mendukung Djosan dan berusaha mengadakan pertemuan untuk menggalang dukungan, tetapi pertemuan itu berakhir tanpa hasil yang jelas. Djosan juga memprakarsai pendirian cabang NU di Ambon, ibu kota Maluku, yang menuai kritik dari Masyumi dan Parkindo.[29] Menanggapi kritikan tersebut, Mendagri menyatakan Djosan "tegas, kompeten dan berpengalaman dalam urusan administrasi" dan "berani bertindak dan berinisiatif". Mendagri juga menjelaskan alasannya tidak memilih calon lainnya. Menurut Mendagri, Queljoe tidak memiliki pengalaman dalam pemerintahan, sedangkan Putuhena dan Rehatta menolak jabatan gubernur.[22] WafatSetelah mengakhiri masa jabatannya sebagai Gubernur Maluku, Djosan bertugas di Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah hingga pensiun pada 1962. Ia menghabiskan masa tuanya di Menteng, Jakarta, sampai ia meninggal dunia pada 20 Februari 1988. Ia meninggalkan seorang istri, Siti Nurlela yang ia nikahi pada 1926, dan dua orang anak perempuan, yakni Siti Djasmani dan Siti Norma.[9] Lihat pulaReferensi
|