Muhammad Padang (juga ditulis dengan ejaan Mohamad Padang, lahir di Sirisori Islam (sekarang Sirisori Amapatti), Saparua, Maluku, Hindia Belanda pada tanggal 18 Oktober 1914 – meninggal di Jakarta, Indonesia, tanggal tidak diketahui)[1][2] adalah seorang politisi Indonesia pada masa-masa peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru. Ia merupakan Gubernur Provinsi Maluku yang ketiga, yang menjabat dari tahun 1960 sampai 1965, setelah menggantikan pejabat sebelumnya, Muhammad Djosan yang menjabat Gubernur dari tahun 1955 sampai 1960.[3] Pada tahun 1965 Muhammad Padang digantikan oleh gubernur berikutnya, G.J. Latumahina, yang menjabat sampai tahun 1968.[4]
Adiknya, Usman Padang juga seorang politisi yang pernah menjabat Ketua DPRD Provinsi Maluku selama dua periode (10 tahun) dari tahun 1972–1982 sebelum digantikan oleh R.M.S. Latuconsina.[5]
Kehidupan awal
Mohammad Padang lahir pada 18 Oktober 1914 di desa Sirisori Islam di Pulau Saparua dan berbagai versi menyebutkan kalau dia lahir pada tahun 1920. Ibunya, Hadijah Pelupessy, seorang putri dari desa kelahirannya dan berasal dari keluarga besar Pattisahusiwa. Ayahnya bernama Abdulrachman Padang. Abdulrachman adalah putra dari Pakih Haji Nurdin gelar Pusako Baginda Bungsu, adalah seorang pejuang Perang Padri dari Koto Anau, Kabupaten Solok, Sumatera Barat yang dibuang Belanda ke Saparua pada zaman penjajahan Belanda.[2][6]
Mohammad menamatkan pendidikan dasar di Saparoeasche School Saparua dan melanjutkan ke sekolah menengah MULO di Kota Ambon. Setelah itu, ia merantau ke Pulau Jawa.[1]
Asal usul marga padang
Marga padang yang melekat pada namanya, bisa disebut sebagai pertanda asal usulnya. Ia merupakan generasi ketiga atau cucu seorang pejuang kemerdekaan sekaligus mubalig dari Koto Anau, Kabupaten Solok, Sumatera Barat bernama Pakih Haji Nurdin yang bergelar ‘Pusako Baginda Bungsu’. Pakih Haji Nurdin atau ‘Pusako Baginda Bungsu’ tidak pernah membayangkan suatu saat akan menetap di Pulau Saparua. Kiprahnya sebagai pejuang, terutama terlibat dalam perang Padri, membuat bangsa Belanda geram.
Karena perannya cukup besar, pada tahun 1881, ‘Pusako Baginda Bungsu’ kemudian ditangkap dan dibawa ke Batavia (Jakarta). Belanda tak ingin sosok ini menjadi pembangkang, lagi-lagi Pusako Baginda Bungsu kembali diasingkan ke Makassar dan berlanjut dibuang ke Pulau Saparua.
Pakih Haji Nurdin akhirnya menetap di Negeri Siri Sori Islam (Elhau). Di sana beliau melanjutkan perjuangan syiar Islam dan menikah dengan seorang gadis di Negeri Siri Sori Islam, bernama Maimuna Pelupessy.
Hasil perkawinan Pakih Haji Nurdin dan Maimuna Pelupessy kemudian dikaruniai lima anak masing-masing; bernama Abdulrachman, Fatimah, Djenah, Ahmad Marzuki dan Zainal Abidin Kelima anak inilah merupakan generasi pertama yang menggunakan marga Padang dan menetap di Negeri Siri sori Islam. Pakih Haji Nurdin wafat di Negeri Siri Sori Islam pada hari Selasa 1 Ramadhan 1344 H atau 13 Maret 1926.
Putra pertama Pakih Haji Nurdin bernama Abdulrachman Padang menikah dengan Hj. Hadijah Pelupessy yang masih memiliki pertalian sudara dari garis keturunan mamanya Maimuna Pelupessy. Dari perkawinan ini kemudian dianugrahi dua putra bernama Muhammad Padang dan Suib Padang.[7]
Karier dan aktivisme
Mohammad awalnya bekerja sebagai pegawai Bank Dagang Belanda (Nederlands Indische Handelsbank) sejak 1938 sampai 1942. Selama masa pendudukan Jepang, ia menjadi pegawai Mitsui Bank.[1]
Ia ikut serta dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan pada fase “Revolusi Fisik” (Perang Kemerdekaan). Ia memasuki badan-badan perjuangan pemuda, termasuk menjadi anggota Angkatan Pemuda Indonesia (API-Ambon) yang dipimpin oleh H. Tanasale dan J.D. de Fretes.[8]
Setelah itu, ia pindah ke Surabaya dan menjadi anggota pengurus besar organisasi “Pemuda Republik Indonesia” (PRI-Ambon) yang dipimpin M. Sapya dan Kolibongso.[8] Pemuda-pemuda Maluku juga mempunyai jasa yang besar dalam pertempuran 10 November di Surabaya melawan Tentara Sekutu (Inggris).
Sewaktu hijrah ke Yogyakarta, ia bergabung pada Organisasi “Pemuda Indonesia Maluku” (PIM). Di Yogyakarta, ia berjuang dalam Partai Politik Maluku (Parpim) yang didirikan oleh A.J. Patty. Sebagai pengurus Parpim, ia mewakili Maluku pula di dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan bersama-sama dengan Mr. J. Latuharhary dan Dr. G.A. Siwabessy menanggulangi kesulitan dan penderitaan orang-orang Maluku untuk tetap berada dalam wadah Negara kesatuan RI.[8]
Mohammad dilaporkan ditangkap oleh Pemuda Sosialis Indonesia pada Juli 1946 akibat dukungannya kepada Tan Malaka, sebelum dibebaskan pada April 1948.[9]
Kiprah
Setelah pemberontakan RMS pada tahun 1950 dapat ditumpas, ia bersama Gubernur Mr. J. Latuharhary berjuang membangun Maluku. Setelah itu, ia bersama A.J. Patty ditunjuk sebagai wakil Maluku dalam DPR Republik Indonesia Serikat (yang selanjutnya menjadi DPR Sementara).[8] Dalam sidang DPRS pada Mei 1952, ia menyuarakan agar Maluku segera mendapat hak otonomi seluasnya, selain meminta pemerintah untuk memperhatikan Maluku. Ia menyebut saat itu Maluku hanya memiliki satu kapal berkapasitas 100 ton, hanya ada tiga dokter, dan tidak ada bidan di Banda.[10]
Sebagai seorang tokoh pejuang anak daerah Maluku, Mohammad Padang dipercaya untuk menjadi Gubernur Maluku yang ketiga (1960–1965).[3] Ia juga tercatat sebagai salah seorang pendiri Universitas Pattimura dan menjadi anggota Presidium Unpatti dari tahun 1962–1971.[8]
Wafat
Tokoh Maluku dan pejuang kemerdekaan ini meninggal dunia di Jakarta dan ia dihargai sebagai pejuang kemerdekaan dan pengabdi rakyat di daerah Maluku.[8]
Referensi
Pranala luar