Millah Abraham
Pada umumnya, mayoritas ahli agama berkeyakinan bahwa setiap Rasul Allah membawa agama atau sistem hukum yang baru dan berbeda dari Rasul Allah sebelumnya, sekaligus sebagai pengganti dan lebih sempurna dari sebelumnya. Sehingga apa yang Allah wahyukan kepada Nabi Ibrahim atau Abraham berbeda dengan apa yang diwahyukan-Nya kepada Nabi Musa. Begitupula yang diwahyukan-Nya kepada Nabi Musa berbeda dengan apa yang diwahyukan-Nya kepada Nabi Isa (Yesus), dan begitupula yang diwahyukan-Nya kepada Nabi Muhammad adalah ajaran yang berbeda dan lebih sempurna dari ajaran para rasul sebelumnya. Kalaupun di antara ajaran para Nabi dan Rasul Allah memiliki hubungan dan kesamaan, itu hanyalah sebatas historis-teologis, di mana mereka sama-sama beriman kepada Allah, Tuhan Semesta Alam. Semua Rasul Allah diutus untuk mengembalikan manusia kepada fitrahnya yang sejati, menjadi hamba dari Allah Sang Pencipta sebagai satu-satunya Tuhan baginya dengan membawa petunjuk tentang sistem hukum yang benar (din al-haqq) di tengah kehidupan umat manusia yang zalim dan syirik akibat mengikuti sistem hidup yang batil. Tugas para Rasul Allah itu tertuang dalam surat Ash-Shaf, ayat 9:[1]
Sesungguhnya semua ajaran dan risalah yang dibawa dan diperjuangkan oleh para Nabi dan Rasul Allah dari zaman ke zaman adalah ajaran Allah yang sama, tidak pernah berganti apalagi berevolusi dari yang tidak sempurna menuju yang sempurna. Kesamaan ajaran tersebut tidak hanya dalam masalah keimanan kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, tetapi juga dalam masalah hukum atau syariat dan ibadah. Kebenaran sejati itu berasal dari Allah Yang Maha Benar, dan ciri dari suatu kebenaran sejati manakala dia tidak pernah berubah dan berganti hanya karena perubahan waktu dan tempat. Itulah wujud dari sistem kehidupan yang benar (dīn al-qayyim), yakni Millah Ibrahim (Abraham) yang lurus atau murni (hanif) yang diemban dan diperjuangkan oleh semua Nabi dan Rasul Allah sejak Nabi Adam hingga Nabi Muhammad dan generasi spiritual Nabi Ibrahim (Abraham) selanjutnya. Jalan kebenaran yang mereka lalui tersebut dapat ditelusuri dari sejarah yang dikisahkan dalam kitab Taurat, Injil dan Al-Qur'an. Jalan atau cara hidup mereka pada dasarnya berpangkal pada sosok sentral Nabi Ibrahim (Abraham) sebagai Bapak para nabi yang mengajarkan sistem kehidupan yang benar. Oleh karena itu, Millah Ibrahim (Abraham) bukanlah agama atau ajaran baru, karena telah menjadi jalan hidup para Nabi dan Rasul Allah, termasuk Nabi Muhammad, yang hanya mewarisi dan meneruskan misi risalah Allah, Tuhan Semesta Alam. TerminologiMillahDari sudut bahasa secara etimologi, kata millah berasal dari bahasa Aram. Muḥammad Fu’ād Abdu al-Bāqi menyatakan bahwa kata millah sendiri tersebut dalam 15 ayat dalam Al-Qur'an, 9 kali dalam ayat-ayat makkiyah dan 6 kali pada ayat-ayat madaniyah dan dalam berbagai konteks bahasan yang umumnya berhubungan dengan para nabi, khususnya Nabi Ibrahim (Abraham).[2] Menurut Al-Raghīb al-Ishfahāni, kata millah–seperti halnya dengan kata dīn—adalah sebutan bagi sesuatu yang telah disyariatkan oleh Allah kepada umat manusia melalui para nabi dan rasul-Nya agar manusia dapat berhubungan dengan-Nya. Dalam istilah bahasa yang digunakan oleh Turki Utsmani, millet adalah seluruh agama yang berkembang di wilayahnya. Bahkan dalam bahasa Turki dan Persia, kata millet sering dipakai dalam pengertian bangsa, rakyat atau negara.[3] Dalam pemakaiannya, kata millah dalam Al-Qur'an umumnya disandarkan (idhāfah) pada nabi yang membawanya, seperti millah Ibrahim, millah para nabi (Syuaib, Isma'il, dan keturunan Ishak), dan millah Muhammad. Kata millah digunakan pada ayat-ayat makkiyah sebanyak 9 kali, 3 di antaranya disandarkan kepada Nabi Ibrahim (Abraham) secara langsung dan 6 sisanya disandarkan kepada kata ganti (dhamīr). Berkaitan dengan kata millah yang disandarkan langsung kepada beliau, setidaknya ada 4 alasan utama mengapa Nabi Ibrahim (Abraham) memiliki tempat yang spesial dan mulia di sisi Allah, yakni:
DinIstilah lain yang sering digunakan Al-Qur'an untuk memaknai millah adalah kata dīn. Satu istilah yang sering kali digandengkan dengan kata Islam sebagai nama dari dīn itu sendiri. Al-Qur'an menyebut kata dīn dalam berbagai bentuk sebanyak 95 kali dalam 40 surat; 49 kali diulang dalam 25 surat-surat makkiyah dan 46 kali diulang dalam 15 surat-surat madaniyah. 65 kali disebut dalam bentuk kata benda verbal dan 26 kali dalam bentuk kata kepunyaan (misalnya, dīn-ku dan dīn-mu), dan hanya 3 kali disebut dalam bentuk kata kerja.[5] Adapun kata dīn dalam Bahasa Semit berarti undang-undang atau hukum.[6] Dalam Bahasa Arab, secara bahasa berasal dari kata dāna-yadīnu-dīnan; bila ia menyertai, menyerah kepada, dan menaati (seseorang), balasan dan pahala, taat, ketundukan, kekuasaan, dan paksaan.[7] Rasyid Ridha menafsirkan kata al-dīn secara bahasa bermakna balasan (al- jazā’), dan juga berarti kepatuhan dan ketundukan yang menyebabkan diperolehnya balasan. Kata al-dīn juga berarti syariat, yakni seperangkat beban yang menjadi tanggung jawab hamba kepada Allah.[8] Asy-Syahrastani berpendapat bahwa di samping kata dīn berarti taat, patuh, pembalasan dan perhitungan, juga berarti millah dan syariat. Penafsiran yang senada juga telah dilakukan oleh para penafsir era klasik, seperti Ibnu Jarir ath-Thabari, Fakhr al-Din al-Razi, dan Al-Qurthubi. Sedikit berbeda dengan pendapat para mufassir di atas, Muhammad Arkoun memaknai kata dīn dengan perhitungan, pahala, ‘urf dan adat.[9] Sedangkan menurut Abul A'la Maududi, kata dīn itu memiliki 3 arti:[10]
Jika dikatakan, yaum al-dīn berarti hari perhitungan atau hari pembalasan atas perbuatan seseorang, dan jika dikatakan qaum dīn berarti kaum yang berserah diri dan taat. Untuk melengkapi makna kata dīn di atas, ada baiknya kita lihat uraian dari Al-Darraz yang menurutnya, kata dīn sesuai bentuk dan fungsinya mencakup 3 makna dasar, yaitu:[11]
Sedangkan secara etimologi, Al-Darraz menegaskan bahwa dīn itu adalah peraturan Ilahi yang mengantarkan orang-orang yang berakal sehat,[12] atas kehendak mereka sendiri menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Hal senada juga dikemukakan oleh Yusuf al-Qaradawi.[13] Pengertian ini sejalan dengan pengertian dīn sebagai syariat yang dikemukakan oleh Rasyīd Ridhā dan al-Syahrastāni di atas. Selanjutnya kesamaan dan kaitan makna antara dīn dan millah ini dapat dilihat dari beberapa ayat Al-Qur'an sebagai berikut:
Pada ayat ini dijelaskan dengan tegas, bahwa yang dimaksud oleh Allah dengan istilah shirāth al-mustaqīm (Jalan yang lurus; Jalan Kebenaran) itu adalah dīn al-qayyim; sistem hidup yang benar, yaitu millah Ibrahim. Sekaligus menegaskan bahwa makna kata “dīn” adalah sama dengan “millah”. Millah Ibrahim inilah yang kemudian diajarkan pula oleh Allah kepada Nabi Muhammad.
Pernyataan Nabi Yusuf yang meninggalkan agama bangsanya dan mengikuti millah Ibrahim sebagaimana dinyatakan dalam ayat di bawah ini:
Beberapa ayat di atas dengan tegas mengaitkan dan menyamakan antara makna kata dīn dan millah, bahkan mempertegas pula kedudukan millah Ibrahim sebagai millah generasi spiritual Ibrahim selanjutnya termasuk Nabi Yusuf, Muhammad dan para pengikutnya. Dengan kata lain, semua rasul Allah itu membawa ajaran yang sama, yaitu apa yang disebut oleh Al-Qur'an dengan “millah Ibrahim” atau “millah Abraham”. Semua nabi keturunan Ibrahim (khususnya Nabi Musa, Isa dan Muhammad) mengikuti dan membawa faham keagamaan yang sama yakni millah Ibrahim. Berbeda dengan faham mainstream agamis yang berasumsi bahwa masing-masing nabi dan rasul Allah membawa ajaran atau agama yang berbeda satu dengan lainnya. Adapun dalam penggunaannya, kata millah tidak disandarkan kepada Allah (millah Allāh), namun lebih sering dinisbatkan kepada Ibrahim. Hal ini, menurut Al-Marāghī, karena Ibrahim adalah nabi yang disepakati keutamaan dan kebenaran dīn-nya, baik oleh musyrik Mekah maupun ahli kitab. Bahkan orang-orang Quraisy dan etnis Arab lainnya menyebut diri mereka sebagai pengikut millah Ibrahim. Berbeda dengan kata dīn yang sering disandarkan pada Allah (dīn Allāh). Dīn disandarkan menjadi dīn Allāh karena melihat Allah sebagai Pemilik dan sumber dari dīn tersebut. Karena itu Allah disebut juga al-Dayyān (sumber dan Yang memerintahkan hukum). Bila kata dīn disandarkan kepada penganutnya, seperti kata dīnīy (agamaku) atau dīnukum (agama kalian), maka hal itu didasarkan pada ketaatan dan ketundukan dari si penganut.[18] Dari kata dīn juga dibentuk kata Madīnah yang berarti tempat ketaatan; tempat hukum Allah diberlakukan.[19] Kota Yatsrib disebut Madinah karena di sanalah tempat ditegakkannya ketaatan kepada hukum Allah melalui sarana kekuasan politik di bawah pimpinan Nabi Muhammad sebagai Khalifatullah (pewaris kekuasaan Allah) di muka bumi, sehingga kota tersebut menjadi pusat mercusuar dunia (al-madīnah al-munawwarah; kota terang Allah), yang pada akhirnya umatnya menjadi bangsa di atas segala bangsa sebagaimana Yerusalem menjadi Kota Terang Allah pada zaman Nabi Musa dan Isa. SyariatSelain kata dīn, kata yang juga berkaitan dengan kata “millah” adalah kata “syariat” (hukum). Kata syariat berasal dari kata dasar syara’a yang berarti: datang; sumber air yang mengalir;[20] jalan menuju mata air[21] untuk mendapatkan kebahagiaan dan keselamatan.[22] Menurut Muhammad Ismā’il Ibrāhīm, kata al-syariat, al-syar’u atau al-syir’ah berarti sesuatu yang dipilih dan dijelaskan Tuhan yang berasal dari dīn untuk hamba-Nya. Sedangkan menurut Al-Marāghī, kata-kata tersebut digunakan dalam makna metode Ilahiyah atau hukum-hukum Allah. Al-Asymawi mengingatkan, kata “syariat” telah digunakan dalam bahasa Arab sebelum turunnya Al-Qur'an. Bahkan, kata yang semakna dengannya sudah ada di dalam Taurat dan Injil. Kata “syariat” memiliki makna yang sama dengan kata dīn karena ia menyerupai mata air, di mana masing-masing dari keduanya merupakan sumber kehidupan.[23] Selain Al-Marāghī, Mujahid bin Jabir juga menafsirkan kata al-syariat dan al-syir’ah sebagai dīn (millah). Sedangkan beberapa ahli lainnya membedakan makna syariat dengan dīn, seperti Qatadah bin Da'amah dan Abu Hanifah, yang berpendapat bahwa syariat adalah kewajiban agama yang harus dijalankan sedang dīn adalah pokok-pokok keimanan seperti keimanan kepada Allah dan hari akhir.[24] Asy-Syathibi menyebutkan makna syariat dalam arti luas, yakni keseluruhan ketentuan agama yang mengatur tingkah laku, ucapan dan kepercayaan manusia.[25] Dengan kata lain, syariat adalah ketentuan hukum yang ditetapkan oleh Tuhan yang dijelaskan oleh para rasul-Nya tentang tata aturan hidup dan kehidupan manusia dalam mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Namun dalam perkembangannya, kata syariat terkadang digunakan untuk merujuk kepada aspek hukum dari agama Islam dan terkadang juga dipakai untuk menyebut aspek hukum dan agama Islam sekaligus. Secara teknis, syariat merupakan seperangkat hukum Ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama manusia dalam kehidupan sosial, dan manusia dengan benda dan alam sekitarnya. Hukum Ilahi yang mengatur tata hubungan itu berupa kaidah ibadah dalam arti khusus (ibadah murni), mengatur tata cara dan ritual pengabdian manusia kepada Tuhan, dan kaidah mu’āmalah yang mengatur relasi manusia dengan manusia lainnya atau dengan benda dalam kehidupan sosial.[26] Dari sini kemudian berkembang dalam kajian Fiqh yang disimplikasi menjadi 2 bagian, Fiqh ibadah dan Fiqh mu’amalah. Hubungan makna dari kata dīn (millah) dengan syariat (hukum) Allah dapat dilihat dari beberapa ayat Al-Qur'an di bawah ini:
Jika ketiga ayat ini dihubungkan, terlihat bahwa syariat itu sesungguhnya bersifat tetap (konstan) di sepanjang zaman, atau dalam bahasa Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, syariat-syariat umum tidak berubah dengan perubahan zaman dan terus menjadi aturan umat hingga akhir zaman.[30] Demikian halnya dalam nilai-nilai pokok (prinsip-prinsip dasar) hukum Tuhan yang bersifat universal, misalnya nilai-nilai kebenaran dan keadilan ataupun nilai-nilai kebatilan dan aniaya. Pada surat Asy-Syūrā ayat 13 di atas, ditegaskan kembali bahwa dīn (syariat; sistem hukum) yang diwasiatkan (diwahyukan; diajarkan) oleh Allah kepada Nabi Muhammad adalah dīn (millah; syariat) yang dulu telah disyariatkan-Nya kepada Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa. Perintah dasar kepada mereka pun sama, yakni tegakkan dīn (sistem hukum ciptaan Allah). Wujud dari tegaknya dīn Allah tersebut adalah berlakunya hukum Allah dalam kehidupan manusia. KesimpulanDari beberapa pendapat akan makna dari dīn dan syariat di atas, dapat disimpulkan bahwa makna pokok kata dīn dan syariat itu bermuara pada (kepatuhan) hukum, yakni aturan Allah yang harus ditaati dimana manusia hanya mampu tunduk patuh, berserah diri hanya kepada-Nya. Dengan kata lain, ada hubungan timbal balik antara kedua pihak, yakni Allah sebagai Penguasa yang memiliki otoritas atau pihak yang memiliki unsur perintah, kekuasaan dan hukum, dan pihak manusia (hamba) atau rakyat sebagai pihak yang padanya terdapat sikap berserah diri, tunduk dan patuh atau taat. Unsur yang menghubungkan kedua pihak itulah yang disebut undang-undang atau hukum.[31] Tegasnya, antara makna kata millah, dīn dan syariat adalah sama atau satu dan saling terkait. Dengan kata lain, inti dari sistem hukum Tuhan (dīn Allāh) yang disyariatkan-Nya kepada setiap rasul adalah sama atau satu yang merupakan fitrah manusia. Demikian halnya dengan Islam yang bukanlah sebuah sekte atau agama etnis tertentu. Islam adalah sebuah sikap hidup untuk tunduk patuh (aslama) kepada satu sistem (dīn). Dīn al-Islām adalah suatu sistem hukum yang bersifat universal bagi seluruh mahluk ciptaan-Nya, yang diajarkan Allah kepada setiap rasul-Nya sebagai wujud dari Jalan Kebenaran yang diwahyukan-Nya. Esensinya, Dīn al-Islām berdasar pada kesadaran akan kehendak dan rencana Tuhan serta sikap tunduk patuh secara suka rela atau terpaksa kepada sistem hukum-Nya. Tuhan sebagai Raja alam semesta tidak pernah menurunkan atau mengajarkan apalagi memerintahkan sistem hukum yang berbeda untuk setiap rasul-Nya. Meskipun mereka diutus pada zaman, bangsa (tempat), dan bahasa yang berbeda, bukan berarti Dia mengajarkan atau memerintahkan sistem hukum yang berbeda. Dengan kata lain, millah atau dīn atau syariat dari semua nabi dan rasul Allah adalah sama atau satu, yakni Dīn al-Islām; Millah Ibrahim yang hanif. Allah Maha Benar dan tidak pernah salah. Artinya, Dia tidak mungkin merevisi syariat-Nya sendiri dengan mengutus Rasul di setiap zamannya. Hal ini berlaku sepanjang masa, baik di masa lampau, sekarang, bahkan di masa yang akan datang. Dia Maha Mengetahui akan segala sesuatunya. Namun, faktanya adalah mayoritas ahli agama masih saja membeda-bedakan syariat para Rasul Allah ini. Hal ini disebabkan oleh:
Dari segi manifestasi hukum-hukum agama (parsial), khususnya hukum agama-agama samawi, betul terdapat banyak perbedaan atau titik tengkar. Bahkan di internal agama Islam pun memiliki manifestasi hukum yang berbeda-beda akibat perbedaan penafsiran atau perbedaan mazhab. Namun yang dijadikan fokus dalam penjelasan ini adalah hukum dasar dan esensi hukum Tuhan itu sendiri yang bersifat universal yang tak pernah berubah oleh karena perubahan zaman dan perbedaan tempat. Itulah sebabnya, setiap kali Tuhan mengutus utusan-Nya, maka perintah dasarnya adalah untuk menegakkan kembali “Kerajaan Allah” di muka bumi sebagai sarana menegakkan dīn (sistem hukum)-Nya dalam seluruh sendi hidup dan kehidupan umat manusia, sehingga setiap manusia tetap berada dalam area fitrawinya sebagai hamba dari Allah, Sang Pencipta dirinya. Dengan demikian, Millah Abraham atau Millah Ibrahim adalah jalan hidup para nabi dan rasul dalam memperjuangkan tegaknya sistem hukum yang benar demi terwujudnya kedamaian dan kesejahteraan hidup di muka bumi. Lihat pulaWikiquote memiliki koleksi kutipan yang berkaitan dengan: Millah Abraham. Referensi
Pranala luar
|