Masjid Agung Nurul Iman,[1] pernah dijuluki sebagai Masjid Presiden, terletak di pertigaan Jalan Imam Bonjol dan Jalan Muhammad Husni Thamrin, Kota Padang, Sumatera Barat. Masjid ini merupakan salah satu masjid terbesar di Kota Padang.
Mengingat kondisi bangunan yang sudah tidak layak akibat sejumlah kerusakan, masjid ini mulai dibongkar sejak 2004. Pembangunan kembali Masjid Nurul Iman rampung pada 2007. Namun, akibat gempa bumi di Sumatera Barat pada 2009, Masjid Nurul Iman kembali mengalami kerusakan. Sejak 2016, masjid ini menyandang nama Masjid Agung Nurul Iman.
Pembangunan
Pembangunan Masjid Nurul Iman dimulai pada 26 September 1958, ketika Gubernur Sumatera Barat dijabat oleh Kaharudin Datuk Rangkayo Basa. Rencana semula, masjid akan diberi nama Nurul Aman yang dimaksudkan sebagai "lambang keamanan", mengingat situasi Padang yang diliputi kekacauan selama Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Inisiatif pembangunan datang dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai bentuk permintaan maaf atas operasi penumpasan PRRI yang mereka lakukan.[4][5][6]
Masjid dibangun di atas lahan berukuran 150 x 100 meter di dekat Lapangan Imam Bonjol, kawasan yang lahannya dikenal "mahal" dan "dikuasai oleh tentara".[4] Dana awal pembangunan terutama berasal dari sumbangan Komando Daerah Militer III/17 Agustus dan Kementerian Agama RI. Pengerjaan pondasi bangunan tuntas pada 1960. Pada 1962, masjid sudah difungsikan untuk Salat Jumat di tengah kondisi bangunan yang belum rampung.[5]
Selama tahun-tahun berikutnya, pembangunan Masjid Nurul Aman terbengkalai karena kendala dana. Warga enggan menyumbang sehubungan dengan ingatan mereka terhadap operasi militer yang dilancarkan oleh TNI saat memadamkan pergolakan PRRI.[2] Gubernur Kaharuddin sempat membentuk yayasan berbadan hukum untuk kelanjutan pembangunan masjid, tetapi tidak menunjukkan hasil berarti. Akibatnya, pada 7 Juli 1965, panitia pembangunan yang diketuai oleh Boer Yusuf melayangkan surat permohonan bantuan dana ke pemerintah pusat.[5]
Setelah sempat terbengkalai, pembangunan dapat dilanjutkan kembali pada masa Orde Baru berkat bantuan pemerintah pusat.[2] Pada 10 Maret 1966, Gubernur Suputro Brotodihardjo mengeluarkan SK tentang penggantian nama masjid menjadi Nurul Iman. Pada 1968, beberapa ruang di lantai pertama masjid sudah dimanfaatkan oleh IAIN Imam Bonjol sebagai kantor rektor, perpustakaan, dan ruang kuliah.[5] Pada 1976, pembangunan sudah mendekati fase penyelesaian.
Pada April 1977, pemakaian Masjid Nurul Iman diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri Amirmachmud. Saat itu, bangunannya terdiri dari dua lantai dengan luas masing-masing 2.700 m² dan 1.350 m². Total dana yang sudah digunakan untuk pembangunan sekitar Rp300 juta, termasuk bantuan dari TNI dan infak dari jemaah. Dari jumlah itu, Presiden Soeharto menyumbang sebanyak Rp32,5 juta.[7][8] Soeharto selalu singgah ke Masjid Nurul Iman setiap berkunjung ke Sumatera Barat sehingga membuat masjid ini mendapat julukan Masjid Presiden.[4]
Ledakan bom dan pembongkaran
Pada 11 November 1976 pukul 22.20, sebuah bom meledak di dalam masjid yang menyebabkan loteng lantai satu rusak dan beberapa jendelakaca pecah. Pihak keamanan menduga, bom diatur untuk meledak ketika pelaksanaan ibadah salat Jumat keesokan harinya, tetapi bom meledak lebih dini. Ledakan bom tidak menimbulkan korban jiwa. Masjid tetap digunakan untuk salat Jumat meski sempat ditutup sementara untuk penyelidikan.[3] Pelakunya adalah Timsar Zubil dari Komando Jihad dan motifnya yakni memancing pertentangan antaragama. Pada 1982, berstatus sebagai tahanan, ia datang ke Masjid Nurul Iman untuk meminta maaf atas tindakannya.[9]
Semasa Gubernur Sumatera Barat dijabat Zainal Bakar, bergulir rencana pembongkaran Masjid Nurul Iman untuk selanjutnya dibangun kembali. Namun, sampai masa jabatannya berakhir pada 2005, pengerjaan pembongkaran berjalan lamban, yang berdampak pada terganggunya proses peribadatan dan menimbulkan kekecewaan dari masyarakat. Pembongkaran kembali dilanjutkan pada masa peralihan gubernur ke tangan Gamawan Fauzi, .
Pembangunan kembali masjid rampung pada 2007 dengan anggaran sekitar Rp18,24 miliar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Sumatera Barat. Peresmiannya dilakukan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla pada 7 Juli 2007. Saat upacara peresmian, masjid belum sepenuhnya rampung. Bangunan menara yang lama masih dalam proses pengerjaan.[6]
Dua tahun setelah diresmikan, Masjid Nurul Iman kembali mengalami kerusakan akibat gempa bumi yang melanda Sumatera Barat pada 30 September 2009. Masjid ini merupakan satu dari 608 unit tempat ibadah di Sumatera Barat yang mengalami kerusakan. Kerusakan meliputi runtuhnya sebagian plafon di lantai satu dan keretakan pada dinding.[10]
Arsitektur
Masjid Nurul Iman memiliki satu kubah besar di bangunan utama dan menara yang terpisah dari bangunan utama. Bangunannya terdiri dari dua lantai dengan disangga 30 tiang. Enam belas tiang di antaranya adalah tiang penyangga utama yang terletak di tengah bangunan utama. Nuansa warna hijau mendominasi kubah dan menara masjid, dilengkapi dengan hiasan motif bintang segi lima pada ornamen dinding dan pagar masjid. Keunikan dari masjid ini terletak lantai ruang salat yang berupa parket.[11]
Status
Masjid Nurul Iman dibangun bersamaan dengan Masjid Taqwa Muhammadiyah di Pasar Raya Padang, yang pembangunannya dibiayai secara patungan oleh pedagang dan anggota Muhammadiyah. Kedua masjid ini hanya terpisah jarak 700 meter. Pada pengujung 1970-an, sebagaimana dicatat Freek Colombijn, terjadi persaingan yang ketat di antara keduanya untuk memenangkan status sebagai "masjid agung". Namun, wacana penentuan status masjid agung menguap seiring insiden beruntun yang menimpa kedua masjid: runtuhnya kubah Masjid Taqwa Muhammadiyah pada 1975 dan meledaknya bom di Masjid Nurul Iman pada 1976.[4]
Pada Agustus 2016, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat mengalihkan pengelolaan Masjid Nurul Iman kepada Pemerintah Kota Padang. Hal ini seiring dengan selesainya pembangunan Masjid Raya Sumatera Barat sehingga klasifikasi Masjid Nurul Iman ditetapkan menjadi masjid agung, sesuai klasifikasi Dewan Masjid Indonesia (DMI). Sejak pengalihan status, Pemko Padang telah melakukan sejumlah pembenahan terhadap masjid, termasuk pengelolaan parkir dan kebersihan.[12][1][13]