Kukang —kadang-kadang disebut pula malu-malu— adalah jenis primata yang gerakannya lambat. Warna rambutnya beragam, dari kelabu keputihan, kecoklatan, hingga kehitam-hitaman. Pada punggung terdapat garis cokelat melintang dari belakang hingga dahi, lalu bercabang ke dasar telinga dan mata. Berat tubuhnya berkisar antara 0,375-0,9 kg, dan panjang tubuh hewan dewasa sekitar 19–30 cm.
Dari delapan spesies kukang yang masih ada, enam di antaranya dapat ditemukan di Indonesia, yakni di pulau-pulau Sumatra, Jawa dan Kalimantan. Kukang (Nycticebus spp.) memiliki penampilan yang lucu dan menggemaskan sehingga banyak masyarakat umum yang gemar menjadikan primata ini sebagai hewan peliharaan. Karenanya, semua jenis kukang ini telah terancam oleh kepunahan. Kukang telah dilindungi oleh hukum Indonesia, sehingga memperdagangkannya tergolong melanggar hukum (ilegal) dan kriminal.
Menurut pemutakhiran Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata yang tepat untuk menyebut genus ini adalah kungkang , bukan kukang. Namun pemutakhiran ini menjadi perdebatan, karena kata kukang lebih akrab dipakai dan telah disepakati oleh ahli taksonomi dan spesies Indonesia. Sedangkan kata serupa, kungkang digunakan untuk merujuk pada hewan dalam subordo Folivora.
Pengenalan
Kukang adalah primata bertubuh kecil, kekar, dan berekor sangat pendek. Kepalanya bulat, moncongnya meruncing, dan matanya besar. Rambut tubuhnya halus dan lebat. Pola warnanya berbeda-beda menurut spesies —sehingga digunakan pula untuk identifikasi, namun umumnya bervariasi dari cokelat kelabu pucat hingga warna tengguli. Sebuah garis cokelat berjalan dari ubun-ubun hingga tengah punggung atau pangkal ekor. Biasanya terdapat lingkaran gelap yang mengelilingi kedua mata, diseling oleh jalur pucat atau putih yang membujur di antara kedua mata hingga ke dahinya. Di malam hari, matanya memantulkan cahaya obor dengan jelas.[3]
Kukang memanjat dan bergerak di antara ranting dan cabang pohon dengan perlahan-lahan dan hati-hati; hampir tidak pernah melompat.[3] Tangan dan kakinya hampir sama panjang; serta cukup panjang sehingga kukang dapat merentangkan tubuhnya dan berputar untuk meraih ranting yang bertetangga. Tangan dan kaki itu telah mengalami adaptasi sedemikian rupa, sehingga mampu memegang erat rerantingan dalam jangka waktu cukup lama tanpa membuat kukang kelelahan.
Gigitan kukang dikenal berbisa; suatu kemampuan yang jarang terdapat di kalangan mamalia namun khas pada kelompok primata lorisid. Bisa tersebut didapat kukang dengan menjilati sejenis kelenjar di lengannya; bisa pada cairan kelenjar itu diaktifkan tatkala bercampur dengan ludah. Gigitan berbisa itu berguna untuk membuat jera pemangsa, dan juga untuk melindungi bayinya dengan menyapukannya pada rambut tubuh anaknya. Sekresi kelenjar lengannya terutama mengandung zat semacam alergen yang dihasilkan kucing, yang kemudian diperkuat dengan komposisi kimiawi yang didapat kukang dari makanannya di alam liar. Pemangsa alami kukang yang tercatat, di antaranya, adalah ular, elang brontok, dan orangutan; meskipun diduga jenis-jenis kucing, musang, dan beruang madu juga turut memangsanya.
Perilaku sosial kukang tidak seberapa diketahui, akan tetapi hewan ini salah satunya berkomunikasi lewat bau yang ditinggalkannya di tempat-tempat tertentu. Kukang jantan diketahui memiliki teritori yang dipertahankannya dengan ketat. Binatang ini lambat bereproduksi; anaknya yang masih kecil kadang kala ditinggalkan di rerantingan atau didukung bergantian oleh kedua induknya. Kukang bersifat omnivora; memangsa hewan-hewan kecil, buah-buahan, getah pepohonan, serta pelbagai nabat lainnya.
MargaNycticebus adalah primata yang tergolong kelompok Strepsirrhini, yang berkerabat erat dengan loris dari India dan Srilanka, serta poto dan angwantibo dari Afrika tropis. Sedikit lebih jauh, kukang juga berkerabat dengan galago dan lemur dari Madagaskar.[6][4][5] Cabang keluarga Lorisoidea dipercaya berkembang di Afrika, di mana kebanyakan spesiesnya berada;[7][8] baru belakangan, salah satu kelompoknya bermigrasi ke wilayah Asia dan menurunkan marga loris dan kukang yang dikenal sekarang.[9]
Taksonomi
Pada 1785, seorang dokter dan naturalis bangsa Belanda bernama Pieter Boddaert menulis deskripsi ilmiah yang pertama mengenai kukang, yang dinamainya Tardigradus coucang.[10][11][12] Deskripsi ini dibuat berdasarkan uraian Thomas Pennant pada tahun 1781 mengenai “monyet tak berekor” yang diduga adalah kukang sunda, digabungkan dengan tulisan Arnout Vosmaer mengenai kukang benggala.[13] Oleh sebab itu, identitas T. coucang sempat mengalami kesimpang-siuran sebelum pada akhirnya ditetapkan sebagai nama ilmiah kukang sunda.[14][15]
Meskipun Vosmaer telah menulis mengenai kukang benggala pada 1770, akan tetapi hewan ini baru dideskripsi secara ilmiah pada 1800 oleh Bernard Germain de Lacépède, yang memberinya nama Lori bengalensis.[16][17] Dua belas tahun kemudian, Étienne Geoffroy Saint-Hilaire mendeskripsi kukang jawa dan menempatkannya dalam marga yang baru, Nycticebus.[18] Nama itu berasal dari kata-kata bahasa Gerika yakni νυκτός (nyktos, “malam”), dan κῆβος (kêbos, “monyet”)[19][20][21]; merujuk pada kebiasaan hewan itu yang bersifat nokturnal.
Selanjutnya berturut-turut dideskripsi kukang borneo (ketika itu dengan nama ilmiah Lemur menagensis) oleh Richard Lydekker pada 1893[22] dan kukang kerdil (Nycticebus pygmaeus) oleh John James Lewis Bonhote pada 1907.[23] Akan tetapi pada 1939 Reginald Innes Pocock merevisinya, dan menganggap bahwa semua kukang itu adalah satu spesies saja, yakni N. coucang.[24] Pandangan ini bertahan selama 30 tahun lebih, sampai pada 1971 ketika Colin Groves meyakini bahwa N. pygmaeus adalah spesies yang berbeda,[25] dan bahwa N. coucang terdiri dari empat subspesies yang berlainan.[26]
Dengan berkembangnya pengetahuan dan digunakannya analisis genetik sebagai alat bantu, terutama setelah tahun 2000, satu persatu status jenis-jenis kukang itu dipulihkan kembali pada tingkat spesies.[27][28][29] Bahkan pada 2012, kajian terhadap variasi pola warna wajah pada N. menagensis mendapatkan bahwa taksa itu terdiri dari empat spesies, yakni kukang bangka, kukang kalimantan, serta spesies baru kukang kayan, selain dari kukang borneo sendiri .[30][31]
Nijman dan Nekaris (2022) memberi nama genus Xanthonycticebus untuk kukang kerdil.[32]
Spesies, agihan dan habitat
Sejauh ini marga Nycticebus diakui terdiri atas 8 spesies yang masih eksis, yaitu:
Nycticebus kayan (kukang kayan), menyebar terbatas di Pulau Kalimantan bagian tengah utara, yakni di sebelah utara hulu S. Mahakam dan S. Rajang, hingga di selatan G. Kinabalu.
Nycticebus javanicus (kukang jawa), menyebar terbatas di Pulau Jawa (bagian barat hingga tengah).
Kukang menyebar di wilayah-wilayah yang beriklim tropis dan ugahari.[34] Habitat kukang terutama meliputi hutan-hutan hujan primer dan sekunder, rumpun-rumpun bambu dan juga hutan-hutan mangrove.[35][36] Hewan ini menyukai tutupan hutan dengan tajuk yang tinggi dan padat,[37][34] meskipun beberapa spesiesnya juga didapati di habitat-habitat yang terganggu seperti wanatani campuran dan bahkan kebun kakao.[36] Mengingat kebiasaan hidupnya yang nokturnal dan karenanya menjadi sukar untuk mengukur kelimpahannya secara akurat, tidak banyak data yang tersedia mengenai ukuran populasi dan pola agihan kukang. Pada umumnya kerapatan temuan individu kukang di alam adalah rendah; suatu analisis gabungan terhadap beberapa kajian lapangan yang menggunakan metode survei transek di Asia Selatan dan Tenggara memperoleh kisaran angka kerapatan temuan antara 0,74 ekor kukang per kilometer untuk N. coucang hingga serendah 0.05 ekor per kilometer untuk N. pygmaeus.[38]
Perlindungan kukang
Di Indonesia kukang sudah dilindungi sejak tahun 1973 dengan Keputusan Menteri Pertanian tanggal 14 Februari 1973No. 66/ Kpts /Um/2/1973. Perlindungan ini dipertegas lagi dengan Peraturan Pemerintah(PP) Nomor 7 tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, yang memasukan kukang dalam lampiran jenis-jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi.
Menurut Undang-UndangRI Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya pasal 21 ayat 2, perdagangan dan pemeliharaan satwa dilindungi termasuk kukang adalah dilarang. Pelanggar dari ketentuan ini dapat dikenakan hukuman pidana penjara 5 tahun dan denda Rp 100 juta.
Dengan adanya peraturan tersebut, maka semua jenis kukang yang ada di Indonesia telah dilindungi. Sementara itu badan konservasi dunia IUCN, memasukan kukang dalam kategori Vulnerable (rentan), yang artinya memiliki peluang untuk punah 10% dalam waktu 100 tahun. Sedangkan CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of wild fauna and flora) memasukan kukang ke dalam apendix I. Status CITES: Sebelumnya kukang masuk dalam appendix II CITES yang berarti perdagangan internasionalnya diperbolehkan, termasuk penangkapan kukang dari alam.
Dengan masuknya kukang dalam appendix I CITES pada tahun 2007, maka perdagangan internasional kukang semakin diperketat. Perdagangan kukang tidak boleh lagi hasil penangkapan dari alam, tapi harus hasil penangkaran. “Masuknya kukang dalam appendix I CITES ini akan memberi perlindungan yang lebih maksimal bagi kukang, sehingga kukang di alam akan lebih terjamin kelestariannya”.
Usulan kukang untuk naik menjadi appendix I ini dibawa oleh Kamboja dalam sidang CITES yang berlangsung tanggal 3 – 15 Juni 2007 di Hague, Belanda yang dihadiri lebih dari 150 negara, termasuk Indonesia. Indonesia sendiri telah merativikasi konvensi CITES ini sejak tahun 1978.
Survei yang dilakukan ProFauna sejak tahun 2000 hingga 2006 menunjukan bahwa kukang yang diperdagangkan bebas di beberapa pasar burung adalah hasil tangkapan dari alam, bukan hasil penangkaran.
Beberapa tempat di Indonesia yang menjadi daerah penangkapan kukang adalah
Salah satu lokasi penangkapan kukang di Jawa Barat adalah di Kabupaten Sumedang, yaitu di Hutan Kareumbi. Di daerah ini metode penangkapan dilakukan dengan cara tradisional yaitu dengan menangkap kukang langsung diatas pohon bambu. Penangkapan kukang secara intensif ini dilakukan sejak tahun 1985.
Dalam satu hari penangkap bisa menangkap 6 – 7 ekor kukang. Kukang hasil tangkapan ini langsung dibawa ke pengepul yang kemudian oleh pengepul akan dikirim ke pasar burung yang ada di Bandung, Jakarta, Semarang bahkan Surabaya.
Saat ini semakin sulit menangkap kukang di daerah Sukabumi, padahal sebelum tahun 2000 Sukabumi adalah salah satu pemasok perdagangan kukang di Indonesia. Kemunkinan besar populasinya di alam jauh berkurang, sehingga semakin sulit untuk ditangkap.
Sedikitnya ada 40 ekor kukang yang ditangkap dan diperdagangkan secara illegal di Bengkulu. Sebagian besar Kukang tersebut ditangkap dari kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat.
Di tingkat pengepul satu ekor kukang dihargai Rp 10 ribu sampai Rp 15 ribu. Oleh pengepul kukang tersebut akan dijual di pasar burung dengan harga berkisar antara Rp. 100.000 sampai Rp 150.000 per ekor.
Gigi kukang dipotong
Untuk menampilkan kesan bahwa kukang itu satwa yang jinak, lucu dan tidak menggigit, maka oleh pedagang gigi kukang tersebut dicabut dengan menggunakan tang (pengait) yang biasa dipakai oleh tukang listrik. Dalam proses pencabutan tersebut gigi kukang sering patah atau remuk dan menimbulkan luka di mulut.
Kemudian kukang tersebut dipegang kakinya dengan posisi kepalanya di bawah. Selanjutnya kukang tersebut diputar-putar dengan alasan untuk menghentikan pendarahan. Banyak kasus kukang yang habis dipotong giginya mengalami infeksi yang bisa berdampak pada kematian.
Perdagangan kukang
Berdasarkan pemantauan ProFauna di 9 pasar burung di Pulau Jawa dan Bali, kukang merupakan salah satu jenis satwa yang diminati pembeli dan ditemukan hampir di semua pasar satwa/pasar burung.
Berdasarkan pemantauan ProFauna pada tahun 2002 saja sedikitnya ada 5000 ekor kukang diselundupkan dari Sumatra ke Pulau Jawa untuk diperdagangkan melalui Lampung. Ini sangat mengkhawatirkan keberadaan kukang di hutan alami Pulau Sumatra.
Perdagangan kukang tidak hanya terjadi di Pulau Jawa saja melainkan juga di kota-kota besar lain di luar Pulau Jawa.Tanggal 9 Juni 2004 juga diperdagangkan 12 kukang yang ditawarkan 150.000 di pasar burung Bintang Medan yang mana pelaku perdagangan di pasar burung ini adalah pemain lama yang empat tahun silam juga terlibat dalam perdagangan serupa. Perdagangan kukang juga terjadi di Banjarmasin tepatnya di Pasar Ahad Jl A Yani Km 7,5 serta di Pasar Sudi Mampir (depan Plasa Metro City).
Sementara itu di kota PalembangSumatera Selatan perdagangan kukang terjadi dalam jumlah besar di pasar Enambelas Ilir. Di Palembang setiap bulannya jumlah kukang yang dijual secara bebas berjumlah antara 40 – 60 ekor dengan harga antara Rp. 100.000 sampai Rp.200.000 /ekor.
Di Jakarta banyak juga dijual di pasar hewan Jatinegara.
Perdagangan kukang ini tidak hanya terjadi di pasar burung melainkan juga di mall-mall. Pada tanggal 3 Juli 2004 di depan Dunkin Donut di jual 2 ekor kukang yang ditawarkan dengan harga 175.000 rupiah per-ekor. Padahal di mall ini dulunya belum pernah ada catatan tentang perdagangan kukang.
Di Bandung Indah Plaza (BIP) setiap harinya biasa dipajang dengan bebas 3 sampai 5 ekor kukang. Kukang tersebut ditawarkan seharga Rp 150.000 hingga Rp200.000 per ekor.
Beberapa hari yang lalu juga tampak di Supermal Karawaci menjual kukang dengan harga kisaran Rp200.000 per ekor.
Untuk obat tradisional
Pemanfaatan kukang selain di perdagangkan untuk hewan peliharaan juga dimanfaatkan untuk media mistis. Tulangnya dipercaya memiliki kekuatan mistis untuk merusak ketentraman dalam rumah tangga, bagi sebagian besar orang di Sumatra dan Jawa, tulang kukang juga bisa dijadikan media yang ampuh untuk melakukan serangan secara mistis yaitu terutama dalam persaingan usaha. Dan kukang yang masih hidup dipercaya tidak baik untuk dipelihara karena dianggap sebagai hewan yang menjadi media/inang bagi mahluk gaib. Hanya sayangnya, kepercayaan ini sering kali sudah tidak dikenal oleh generasi masa kini.
Penyelundupan ke luar negeri
Selain perdagangan di dalam negeri (domestik), kukang juga diselundupkan ke luar negeri. Seperti yang terjadi pada bulan Januari tahun 2003 polisi berhasil menyita 91 ekor kukang dari warga Kuwait di Bandara Soekarno-Hatta Jakarta. Kukang tersebut semula akan diselundupkan ke Kuwait. Sayangnya kasus hukum penyelundupan kukang tersebut tidak jelas kelanjutannya.
Kukang telah dilindungi oleh hukum Indonesia, sehingga perdagangannya adalah illegal dan kriminal. Meski telah dilindungi, faktanya perdagangan kukang masih banyak terjadi. Meski demikian Polisi Kehutanan juga telah melakukan beberapa kali upaya penertiban dan penyitaan kukang yang diperdagangkan. Menurut catatan ProFauna Indonesia, pada tahun 2003 saja ProFauna telah membantu polisi kehutanan dalam menyita 49 ekor kukang di Kota Jakarta dan sekitarnya.
Sementara itu Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) yang ada di Jawa Timur dan Yogyakarta mencatat telah menerima 15 ekor kukang hasil penyitaan yang dilakukan oleh polisi kehutanan.
Pada tanggal 3 Juli 2004 BKSDA DKI berhasil menyita seekor bayi kukang di Pasar Burung Barito Jakarta. Selain kukang juga berhasil disita lutung dan kucing hutan.
Pada tanggal 25 Juni 2003 tertangkap seorang nenek yang hendak menyelundupkan berbagai jenis satwa termasuk kukang di Bandar Lampung, Sumatra. Nenek tersebut menjadi kurir untuk membawa satwa dari Sumatra ke Jakarta. Sayangnya kasus ini juga tidak diproses secara hukum, dengan pertimbangan pelakunya sudah terlalu tua.
Hasil positif terjadi di Pasar Burung Malang, Jawa Timur. Berdasarkan hasil monitoring Profauna Indonesia di pasar burung tersebut pada tahun 1999 tercatat diperdagangkan 38 ekor kukang. Namun pada tahun 2004 sudah tidak ditemukan lagi adanya perdagangan kukang di Pasar Burung Malang. Tidak adanya perdagangan kukang di Pasar Burung Malang tersebut disebabkan karena BKSDA Jatim II sering melakukan operasi penertiban di pasar burung tersebut sehingga pedagang menjadi jera untuk menjual satwa dilindungi.
Selai itu berdasarkan hasil monitoring Profauna Indonesia di pasar burung Mantingan tahun 2009 tercatat diperdagangkan 45 ekor kukang. Hasil survei ini ditindak lanjuti oleh Reskrim Polda Jatim. Pada tanggal 5 November 2009 Tertangkap mafia perdagangan kukang di pasar burung Mantingan, Ngawi oleh ReskrimPolda Jatim, kukang tersebut rencananya akan diperdagangan di Wilayah Ngawi dan Jawa Timur. Penangkapan bandar yang telah diintai oleh Petugas kepolisian Polda Jatim ini, membuahkan hasil dengan diselamatkan 21 ekor kukang dari tersangka. Tersangka di proses secara hukum di Pengadilan Negeri Ngawi.
Kukang terancam punah
Berdasarkan survei dan monitoring yang dilakukan ProFauna Indonesia sejak tahun 2000 hingga 2006, diperkirakan setiap tahunnya ada sekitar 6000 hingga 7000 ekor kukang yang ditangkap dari alam di wilayah Indonesia untuk diperdagangkan. Ini menjadi serius bagi kelestarian kukang di alam, mengingat perkembangbiakan kukang cukup lambat yaitu hanya bisa melahirkan seekor anak dalam satu tahun setengah.
Adanya penurunan yang tajam pada jumlah individu di alam.
Daerah penyebaran yang terbatas (endemik).
Permasalahan lain adalah belum adanya data ilmiah yang pasti mengenai populasi liar kukang di alam. Kukang yang aktif di malam hari dengan pergerakannya yang lambat membuat sangat sulit untuk menemui kukang di alam. Anehnya para penangkap kukang dengan mudah bisa menemukan kukang di alam. Dikhawatirkan tanpa disadari populasi kukang di alam akan turun drastis akibat penangkapan untuk diperdagangkan.
Meski kukang telah dilindungi, namun upaya penegakan hukumnya mesti ditingkatkan. Perlindungan di tingkat internasional yang lebih ketat dengan memasukan kukang ke dalam apendix I CITES akan membantu kukang untuk tetap lestari. Karena kukang telah dilindungi oleh undang-udnang Republik Indonesia, maka sudah sepatutnya Pemerintah Indonesia juga mendukung upaya menaikan status kukang untuk masuk dalam Apendix I CITES. Dengan demikian perdagangan internasional kukang tidak akan boleh lagi hasil penangkapan dari alam.
^Nekaris, Anna (23 January 2013). "Experts gather to tackle slow loris trade". Prof Anna Nekaris' Little Fireface Project. nocturama.org. Diakses tanggal 30 April 2013. Anna Nekaris, ... who described the new Kayan slow loris, presented the results of her research highlighting the differences between the species.
Ankel-Simons, F. (2007). Primate Anatomy (edisi ke-3rd). San Diego, California: Academic Press. ISBN0-12-372576-3.
Bearder, Simon K. (1987). "Lorises, Bushbabies, and Tarsiers: Diverse Societies in Solitary Foragers". Dalam Smuts, Barbara B.; Cheney, Dorothy L.; Seyfarth, Robert M.; Wrangham, Richard W.; Struhsaker, Thomas T. Primate Societies. Chicago, Illinois: The University of Chicago Press. ISBN0-226-76716-7.
Chen, J. -H.; Pan, D.; Groves, C. P.; Wang, Y. -X.; Narushima, E.; Fitch-Snyder, H.; Crow, P.; Thanh, V. N.; Ryder, O.; Zhang, H. -W.; Fu, Y.; Zhang, Y. (2006). "Molecular phylogeny of Nycticebus inferred from mitochondrial genes". International Journal of Primatology. 27 (4): 1187–1200. doi:10.1007/s10764-006-9032-5.
Chen, Z.; Zhang, Y.; Shi, L.; Liu, R.; Wang, Y. (1993). "Studies on the chromosomes of genus Nycticebus". Primates. 34 (1): 47–53. doi:10.1007/BF02381279.
Fitch-Snyder, H.; Livingstone, K. (2008). "Lorises: The Surprise Primate". ZooNooz. San Diego Zoo: 10–14. ISSN0044-5282.
Flynn, L.J.; Morgan, M.E. (2005). "New lower primates from the Miocene Siwaliks of Pakistan". Dalam Lieberman, D.E.; Smith, R.J.; Kelley, J. Interpreting the past: Essays on human, primate, and mammal evolution in honor of David Pilbeam. Brill Academic Publishers. hlm. 81–101. ISBN978-0-391-04247-6.
Groves, Colin P. (1971). "Systematics of the genus Nycticebus". Proceedings of the Third International Congress of Primatology. 1. Zürich, Switzerland. hlm. 44–53.
Groves, C.; Maryanto, I. (2008). "Craniometry of slow lorises (genus Nycticebus) of insular Southeast Asia". Dalam Shekelle, M.; Maryanto, I.; Groves, C.; Schulze, H.; Fitch-Snyder, H. Primates of the Oriental Night. Cibinong, Indonesia: Indonesian Institute of Sciences. hlm. 115–122.Pemeliharaan CS1: Tampilkan editors (link)
Hagey, L.R.; Fry, B.G.; Fitch-Snyder, H. (2007). "Chapter 12: Talking Defensively, a Dual Use for the Brachial Gland Exudate of Slow and Pygmy Lorises". Dalam Gursky, S.L.; Nekaris, K.A.I. Primate Anti-Predator Strategies(PDF). New York: Springer. hlm. 253–272. doi:10.1007/978-0-387-34810-0_12. ISBN0-387-34807-7. Diarsipkan(PDF) dari versi asli tanggal 2011-01-11. Diakses tanggal 2015-12-31.
Lacépède, B.G.E. de la Ville comte de (1800). "Classification des oiseaux et des mammifères". Séances des écoles normales, recueillies par des sténographes, et revues par les professeurs (dalam bahasa French). Paris: imprimerie du cercle-social. 9 (appendix): 1–86.Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
Lydekker, R. (1893). "Mammalia". Zoological Record. 29: 55 pp.
Mein, P.; Ginsburg, L. (1997). "Les mammifères du gisement miocène inférieur de Li Mae Long, Thaïlande : systématique, biostratigraphie et paléoenvironnement". Geodiversitas. 19 (4): 783–844. ISSN1280-9659.Abstract in French and English.
Menon, Vivek (2009). Mammals of India. Princeton, New Jersey: Princeton University Press. ISBN978-0-691-14067-4.
Nekaris, K.A.I.; Bearder, S.K. (2010). "Chapter 4: The Lorisiform Primates of Asia and Mainland Africa: Diversity Shrouded in Darkness". Dalam Campbell, C.; Fuentes, C.A.; MacKinnon, K.; Bearder, S.; Stumpf, R. Primates in Perspective. New York, New York: Oxford University Press. hlm. 34–54. ISBN978-0-19-539043-8.
Nekaris, K.A.I.; Munds, R. (2010). "Chapter 22: Using facial markings to unmask diversity: the slow lorises (Primates: Lorisidae: Nycticebus spp.) of Indonesia". Dalam Gursky-Doyen, S.; Supriatna, J. Indonesian Primates. New York: Springer. hlm. 383–396. doi:10.1007/978-1-4419-1560-3_22. ISBN978-1-4419-1559-7.
Nekaris, K. A. I.; Shepherd, C. R.; Starr, C. R.; Nijman, V. (2010). "Exploring cultural drivers for wildlife trade via an ethnoprimatological approach: a case study of slender and slow lorises (Loris and Nycticebus) in South and Southeast Asia". American Journal of Primatology. 72 (10): 877–886. doi:10.1002/ajp.20842. PMID20806336.
Nekaris, K. A. I.; Starr, C. R.; Collins, R. L.; Wilson, A. (2010). "Comparative ecology of exudate feeding by lorises (Nycticebus, Loris) and pottos (Perodicticus, Arctocebus)". Dalam Burrows, A. M.; Nash, L. T. Evolution of Exudativory in Primates. New York: Springer. hlm. 155–168. doi:10.1007/978-1-4419-6661-2_8. ISBN978-1-4419-6660-5.
Nekaris, K.A.I.; Bearder, S.K. (2007). "Chapter 3: The Lorisiform Primates of Asia and Mainland Africa: Diversity Shrouded in Darkness". Dalam Campbell, C.; Fuentes, C.A.; MacKinnon, K.; Panger, M.; Stumpf, R. Primates in Perspective. New York, New York: Oxford University Press. hlm. 28–33. ISBN978-0-19-517133-4.
Osman Hill, W.C. (1953b). "Early records of the slender loris and its allies". Proceedings of the Zoological Society of London. 123 (1): 43–47. doi:10.1111/j.1096-3642.1953.tb00153.x.
Pan, D.; Chen, J. H.; Groves, C.; Wang, Y. X.; Narushima, E.; Fitch-Snyder, H.; Crow, P.; Jinggong, X.; et al. (2007). "Mitochondrial control region and population genetic patterns of Nycticebus bengalensis and N. pygmaeus". International Journal of Primatology. 28 (4): 791–799. doi:10.1007/s10764-007-9157-1.
Payne, J.; Francis, C. M.; Phillipps, K.; Kartikasari, S. N. (2000). Mamalia di Kalimantan, Sabah, Sarawak & Brunei Darussalam. Bogor: WCS. hlm. 386. ISBN979-95964-0-8.
Phillips, E.M.; Walker, A. (2002). "Chapter 6: Fossil lorisoids". Dalam Hartwig, W.C. The Primate Fossil Record. Cambridge, New York: Cambridge University Press. ISBN978-0-521-66315-1.
Pocock, R.I. (1939). The fauna of British India, including Ceylon and Burma. Mammalia, vol. 1. London: Taylor and Francis.
Seiffert, E.R.; Simons, E.L.; Attia, Y. (2003). "Fossil evidence for an ancient divergence of lorises and galagos". Nature. 422 (6930): 421–424. doi:10.1038/nature01489. PMID12660781.
Sussman, R.W. (2003). Primate Ecology and Social Structure. Volume 1: Lorises, Lemurs, and Tarsiers (edisi ke-Revised First). Boston, Massachusetts: Pearson Custom Publishing. ISBN978-0-536-74363-3.
Tan, C. L.; Drake, J. H. (2001). "Evidence of tree gouging and exudate eating in pygmy slow lorises (Nycticebus pygmaeus)". Folia Primatologica. 72 (1): 37–39. doi:10.1159/000049918.
Thorn, J.S.; Nijman, V.; Smith, D.; Nekaris, K.A.I. (2009). "Ecological niche modelling as a technique for assessing threats and setting conservation priorities for Asian slow lorises (Primates:Nycticebus)". Diversity and Distributions. 15: 289–298. doi:10.1111/j.1472-4642.2008.00535.x.
Swapna, N.; Radhakrishna, S.; Gupta, A.K.; Kumar, A. (2010). "Exudativory in the Bengal slow loris (Nycticebus bengalensis) in Trishna Wildlife Sanctuary, Tripura, northeast India". American Journal of Primatology. 72 (2): 113–121. doi:10.1002/ajp.20760. PMID19937974.
Wilde, H. (1972). "Anaphylactic shock following bite by a 'slow loris', Nycticebus coucang". The American Journal of Tropical Medicine and Hygiene. 21 (5): 592–594. ISSN0002-9637. PMID5075669.
Zhang, Y. -P.; Chen, Z. -P.; Shi, L. -M. (1993). "Phylogeny of the slow lorises (genus Nycticebus): an approach using mitochondrial DNA restriction enzyme analysis". International Journal of Primatology. 14 (1): 167–175. doi:10.1007/BF02196510.