Kelentangan

Kelentangan
Klasifikasi Alat musik perkusi dan tiup (aerofon)
DikembangkanIndonesia
Alat musik terkait
Kulintang, Totobuang, Gamelan

Kelentangan adalah seperangkat pertunjukan musik tradisional masyarakat Dayak Benuaq yang banyak digunakan untuk berbagai macam kepentingan seperti iringan tarian hiburan maupun untuk keperluan ritual. Masyarakat Dayak Benuaq juga banyak yang menyebut Kelentangan sebagai musik Domeq. Namun demikian, terminologi tersebut tidak populer di kalangan masyarakat Dayak Benuaq, mereka lebih senang menyebutnya sebagai Kelentangan. Perlu digarisbawahi bahwa pertunjukan musik Kelentangan tidak pernah menjadi pertunjukan musik tunggal, melainkan dimainkan secara ansambel (seperti tradisi kulintang lain di Indonesia) digabungkan dengan berbagai pertunjukan lain seperti kesenian gabungan dan pengiring upacara maupun tarian untuk hiburan. Dalam praktiknya, musik Kelentangan sangat identik dengan ritual Belian Sentiu yang merupakan ritual masyarakat Dayak Benuaq untuk berkomunikasi dengan roh halus dalam rangka menyembuhkan penyakit masyarakat yang tidak bisa diselesaikan secara medis.[1]

Asal Usul

Penamaan “Kelentangan” belum diketahui awal mula penyebutannya. Dalam artian, masyarakat tidak memiliki data otentik mengenai waktu pasti kesenian tersebut muncul. Sesuatu yang mereka yakini adalah, Kelentangan hadir sejak zaman dahulu dan merupakan warisan dari leluhur mereka. Namun demikian, penamaan Kelentangan tersebut mereka yakini berasal dari suara alat musik yang dihasilkan berbunyi “tang tang tang tang”.

Dalam sejarahnya, musik Kelentangan diyakini memiliki keterkaitan panjang dengan sejarah masuknya musik di Kalimantan. Pada waktu itu, terdapat banyak sekali gong-gong di pedalaman Kalimantan yang sebagian besar dari Tiongkok Selatan. Hal itu dibuktikan sejak tahun 1930-an yang telah ditemukan banyak sekali alat perunggu di Annam atau tepatnya di desa Dong-son yang instrumennya mirip dengan instrumen gong yang ada pada suku Dayak di pedalaman Kalimantan. Pengaruh kebudayaan masyarakat Tiongkok dalam kehidupan masyarakat Dayak di Kalimantan itu terlihat dari bbeberapa hal, seperti guci-guci, tempayan, dan perhiasan dengan berbagai ornamen bergaya Tiongkok. Dengan demikian, pengaruh kebudayaan Tiongkok terhadap kehidupan masyarakat Dayak di Kalimantan dinilai sebagai awal mula munculnya instrumen Kelentangan dalam kehidupan masyarakat Dayak Benuaq. Dalam Bahasa sederhana, proses tersebut dimulai dari keberadaan gong-gong berukuran kecil kemudian menjadi instrumen Kelentangan dan ditambah dengan gong-gong berukuran agak besar atau Genikng serta penambahan instrumen Kendang atau Gimar.[1]

Gambaran Umum Kelentangan

Sebagaimana penjelasan di muka, musik Kelentangan tidak ditampilkan sebagai pertunjukan tunggal, melainkan membaur dengan pertunjukan lain serta dijadikan sebagai pengiring sebuah kegiatan atau ritual adat. Sebagai misal, pertunjukan Kelentangan dilakukan untuk keperluan upacara pengibatan Belian Sentiu dari keluarga yang sedang mengalami sakit. Keberadaan Kelentangan menjadi sangat penting, sebab proses pengobatan melalui upacara Belian Sentiu tidak akan terlaksana apabila musik Belian Sentiutidak ada. Dalam Bahasa sederhana, keberadaan musik Kelentangan dengan Belian Sentiu seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan, keduanya memiliki ikatan dan hubungan emosional yang besar. Hubungan antara Pemeliatn sebagai pemimpin upacara Belian Sentiu dengan pemain musik Kelentangan adalah hubungan yang sangat harmonis karena keduanya saling mendkung dan menciptakan kondisi ritual yang dapat menstabilkan kekuatan supranatural para Pemeliatn selama memimpin upacara.[2]

Kelentangan sebagai musik pengiring yang mengawal kegiatan Belian Sentiu dari awal sampai akhir ritual tidak terlepas dari peran para pemain musik yang ada. Para pemain musik itu akan memainkan ansambel Kelentangan untuk mengiringi Pemeliatn berproses selama upacara Belian Sentiu berlangsung. Bunyi-bunyian melodi yang mereka lakukan juga menjadi sangat penting karena apabila ada kesalahan di dalamnya, akan berdampak sangat fatal terhadap seluruh pelaku upacara maupun kegagalan dalam proses pengobatan yang dilakukan. Dalam ritual Belian Sentiu, pemain musik Kelentangan harus peka dengan instruksi dan gerakan yang diperintahkan oleh guruq belian. Namun demikian, meskipun ritme dan irama permainan musik telah ditentukan oleh guruq belian, para pemain musik Kelentengan masih memiliki kebebasan terkait teknik permainan agar tidak terkesan monoton.[3]

Kendati para pemain musik Kelentangan memiliki posisi dan fungsi yang sama pentingnya dengan Pemeliatn sebagai kepala ritual Belian Sentiu, mereka pada dasarnya memiliki status sosial yang berbeda dalam masyarakat. Hal itu dikarenakan, untuk menjadi seorang pemain Kelentangan, tidak sesulit ketika ingin menjadi Pemeliatn. Mereka tidak harus melakukan laku-laku ritual atau fase-fase tertentu ketika menjadi pemain Kelentangan sebagaimana ketika ingin menjadi Pemeliatn. Mereka belajar melalui tradisi lisan kepada para senior dan menirukannya sesuai dengan rasa musikal mereka masing-masing. Dengan demikian, Pemeliatn memiliki interpretasi yang berbeda-beda dalam memainkan Kelentangan, asalkan mirip dan tidak lepas dari nada-nada atau melodi yang dikehendaki oleh Pemeliatn. Mereka hanya perlu sering menyaksikan upacara Belian Sentiu dan berlatih terus menerus sebelum akhirnya akan menjadi siap dan mampu menjadi pemain Kelentangan.[3]

Berbeda dengan pemeliatn yang harus melakukan puasa terlebih dahulu sebelum melakukan ritual Belian Sentiu, pemain Kelentangan hanya perlu bersikap baik dan fokus seperti tidak bergurau atau bercanda berlebihan selama upacara Belian Sentiubelrangsung. Mereka juga tidak boleh berbuat jahat dan berbicara kotor terhadap orang lain serta membersihkan hati dan fikiran sehingga dapat berkonsentrasi dan peka terhadap setiap gerakan dan instruksi yang diberikan oleh Pemeliatn.

Penyajian Kelentengan

Pada umumnya, masyarakat Dayak Benuaq dan masyarakat Dayak keseluruhan tidak memiliki aturan yang baku mengenai bagaimana mereka memainkan musik Kelentengan. Aturan memainkan Kelentengan masih dilakukan melalui lisan dan tidak tertulis serta tidak ada acuan mengenai notasi-notasi tertentu. Selama ini, pemain musik Kelentengan hanya memainkannya berdasarkan pada interpretasi pribadi dan kreativitasnya masing-masing. Secara garis besar, musik Kelentengan dimainkan dengan cara duduk menghadap ke instrumen sambil membawa alat pukul atau stick sebanyak dua buah dan dipegang oleh tangan kanan dan tangan kiri. Alat pukul tersebut terbuat dari kayu yang tidak dilapisi apa pun dengan ukurann sekitar 20-25 cm dan diameter 1,5-2 cm. Alat musik tersebut dapat dimainkan oleh satu atau dua orang sekaligus.[4]

Lebih jauh lagi, para pemain Kelentengan juga tidak memiliki aturan baku mengenai jangkauan nada yang harus di raih oleh masing-masing tangan. Hal terpenting yang bisa mereka lakukan adalah semua nada yang dimainkan sesuai dengan melodi yang diinstruksikan oleh Pemeliatn. Cara memainkannya pun hampir sama dengan cara memainkan alat musik berpencon pada umumnya, yaitu dengan menggunakan stick yang dipukulkan. Namun demikian, bagi pemain Kelentengan yang mahir, mereka tidak hanya akan memukulkan stick secara polos atau asal-asalan, melainkan mereka memainkannya dengan setiap nada yang telah dipukul dengan stick harus menghasilkan efek bunyi atau suara yang tidak terputus antara satu nada dengan nada yang lain, yakni dengan memberikan getaran pada stick tersebut. Perlu digarisbawahi, pada Kelentengan, tangan kanan dan tangan kiri memiliki fungsi dan pembagian yang sama, yaitu tangan kiri dengan ritme tetap sedangkan tangan kiri mengembangkan pola ritme dan membentuk pola melodi.[5]

Sebagaimana yang telah disinggung di awal bahwa musik Kelentangan digunakan untuk mengawal upacara Beliaun sentiu. Secara garis besar, ada empat tahap penyajian Kelentangan, yaitu pembacaan Bememang yang merupakan mantra untuk memanggil makhluk halus dan roh-roh leluhur; Kelentangan jenis pertama; Kelentangan jenis kedua; dan sulikng dewa. Musik-musik itu disajikan dalam ritual Belian Sentiu karena proses pengobatan melalui ritual yang ada tidak akan berjalan lancar apabila tidak diiringi dengan keberadaan alat musik. Bunyi-bunyian yang dihasilkan dari Kelentangan juga amat ditentukan oleh instrumen dan gerakan dari Pemeliatn. Namun demikian, meskipun melodi yang ditentukan adalah mengacu pada perintah Pemeliatn, para pemain Kelentangan tetap memiliki kebabasan untuk memainkan alat musik itu sesuai dengan kreativitas dia, dengan syarat tidak keluar dari melodi yang harus dihasilkan.[4]

Klasifikasi Instrumen

Dalam konteks kehidupan masyarakat Dayak, terutama apabila dikaitkan dengan upacara Belian Sentiu, Kelentangan digolongan musik ansambel, yang merupakan gabungan dari dua atau lebih permain. Pemain tersebut seluruhnya terlibat dalam memainkan alat musik dengan lebih dari dua instrumen. Sementara itu, instrmen-instrumen yang digunakan dalam ansambel Kelentangan terdiri dari Kelentangan yang merupakan instrumen berpecon (semacam bende/gong berukuran kecil). Jumlahnya ada enam buah dan diletakkan pada rancakan. Instrumen kedua adalah gimar yang disebut sebagai instrumen yang berupa kendang silindris dengan dua membran yang hampir berada di instrumen-instrumen musik di seluruh Indonesia, seperti kendang, jidor, dan lain-lain. Instrumen ketiga adalah genikng yang merupakan instrumen berpencon yang berukuran agak besar (semacam kempul) dari kelentangan dan sulikng dewa yang merupakan suling dari bambu yang dituiup secara vertikal.[6]

Dalam ansambel Kelentangan, sulikng dewa terbuat secara handmade oleh para pemain musik itu sendiri. Instrumen tersebut juga digolongkan sebagai idiophone karena cara memainkannya dibunyikan dengan ditiup atau dipompa. Namun demikian, instrumen sulikng dewa yang dimainkan antara pemain yang satu dengan pemain yang lain mengalami perbedaan nada. Hal itu disebabkan karena belum ditemukannya tuning system atau sistem penalaan. Hal terpenting bagi mereka adalah suara tersebut dapat dihasilkan dengan interval yang berbeda tinggi dan rendahnya interval. Sekali pun belum ditemukan tuning system –nya, hal itu bukann menjadi masalah bagi mereka. Lebih jauh lagi, Sulikng dewa juga terbuat dari Bambu kuning yang telah dipotong sesuai dengan kebutuhan bunyi, kemudian dikeringkan. Setelah itu, mereka akan membuat lubang tiup yang dapat menghasilkan nada-nada suling. Secara umum, instrumen tersebut memiliki tiga bagian, yaitu bagian atas yang berfungsi sebagai lubang tiup, bagian tengah yang berfungsi sebagai lubang nada, dan bagian bawah yang merupakan hiasan. Pada bagian atas, mereka membubuhkan reed yang berbentuk seperti cincin yang terbuat dari rotan untuk memfilter keluar masuknya udara yang ditiupkan oleh mulut. Bagian tengah merupakan lubang-lubang nada yang berfungsi untuk mengatur tinggi rendahnya nada, sedangkan bagian bawah memiliki fungsi sebagai hiasan.[5]

Sementara itu, terkait ukuran, Sulikng Dewa juga memiliki ukuran yang variatif, mulai dari yang berukuran kecil sampai yang berukuran besar. Ukuran kecil biasanya berkisar antara 25 cm dengan diameter 3 cm, sedangkan ukuran besar berkisar antara 40-5- cm dengan diameter 305 cm; sementara ukuran besar berkisar antara 60-60 cm dengan diameter 6-7 cm. Dalam kaitannya dengan instrumen Kelentangan, Sulikng Dewa memiliki fungsi sebagai pemberi tanda bahwa pemeliatn akan melakukan prosesi terbang ke langit untuk memenuhi para makhluk halus dan juga untuk membangun suasana yang sakral dan magis.[6]

Selain Sulikng Dewa, instrumen utama yang ada pada Kelentengan adalah instrumen yang juga bernama kelentangan. Instrumen tersebut digolongkan sebagai idiophone yang merupakan instrumen melodi yang dominan dalam musik kelentangan. Instrumen itu terbuat dari logam perunggu yang merupakan warisan dari nenek moyang masyarakat Dayak Benuaq dan sampai saat ini belum diketahui siapakah pembuat alat musik tersebut. Tidak ditemukannya pembuat alat musik itu berkaitan dengan kondisi lapangan bahwa di Kalimantan tidak ada tempat pembuatan alat musik berbentuk gamelan. Kelentangan disebut sebagai instrumen berupa gong kecil berpencon sejumlah enam buah yang berdiameter sekitar 5-3 cm dan diletakkan di sebuah rancaakan dari kayu ulin. Instrumen tersebut menjadi bagian dari perangkat Kelentangan yang dipergunakan oleh masyarakat Dayak Benuaq untuk berbagai kegaiatn, seperti iringan upacara ritual maupun iringan tari yang bersifat hiburan.[5] Berbeda dengan Kelentangan, Genikng juga digolongkan menjadi instrumen idiophone namun memiliki diameter lebih besar, yaitu sekitar 50 cm. Meskipun keduanya sama-sama terbuat dari logam, perbedaan ukuran tersebut tentu juga memengaruhi kualitas suara yang dihasilkan. Dalam kaitannya dengan upacara magis belian sentiu, keberadaan Genikng juga menjadi sangat penting karena menjadi instrumen yang memiliki nilai magis dan memiliki kekuatan spiritual untuk mengusir roh-roh jahat yang mengganggu saat upacara berlangsung. Keberadaan Genik juga dinilai sangkat langka, karena tidak seluruh masyarakat Dayak dapat memilikinya. Hanya orang kaya dan turunan Dangut saja yang dapat memilikinya.[4]

Selain itu, dalam ansambel Kelentangan, instrumen gimar juga menjadi sangat penting. Gimar adalah instrumen yang tergolong dalam Membranofon. Gimar berbentuk kendang silindris dengan dua membran yang hampir terdapat di seluruh daerah di Indonesia dan berdiameter 55 cm. Dalam melaksanakan upacara Belian Sentiu, Gimar yang digunakan adalah sebanyak 2 buah dengan ukuran yang sama. Fungsinya sendiri adalah untuk membawa irama dan juga menambah warna suara yang berbeda dengan instrumen lainnya. Sedangkan bahan yang digunaan untuk membuatnya adalah kayu ulin yang dilubangi bagian tengahnya. Sementara itu, bagian atas dan bawahnya ditutup dengan menggunakan kulit binatang yang telah dikeringkan lalu diberi pantek dari kayu dan diikat dengan menggunakan tali yang terbuat dari rotan. Hal itu dilakukan untuk mengikat pantek dan menyetem agar dapat menghasilkan karakter suara seperti yang diinginkan.[5]

Lokasi Keberadaan Kelentangan

[7] Sebagaimana yang telah disinggung di awal, instrumen Kelentangan salah satunya dimiliki oleh masyarakat Dayak Benuaq yang bermukim di desa Tanjung Isuy. Wilayah tersebut memiliki kontur permukiman yang dikelilingi oleh semak belukar dan hutan mangrove. Di sana, juga terdapat danau Jempang serta dikelilingi oleh ladang penduduk serta perkebunan kelapa sawit. Di dalam hutan tersebut banyak tumbuh tumbuhan-tumbuhan khas tropis seperti rotan, kayu, langsat, durian hutan, cempedak, dan lain sebagainya. Berbagai macam jenis fauna juga terdapat di sana, seperti ular, biawak, monyet, rusa, buaya, dan berbagai jenis burung. Hutan yang berada di wilayah itu merupakan milik bersama atau milik adat, karena belum ada yang memilikinya secara personal atau belum ada lembaga bersertifikat yang memilikinya. Hal itu menyebabkan berbagai pihak memiliki kebebasan untuk ikut andil menikmati hasil hutan yang ada.

Sementara itu, di lokasi keberadaan musik Kelentangan tersebut juga terdapat Danau Jempang yang menjadi penopang kehidupan masyarakat di Desa Tanjung Isuy, Jempang, Kutai Barat. Danau tersebut dilengkapi dengan tanaman mangrove berikut hutan bakaunya. Perlu diketahui, danau tersebut dikenal sebagai danau terbesar di wilayah Kutai Barat yang menghubungkan wilayah desa Tanjung Isuy dengan anak Sungai Mahakam. Di wilayah tersebut juga terdapat pelabuhan untuk persinggahan kapal-kapal barang yang membawa aneka kebutuhan pokok dan juga hasil hutan untuk dibawa ke Kota Samarinda maupun untuk dibawa ke wilayah pedalaman di sekitar Kecamatan Jempang.[5]

Di dalam danau itu juga terdapat kekayaan flora dan fauna, seperti ikan air tawar, udang, kepiting, dan juga berbagai macam tanaman palem dan tanaman anggrek hidup yang menempel di pohon mangrove di sekitar danau itu. Selain itu, daerah itu juga dikenal sebagai daerah dataran rendah sebab menjadi kelanjutan dari lereng bukit-bukit kecil di sekitarnya. Dalam hal kondisi morfologi, wilayah keberadaan Kelentangan itu memiliki suhu udara sekitar 25-30 derajat celcius yang membuat wilayah tersebut berpotensi untuk ditanami berbagai tanaman industri, seperti karet, akasia, dan juga perkebunan kelapa sawit.[8]

Masyarakat Dayak Benuaq yang mendiami wilayah itu memanfaatkan ladang dan kebun untuk ditanami palawija dan buah-buahan di pinggir danau Jempang yang membentuk lahan gambut. Hal itu terjadi ketika musim panas tiba. Para nelayan di Jempang juga memanfaatkannya untuk menangkap ikan sebanyak-banyaknya menggunakan berbagai macam alat penangkap, seperti lukah, pancing, suar, jala, dan lain sebagainya. Hal itu dikarenakan, musim kemarau membuat volume air menyusut sehingga proses menangkap ikan akan menjadi lebih mudah. Selain menangkap ikan di danau Jempang, musim panas yang mereka nikmati juga dimanfaatkan untuk memanen ikan yang mereka pelihara dalam keramba. Ikan-ikan yang mereka tangkap tersebut kemudian mereka jual ke luar daerah dalam bentuk ikan hidup maupun dalam bentuk ikan yang sudah asin atau pija. Sementara itu, selama musim penghujan, masyarakat Dayak Benuaq biasanya memanfaatkannya untuk berada di rumah guna menikmati hasil-hasil bumi yang telah mereka dapatkan. Dalam momentum itu, biasanya mereka akan mengadakan upcara adat, baik upacara yang skala besar maupun kecil.[7]

Persepsi Masyarakat

Menurut penelitian Irawati (2012), saat ini eksistensi Kelentangan mengalami kontestasi dalam diri masyarakat Dayak Benuaq. Hal itu dikarenakan roda kehidupan mereka yang telah dilimpahi modernitas. Seiring dengan tingkat pendidikan mereka yang maju, kepercayaan-kepercayaan lokal juga kadang kala mengalami pengabaian. Kelentangan yang merupakan instrumen tradisional untuk mengiringi berbagai ritual adat seperti Belian Sentiu secara tidak langsung juga ikut terpengaruh. Namun demikian, masih banyak di antara mereka yang menjadikan alat instrumen itu dalam beberapa ritual tertentu. Tujuannya sebagian besar adalah untuk persoalan pengobatan penyakit, apalagi jika pengobatan secara medis sudah tidak mampu lagi memenuhi harapan mereka. Bagi sebagian dari mereka juga menganggap hal itu sebagai suatu keharusan, karena Kelentangan merupakan warisan leluhur yang harus dilestarikan dan diikutsertakan dalam berbagai upacara adat. Memainkan Kelentangan merupakan salah satu cara bagi mereka untuk menghormati roh-roh leluhur agar selalu melindungi keluarga mereka, sehingga mereka diberi keselamatan dan dijauhkan dari berbagai macam wabah penyakit.[4]

Referensi

  1. ^ a b Adnan, Sugeng. 1995. Ilmu Pengetahuan Sosial Lokal Kalimantan Timur. Samarinda: Taman Budaya Samarinda
  2. ^ Kayam, Umar. 1981. Seni Tradisi dan Masyarakat. Seri Esni No. 3. Jakarta: Sinar Harapan
  3. ^ a b Barthel H. dan Alqadrie, Syarif Ibrahim. 1984. Upacara Tradisional (Upacara Kematian) Daerah Kalimantan Timur. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaa.
  4. ^ a b c d Irawati, Eli. 2012. Makna Simbolik Pertunjukan Kelentanan dalam Upacara Belian Sentiu Suku Dayak Benuaq Desa Tanjung Isuy, Kutai Barat, Kalimantan Timur. Tesis. Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Universitas Gadjah Mada: Tidak Dipublikasikan
  5. ^ a b c d e Irawati, Eli. 2016. Transmisi Kelentangan dalam Masyarakat Dayak Benuaq. Vol. 17 No. 1, April 2017
  6. ^ a b Suwardi,Hasjim Achmat. Peralatan Hiburan dan Kesenian Tradisional Daerah Kalimantan Timur. Diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan. Diakses melalui https://books.google.co.id/books?id=bz_DCgAAQBAJ&pg=PA54&lpg=PA54&dq=alat+musik+%C2%A0+Kelentangan+kalimantan&source=bl&ots=MYo9vx8vBf&sig=cf2Whx6l7uCzWl7qxKnBRzRaoVY&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwisqMvDz4vYAhUKT7wKHWWcDAAQ6AEIWzAL#v=onepage&q=alat%20musik%20%C2%A0%20Kelentangan%20kalimantan&f=false
  7. ^ a b "Tanjung Isuy, Kampung Rawa Oase Mahakam". Tempo. Diakses tanggal 2017-12-15. 
  8. ^ Data Kependudukan Desa Tanjung Isuy Tahun 2011.