Kekerasan merupakan sebuah ekspresi baik yang dilakukan secara fisik ataupun secara verbal yang mencerminkan pada tindakan agresi dan penyerangan pada kebebasan atau martabat seseorang yang dapat dilakukan oleh perorangan atau sekelompok orang[1][2][3] umumnya berkaitan dengan kewenangannya yakni bila diterjemahkan secara bebas dapat diartinya bahwa semua kewenangan tanpa mengindahkan keabsahan penggunaan atau tindakan kesewenang-wenangan itu dapat pula dimasukan dalam rumusan kekerasan ini.[4]
Akar Kekerasan: Kekayaan tanpa bekerja, Kesenangan tanpa hati nurani, Pengetahuan tanpa karakter, Perdagangan tanpa moralitas, Ilmu tanpa kemanusiaan, Ibadah tanpa pengorbanan, Politik tanpa prinsip.
The Roots of Violence: Wealth without work, Pleasure without conscience, Knowledge without character, Commerce without morality, Science without humanity, Worship without sacrifice, Politics without principles.
Kekerasan yang dilakukan perorangan perlakuan kekerasan dengan menggunakan fisik (kekerasan seksual), verbal (termasuk menghina), psikologis (pelecehan), oleh seseorang dalam lingkup lingkungannya.
Kekerasan yang dilakukan oleh negara atau kelompok, yang oleh Max Weber didefinisikan sebagai "monopoli, legitimasi untuk melakukan kekerasan secara sah" yakni dengan alasan untuk melaksanakan putusan pengadilan, menjaga ketertiban umum atau dalam keadaan perang yang dapat berubah menjadi semacam perbuatanan terorisme yang dilakukan oleh negara atau kelompok yang dapat menjadi salah satu bentuk kekerasan ekstrem (antara lain, genosida, dll.).[6]
Tindakan kekerasan yang tercantum dalam hukum publik yakni tindakan kekerasan yang diancam oleh hukum pidana (sosial, ekonomi atau psikologis (skizofrenia, dll.)).
Kekerasan dalam politik umumnya pada setiap tindakan kekerasan tersebut dengan suatu klaim legitimasi bahwa mereka dapat melakukannya dengan mengatas namakan suatu tujuan politik (revolusi, perlawanan terhadap penindasan, hak untuk memberontak atau alasan pembunuhan terhadap raja lalim walaupun tindakan kekerasan dapat dibenarkan dalam teori hukum untuk pembelaan diri atau oleh doktrin hukum dalam kasus perlawanan terhadap penindasan di bawah tirani dalam doktrin hak asasi manusia.[7]
Kekerasan simbolik (Bourdieu, Theory of symbolic power),[8] merupakan tindakan kekerasan yang tak terlihat atau kekerasan secara struktural dan kultural (Johan Galtung, Cultural Violence)[9] dalam beberapa kasus dapat pula merupakan fenomena dalam penciptaan stigmatisasi.
Kekerasan antara lain dapat pula berupa pelanggaran (penyiksaan, pemerkosaan, pemukulan, dll.) yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain, dan - hingga batas tertentu - kepada binatang dan harta-benda. Istilah "kekerasan" juga berkonotasi kecenderungan agresif untuk melakukan perilaku yang merusak.
Kekerasan pada dasarnya tergolong ke dalam dua bentuk —kekerasan sembarang, yang mencakup kekerasan dalam skala kecil atau yang tidak terencanakan, dan kekerasan yang terkoordinasi, yang dilakukan oleh kelompok-kelompok baik yang diberi hak maupun tidak —seperti yang terjadi dalam perang (yakni kekerasan antar-masyarakat) dan terorisme.
Sejak Revolusi Industri, kedahsyatan peperangan modern semakin meningkat hingga mencapai tingkat yang membahayakan secara universal. Dari segi praktis, peperangan dalam skala besar dianggap sebagai ancaman langsung terhadap harta benda dan manusia, budaya, masyarakat, dan makhluk hidup lainnya di muka bumi.
Secara khusus dalam hubungannya dengan peperangan, jurnalisme, karena kemampuannya yang kian meningkat, telah berperan dalam membuat kekerasan yang dulunya dianggap merupakan urusan militer menjadi masalah moral dan menjadi urusan masyarakat pada umumnya.
Transkulturasi, karena teknologi modern, telah berperan dalam mengurangi relativisme moral yang biasanya berkaitan dengan nasionalisme, dan dalam konteks yang umum ini, gerakan "antikekerasan" internasional telah semakin dikenal dan diakui peranannya.
^(Inggris) Weber, Max (1994). "The President of the Reich". Dalam Peter Lassman, Ronald Speirs. Political writings. Cambridge University Press. hlm. 390. ISBN0521397197, 9780521397193 Periksa nilai: invalid character |isbn= (bantuan).Lebih dari satu parameter |pages= dan |page= yang digunakan (bantuan)
^(Prancis)Jean-François Malherbe (Docteur en philosophie de l'[[Université catholique de Louvain (depuis 1968)|]] et en théologie de l'Université de Paris), in Violence et démocratie, Sherbrooke, CGC, 2003.
Catatan 1: Kerusakan harta benda biasanya dianggap masalah kecil dibandingkan dengan kekerasan terhadap orang, sementara tindakan menyakiti binatang dapat dianggap sebagai kekerasan, tergantung pada situasi dan nilai-nilai sosial yang terkait dengan kekejaman terhadap binatang.
Pranala luar
Wikimedia Commons memiliki media mengenai Violence.