Kadipaten DayeuhluhurKadipaten Dayeuhluhur adalah sebuah kerajaan kecil atau keadipatian atau kadipaten yang berlokasi di Kecamatan Dayeuhluhur sekarang dengan wilayah meliputi bagian barat Kabupaten Cilacap sekarang. Kadipaten Dayeuhluhur merupakan cikal bakal dari Kabupaten Cilacap itu sendiri. Masa pemerintahanMenurut sejarah lama Kedayeuhluhuran, pada tahun 1475, Kadipaten Dayeuhluhur, adalah sebuah kerajaan merdeka yang diperintah oleh seorang raja yang berkedudukan di Istana Salangkuning. Kerajaan Dayeuhluhur adalah pecahan dari Kerajaan Pasirluhur. Raja yang pertama dan terkenal adalah Gagak Ngampar yang merupakan saudara dari Banyak Cakra dari Kerajaan Pasirluhur (Karanglewas, Purwokerto). Mereka berdua adalah putra Prabu Linggawesi keturunan Raja Siliwangi dari Kerajaan Pajajaran. Kerajaan Dayeuhluhur Masa menjadi Kerajaan Bawahan Kerajaan Pajajarana. Arya Gagak Ngampar Sekitar tahun 1400-an Arya Gagak Ngampar (Banyak Ngampar) dijadikan Adipati Dayeuhluhur oleh Kakaknya Banyak Cotro atau Raden Kamandaka Adipati Pasirluhur di Karanglewas (Barat Kota Purwokerto sekarang) sebagai daerah bawahan Pasirluhur. Wilayah Kadipaten Dayeuhluhur ini meliputi wilayah yang jauh lebih luas dibandingkan wilayah Kec.Dayeuhluhur saat ini, jika dibandingkan saat ini meliputi: Seluruh wil.Kab.Cilacap saat ini sampai Daerah Ayah Kesugihan dan Wangon. Adipati Gagak Ngampar setelah meninggal digantikan putranya Candi Kuning dengan gelar Adipati Gagak Ngampar II. 1. Latar Belakang Arya Gagak Ngampar Dalam ceritera Babad Pasirluhur, pada awalnya Dayeuhluhur merupakan salah satu wilayah dari Kadipaten Pasirluhur yang dipimpin oleh adipati Kandadaha. Pada saat putri kandadaha yang terakhir yang bernama Dewi Ciptoroso (anak adipati kandadaha berjumlah 25 orang semuanya putri) dilamar oleh Prabu Pulebahas, raja dari Nusatembini yang disertai tekanan akan adanya invasi Nusakambanngan atas Pasirluhur, maka atas bantuan Pasukan Pajajaran yang dipimpin kakak beradik Banyak Cotro (Kamandaka) dan Banyak Ngampar (silihwarni) pasukan Nusakambangan dapat dikalahkan dan Prabu Pulebahas pun tewas dalam pertempuran. Kakan beradik itu dari Nusakambangan dan Pasir luhur masing-masing mendapatkan 40 putri boyongan ditambah Banyak Cotro dinikahkan dengan Dewi Ciptoroso dan Banyak Ngampar menikahi Dewi Purwati/Dewi Pringgisari adik dari Adipati Pulebahas, kesemuanya diboyong ke Pajajaran sebagai prasarat untuk menjadi putra mahkota Pajajaran. Kejadian ini berlangsung pada kisaran tahun 1485. Hal ini berkaitan dengan sejarah sunda dan Pajajaran. Bahwa pada tahun 1375 Raja Pajajaran Prabu Linggabuana bersama istri dan anaknya Dyah Ayu Pitaloka dan seluruh prajurit yang mengiringinya gugur dalam perang Bubat akibat tipu muslihat Mahapatih Majapahit Gadjah Mada yang mengubah pertemuan antar calon pengantin Dyah Pitaloka dengan Raja Majapahit Hayam Wuruk menjadi penundukan raja Pajajaran pada Majapahit yang ditolak oleh Prabu Linggabuana yang lebih baik bertempur mati-matian daripada harus tunduk pada Majapahit apalagi dengan tipu muslihat dan ingkar janji, kekuatan Prabu Linggabuana yang mempertahankan harga diri dan keharuman Bangsa Pajajaran ini diabadikan dengan sebutan PRABU WANGI artinya Raja yang menjaga keharuman nama bangsa Pajajaran. [butuh rujukan] Karena putra mahkota masih kecil maka kerajaan dijalankan oleh adik prabu Linggabuana yaitu Patih Bunisora/Borosngora sampai dengan tahun 1371 M. Patih Gadjah Mada merasa bersalah dan gagal dalam peristiwa Bubat sehingga mengasingkan diri bertahun-tahun di hutan Tarik [butuh rujukan], Raja Majapahit Hayam Wuruk sangat terpukul atas peristiwa Bubat dan memohon maaf pada Bunisoro, namun Bunisora tetap waspada dan memperkuat pertahanan di sisi timur Pajajaran dari Cipamali sampai Cijolang. Patih Bunisora adalah Mangkubumi Suradipati atau Prabu Kuda Lalean atau Batara Guru Jampang (dalam babad Panjalu, ia dimakamkan di Geger Omas). Pada tahun 1371 Putra Mahkota naik tahta dengan nama Niskala Wastu Kencana sebagai raja Pajajaran ke 26 sampai dengan tahun 1475. [butuh rujukan] Prabu Niskala Wastu Kencana menikahi saudara sepupunya anak dari Buni sora yaitu Dewi Mayangsari dan dikarunia anak bernama Dewa Niskala dan Ki Gedeng Sindangkasih. Perkawinan kedua dengan Dewi Lara Sukarti dikaruniai anak bernama Susuk Tunggal. Pemerintahan Niskala Wastu Kencana 1371-1475 (105 tahun) mengalami kejayaan, sehingga diberi gelar PRABU WANGISUTAH raja yang meneruskan keharuman ayahandanya prabu wangi, sebaliknya selama dekade itu Majapahit mengalami perang saudara (paregreg) dan perebutan kekuasaan antara Brawijaya V dan VI dan munculnya kerajaan Demak yang melemahkan Majapahit. Pada tahun 1475 Pajajaran dibagi 2 kerajaan untuk kedua anaknya, Kerajaan Sunda untuk Prabu Susuk Tunggal dan Kerajaan Galuh Untuk Prabu Dewa Niskala. Pada saat Prabu Niskala Wastu Kencana masih berkuasa, Susuk Tunggal telah memiliki putri bernama Kentringmanik mayang sunda dan Amuk marugul, sedangkan Dewa Niskala telah memiliki putra bernama PAMANAH RASA yang menjadi cucu kesayangan Niskala Wastu Kencana. Pamanah Rasa sangat sakti dan mewarisi ilmu dan kebijaksanaan kakeknya, ia menikahi sepupunya putri Ki GedengKasih yang bernama Dewi Ambetkasih dan memiliki 3 orang anak, Banyak Cotro, Banyak Ngampar dan Dewi Ratna Pamekas. Karena Dewi Ambetkasih meninggal Pamanah rasa mengawini gadis muslim Dewi Subanglarang saat diutus kakeknya menghancurkan Pondok Quro (kawasan ponpes syech Hasanudin di Kerawang yang bermazhab Hanafi) alih-alih menghancurkan pondok malah menikah dengan salah satu santriwatinya Dewi Subanglarang yang merupakan anak dari Ki Gedeng Tapa Cirebon. Dari perkawinanannya dengan gadis muslimah melahirkan 3 anak muslim yaitu anak pertama bernama Walangsungsang yang menjadi Adipati Cirebon dengan nama Pangeran Cakrabuana, anak kedua putri Rara Santang yang menikah dengan raja Mesir menurunkan Sunan Gunung Jati dan anak ketiga Raja sangara atau Kian Santang yang menjadi Senopati Perang Cirebon dan akhirnya menjadi wali penyebar Islam dengan nama Sunan Godog. Perkawinan ini menyalahi perintah sang Kakek sehingga berlangsung di luar istana, saat kembali ke istana Pamanah rasa dinikahkan dengan sepupunya putri Prabu Susuk Tunggal raja Sunda, Dewi Kentringmanik Mayang sunda dengan janji kelak anak yang lahir harus menjadi putra mahkota jika kelak Pamanah rasa menjadi Raja Galuh menggantikan Dewa Niskala (perjanjian ini tidak diketahui oleh anak-anak lainya dari istri pertama Banyak Cotro, Banyak Ngampar, Ratna Pamekas). Dari perkawinanya dengan Mayang Sunda dikarunia anak lelaki bernama Banyak Blabur dan Surasowan yang menjadi adipati Banten dan anak putri Surawati yang menikah dengan adipati Sunda Kelapa. Pada tahun 1482 Bangsawan Majapahit utamanya saudara-saudara Brawijaya V, diantaranya adiknya Arya Baribin dan rombongan mengungsi ke Galuh, diterima Dewa Niskala dan Arya Baribin dinikahkan dengan cucunya / anak Pamanah rasa, Dewi Ratna Pamekas, dan Dewa Niskala menikahi salah satu putri pelarian Majapahit yang telah memiliki tunangan, hal ini dianggap sebagai pelanggaran berat atas pamali dari dampak Perang Bubat menikahi putri Majapahit dan menikahkan putrinya dengan pria Majapahit serta menikahi orang yang sudah bertunangan. Sebagai hukuman, Dewi Ratna Pamekas dan Arya Baribin diungsikan keluar istana dan Dewa Niskala harus turun tahta dan digantikan oleh Pamanah Rasa dengan permaisurinya Dewi Kentringmanik Mayang Sunda. Karena Amuk Marugul satu-satunya anak lelaki dari Susuk Tunggal telah tewas di tangan Pamanah Rasa saat memperebutkan Dewi Subang Larang di Kerawang saat penyerbuan Pondok Quro (keduanya jatuh cinta pada Dewi Subanglarang sehingga terjadi perang tanding) maka Susuk Tunggal memberikan tahta sunda kepada Pamanah Rasa menantunya, sehingga Pamanah Rasa Menyatukan Kembali sunda dan Galuh menjadi Pajajaran Baru. Penobatan Pamanah Rasa tahun 1482 dengan Gelar Prabu JAYADEWATA, karena kepemimpinannya yang memajukan Pajajaran sangat pesat maka dijuluki sebagai PRABU SILIHWANGI, artinya raja yang menggantikan dan meneruskan kejayaan Prabu Wangi dan Prabu Wangisutah (Kakek dan buyutnya).Kata silihwangi secara aksen berubah menjadi Siliwangi. Ketiga anak Pamanahrasa dari Dewi Subanglarang yang menikah di luar istana dan beragama islam tidak akan menjadi putra mahkota dan kesemuanya telah mendirikan dinasti sendiri membuat kerajaan Cirebon dan Banten, di mana Walangsungsang mendirikan Cirebon dan digantikan keponakannya Sunan Gunungjati yang sejak 1482 berotonomi sendiri tidak tunduk lagi kepada Pajajaran, dan anak cucu Sunan Gunungjati menyerang keturunan Surasowan mendirikan kerajaan di Banten serta menundukan Sunda Kelapa menjadi Jayakarta dibawah Fatahilah. Tinggalah 3 orang calon putra mahkota yaitu Banyak Cotro, Banyak Ngampar dan Banyak Blabur. Saat ketiganya membawa masing-masing 40 putri boyongan, Siliwangi menerima ketiga calon putra mahkota dan mengajukan syarat disamping 40 putri boyongan maka putra mahkota harus berbadan mulus dan tanpa cacat, karena Banyak Cotro dan Banyak Ngampar tubuhnya terluka saat peperangan di Pasir luhur maka putra mahkota jatuh kepada Banyak Blabur (sebagai suatu siasat untuk memenuhi janji kepada Susuk Tunggal dan Dewi Kentringmanik Mayangsunda). Keputusan ini menyebabkan ketiga anak dari istri Pamanah rasa Dewi Ambetkasih itu (Banyak Cotro dan Banyak Ngampar) serta Dewi Ratna Pamekas yang dihukum usir dari istana karena dinikahkan dengan arya Baribin Pandita putra, ketiganya meninggalkan Pajajaran dan kembali ke Pasir Luhur. Oleh mertuanya Kandadaha, Banyak Cotro diangkat menjadi Adipati Pasir luhur dan menurunkan adipati Pasir Luhur Selanjutnya. Banyak Cotro kemudian mengangkat Banyak Ngampar menjadi Adipati Dayeuhluhur sebagian wilayah Pasir luhur di Barat yang kelak menurunkan keturunan Dayeuhluhur dan menempatkan serta menerima Ratna Pamekas dan Arya Baribin yang kelak menurunkan Adipati Mrapat (Joko Kaiman) sebagai leluhur para adipati Banyumas. Dari ketiga kakak beradik inilah kelak menurunkan para leluhur orang-orang di wilayah Banyumas dan Dayeuhluhur serta Cilacap melalui perkawinan antar saudara diantara mereka. Rangkaian peristiwa ini diperkirakan terjadi tahun 1485-1490. 2. Arya Gagak Ngampar I–III Raden Banyak Ngampar alias Arya Gagak Ngampar alias Panembahan Haur yang menikahi Dewi Purwati atau Dewi Peringgi atau Panembahan Biang (adik Pule Bahas, Putri Boyongan dari Nusakambangan) dikarunia 2 anak yaitu anak lelaki bernama Candi Kuning dan anak Putri bernama Dewi Ratnasari atau Niken Rantamsari, dan mendirikan astana di Salangkuning Dayeuhluhur. Arya Gagak Ngampar berbesanan dengan Kakaknya Arya Kamandaka (Banyak Cotro) dengan menikahkan putrinya Niken Rantamsari dengan Banyak Wirata yang menjadi Adipati Pasir Luhur kelak menggantikan ayahnya Kamandaka. Candi Kuning Menggantikan Gagak Ngampar menjadi adipati Dayeuhluhur Dengan Nama Adipati Arya Gagak Ngampar II, dan berputra Candilaras (laki-laki) dan Dewi Niken Kurenta (perempuan). Candi Kuning kembali mempererat hubungan dengan pasirluhur karena berbesanan dengan Banyak Wirata dengan menikahkan putrinya Niken Kurenta dengan Banyak Roma yang akhirnya menjadi adipati Pasir luhur menggantikan ayahnya Banyak Wirata. Dari Dewi Niken Kurenta ini kelak menurunkan Banyak Kesumba (Senopati Mangkubumi I Kerajaan Demak) dan Banyak Eleng/Banyak Galeh (Senopati Mangkubumi II Kerajaan Demak) dan menurunkan Trah Banyumas. Setelah meninggal, Candi Kuning Digantikan anaknya Candilaras dengan gelar Arya Gagak Ngampar III. Dayeuhluhur Masa Islam AwalPada Pemerintahan Adipati Banyak Belanak di Pasirluhur, Demak mengutus Pangeran Makdum Wali untuk menundukan Pasir luhur agar masuk Islam dan tunduk di bawah kekuasaan Demak, Adipati Banyak Belanak dan Patih Banyak Geleh tunduk dan menjadi murid kinasih Syech Makdum Wali dan menjadi penyebar agama Islam di Jawa Timur sampai ke Malang,Madiun, Majapahit, keberhsilannya dianugerahi Raja Demak Sultan Trenggono dengan Sebutan Pangeran Senopati Mangukubumi I untuk Banyak Belanak. . Sementara itu di Dayeuhluhur pada masa Candilaras (Adipati Arya Gagak Ngampar III), karena Pasirluhur tunduk di bawah kekuasaan Demak, maka Dayeuhluhur pun berada dalam kekuasaan koalisai Demak dan Cirebon. Pada saat inilah terjadi peralihan keyakinan agama Hindu Budha menjadi Islam bagi para Penguasa maupun masyarakatnya. Candilaras berputra 3 yaitu Ki Hadeg Cisagu, Ki Hadeg Cibungur dan Dewi Santang. Pada saat Candilaras berusia 65 tahun pada tahun 1526 Dewi Santang dinikahkan dengan adipati Wirasaba yang beragama islam yaitu adipapati Surawin/adipati Suratin. Pada saat Banyak Belanak (Senopati Mangkubumi I Demak) bersama syech Makdum Wali ditugaskan menyebarkan Islam ke wilayah barat mampir di Sidareja Penyarang bertemu dengan saudaranya Ki Hadeg Cisagu beserta anaknya Kyai Arsagati dan menantunya Ki Ranggasena, lalu melanjutkan penyebaran islam ke Jawa Barat. Karena Wilayah Banten sudah diislamkan oleh Sultan Hasanudin maka tugas Banyak Belanak cukup sampai di daerah Citarum kemudian kembali ke Pasir luhur, sesampainya di Pasir Luhur di mana pemerintahan dijalankan oleh anaknya Adipati Banyak Tholle, Banyak Belanak menjadi sakit keras akibat kemurtadan Banyak Thole yang kembali memeluk agama Hindu Budha dan berniat melawan Demak, dalam keadaan sakit keras Banyak Belanak disangka sudah wafat sehingga dikubur hidup-hidup oleh Banyak Tholle, saat para santri berziarah, terdengar suara Banyak Belanak yang menyatakan bahwa ia dikubur hidup-hidup oleh anaknya. Mendengar berita tersebut Banyak Tholle menggali kubur ayahnya, namun ayahnya saat itu benar-benar sudah meninggal, merasa dipermainkan para santri disiksa dan dianiaya, para santri melapor ke Demak dan Pasukan Demak membumihanguskan Kadipaten Pasirluhur, Banyak Thole menjadi buron dan melarikan diri ke Desa Bocor Kebumen sampai meninggalnya. Kadipaten Pasirluhur diserahkan kepada Patih Wirakencana/Banyak Geleh dengan Gelar Pangeran Senopati Mangkubumi II yang menjadi murid kinasih Syech Makdum Wali dan pada saatnya dikebumikan dalam satu liang lahat di pesareyan astana pasir luhur Karanglewas. 3. Kerajaan Dayeuhluhur masa Galuh Pakuan Kawali Di akhir masa kepemimpinan Candilaras, Kerajaan Demak setelah Sultan Trenggono wafat th 1546, Demak mengalami kemunduran akibat perselisihan saudara, sehingga daerah bawahan Demak Cirebon banyak yang memberontak dan melakukan ekspansi, dalam hal ini Galuh-Kawali melepaskan diri dari Demak dan mengekspansi Dayeuhluhur sehingga kadipaten Dayeuhluhur dibubarkan dan wilayahnya sebagian besar masuk ke Galuh-Kawali. Anak-anak Candilaras yaitu Kihadeg Cisagu yang berpindah ke Penyarang Desa Kunci Sidareja menjadi tetua di daerah itu dan menjadi ulama penyebar agama islam memiliki putra Kyai Arsagati dan seorang putri, sedangkan ki hadeg Ciluhur berpindah ke Majenang menjadi tetua dan ulama berputra ki Ranggasena dan seorang putri. Kakak beradik Kihadeg Cisagu dan Ki hadeg Ciluhur menikahkan kedua putra putrinya secara silang. Kyai Arsagati menikahi putri perempuan Ki Hadeg Ciluhur dan Ki Ranggasena menikahi putri Ki hadeg Cisagu dan bermukim di Penyarang bersama mertuanya. Pada masa keruntuhan Demak dan berganti menjadi Pajang wilayah kekuasaannya hanya sampai Banyumas dan tidak sampai ke Dayeuhluhur. Pertempuran SalebuPada zaman pengembangan kekuasaan oleh Kesultanan Mataram di Tanah Jawa, Pada tahun 1595 Kerajaan Dayeuhluhur tidak luput dari serangan oleh Panembahan Senopati, pada waktu itu Kerajaan Dayeuhluhur dan sekutunya mengalami kekalahan telak pada Pertempuran Salebu, yang membuat istana Candi Kuning, Gunung Padang habis dibakar menjadi abu (Salebu=habis menjadi abu), dan akhirnya Kerajaan Dayeuhluhur turun statusnya menjadi sebuah Kadipaten taklukan dari Mataram, dengan adipati pertama adalah Adipati Wirapraja yang masih keturunan keraton Mataram. Konon dari kepahitan akibat kekalahan dalam pertempuran Salebu inilah berawal perasaan benci dan dendam orang-orang Dayeuhluhur dan anak cucunya terhadap pemerintahan yang bermental penjajah. Sehingga sampai saat ini banyak tempat di Dayeuhluhur yang tidak boleh dikunjungi pejabat pemerintah. Dan rahasia kekalahan pertempuran ini tersimpan rapat pada para juru kunci di petilasan-petilasan yang ada di Dayeuhluhur. Dayeuhluhur Masa jadi Bawahan Kerajaan MataramKetika Pajang runtuh dan berdiri kerajaan Mataram di bawah Panembahan Senopati, Mataram melakukan ekspansi sampai ke Jawa Barat dan meruntuhkan Galuh Kawali tahun 1595. 1. Kyai Ngabehi Arsagati Ketika Panembahan Senopati sampai di Penyarang (daerah Sidareja) Panembahan Senopati mengangkat Ranggasena menjadi Rangga di Penyarang dan Karena Panembahan Senopati terkesima oleh kanuragan dan kefasihan berbahasa Jawa dan Sunda dari Kyai Arsagati yang sudah berusia 71 tahun, maka Panembahan Senopati berkenan menghidupkan lagi Kadipaten Dayeuhluhur menjadi wilayah Mataram mancanegara kilen, namun wilayahnya mengecil menjadi 1/3 zaman Hindu Buddha, karena bagian Cilacap Timur didirikan Kadipaten Donan dan Kadipaten Jerulegi, Daerah Ayah masuk Kadipaten Panjer (Kebumen, sekarang) dan Daerah Maos Kroya masuk wilayah Kadipaten Roma (Gombong, sekarang) dan mengangkat Kyai Ngabehi Arsagati sebagai Adipati di Dayeuhluhur (Adipati ke 4 dari Banyak Ngampar) dan mendirikan astana di Karangbirai . Kyai Ngabehi Arsagati berputra 2 yaitu Kyai Ngabehi Raksagati dan Kyai Warga Jaya alias Kyai Ciptagati. Sareyan Kyai Ngabehi Arsagati berada di Karangbirai Dayeuhluhur. 2. Kyai Ngabehi Raksagati Kyai Ngabehi Raksagati menggantikan ayahnya menjadi Adipati Dayeuhluhur ke 5, berputra Kyai Ngabehi Raksapraja/Reksapraja/Arsapraja. Pada masa Raksagati inilah wilayah Jawa Barat telah banyak dikuasai oleh VOC, sehingga timbul pemberontakan para pendekar silat dari Jampang yang dipimpin pangeran Panjalu H.Alit Perwitasari. Catatan Dr.F.De Hans Belanda menyebutkan bahwa Perwitasari yang di Jawa dikenal dengan PRAWATA SARI melakukan pemberontakan dan bekali-kali memporakporandakan Batavia, ia dijadikan buron oleh VOC dan diperintahkan kepada seluruh Bupati di seluruh Priangan untuk menangkapnya dengan iming-iming hadiah. Perwitasari kemudian memindahkan pergerakannya ke Jawa Tengah dan dengan tipu muslihat VOC dapat menangkap di Kartasura dan dibunuh di Dayeuhluhur dan dimakamkan di palalangon dikenal sebagai makam pangeran Panjalu bersebelahan dengan makam Kyai Ngabehi Raksagati meskipun tahun meninggalnya Kyai Ngabehi Raksagati jauh lebih tua dari pangeran Panjalu H.Alit Perwitasari 12 Juli 1707. 3. Kyai Ngabehi Raksapraja Dalam Naskah berbahasa Prancis LOUIS CHARLES DAMAIS, L’EPIGRAPHE MUSULMANE DANS LE SUD EAST ASIATIQUE HAL.589 (ISLAMISASI ASIA TENGGARA) disebutkan: Pada tanggal 6 Rabiul Awwal tahun Wawu (jika dikonversikan ke tahun masehi kisaran tahun 1681) Kyai Ngabehi Raksapraja diangkat menjadi Adipati Dayeuhluhur oleh Sunan Kartasura (Sunan Amangkurat II Amangkurat Amral, yang memindahkan Mataram dari Kotagede ke Kartasura). Pengangkatannya bersamaan dengan pengangkatan pamannya Kyai Warga Jaya alias Kyai Ciptagati sebagai Baboon (Pelindung para pemimpin dan Kepala Desa) di wilayah Barat sampai Priangan. Babon melindungi keselamatan adipati dan akuwu dari bahaya serangan binatang buas (saat itu masih banyak binatang buas memangsa manusia). Kyai Ngabehi Raksapraja merupakan keturunan langsung darah laki-laki (garis bapak) dari Arya Gagak Ngampar yang menjadi adipati di Dayeuhluhur. Sedangkan Kyai Cipagati berputrakan Kyai Suradika. Kadipaten Dayeuhluhur Masa jadi Bawahan KartasuraBupati Dayeuhluhur Kyai Ngabehi Raksapraja mendapat anugerah selir Amangkurat II yang sedang hamil 5 bulan untuk diperistri dan tidak dicampuri sampai bayinya lahir. Setelah bayi lahir dan berumur 7 tahun diminta untuk magang pendidikan di Kraton Kartasura dan diberi nama Ngabehi WIRAPRAJA yang kemudian menggantikan ayah tirinya yang masih hidup untuk menjadi Bupati Dayeuhluhur mulai tahun 1698. Pada saat ini (th 1705) wilayah Dayeuhluhur dikurangi luasnya (dikurangi Distrik Madura) hal tersebut terjadi karena: Setelah Sunan Puger kembali ke Kartasura dengan bantuan VOC mengalahkan Amangkurat III dan bertahta dengan gelar Pakubuwono I, pada tanggal 5 Oktober 1705 diadakan perjanjian antara Kerajaan Mataram dan Kompeni di Kartasura, sebagai upah atas bantuannya menyelesaikan masalah perebutan kekuasaan di lingkungan Kerajaan Mataram, sebagian wilayah Pulau Jawa diserahkan VOC di mana Batas timur daerah kekuasaan VOC berpindah dari Ci Pamanukan (Krawang) ke Sungai Losari (Kabupaten Brebes) di utara dan Sungai Donan (Kabupaten Banyumas) di selatan melewati: Sungai Donan di Laut Selatan. Sepanjang sungai tersebut ke arah barat sampai Segara Anakan ke arah utara sampai muara Sungai Tsiborom (Cibereum). Sepanjang tepi timur dan utara dari rawa yang tidak dapat dilalui sampai Tsisatia (Cisatya) sekitar Desa Madura (sekarang nama desa di Kecamatan Wanareja), ke arah utara sebelah timur melalui Kaduomas dan Pegunungan Dailoer (Dayaluhur), Kabuyutan Aria sampai Gunung Sumana setelah Subang. Sebelah Tenggara Gunung Bongkok ke arah utara sampai Sungai Lassarij (Losari) Dalam Pasal II Perjanjian 5 Oktober 1705 disebutkan jika juridikasi dan kepemilikan tanah di sebelah barat dari gunung gunung dan sungai sungai tersebut diserahkan kepada Kompeni. Daerah Dayeuhluhur yang menjadi bagian jajahan Kompeni kemudian dibentuk menjadi Distrik Madura, Kabupaten Galuh Imbanegara, Karesidenan Cirebon dan menjelang pelaksanaan perjanjian tersebut, pada tanggal 6 April 1706 Kompeni memindahkan pos militernya dari Pamotan ke Madura (sekarang Cilacap Barat), yang dipimpin oleh Vaandrig Egbert Jansz. Pada waktu itu di Priangan Tenggara memang sedang berkecamuk gangguan keamanan Gerombolan Prawatasari Serangan Ke Galuh Pada periode ini, wilayah Priangan telah tunduk pada VOC sehingga membuat geram Prabu Pakubuwono II dan mengutus Bupati Banyumas (Yudanegara II) dan Bupati Dayeuhluhur (Ngabehi Wirapraja) untuk menyerang Priangan dan Cirebon Selatan. Sampai akhirnya di Ciancang terjadilah Tragedi Ciancang yang porak poranda dan banjir darah oleh serangan Banyumas dan Dayeuhluhur. Galuh akhirnya meminta bantuan VOC dan daerah underbow VOC untuk mengusir perusuh Banyumas tersebut dan pasukan Banyumas dan Dayeuhluhur dapat dikalahkan dan Ngabehi Wirapraja gugur di Ciancang tahun 1740 dan dimakamkan di pesareyan kulon dusun Cipancur Dayeuhluhur meninggalkan banyak anak-anak yang masih kecil yang diasuh bapak tirinya Rakspraja. Meskipun anaknya banyak catatan dalam silsilah kebanyakan hanya mampu mencatat 3sampai 4 anak, kecuali catatan dari Majenang dan Purwokerto yang menyebutkan dapat mencatat 5 anak-anak dari Ngabehi Wirapraja sbb: 1. Ngabehi Wiradika I 2. Rangga Wirasraya I 3. Mas Suradika (putri; istri Kyai Suradika alias Dewi Maskiah) 4. Mas Ajeng Wirosari (putri; istri RM Wirosari Banyumas kelak menurunkan Trah Bratadiningrat, bupati-bupati Banyumas)) 5. Mas Ajeng Cakramenggala (putrid) Sambil menunggu putra putrinya dewasa pemerintahan Kadipaten Dayeuhluhur dijalankan lagi oleh Ngabehi Reksa Praja 1740 s/d 1755. Ngabehi Raksapraja ini memang tokoh yang fenomenal, beliau berumur panjang dan sangat luwes. Saat meninggalnya dimakamkan di sareyan Kulon Cipancur Dayeuhluhur. Karena tahun 1742 terjadi pemberontakan Cina yang menghancurkan Keraton Kartasura, Pakubuwono II tahun 1745 memindahkan Keraton Kartasura ke Surakarta. Selanjutnya terjadi pemberontakan RM.Sudjadi (P.Mangkubumi) dikenal dengan Perang Jawa. Pakubuwono II menandatangani Perjanjian Penyerahan Kerajaan (Act of Cession) pada tanggal 11 Desember 1749 tentang penyerahan kedaulatan kepada Kompeni dan perlindungan semua putera Susuhunan. Pada tanggal 15 Desember 1749, Putera Mahkota yang baru berusia 16 tahun dinobatkan menjadi Susuhunan Pakubuwono III. Beliau menyadari jika pengangkatannya bukan karena keturunan, tetapi karena Kompeni menunjuknya. Sejak itu secara de jure Surakarta menjadi vassal Kompeni. Dengan demikian daerah termasuk Kabupaten Dayeuhluhur seluruhnya secara de jure di bawah kekuasaan Kompeni, akan tetapi karena Kompeni memerintah secara tidak langsung melalui Kerajaan Mataram, maka secara de facto perubahan kekuasaan itu tidak terasa. Setelah perang Jawa (perang Mangkubumi) berlangsung lama (1746-1755) Di Gianti, pada tanggal 13 Februari 1755 sesuai perjanjian 11 Desember 1749 (Acte van afstand en overgave van het Mataramsche rijk van Pakubuwono II), Kompeni menyerahkan separuh Kerajaan Mataram kepada Pangeran Mangkubumi dengan nama dan gelar Sultan Hamengkubuwono I, Sultan Yogyakarta. Palihan Nagari yaitu Kerajaan Mataram menjadi Kerajaan Surakarta dan Kerajaan Yogyakarta. Kerajaan Surakarta meliputi sebagian besar daerah Mancanegara Kulon dan setengah masing masing daerah Agung, sedangkan Kerajaan Yogyakarta sebaliknya. Dengan demikian akan timbul perselisihan Setelah Perjanjian Giyanti, secara de facto Kabupaten Dayeuhluhur menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Surakarta meskipun secara geografis terletak di sebelah barat Kerajaan Yogyakarta. Rajanya adalah Susuhunan Pakubuwono III beribu kota di Surakarta. Sehingga para pejabat mancanegara kilen termasuk Ngabehi Dayeuhluhur bila menghadap Raja Surakarta tiap tahun, berangkat sebelum Gerebeg Mulud dan pulang sesudah Grebeg Siyam, harus berkali kali melintasi perbatasan ke dua kerajaan. Kadipaten Dayeuhluhur Masa Penjajahan Belanda (Masa Surakarta)1. Ngabehi Wiradika I Pada tahun 1755 setelah dewasa dan cukup umur, anak pertama Wirapraja yaitu Ngabehi Wiradika I menjadi Bupati Dayeuhluhur dan menikah dengan putri dari Tegal namun tidak berputra alias Ngabehi Tutup/gaboeg. Tahun 1788 Wiradika I dituduh berbuat makar dan diasingkan ke Ponorogo. Karena ia tidak berputra maka kedudukan Bupati selanjutnya digantikan oleh kepononkannya (anak pertama dari Rangga Wirasraya I) dengan gelar Wiradika II 2. Ngabehi Wiradika II Kyai Ngabehi Wiradika II menjabat Bupati Dayeuhluhur selama 2 periode pada masa yang berbeda. Untuk periode I tahun 1788 s/d 1799, karena dianggap kurang cakap maka tahun 1799 beliau diperintahkan magang di Keraton Surakarta dengan nama Ngabehi Wirasentika, saat magang dinikahkan dengan putri dari Tumenggung Wiraguna II (Bupati Penumping Kraton Surakarta). Periode II: 1803-1820 (lihat dualisme kepemimpinan) 3. Raden Ngabehi DIPAWIKRAMA Saat Wiradika II magang, th 1799 diangkat Raden Ngabehi Dipawikrama menjadi Bupati Dayeuhluhur. Dipawikrama berasal dari Purbalingga (trah Arsantaka) beliau diangkat jadi Bupati Dayeuhluhur sebagai kompensasi atas pemecatan kakaknya Ngabehi Dipakusuma I sesama trah Arsantaka. Namun sayang Dipawikrama pun tidak sampai setahun menjabat, karena dituduh membunuh patihnya (Rangga Wirasraya II), Dipawikrama akhirnya dipecat dari jabatan Bupati Dayeuhluhur. 4. Raden Tumenggung WIRAGUNA Sebagai ganti Dipawikrama maka ditunjuk R.Tmg.Wiraguna (orang berbeda tapi nama yang sama dengan Bpt.Penumping), ia adalah kakak beda ibu dengan Bupati Banyumas Ngabehi Cakrawedana I. Adik putri dari R.Tmg.Wiraguna menikah dengan Tumenggung Wiraguna II (Bupati Penumping Kraton Surakarta). Pada masa R.Tmg.Wiraguna 1799-1812 Kabupaten Dayeuhluhur ibu kotanya dipindahkan ke Majenang (MENJADI Kabupaten Majenang) dan Dayeuhluhur menjadi berstatus desa biasa. 5. Raden Tumenggung .WIRANAGARA Sebagai ganti Dipawikrama yang meninggal 1812 maka ditunjuk anaknya R.Tmg.Wiranagara sampai meninggalnya tahun 1824, setelah itu Kabupaten Majenang dihapuskan (lihat dualisme kepemimpinan) Dualisme Kepemimpinan Setelah masa magang dianggap cukup dan karena perikatan perkawinana dengan putri Tumenggung Wiragauna II (yang juga menikah dengan adik Wiraguna Bupati Majenang), maka tahun 1803 Wiradika II (Wirasentika) kembali diangkat menjadi Bupati Dayeuhluhur di Majenang sehingga terjadi dualism kepemimpinan di mana Wiraguna sebagai Bupati Majenang dan Wiradika II sebagai Bupati Dayeuhluhur di mana keduanya beribu kota di Majenang. Wiradika II menjabat sampai tahun 1820 bersama Wiraguna dan Wiranagara. Tahun 1820 Wiradika II meninggal dan dikebumikan di pesareyan Gunung Purwa Dayeuhluhur. 6. Kyai Ngabehi WIRADIKA III (TUMENGGUNG PRAWIRANEGARA) Untuk menggantikan kedudukan ayahnya Wiradika II yang meninggal, ditunjuklah putranya yang ke 8 yaitu Wiradika III (putra dari putri Tmg.Wiraguna II) sebagai Bupati Dayeuhluhur dan menjadi 2 pemimpin bersama Wiranagara sampai tahun 1824. Ketika Wiranaga meninggal th 1824 Kabupaten Majenang dilebur dalam wilayah pemerintahan Kabupaten Dayeuhluhur dengan ibu kota tetap di Majenang dengan Bupatinya Wiradika III (sebagian orang menjadi menganggap sebagai kabupaten Majenang, di mana Wiradika III dianggap sbg Bupati Majenang). Tahun 1825-1830 terjadi Perang Diponegoro, yang dimulai pada tanggal 20 Juli 1825 bisa dikatakan berakhir pada tanggal 28 Maret 1830 sehari setelah Lebaran, dengan ditangkapnya Pangeran Diponegoro ketika tertipu dalam perundingan dengan Jendral de Kock di rumah Residen Kedu, Mr. Valck di Magelang.Perlawanan terakhir Pasukan Diponegoro terdapat di perbatasan daerah Dayaluhur dan Banyumas yang dipimpin oleh Demang Ajibarang Singadipa. Walaupun Kerajaan Surakarta tidak turut melawan, dengan alasan bahwa Pemerintah Belanda terpaksa terus menerus melindungi Kerajaan Surakarta dan di kemudian hari boleh jadi akan demikian pula. Pemerintah Belanda meminta ganti rugi bagi pengorbanannya. Kerajaan Surakarta merasa berat melepaskan daerah Mancanegara yang diminta Pemerintah Belanda, akan tetapi tidak mampu menolaknya. Bagelen hendak ditahan, tetapi komisi menjawab bahwa para bangsawan dan pejabat akan diberi ganti rugi. Susuhunan Pakubuwono VI merasa kesal, pada tanggal 5 Malam 6 Juni 1830 meninggalkan Istana Surakarta, tanpa memberitahu Residen, dengan maksud berziarah ke makam nenek moyangnya di Imogiri dan bersemedi, tetapi kemudian ditangkap Belanda di Gua Mancingan. Setelah Susuhunan Pakubuwono VII berkuasa, pada tanggal 22 Juni 1830, Pemerintah Hindia Belanda mengadakan perjanjian baru dengan Susuhunan Pakubuwono VII . Mancanegara diserahkan pada Pemerintah Hindia Belanda yang akan membayar sebesar f 204.000 / tahun sebagai ganti rugi dan Susuhunan akan diminta pendapat dalam hal pengangkatan para bupati. Dengan demikian sejak tanggal 22 Juni 1830 kekuasaan Kerajaan Surakarta tamat di daerah mancanegara termasuk Dayeuhluhur, Jaman Jawa diganti Jaman (penjajahan) Belanda. Adapun wilayah Dayaluhur saat itu, batas barat Karesidenan Cirebon, timur Tayem, utara Tagal dan selatan Sungai Cikawung, ibu kota Majenang. Tanah Dayaluhur merupakan sebagian daerah cikal bakal ex Kawedanan Majenang dan Sidareja. Pemerintahan Surakarta Tamat Pada tanggal 14 Oktober 1830 diusulkan agar Tanah Madura digabungkan dengan Dayaluhur dengan ibu kota Majenang yang jaraknya hanya 12 pal (sekitar 18 km) dan batas Dayaluhur agar dimekarkan ke arah barat sampai Sungai Cijulang, sehingga pemasaran komoditas export menemukan jalan keluar melalui sungai sungai tersebut daripada melalui Cirebon yang bergunung gunung dan berjarak 81 pal (sekitar 121,5 km). Atas usul Mr. Vitalis berdasar kepentingan ekonomis, maka batas barat Kabupaten Cilacap yang sekarang ini tidak lagi merupakan batas alamiah etnis seperti diutarakan ahli bahasa Mr. Kern tentang batas Kerajaan Mataram dan Kompeni berdasar perjanjian tahun 1705 di Kartasura. Oleh Karena itu sampai sekarang bagian barat Kabupaten Cilacap dihuni oleh penduduk berbahasa Sunda.Dalam Nota Pembagian Wilayah Baratlaut yang dilaporkan Asisten Residen Vitalis kemudian, daerah Banyumas Baratlaut dibagi menjadi 2 Afdeling yaitu Ajibarang dan Dayaluhur. Sebagai ilustrasi cacah jiwa daerah cikal bakal Kabupaten Cilacap pada tahun 1830, dikutipkan dari nota tersebut cacah jiwa Dayaluhur: Distrik Kampung Rumah Tangga Penduduk Majenang 48 739 3795 Madura 53 1324 6620 Pegadingan 31 431 2150 Tayem 102 1452 7260 Jambu 122 1357 6785 Jeruklegi 115 1595 7975 Nusakambangan 14 168 1284 Jumlah 485 7086 35869 Luas daerah Dayaluhur boleh dikatakan tidak mengalami perubahan selama pergantian kekuasaan Kerajaan Demak (1478-1546), Pajang (1546-1587), Mataram (1587-1755) dan Surakarta (1755-1830). Daerah Dayaluhur, sejak tahun 1816 ibu kotanya di Majenang, menurut Kontrolir Vitalis pada tahun 1830, di sebelah barat berbatasan dengan Karesidenan Cirebon, utara Karesidenan Tegal, timur Tanah Tayem, selatan Sungai Cikawung yaitu berbatasan dengan Babakan, Panjaran dan Pegadingan luasnya hanya 144 bau (1 bau = 7.000m2). Sesuai dengan surat keputusan Gubernur Jendral Mr. J. G. van den Bosch tanggal 18 Desember 1830 no. 1, maka Mr. P.H. van Lawick van Pabst, Komisaris Tanah Tanah Kerajaan yang diambil alih di Semarang pada tanggal 20 April 1830 menyusun batas batas Kabupaten Dayu Luhur sebagai berikut: a. Batas selatan: dari muara Sungai Serayu mengikuti batas selatan Karesidenan Banyumas, menelusuri pantai ke arah barat daya melalui desa Cilacap hingga muara Sungai Citandui. b. Batas barat: mengikuti sebagian batas barat Karesidenan Banyumas, dari muara Sungai Citandui ke hulu sampai muara Sungai Cijulang di selatan, ke hulu sampai kaki barat Gunung Bongkok. c. Batas utara: dari kaki barat Gunung Bongkok melalui puncaknya ke arah Gunung Suban, ke arah timur menuju Gunung Telaga di Pegunungan Kendeng Utara. d. Batas timur: dari Gunung Telaga Boga ke arah selatan melalui Gunung gunung Caun, Windu Negara, Puseran, Kotajaya dan Gunung Badok menuju ke kaki gunung terakhir pada tepi Sungai Serayu dan ke arah hilir sampai muara Sungai Serayu. Jadi pada waktu itu Kabupaten Dayu Luhur merupakan daerah cikal bakal Kabupaten Cilacap sebelah barat Sungai Serayu, sedangkan daerah cikal bakal sebelah timur Sungai Serayu (ex Kawedanan Kroya) masih termasuk Kabupaten Banyumas.(Amuttetz, J.E.Z., Kort Verslag der Rivier Serajoe in de Residentie Banjoemaas en het Terrein Telatjap 1831, Pekalongan, den 15 April 1831, ANRIJ dan Bijlagen van het Resolutie, Bundel Besluit den 22 Augustus 1831 no 1, ANRIJ) Pejabat Pejabat Eropa Afdeling Ajibarang: Kabupaten Dayu Luhur bersama Kabupaten Ajibarang merupakan satu Afdeling Ajibarang dengan ibu kota Ajibarang. Oleh karena itu Asisten residen Afdeling Ajibarang Mr. D. A. Varkevisser bertempat tinggal di Ajibarang. Jabatan onderkolektur yang dipangku pejabat pribumi termasuk formasi pejabat Eropa, mereka juga berdomisili di Ajibarang dan dijabat oleh Mas Yudadiwiria.StafAfdeling terdiri dari Klerk (pembantu jurutulis) Eropa dan pribumi, seorang Hupupas dan 6 orang Upas, seorang Hukanjeneman dan 4 orang Kajenemen. Pejabat pejabat pribumi Kabupaten Dayu Luhur: Oleh Komisaris, formasi jabatan kabupaten dinamakan Polisi Umum (Algemeene Policie), di Distrik dinamakan Polisi Distrik. Polisi Umum Dayu Luhur yang pertama adalah: a. Regent: Raden Tumenggung Prawiranegara gaji f 500 b. Patih: Mas Kramayuda gaji f 75 c. Kliwon: Mas Reksadikara gaji f 30 d. Mantri: Mas Kramasudira dan Mas Pertiwa gaji f 20 e. Jaksa: Jayamenggala gaji f 30 f. Penghulu: Tayep gaji f 20 g. Jurutulis regent f 15 h. 6 orang Jaga Karsa gaji f 6 Polisi Distrik Majenang: a. Wedana: Mas Reksadika gaji f 60 b. Mantri: Mas Singamenggala gaji f 20 c. Jurutulis gaji f 12 d. 5 orang Jaga Karsa gaji f 6 Polisi Distrik Dayu–Luhur: a. Wedana: Mas Wirakertika gaji f 60 b. Mantri: Mas Palwawijaya gaji f 20 c. Jurutulis gaji f 12 d. 6 orang Jaga Karsa gaji f 6 Polisi Distrik Pegadingan: a. Wedana: Mas Mertadika gaji f 60 b. Mantri: Mas Yuda Anggaranu dan Yudarana c. Jurutulis gaji f 12 d. 7 orang Jaga Karsa gaji f 6 Polisi Distrik Jeruklegi: a. Wedana: Mas Dipawangsa gaji f 60 b. Mantri: Mas Pancasela gaji f 20 c. Jurutulis gaji f 12 d. 5 orang Jaga Karsa gaji f 6 Sebab penduduk di Kabupaten Dayu Luhur jarang, maka gaji pegawai kabupaten tersebut lebih sedikit daripada gaji pegawai di kebupaten lain. Sebagai contoh perbandingan gaji pegawai Polisi Distrik Ayah (Adireja), cikal bakal ex Kawedanan Kroya yang pada waktu itu termasuk Kabupaten Banyumas: a. Wedana: Mas Ngabehi Kertapraja gaji f 80 b. Mantri: Mas Candradirana dan Yudasudira gaji f 30 c. Jurutulis gaji f 15 d. 4 orang Jaga Karsa gaji f 8 Batas batas 4 distrik dalam Kabupaten Dayu Luhur: a. Distrik Dayu Luhur: Dari puncak Gunung Suban, ke arah barat, baratdaya melalui Gunung Bongkok sampai Sungai Cijulang, ke hilir sampai bermuara di Sungai Citandui, ke hilir menuju tepi Rawa Buaya. Dari titik tersebut ke arah timur laut menuju Pegunungan Sesuru, ke arah utara menuju Sungai Cikawung, ke hilir menuju Sungai Cigegumi bermuara, ke arah utara menuju Gunung Cendana dan satu garis lurus menuju Sungai Cijalu, ke hilir menuju Kendeng sebelah utara (Gunung Sengan), ke arah barat menuju puncak Gunung Suban. b. Distrik Majenang: Sebelah barat batas timur Distrik Dayu Luhur menuju Sungai Cigegumi bermuara di Sungai Cikawung, ke arah timur dan tenggara menuju Sungai Cikondang bermuara ke hulu menuju mata air di Kendeng sebelah utara. Dari titik mata rantai pegunungan tersebut ke arah barat melalui puncak puncak utara Gunung-gunung Mruyung, Selokambang dan Geni, terus menuju puncak Gunung Sengan. c. Distrik Pegadingan: Sebelah timur, batas sebelah barat Kabupaten Ajibarang dan Distrik Jeruklegi. Sebelah barat sepanjang Sungai Citandui ke hulu menuju batas selatan Distrik Dayu Luhur. Sebelah utara, batas sebelah selatan Distrik Majenang, menuju Sungai Dikandang menuju mata air yang terletak di Kendeng sebelah utara, dari situ ke arah timur menuju Gunung Telagaboga. Sebelah selatan, Segara Anakan dan Laut Selatan. d. Distrik Jeruklegi: Dari muara Sungai Serayu menuju kaki Gunung Badak, dari sana menuju rantai gunung gunung Kutajaya, lebih jauh dari pegunungan ini melalui puncak puncak Gunung Prumpung, Blubuk dan Banjaran, dari kaki gunung ini menuju Sungai Ciaur, ke hilir sampai bermuara di Segara Anakan, dari tepi pantai ke arah selatan, lebih jauh ke arah tenggara menuju Desa Celacap, dari sana ke arah timur laut sepanjang pantai menuju muara Sungai Serayu.Pembentukan Kabupaten Dayu-Luhur pada Zaman Penjajahan Belanda sebetulnya merupakan pemekaran yang luar biasa dari Negeri Dayaluhur lama pada Zaman Jawa. Daerah yang semula hanya seluas 144 bau (1 bau = 7.000m2), sekarang mekar ke segala penjuru utara, dengan pemerasan damai dari wilayah Hindia Belanda yang lama, yaitu sebagian Distrik Madura, Kepatihan Imbanegara, Kabupaten Galuh, Karesidenan Cirebon, dan dari daerah ex Kerajaan Surakarta lainnya, seperti sebagian Kabupaten Banyumas Kasepuhan dan Kanoman, Pancang (Jeruklegi) dan Perdikan (Donan). Disamping itu, para pejabat baru Kabupaten Dayu-Luhur Afdeling Ajibarang adalah tetap para pejabat ex Negeri Dayu-Luhur Kerajaan Surakarta, oleh karena itu wajar apabila mereka secara tidak terduga semula merasa mendapatkan promosi dalam bidang kewenangan dan pendapatan, karena memang Negeri Dayu-Luhur sudah sejak abad XV berkuasa di daerah cikal bakal Kabupaten Cilacap sebelah barat Sungai Serayu. Pembubaran Kabupaten Dayeuhluhur oleh BelandaKarena dianggap membela Pangeran Diponegoro (ada yang menyebutkan karena tindakan kriminal) Tumenggung Prawiranegara Bupati Dayu Luhur dipecat dari kedudukannya dan kemudian dibuang ke Pulau Banda. Raden Wirjaatmadja dalam Babad Banyumas secara singkat hanya memberitakan jika Tumenggung Prawiranegara menderita sakit jiwa dan dibuang ke Padang. Dengan surat Asisten Residen Ajibarang pada tanggal 24 Oktober 1831 no 184, Bupati Ajibarang diberi kuasa Kabupaten Dayu-Luhur. Lowongan jabatan Bupati Dayu-Luhur ditiadakan. Oleh karena itu Kabupaten Dayu-Luhur yang baru 2 bulan dikukuhkan, merosot statusnya menjadi Kepatihan (Pattehschap) Dayu-Luhur Kabupaten Ajibarang, yang dipimpin oleh Mas Kramayuda. WilayahWilayah Kadipaten Dayeuhluhur yang berpusat di Istana Salangkuning pada masa jayanya jauh lebih luas dari Kecamatan Dayeuhluhur sekarang, meliputi wilayah Majenang di Candi Kuning Gunung Padang, Salebu yang di perintah oleh Pangeran Ki Hadeg Ciluhur dan Sidareja di daerah Candi Laras, Kunci yang diperintah oleh Ki Hadeg Cisagu kedua pangeran tersebut adalah Putra Mahkota dari Gagak Ngampar. Akhir Kerajaan dan KadipatenSetelah ditaklukan Mataram, Kerajaan Dayeuhluhur setatusnya diturunkan menjadi Kadipaten Dayeuhluhur,dengan adipati keturunan dari bangsawan Mataram. Kadipaten Dayeuhluhur dibubarkan oleh pemerintah Hindia Belanda tahun 1831 karena keterlibatan adipati terakhir Tumenggung Prawiranegara dalam Perang Jawa mendukung Pangeran Diponegoro. Akibatnya adalah Tumenggung Prawiranegara dibuang dan Kadipaten Dayeuhluhur diturunkan lagi statusnya jadi Afdeling Dayeuhluhur. Cikal Bakal Pembentukan Kabupaten Cilacap oleh BelandaGubernur Jendral Mr. J. G. van den Bosch mengunjungi Cilacap pada tanggal 9 Oktober 1832 dan mengubah status Kabupaten Dayu-Luhur menjadi Kepatihan (Patteschap) Dayu-Luhur. Dengan surat keputusan tanggal 15 Mei 1838 no 5, Pemerintah Hindia Belanda hanya menyetujui usul mutasi para pejabat Pattehschap Dayu-Luhur saja, sedangkan perubahan struktur tidak. Adapun usul yang dikukuhkan yaitu: 1. Mas Kramayuda (42 tahun), Patih Dayu-Luhur, karena kesalahannya, diberhentikan dengan hormat, mendapat pensiun f 30, dan diganti oleh Wedana Dayu-Luhur Mas Wirakertika dengan nama Mas Wiradika, dengan gaji f 150. Wedana Dayu-Luhur diganti oleh Kliwon Majenang Resadikara. Kliwon Majenang diganti oleh Tirtadirana, jurutulis Asisten Residen Purwokerto yang pernah menjadi jurutulis Distrik Jeruklegi (1831 1834) dan jurutulis Terusan Kesugihan Kuripan (1834 1835). 2. Mas Mertadikara, Wedana Pegadingan, karena tidak cakap, diganti oleh Mantri Pegadingan, Kyai Yudarana. Mantri Pegadingan diganti oleh Jaga Karsa Pegadingan Mertawijaya. Menurut Residen Banyumas, Mr. G. de Seriere, Mas Kramayuda adalah seorang pejabat yang sangat giat, ikut mendirikan bangunan di Cilacap, membangun terusan, hidup di rawa rawa. Oleh karena itu menjadi sakit, sehingga tidak mampu keluar dari rumahnya. Dapat dikatakan jika Mas Kramayuda adalah korban pejabat ketiga pembangunan terusan di Cilacap. Akibat usul Residen G. de Seriere memindahkan ibu kota Pattehschap Dayu-Luhur dari Majenang ke Cilacap (sekarang). Menurut Mangkoewinata, Mas Kramayuda lebih suka dipensiunkan atau diturunkan pangkatnya menjadi wedana, asalkan tidak ditempatkan di Cilacap, sebab saat itu Cilacap sangat angker. Demikian pula Mas Mertasura, Mantri Gudang Jatilawang, putera Bupati Purwokerto, Adipati Mertadireja II, yang oleh ayahnya dijagokan menjadi Patih Kepala Daerah juga menolak, beliau lebih suka tetap di tempat atau kalau dipindahkan, memilih lain Regentschap. Demikian pula pejabat pejabat lain, tidak ada yang mau dipromosikan ke Cilacap, kecuali Patih Banyumas, Raden Tjakradimeja, walaupun sudah mendapat jabatan tinggi, beliau mengingat ayahandanya Raden Tjakrawedana I, almarhum Bupati Banyumas Kasepuhan. keputusan Wakil Gubernur Jendral, Mr. Merkus tanggal 27 Juni 1841 no 10231).tanggal 27 Juni 1841 no 19 ditetapkan: Kepatihan (Pattehschap) Dayu-Luhur dipisahkan dari Kabupaten Purwokerto dan Distrik Adireja dipisahkan dari Kabupaten Banyumas, dan dijadikan satu Afdeling tersendiri yaitu Afdeling Cilacap dengan ibu kota Cilacap (sekarang) yang menjadi tempat kedudukan Kepala Pejabat Eropa, Asisten Residen dan Kepala Pejabat Pribumi Rangga atau Onder Regent dengan gaji f 150 per bulan, bukan Regent lazimnya. Dengan demikian Pemerintahan Pribumi dinamakan Onder Regentschap (dibawah Kabupaten). Adapun batas Distrik Adireja (Ayah) yang bersama Kepatihan Dayu-Luhur membentuk Onder-Regentschap Cilacap, menurut rencana sebelumnya Residen Banyumas, Mr. J.E. de Sturler tanggal 31 Maret 1831, yang dikukuhkan dengan Resolusi tanggal 22 Agustus 1831 no 1 adalah: Dari muara Sungai Serayu ke hulu menuju titik tengah ketinggian Gunung Prenteng. Dari sana menuju puncak, turun ke arah tenggara ke atas Pegunungan Kendeng dan terutama di atas Puncak Gunung Duwur, menuju Puncak Gunung Gumelem (Igir Melayat). Dari sana ke arah selatan mengikuti batas Karesidenan Banyumas dan Bagelen menuju laut. Dari sana sepanjang pantai menuju muara Sungai Serayu. Onder Regentschap Tjilatjap sebetulnya merupakan kesinambungan perubahan struktur kekuasaan pemerintahan daerah Negeri Dayu-Luhur yang pada saat terakhir bernama Pattehschap Dayu-Luhur, mengalami pemekaran wilayah dengan sebagian wilayah Distrik Adireja, perpindahan ibu kota dari Majenang ke Cilacap dan perubahan nama dari Dayu-Luhur ke Cilacap, menjadi Onder Regentschap Cilacap atau dibawah Kabupaten Cilacap sesuai ketetapan surat keputusan Wakil Gubernur Jendral, Mr. Merkus tanggal 27 Juni 1841 no 10231). Struktur jabatan Onder Regentschap Cilacap pada saat pengukuhan struktur administrasi adalah sebagai berikut: Pejabat Eropa Nama Gaji Assistant Resident J. Prins f 500 Pakhuis Mister J.A. Kempees f 300 Pejabat Pribumi Rangga Raden Tjakradimeja f 150 Kliwon Raden Surodiputro f 30 Jaksa Raden Sastradiwirya f 30 Penghulu Mas Tayib f 20 Wedana Majenang Raden Wiradikrama f 60 Mantri Majenang Mas Wangsakrama f 20 Wedana Dayuluhur Mas Reksadikara f 60 Mantri Dayuluhur Mas Purwawijaya f 20 Wedana Pegadingan Mas Yudanegara f 60 Mantri Pegadingan Mas Kramasudira f 30 Mantri Pegadingan Mas Mertadijaya f 20 Wedana Cilacap Mas Reksadika f 60 Mantri Cilacap Mas Tirtawijaya f 30 Mantri Cilacap Mas Wangsasemita f 20 Wedana Adireja Mas Reksadiwirya f 80 Mantri Adireja Mas Cadikrama f 30 Mantri Adireja Mas Mertadiwirya f 30 Mantan Pejabat Pribumi Raden Mertakusuma Mantan Ngabehi Ayah f 40 R.T. Prawiranegara Mantan Regent Dayu-Luhur f 50 Mas Mertadipura Mantan Wedana Majenang f 10 Mas Kramayuda MantanPatih Dayu-luhur f 30 surat keputusam Wakil Gubernur Jendral Mr. P. Merkus tanggal 20 Juli 1842 no 7 ditetapkan bahwa: 1. Semua pejabat yang sementara diangkat dengan surat keputusan Residen Banyumas, dikukuhkan Pemerintah Hindia Belanda, termasuk pengakuan Raden Tjakradimeja, Patih Afdeling Cilacap menjadi Onder Regent / Rangga Cilacap dengan nama Raden Rangga Tjakradimeja. 2. Kenaikan gaji Raden Rangga Tjakradimeja Cilacap disetujui. Dengan surat keputusan tersebut, kenaikan gaji Rangga pada prinsipnya disetujui. Oleh sebab jumlah kenaikan gaji tersebut belum disebut dalam surat keputusan, berarti Pemerintah Hindia Belanda masih membutuhkan argumentasi lagi yang lebih kuat dari Residen Banyumas. Jadi pada tanggal 8 September 1842, Residen Launy sekali lagi mengajukan permohonan usul. Beliau mengajukan kenaikan gaji Raden Rangga Tjakradimeja dari f 150 menjadi f 300. Perlu dicatat disini luas dan jumlah penduduk Onder Regentschap Cilacap: Nama Distrik Luas pal Jumlah Penduduk Cilacap 434 700 Adireja 280 24.000 Pegadingan 496 8.316 Majenang 196 1.154 Dayu-Luhur 144 2.652 Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 10 Februari 1845 hanya menyetujui pembentukan Distrik Kalireja, sedang penggabungan Distrik Majenang dan Dayu-Luhur supaya ditunda selama 3 bulan. Menurut penuturan Bupati Cilacap, R.M.A.A. Tjakrasiwaya pada Mangkoewinata, kakeknya Tumenggung Tjakradimeja, salah seorang puteranya yang lahir di Donan dinamakan Bagus Donan dan setelah dewasa bernama R.M. Panji Tjakrawiratmaja atau Panji Sepuh. Dalam daftar istri dan putera Raden Adipati Tjakrawedana, Bupati Cilacap yang disusun pada tahun 1873, Bagus Donan berusia 26 tahun, jadi semestinya beliau lahir pada tahun 1847, pada waktu ayahnya berdomisili di Donan. Dari Donan kemudian Raden Tumenggung Tjakradimeja pindah lagi ke Kampung Klapapitu (tujuh kelapa), tempat kedudukan Bupati Cilacap sampai sekarang ini. Apabila kita melihat angka di Pendopo Cilacap ditatah abadikan 1775 tanpa embel embel apapun, tarikh angka tersebut menunjukkan tahun Jawa yaitu 1775 Dal bertepatan dengan kalender Masehi antara 20 Desember 1846 dan 1 Desember 1847, sebab Bagus Donan lahir di Donan tahun 1847, maka minimal pembangunan Pendopo Kabupaten Cilacap didirikan tahun 1847 sebagai peringatan pembentukan Kabupaten Cilacap. Angka 1775 tersebut yang pasti bukan tahun Masehi sebab laporan laporan orang asing yang pernah meninjau Tlatjap, seperti Horsfield (1812) dan Ammutetz (1831) hanya melihat puing puing sisa pembajakan tahun 1806. Jadi kemungkinan besar Pendopo Kabupaten Cilacap sekarang mulai dibangun hari Senin Paing 21 Sapar 1774 Dal. Ceritanya setelah Bagus Donan lahir di Donan, kemungkinan Raden Tumenggung Tjakradimeja pindah ke Kampung Klapapitu, menempati rumah yang kemungkinan besar dibangun Senin Paing bertepatan dengan Kalender Masehi 8 Februari 1847 atau Rumah Kabupaten Cilacap sekarang Akhirnya Kabupaten Cilacap terbentuk pada masa Residen Banyumas ke 9, Mr. van den Moore. Pengajuan usul Pemerintah Hindia Belanda tanggal 2 Oktober 1855 yang ditandatangani Gubernur Jendral Mr. Duymaer van Twist, pada Menteri Kolonial di Kerajaan Belanda, mendapat persetujuan Raja Belanda dalam Kabinetsrescript van 29 Desember 1855 no 86, dan dengan Surat Rahasia Menteri Kolonial tanggal 5 Januari 1856 LaA no 7/A disampaikan pada Gubernur Jendral. Usul pembentukan Kabupaten Cilacap menurut Menteri Kolonial sebetulnya bermakna dua, pertama adalah permohonan persetujuan pembentukan Kabupaten Cilacap dan organisasi pejabat pribumi, sedangkan yang kedua adalah pengeluaran anggaran biaya lebih dari f 5,220 per tahun, yang keduanya memerlukan persetujuan Raja Belanda. Setelah menerima Surat Rahasia Menteri Kolonial, Pemerintah Hindia Belanda dengan surat keputusan Gubernur Jendral tanggal 21 Maret 1856 no 21 menetapkan: 1. Onder Regentschap Cilacap ditingkatkan statusnya menjadi Regentschap (Kabupaten) Cilacap. 2. Pemberhentian dan pengangkatan para pejabat yang telah ditetapkan yaitu: Staatsblad yang ditemukan saat pengesahan Cilacap berbunyi sebagai berikut: Staatsblad van Nederlandsch Indi No. 11 Verkrijgbaarstelling van zegels te Tjilatjap Besluit van den Gouverneur Generaal van Nederlandsch Indi, van den zygstn Februarij 1856 no 3. Gelegen, enz. De Raad van Nederlandsch Indi gehoord is goedgevonden en verstaan: Te Tjilatjap (residentie Banjoemas) worden zegels verkrijgbaar gesteld: De assitent residentie van de afdeeling Tjilatjap wordt met het debiet derzelve belast, onder genot der naar aan verbndene voordeelen en is ter zake verantwoordelijk aan de algemeene re kenkamen Afschrift, enz. Ter ordonantie van de Gouverneur Generaal van Nederlandsch Indi: De Algemeene Sekretaris, A.Prins Uitgegeven den derden Maart 1856 De Algemeene Sekretaris, A.Prins Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 6 Juli 1856 no 17 tetap memutuskan pengangkatan: 1. Raden Tumenggung Tjakrawedana II yang sekarang menjadi Onder Regent Cilacap menjadi Bupati Cilacap dengan gaji f 800 tiap bulan dan segala pendapatan tambahannya. 2. Raden Sosrorejo yang sekarang menjadi Patih Purwokerto menjadi Patih Cilacap dengan gaji f 100 tiap bulan dan segala pendapatan ambahannya. Dengan pengangkatan jabatan Bupati dan Patih di Cilacap, maka berakhir proses pembentukan Kabupaten Cilacap dari Desa Cilacap, menjadi Distrik Jeruklegi, menjadi Kepatihan (Pattehschap) Dayu-Luhur tahun 1839 dan menjadi Kabupaten Cilacap (Regentschap van Tjilatjap) tahun 1856 . Keadaan Cilacap yang tidak sehat dan angker menyebabkan banyak pejabat waktu itu yang wafat pada saat masih memangku jabatan. Para pejabat pribumi yang wafat saat masih menduduki jabatannya adalah: 1. Patih Cilacap I, Raden Sosrorejo wafat pada tanggal 3 April 1858 2. Wedana Cilacap, Mas Arjopuro wafat pada bulan Maret 1870 3. Bupati Cilacap I, Raden Adipati Tjakrawedana II wafat pada tanggal 1 Januari 1873 saat pesta tahun baru di rumah Rasiden Mr. C. de Waal yang dimakamkan di Pesarean Karangsuci, kota Cilacap sekarang. 4. Bupati Cilacap II, Raden Tumenggung Tjakrawedana III wafat pada tanggal 9 Desember 1875. 5. Bupati Cilacap III, Raden Tumenggung Tjakrawedana IV wafat pada tanggal 6 November 1881. Penggantinya adalah adik beliau yang tetap menggunakan nama asli, Raden Tumenggung Tjakrawerdaya. Sisa-sisa kerajaanSelain kuburan raja-raja dan Adipati, Hampir tidak ada sisa-sisa bangunan yang ada untuk dilihat sekarang, bahkan bekas Istana Salangkuning sekarang telah menjadi perkebunan karet rakyat, hanya komplek pekuburan Petilasan Keramat Sabakingking, dan daerah pesawahan Lumba, Cibaganjing yang dahulu dibuat zaman Kadipaten Dayeuhluhur. Nama-nama raja dan adipati Kadipaten Dayeuhluhur seperti Gagak Ngampar, Arsagati, Raksagati, Wirapraja, Wiradika, Prawiranegara, dan lainnya sekarang menjadi nama-nama jalan utama di kota Kecamatan Dayeuhluhur. . Referensi
|