Jalur trem lintas Karawang adalah jalur trem yang pernah melayani Wilayah Karawang Raya, memiliki jalur cabang menuju Rengasdengklok dari Karawang serta Cilamaya dari Cikampek. Saat ini jalur trem ini termasuk dalam Wilayah Aset I Jakarta. Terdapat tiga segmentasi lintas yang terdapat dalam jaringan trem lintas Karawang ini, yakni Karawang–Cikampek, Karawang–Rengasdengklok, dan Cikampek–Cilamaya
Sejarah
Berdasarkan buku De Stoomtractie op Java en Sumatra karya J.J.G. Oegema pada tahun 1982, jalur ini dibangun pada tahun 1911 oleh Staatsspoorwegen (SS) dengan lebar sepur 600 mm.[1] Segmen-segmen ini kemudian dibagi menjadi beberapa bagian, di antaranya:[2]:117
Cikampek–Cilamaya, dibuka 1 Juli 1909
Cikampek–Wadas, dibuka 15 Juli 1912
Karawang–Rengasdengklok, dibuka 15 Juni 1919
Karawang–Wadas, dibuka 9 Februari 1920
Pada zaman kolonial, Karawang memiliki peran sebagai lumbung padi terbesar di Jawa bagian barat. Selain menyediakan infrastruktur kereta api, juga menyediakan infrastruktur irigasi, yakni Bendung Walahar dan Bendung Leuweung Seureuh.[3]Rengasdengklok, salah satu distriknya, menjadi daerah dengan penggilingan padi terbanyak dengan mencatatkan 30 penggilingan. Meskipun kereta api di jalur utama sudah mendukung fungsi logistik, wilayah pelosok Kabupaten Karawang masih belum dijangkau, sehingga SS memilih untuk membangun trem dengan sepur 600 mm (1 ft 11+5⁄8 in) karena lebih murah.[4]
Trem yang dijalankan di lintas ini terdiri dari sebuah lokomotif uap yang menarik dua wagon (dapat berupa kereta atau gerbong). Wagon (baik kereta maupun gerbong), memiliki dimensi yang lebih kecil dibandingkan dengan kereta api untuk lintas utama/1.067 mm (3 ft 6 in). Kapasitas penumpangnya juga tidak terlalu banyak, dan mampu mengangkut penumpang maupun hasil panen. Rel yang digunakan menggunakan bantalan kayu, dan hanya dapat berjalan hingga maksimum 20 kilometer per jam (12 mph); bahkan ada masyarakat sekitar jalur yang mengatakan bahwa trem Karawang hanya secepat laju sepeda. Sistem tiket yang masih terpusat pada kondektur menyebabkan banyak penumpang gelap berkeliaran sepanjang perjalanan.[5]
Menurut versi dokumen lintas cabang yang masih aktif dan tidak aktif yang diterbitkan oleh KAI, jalur trem ini dinonaktifkan secara bertahap: Pada 2 September 1981, jalur Karawang–Rengasdengklok dan Karawang–Wadas resmi ditutup, dan pada 1 Januari 1984, jalur Cikampek–Wadas dan Cikampek–Cilamaya ditutup.[6] Faktor yang berkontribusi menyebabkan jalur ini ditutup adalah karena banyak penumpang yang tidak membayar tiket. Akibatnya, PJKA mengalami kerugian dan bocor pendapatan, yang membuat PJKA tak mampu menghidupi jalur cabang dan jalur sekunder, sehingga perbaikan yang seharusnya dialokasikan untuk sarana-prasarana lintas cabang dialihkan untuk perbaikan sarana-prasarana di jalur utama. Selain itu, kecepatan kereta api yang melambat akibat tak kunjung diperbaikinya prasarana yang ada membuat kereta api menjadi kalah bersaing dengan kendaraan pribadi maupun angkutan jalan raya.[7]
Lokomotif yang menjadi sarana pendukung operasi trem Karawang adalah TC10 dan TD10. Terdapat 3 lokomotif TC10 yang tersisa, yakni TC1008 sebagai monumen di Stasiun Bandung, TC1011 di Museum TransportasiTMII, dan TC1015 yang dipajang di dalam Balai Yasa Manggarai. Satu unit TD10 (TD1002) menjadi pajangan statis di depan Kantor Pusat KAI.[4]
^Oegema, J.J.G. (1982). De Stoomtractie op Java en Sumatra. Deventer: Kluwer Technische Boeken B.V. ISBN90-201-1520-0.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Subdirektorat Jalan Rel dan Jembatan (2004). Buku Jarak Antarstasiun dan Perhentian. Bandung: PT Kereta Api (Persero).Parameter |link= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Perusahaan Umum Kereta Api (1992). Ikhtisar Lintas Jawa.