Dalam sejarahnya, direncanankan pembangunan jalur kereta api dari Rancaekek–Tanjungsari–Sumedang yang bertujuan untuk menjangkau perkebunan di daerah Jatinangor, serta mendukung pertahanan militer di wilayah Sumedang. Dimulailah pengerjakan segmen Rancaekek–Tanjungsari pada tahun 1917 yang diresmikan pada tanggal 13 Februari1921.[3] Akan tetapi jalur kereta api segmen Tanjungsari–Sumedang gagal dibangun sebagai akibat dari Depresi Besar dan kondisi kas negara Hindia-Belanda yang terpuruk dalam Perang Dunia I.[4]
Jalurnya sendiri dinonaktifkan pada tahun 1942 karena dibongkar oleh pekerja romusa Jepang.[5] Walaupun demikian sebagian dari jejak-jejak jalur tersebut masih ada, seperti Jembatan Cincin Cikuda, Viaduk Jatinangor, dan Stasiun Tanjungsari. Stasiun yang tersisa hanyalah Stasiun Tanjungsari yang kini diubah menjadi kantor sekretariat Persatuan Purnawirawan ABRI Tanjungsari.[6]
Jembatan Cikuda merupakan salah satu tengaran peninggalan sejarah yang terkenal di Jatinangor. Saat ini, masyarakat memakai jembatan kereta api berusia seabad lebih ini sebagai alat penyeberangan dan menyebutnya dengan nama Jembatan Cincin. Persoalan biaya membuat SS meminimalkan anggaran saat itu, termasuk membuat keputusan untuk menggunakan beton dalam pembangunan jembatan-jembatan. Penggunaan beton dalam membangun jembatan relatif lebih murah dibanding penggunaan bahan besi baja yang harganya cukup tinggi karena peperangan.[7]
Dari sisi reaktivasi, jalur ini sebenarnya sangat strategis karena berdekatan dengan kawasan pendidikan berupa beberapa perguruan tinggi seperti ITB, Unpad, IPDN, serta IKOPIN, dan jalan akses menuju Bandar Udara Internasional Kertajati.[10]
^Subdirektorat Jalan Rel dan Jembatan (2004). Buku Jarak Antarstasiun dan Perhentian. Bandung: PT Kereta Api (Persero).Parameter |link= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Perusahaan Umum Kereta Api (1992). Ikhtisar Lintas Jawa.