Sebagian dari jalur tersebut (hanya segmen Muaro Kalaban–Muaro), dioperasikan oleh Wilayah Aset Divre II Sumatera Barat. Untuk segmen kelanjutannya masih dalam proses penggodokan untuk dibangun lagi sebagai bagian dari megaproyek jalur kereta api Trans-Sumatra.
Jalan kereta api dari Muaro ke Pekanbaru di provinsi Riau dibangun pekerja paksa antara bulan September 1943 sampai dengan 15 Agustus 1945. Jalur ini dikerjakan oleh rōmusha dan tawanan perang. Menurut laporan Palang Merah Internasional, sekitar 80.000 dari 102.300 orang rōmusha yang didatangkan dari Jawa meninggal dan sekitar 700 orang tawanan perangEropa meninggal.
Latar belakang
Rencana pembangunan jalur kereta api antara Muaro dan Pekanbaru sudah dimulai sejak awal abad ke-20, tetapi karena berbagai hal pemerintah pusat di Belanda belum tertarik untuk menindaklanjuti rencana ini. Pada tahun 1920, Staatsspoorwegen melanjutkan kembali penjajakan yang telah dilakukan sebelumnya, SS menugaskan Ir. W.H. de Grave dan Ir. W.J.M. Nivel untuk mengkaji serta meneliti kemungkinan dibangunnya rute terbaik jalur kereta api ke pantai timur Sumatra. Dia menuliskan laporan penelitian dan pedoman teknis pembangunan jalur ini dalam dokumen Staatsspoorwegen No. 19 tahun 1927.[3]
Akhirnya rencana pembangunan jalur kereta api ini ditunda setelah mempertimbangkan bahwa eksploitasi jalur kereta api ke arah Pekanbaru yang sebagian besar hanya mengandalkan batu bara maka menurut perhitungan, biaya pembangunan tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh dari eksploitasi. Selain itu, medan yang dilalui cukup berat dan banyaknya sarang nyamuk malaria yang dapat membuat biaya pembangunan membengkak.
Namun pada saat masa pendudukan Jepang, jalur Muaro – Pakanbaru menjadi prioritas utama karena kebutuhan energi batu bara untuk perang yang amat mendesak. Lebih dari itu, Jepang memiliki sumber daya manusia yang banyak dan murah, yaitu rōmusha dan tawanan perang.
Konstruksi
Pada bulan April 1943, rombongan rōmusha dari Pulau Jawa tiba di Pekanbaru. Mereka bertugas membangun emplasemen di Pekanbaru untuk mempermudah pembangunan jalur kereta api menuju pedalaman.[4]
Jepang memimpin pembangunan rel kereta sejauh 220 km dari Pekanbaru sampai Selat Malaka menggunakan rōmusha dan tahanan perang. Pembangunan ini dilakukan selama 15 bulan yang melalui pegunungan, rawa-rawa, dan sungai-sungai yang berarus deras.[5]
Sebanyak 6.500 tahanan perang Belanda (kebanyakan Indo-Eropa) dan Britania Raya ditambah lebih dari 100.000 rōmusha Indonesia (kebanyakan suku Jawa) dikerahkan oleh militer Jepang. Saat proyek ini rampung bulan Agustus 1945, hampir sepertiga tahanan perang Eropa dan lebih dari separuh kuli Indonesia telah meninggal dunia.[3]
Rel kereta ini bertujuan sebagai media pengangkutan batu bara dan tentara dari Pekanbaru ke rel kereta api lain di Muaro di barat pulau Sumatra. Pembangunan rel selesai pada 15 Agustus 1945. Rel ini hanya sekali digunakan untuk membawa tahanan perang keluar dari wilayah tersebut, lalu dibiarkan tertutup hutan.[3][6]
Jepang juga mengambil kendaraan rel dan pegawai dari DSM. Ada 3 lokomotif DSM yang diambil. Dua di antaranya adalah lokomotif 1B1 buatan Hanomag.
Pembangunan jalan rel dibangun secara asal-asalan karena masing-masing tentara Jepang dan rōmusha tidak mengerti bagaimana cara membangun jalan rel yang baik. Bantalan rel dibuat dari kayu apa saja yang ada di hutan, sehingga bantalan-bantalan tersebut pecah saat rel ditancapkan pada kayu tersebut.
Apabila jalan rel melintasi rawa, rawa tersebut hanya diuruk ala kadarnya tanpa dipadatkan, sehingga tanah ini sangat rawan ambles apabila dilewati Kereta Api.
Jembatan rel yang dibangun pun dibuat seadanya sehingga konstruksi jembatan amat rapuh dan bisa saja ambruk sewaktu-waktu.
Di daerah Logas, menurut hasil penelitian Ir. W.H. de Grave seharusnya dibangun terowongan menembus Bukit Barisan. Tetapi tentara Jepang tidak mengindahkan pendapat para Insinyur SS dan sebaliknya membuat jalur memutar di samping jurang dan membuat talud yang konstruksinya amat buruk. Beberapa saat sebelum Jepang menyerah kereta yang ditumpangi para romusa anjlok di tempat ini dan jatuh ke jurang.[3]
Tercatat pasca selesainya segmen Muaro–Pekanbaru dibangun, pernah setidaknya ada beberapa kali perjalanan kereta api yakni:
Antara tanggal 24 dan 30 Agustus 1945, para tahanan perang di sepanjang jalur ini dievakuasi dengan sebuah kereta menuju Pekanbaru yang selanjutnya diangkut menuju Singapura guna menjalankan perawatan medis. Setelah Jepang menyerah, seorang tentara Jepang bernama Lance Kopral Ito mengemudikan sebuah kereta yang mengangkut tahanan perang warga Belanda dari Muaro menuju Pekanbaru akan tetapi karena kualitas jalur yang buruk, kereta ini pun anjlok. Proses evaluasi tahanan perang ini selesai pada 5 November 1945.[3]
Memasuki awal tahun 1946, seorang insinyur Jepang yang ikut dalam pembangunan jalur ini menggunakan sebuah kereta dari Muaro menuju Pekanbaru yang selanjutnya menunggu sebuah transportasi menuju ke Jepang, kereta tersebut hanya mengangkut dirinya sendiri beserta peralatan pembangunan jalur kereta api. Pada 8 April 1946, sebuah kapal berlabuh di Sungai Siak dan membawa pergi sang insinyur.[3]
Setelah bulan April 1946 segmen Muaro – Pekanbaru tidak pernah sama sekali digunakan kembali dan meninggalkan jalur rel yang terbengkalai beserta beberapa lokomotif uap yang tertinggal di sepanjang jalur.
Kesaksian
George Duffy, satu dari 15 tentara Amerika Serikat sekaligus penyintas MS American Leader yang tenggelam, menceritakan kehidupan dan kematian tahanan perang di Memory Archive; malaria, disentri, pelagra, dan malagizi/beri-beri adalah penyakit utama yang diakibatkan oleh kerja berlebihan dan perlakuan tak layak. Katanya, "harapan hidup rata-rata 700 tahanan perang yang tewas dalam proyek ini adalah 37 tahun 3 bulan."[7]
Tugu Rel Kereta Api Sumatra (Sumatra Railway Memorial) dibuka pada Hari Kemenangan Atas Jepang tahun 2001 di National Memorial Arboretum di Alrewas, dekat Lichfield, Staffordshire, Inggris. Tugu ini memperingati kurang lebih 5.000 tahanan perang dan 30.000 pekerja lokal yang dipaksa membangun proyek rel kereta api Sumatra sejauh 140 mil. Tugu ini terletak dekat Far East Prisoners of War Memorial Building.[6] Pembukaan tugu tersebut dihadiri oleh mantan tahanan perang, duta besar Jepang untuk Britania Raya (Sadayuki Hayashi), dan meliputi peletakan batu perdamaian dan penanaman pohon sebagai simbol perdamaian.[6]
Hingga kini masih dapat dijumpai beberapa peninggalan yang membuktikan bahwasanya jalur ini pernah ada di antaranya:
Dua batang rel milik BOS dan JSS yang melintang di atas Sungai Sago, Jalan Juanda, Kota Pekanbaru.
Potongan ketel lokomotif uap (kemungkinan B21) di Jalan Tanjung Karang No. 55, RT 02 RW 01, Kelurahan Pesisir, Kecamatan Lima Puluh, Kota Pekanbaru, yang tepatnya berada di belakang halaman rumah warga.[9]
Dua belas batang rel setinggi 1 meter milik SSS di depan Kantor Telkom, Jalan Hang Tuah, Kota Pekanbaru.
Makam Pahlawan kerja yang merupakan kompleks makam rōmusha pembangunan jalur kereta api Pekanbaru – Muaro. Di dalam kompleks tersebut, terdapat sebuah lokomotif uap tipe C33 22. Lokasinya berada di Jalan Kaharuddin Nasution, Kecamatan Bukit Raya, Kota Pekanbaru.
Bekas jalur yang kini menjadi jalan raya di Pekanbaru, yaitu Jalan Lokomotif, Jalan Letjend. S. Parman (Jalan Beringin), Jalan Pinang, Jalan Kereta Api, Jalan Pahlawan Kerja.
^Reitsma, S.A. (1925). Gedenkboek der staatsspoor- en tramwegen in Nederlandsch- Indië 1875-1925. Landsdrukkerij. hlm. 50.
^Bijlagen van der Verslag van de handelingen der Staten-Generaal. Den Haag: Staatsdrukkerij- en Uitgeverijbedrijf. 1925–1928.Pemeliharaan CS1: Format tanggal (link)
^Subdirektorat Jalan Rel dan Jembatan (2004). Buku Jarak Antarstasiun dan Perhentian. Bandung: PT Kereta Api (Persero).Parameter |link= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Perusahaan Umum Kereta Api (1992). Ikhtisar Lintas Jawa.
"Drama Jalur Maut Pakanbaroe Spoorweg". Majalah KA (87). 2013.
Hovinga, Henk (2013). Op dood spoor: het drama van Pakanbaroe Spoorweg 1943–1945. Uitgeverij van Wijnen.
Abdullah, Syafei (2002). Tragedi Pembangunan Rel Kereta Api Muarasijunjung - Pekanbaru 1943-1945. Pekanbaru: UNRI Press. ISBN979-8692-89-6.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)