Invasi Korea oleh Mongol

Invasi Mongol ke Korea
Tanggal1231-1273
LokasiSemenanjung Korea
Hasil Kapitulasi Dinasti Goryeo
Pihak terlibat
Dinasti Goryeo Korea Kekaisaran Mongol
Tokoh dan pemimpin
Choe U
Park Seo
Kim Yun-hu
Bae Jungson
Kim Tong-jeong
Ögedei Khan
Mongke Khan
Salietai
Jalairtai

Invasi Mongol ke Korea (1231 – 1273) adalah seri dari serangan Kekaisaran Mongol terhadap Dinasti Goryeo yang setelah itu menyebabkan kapitulasi korea dan dilanjutkan dengan Invasi Mongol ke Jepang. Terjadi 6 kali invasi besar yang mengakibatkan kerugian material dan jiwa yang cukup besar terhadap kehidupan rakyat Goryeo. Selama 80 tahun Goryeo menjadi negeri jajahan dan pembayar upeti Dinasti Yuan.

Invasi awal

Raja Gojong (bertahta 1213 – 1259) adalah raja Goryeo ke-23 saat tahun 1225, Kekaisaran Mongol meminta Goryeo menyerahkan upeti, namun Goryeo menolak dan utusan Mongol Chu-ku-yu terbunuh.

Akibat peristiwa itu, pada tahun 1231, Ögedei Khan memimpin invasi ke Korea dan pasukan mereka mencapai sejauh Chungju di selatan.

Pada tahun 1232, keluarga istana Goryeo pindah dari Songdo ke pulau Ganghwa secara diam-diam untuk berlindung. Tempat itu diperketat dengan konstruksi benteng-benteng untuk mengantisipasi ancaman Mongol. Pemimpin pasukan Mongol memprotes kepindahan itu dan melancarkan invasi yang kedua ke Goryeo. Walau mereka mencapai bagian selatan semenanjung, mereka tetap tidak bisa merebut Ganghwa dan bahkan dikalahkan di Gwangju. Di Yongin perlawanan rakyat cukup kuat. Seorang jenderal pasukan Mongol, Salietai, tewas terbunuh oleh biksu Kim Yun-hu. Akibat peristiwa itu pasukan Mongol menarik diri untuk sementara.

Invasi ketiga

Pada tahun 1235, tentara Mongol menginvasi wilayah Jeolla dan Gyeongsang. Militer dan rakyat Goryeo cukup berhasil dalam memenangkan beberapa pertempuran, namun tidak mampu menahan gelombang-gelombang serangan. Pada tahun 1236, Raja Gojong memerintahkan pembuatan kembali Tripitaka Koreana yang musnah akibat invasi tahun 1232. Proses penciptaan kembali memakan waktu 15 tahun untuk menghasilkan lebih dari 81 ribu buah blok-blok cetak dari kayu.

Pada tahun 1238, pihak Goryeo melunak dan meminta Mongol agar berdamai. Pihak Mongol setuju dan mensyaratkan agar Goryeo mengirimkan salah seorang anggota keluarga kerajaan sebagai sandera. Goryeo mengirimkan seorang yang tidak ada hubungan darah dengan kerajaan. Merasa dipermainkan, pihak Mongol meminta syarat lebih banyak untuk berdamai antara lain perairan semenanjung Korea harus dikosongkan dari aktivitas kapal, lalu meminta pihak kerajaan untuk kembali ke istana di Songdo, pengendalian birokrat anti Mongol dan lagi, anggota keluarga kerajaan sebagai sandera. Goryeo merespon dengan mengirim seorang putri dari kerabat jauh dan 10 orang anak bangsawan dan menolak syarat-syarat lainnya.

Invasi keempat dan kelima

Pada tahun 1247, tentara Mongol memulai penyerangan keempat melawan Goryeo, dan kembali meminta pihak penguasanya kembali ke Songdo dan seorang anggota keluarga sebagai sandera. Tapi, dengan kematian Guyuk Khan pada tahun 1248, tentara Mongol kembali menarik serangannya.

Tahun 1251 dengan diangkatnya Mongke Khan, tentara Mongol kembali meminta syarat yang terdahulu. Goryeo menolak mentah-mentah sehingga pada tahun 1253, tentara Mongol melakukan penyerbuan besar. Akhirnya Raja Gojong kembali ke Songdo dan mengirimkan salah seorang putranya, Pangeran Angyeonggong (安慶公) sebagai sandera. Segera setelah itu Mongol menarik diri.

Invasi keenam dan perjanjian damai

Jenderal Mongol mengetahui bahwa para pejabat tinggi Goryeo ternyata masih berdiam di Ganghwa dan mereka masih anti terhadap Mongol. Antara tahun 1253 dan 1258, dibawah Jenderal Jailartai, tentara Mongol melancarkan 4 kali serangan besar yang menjadi invasi final terhadap Goryeo.

Ada 2 kelompok partai dalam tubuh Goryeo: partai literati (kaum intelektual) yang setuju berdamai dengan Mongol dan junta militer yang dipimpin klan Choe yang anti Mongol. Perjanjian damai berhasil dilaksanakan tahun 1270 setelah dikator Choe Chung-heon dibunuh oleh anggota partai literati.[1] Perjanjian menghasilkan diizinkannya pengendalian terhadap kedaulatan militer negara dan budaya, menandakan bahwa Kekaisaran Mongol tidak sanggup memenuhi usaha menjajah Goryeo.[2]

Setelahnya

Perlawan internal dalam tubuh kerajaan terus berlangsung walaupun telah dilakukan perjanjian damai dengan Mongol tahun 1270.

Sejak Choe Chung-heon, Goryeo adalah dinasti kediktatoran militer, yang dipimpin oleh tentara khusus dari klan Choe yang berpengaruh. Para pejabat militer melakukan Pemberontakan Sambyeolcho tahun 1270-1273 dan bertahan di pulau-pulau di selatan semenanjung Korea.

Dimulai dari masa kekuasaan Raja Wonjong, untuk selama 80 tahun, Goryeo adalah negeri jajahan Mongol. Sebagai pemenuhan janji kepada Khan Besar atau Kaisar Mongol (dan untuk meninggikan martabat raja di antara para jenderal dan pejabat Mongol yang menjajah negeri), semua pemimpin Goryeo mulai dari Raja Chungnyeol, putra dan penerus Raja Wonjong sampai Raja Gongmin menikahi anggota keluarga Kekaisaran Mongol. Mereka semua dianggap sebagai bangsawan Mongol dari garis Genghis Khan lewat ibu mereka dan dibesarkan sebagai orang Mongol di Karakorum sampai dewasa. Pengaruh Mongol di Goryeo dihapuskan oleh Raja Gongmin yang memulai pelucutan kekuasaan Mongol mulai tahun 1350-an.

Lihat pula

Referensi

  1. ^ 국방부 군사편찬연구소, 고려시대 군사 전략 (2006) (The Ministry of National Defense, Military Strategies in Goryeo)
  2. ^ 국사편찬위원회, 고등학교국사교과서 p63(National Institute of Korean History, History for High School Students, p64)[1] Diarsipkan 2005-12-24 di Wayback Machine.

Pranala luar