I Ketut Wirdhana
Mayor Jenderal TNI (Purn.) I Ketut Wirdhana (10 Juni 1942 – 30 Juni 2022) merupakan seorang purnawirawan perwira tinggi angkatan darat dari Indonesia. Ia menjabat sebagai Panglima Komando Daerah Militer VII/Trikora dari tahun 1994 hingga 1995 dan Kepala Badan Pembinaan Kekaryaan ABRI dari tahun 1996 hingga 1997. Masa kecil dan pendidikanWirdhana lahir pada tanggal 10 Juni 1942 di Denpasar, Bali, sebagai anak keempat dari pasangan I Gede Puja dan Ni Made Supleg.[1] Setelah menamatkan pendidikan Sekolah Menengah Atas, Wirdhana masuk ke Akademi ABRI Bagian Darat dan lulus pada tahun 1966 dengan pangkat letnan dua.[2] Kehidupan pribadiWirdhana menikah dengan Made Raka Suryati pada tahun 1972.[3] Pasangan tersebut memiliki tujuh orang anak.[1] Karier militerSetelah lulus dari Akademi ABRI Bagian Darat, Wirdhana ditempatkan ke dalam satuan Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat.[3] Wirdhana menjalani pendidikan lebih lanjut di Kursus Lanjutan Perwira pada tahun 1969 dan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat pada tahun 1973.[1] Wirdhana kemudian ditunjuk sebagai Komandan Batalyon Infanteri Para Raider 502 pada tanggal 10 Mei 1979. Batalyon pimpinannya kemudian dikirim ke Timor Timur untuk bertempur dalam Operasi Seroja III pada tahun 1981.[4] Batalyon tersebut memperoleh predikat batalyon teladan selama beroperasi di Timor-Timur. Wirdhana juga memperoleh kenaikan pangkat luar biasa dari mayor ke letnan kolonel sebagai penghargaan atas karyanya di Timor Timur.[3] Wirdhana mengakhiri masa jabatannya sebagai komandan batalyon pada tanggal 1 Juli 1982[4] dan ia dipindahkan ke Irian Jaya untuk menjabat sebagai Wakil Asisten Operasi Kodam VIII/Trikora dari tahun 1984 hingga 1987.[3] Usai bertugas di Irian Jaya, Wirdhana kembali ke satuan Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat dan menjabat sebagai Komandan Brigade Infanteri Para Raider 17 dari tahun 1987 hingga bulan Oktober 1989. Ia sempat menjabat sebagai Komandan Resimen Induk Kodam V/Brawijaya selama sebulan sebelum akhirnya ditugaskan kembali ke Timor Timur untuk mengemban jabatan sebagai Komandan Resor Militer (Danrem) 164 pada akhir tahun 1989. Wirdhana mengakhiri masa jabatannya sebagai danrem pada tanggal 13 Mei 1991 dan ia dijadikan sebagai Kepala Staf Divisi Infanteri 2/Kostrad. Kurang dari setengah tahun kemudian, pada tanggal 8 Oktober 1991, Wirdhana dipromosikan menjadi Panglima Divisi Infanteri 2/Kostrad.[5] Pada bulan Februari 1993, jabatan Panglima ABRI mengalami pergantian, dan Edi Sudradjat diangkat sebagai panglima yang baru. Satu bulan setelahnya, Edi memindahkan Wirdhana ke Inspektorat Jenderal ABRI untuk menjabat sebagai Inspektur Operasi,[6] sebuah jabatan yang secara umum dipandang kurang bergengsi.[7] Setelah Edi Sudrajat digantikan oleh Feisal Tanjung pada bulan Mei 1993, Edi mengangkat kembali kariernya dan menempatkannya menjadi Panglima Kodam VIII/Trikora.[7] Wirdhana kemudian dilantik sebagai Panglima Kodam VIII/Trikora pada tanggal 15 September 1994.[3] Pada masa jabatannya, Wirdhana melancarkan Operasi Rajawali VI untuk menumpas gerakan separatis di wilayah Irian Jaya.[8] Sejumlah personel Kodam VIII/Trikora terlibat dalam kontak tembak dengan Organisasi Papua Merdeka dan warga sipil. Pada bulan Oktober 1994, tokoh Organisasi Papua Merdeka Kelly Kwalik ditembak oleh tentara karena berupaya mengibarkan bendera Bintang Kejora. Wirdhana membenarkan tindakan yang diambil oleh anak buahnya dan menyatakan bahwa tindakan tersebut dapat diambil apabila ada upaya untuk mengibarkan bendera separatis.[9] Beberapa bulan kemudian, pada pertengahan tahun 1995, Uskup Agung Jayapura Herman Münninghoff menerbitkan sebuah laporan yang dikenal dengan nama Laporan Münninghoff.[10] Dalam laporannya tersebut, Münninghoff memberikan penjelasan rinci terkait dengan sejumlah pembantaian yang dilakukan oleh personel Kodam Trikora. Sejumlah kasus yang menonjol dari laporan tersebut adalah penangkapan dan pembunuhan empat orang dari Suku Amungme oleh anggota Batalyon Infanteri 733/Raider setelah merayakan natal pada tahun 1994, penyiksaan 18 orang pegawai Freeport Indonesia dan dua orang kepala suku yang sedang merayakan hari Natal di Tembagapura, Mimika, dan pembantaian 11 orang penduduk Kampung Hoea, Timika, yang sedang beribadah oleh anggota Batalyon Infanteri 752 pada tanggal 31 Mei 1995.[11] Wirdhana menyanggah seluruh tuduhan dalam laporan tersebut dan menuduh bahwa Münninghoff telah berbohong mengenai fakta yang sebenarnya. Wirdhana kemudian menyatakan bahwa insiden 31 Mei 1995 tersebut hanyalah operasi militer yang dilancarkan terhadap Organisasi Papua Merdeka.[12] Wirdhana kembali menegaskan keabsahan dari tindakan penembakan oleh anggota angkatan bersenjata terhadap upaya pengibaran bendera gerakan separatis.[11] Kepala Staf Angkatan Darat R. Hartono mendukung tanggapan Wirdhana terhadap tuduhan tersebut dan meminta pihak Münninghoff untuk melampirkan bukti-bukti terkait dengan penembakan tersebut dalam laporannya.[13] Münninghoff menanggapi tanggapan Wirdhana dengan mempertanyakan keabsahan dari perintah tembak di tempat bagi siapapun yang mengibarkan bendera gerakan separatis.[14] Penyelidikan terhadap kasus-kasus ini kemudian dilakukan oleh ABRI dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Upaya ABRI ini didukung oleh sejumlah pejabat terasnya, seperti Kepala Staf Umum ABRI Soeyono, Panglima ABRI Feisal Tanjung, dan Menteri Pertahanan dan Keamanan Edi Sudradjat.[13] ABRI kemudian mengadili 14 prajuritnya yang terlibat dalam insiden tersebut,[14] sedangkan hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang diumumkan pada tanggal 22 September 1995[9] menemukan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM secara sistematis yang menewaskan sedikitnya 16 orang dan 4 orang hilang. Soeyono dan Edi Sudrajat kemudian mengusulkan pembentukan Dewan Kehormatan Perwira untuk menyelidiki kasus tersebut dengan lebih mendalam. Namun, beberapa hari kemudian, R. Hartono menyatakan bahwa pihak ABRI tidak akan membentuk Dewan Kehormatan Perwira karena skala pelanggaran HAM yang menurutnya tidak terlalu besar.[13] Kendati demikian, R. Hartono mengganti Wirdhana dari jabatannya sebagai Panglima Kodam VIII/Trikora pada tanggal 12 September 1995, kurang lebih seminggu sebelum laporan Komnas HAM tersebut diterbitkan.[15] Setelah mengakhiri masa jabatannya sebagai Panglima Kodam VIII/Trikora, Wirdhana diangkat menjadi asisten teritorial Kepala Staf Angkatan Darat[16] melalui surat keputusan tanggal 22 Agustus 1995. Ia mengakhiri masa jabatannya sebagai asisten teritorial pada tanggal 16 Februari 1996.[15] Wirdhana kemudian diangkat menjadi Kepala Badan Pembinaan Kekaryaan ABRI pada tanggal 19 Maret 1996, menggantikan Mayjen TNI Albertus Pranowo.[17] Wirdhana kemudian pensiun dari kemiliteran pada tahun 1997.[18] PensiunSetelah pensiun, Wirdhana diangkat sebagai Ketua Umum Prajaniti Hindu Indonesia untuk masa jabatan 1999 hingga 2004.[19] Nama Wirdhana sempat beredar sebagai bakal calon Gubernur Bali untuk periode 1998-2003. Dalam jajak pendapat yang dilakukan oleh Perhimpunan Pemuda Hindu Indonesia pada bulan Juli 1998, Wirdhana berada pada urutan kedua, di belakang Dewa Made Beratha.[20] Meninggal duniaWirdhana wafat pada tanggal 30 Juni 2022 di kediamannya yang terletak di Kota Denpasar.[18] Jenazahnya diaben terlebih dahulu dan abu jenazahnya dimakamkan di TMP Pancakitrta Tabanan dengan upacara pemakaman yang dipimpin oleh Dandim 1619/Tabanan Letkol Inf Ferry Adianto.[1] Referensi
|