Godzilla (film 1954)
Godzilla (Jepang: ゴジラ , Hepburn: Gojira)[b] adalah film kaiju epik[c] Jepang tahun 1954 yang disutradarai dan ditulis bersama oleh Ishirō Honda, dengan efek khusus oleh Eiji Tsuburaya. Diproduksi dan didistribusikan oleh Toho Co., Ltd., film tersebut adalah film pertama dalam waralaba Godzilla. Film tersebut dibintangi oleh Akira Takarada, Momoko Kōchi, Akihiko Hirata, dan Takashi Shimura, dengan Haruo Nakajima dan Katsumi Tezuka sebagai Godzilla. Dalam film tersebut, otoritas Jepang menghadapi kemunculan monster raksasa secara tiba-tiba, yang serangannya memicu ketakutan akan holokaus nuklir selama Jepang pascaperang. Godzilla mulai diproduksi setelah kerjasama produksi Jepang-Indonesia mengalami kegagalan. Tsuburaya awalnya mengusulkan gurita raksasa sebelum pembuat film memutuskan makhluk yang terinspirasi dari dinosaurus. Godzilla memelopori bentuk efek khusus yang disebut suitmation dengan seorang pemeran pengganti yang mengenakan setelan berinteraksi dengan set miniatur. Fotografi utama berlangsung selama 51 hari, dan fotografi efek khusus berlangsung selama 71 hari. Godzilla ditayangkan perdana di Nagoya pada 27 Oktober 1954 dan menerima rilis luas di Jepang pada 3 November. Film itu mendapat tinjauan beragam ketika dirilis tetapi merupakan sebuah kesuksesan box-office, dan memenangkan Penghargaan Asosiasi Film Jepang untuk Efek Khusus Terbaik. Film ini menghasilkan ¥183 juta di dalam penyewaan distributor, menjadikannya film Jepang dengan pendapatan kotor tertinggi kedelapan pada tahun itu. Pada tahun 1956, versi "Amerikanisasi" yang disunting ulang, berjudul Godzilla, King of the Monsters!, dirilis di Amerika Serikat. Film ini menimbulkan waralaba multimedia yang diakui oleh Guinness World Records sebagai waralaba film terlama dalam sejarah. Karakter Godzilla sejak itu menjadi ikon budaya populer internasional. Film tersebut dan Tsuburaya sebagian besar dikreditkan karena membuat templat untuk media tokusatsu. Film tersebut mendapat penilaian ulang di tahun-tahun berikutnya dan sejak itu dianggap sebagai pencapaian sinematik dan salah satu film monster terbaik yang pernah dibuat. Film ini diikuti oleh Godzilla Raids Again, dirilis pada 24 April 1955.[12] PlotKetika kapal barang Jepang Eiko-maru hancur di dekat Pulau Odo, kapal lain, Bingo-maru, dikirim untuk menyelidiki, namun bernasib serupa dengan beberapa orang yang selamat. Sebuah perahu nelayan dari Odo juga hancur dengan satu orang yang selamat. Tangkapan ikan secara misterius turun menjadi nol dan seorang tetua menyalahkan makhluk laut purba yang dikenal sebagai "Godzilla." Wartawan tiba di Pulau Odo untuk menyelidiki lebih lanjut. Seorang penduduk desa memberi tahu salah satu reporter bahwa terdapat sesuatu di laut yang merusak penangkapan ikan. Malam itu, badai melanda pulau itu dan menghancurkan helikopter wartawan, dan Godzilla, yang dilihat sekilas oleh beberapa penduduk desa, menghancurkan 17 rumah dan membunuh sembilan orang serta 20 ternak penduduk desa. Penduduk Pulau Odo pergi ke Tokyo untuk menuntut bantuan bencana. Bukti penduduk desa dan wartawan menggambarkan kerusakan konsisten dengan sosok besar yang menghancurkan desa. Pemerintah mengirim ahli paleontologi Kyohei Yamane untuk memimpin penyelidikan di pulau itu, tempat jejak kaki radioaktif raksasa dan trilobite ditemukan. Bel alarm desa dibunyikan, dan Yamane serta penduduk desa bergegas untuk melihat monster itu tetapi mundur setelah mereka melihat bahwa monster itu adalah dinosaurus raksasa. Yamane mempresentasikan temuannya di Tokyo, memperkirakan Godzilla setinggi 50 m dan berevolusi dari makhluk laut purba menjadi makhluk darat. Ia menyimpulkan bahwa Godzilla telah diganggu oleh pengujian bom hidrogen di bawah air. Perdebatan terjadi dalam memberi tahu publik tentang bahaya monster itu. Sedangkan 17 kapal menghilang di laut. Sepuluh frigate dikirim untuk mencoba membunuh monster itu menggunakan peledak kedalaman. Misi tersebut mengecewakan Yamane, yang ingin mempelajari Godzilla. Ketika Godzilla selamat dari serangan itu, para pejabat meminte gagasan untuk membunuh monster itu kepada Yamane, tetapi Yamane memberi tahu mereka bahwa Godzilla tidak dapat dibunuh, telah selamat dari pengujian bom-H, dan harus dipelajari. Putri Yamane, Emiko, memutuskan untuk mengakhiri pertunangannya dengan rekan Yamane, Daisuke Serizawa, karena cintanya pada Hideto Ogata, seorang kapten kapal penyelamat. Ketika seorang reporter datang dan meminta untuk mewawancarai Serizawa, Emiko mengantar reporter tersebut ke rumah Serizawa. Setelah Serizawa menolak untuk membocorkan pekerjaannya saat ini kepada reporter, ia setuju untuk memberikan demonstrasi proyek terbarunya kepada Emiko jika ia merahasiakannya. Demonstrasi itu membuatnya ketakutan, dan ia pergi tanpa menyebutkan pertunangan. Tidak lama setelah ia kembali ke rumah, Godzilla muncul dari Tokyo Bay dan menyerang Shinagawa. Setelah menyerang kereta yang lewat, Godzilla kembali ke laut. Setelah berkonsultasi dengan pakar internasional, Pasukan Bela Diri Jepang membangun pagar listrik setinggi 30 m dan 50.000 V di sepanjang pantai dan mengerahkan pasukan untuk menghentikan dan membunuh Godzilla. Kecewa karena tidak ada rencana untuk mempelajari Godzilla karena ketahanannya terhadap radiasi, Yamane kembali ke rumah, tempat Emiko dan Ogata menunggu dan berharap mendapatkan persetujuannya untuk menikah. Ketika Ogata tidak setuju dengan Yamane dan berpendapat bahwa ancaman yang ditimbulkan Godzilla lebih besar daripada manfaat potensial apa pun dari mempelajari monster itu, Yamane menyuruhnya pergi. Godzilla muncul kembali dan menerobos pagar ke Tokyo dengan nafas atomnya dan melepaskan lebih banyak kehancuran di seluruh kota. Upaya lebih lanjut untuk membunuh monster dengan tank dan jet tempur mengalami kegagalan, dan Godzilla kembali ke laut. Keesokan harinya, rumah sakit dan tempat penampungan penuh sesak dengan orang cacat dan orang mati, dan beberapa orang yang selamat menderita penyakit radiasi. Merasa terganggu oleh kehancuran, Emiko memberi tahu Ogata tentang penelitian Serizawa, senjata yang disebut "Penghancur Oksigen", yang menghancurkan atom oksigen dan menyebabkan organisme mati karena sesak napas. Emiko dan Ogata pergi untuk menemui Serizawa dan meyakinkannya untuk menggunakan Penghancur Oksigen, tetapi ia awalnya menolak dan menjelaskan bahwa jika ia menggunakan perangkat tersebut, kekuatan super dunia pasti akan memaksanya untuk membuat lebih banyak Penghancur Oksigen yang akan digunakan sebagai senjata super. Setelah menonton acara yang menampilkan tragedi bangsa saat ini, Serizawa akhirnya menerima permohonan mereka. Saat Serizawa membakar catatannya, Emiko menangis tersedu-sedu. Sebuah kapal angkatan laut membawa Ogata dan Serizawa untuk menanam perangkat di Teluk Tokyo. Setelah menemukan Godzilla, Serizawa membongkar perangkatnya, memotong penopang udara miliknya, dan membawa rahasia Penghancur Oksigen hingga kematiannya. Godzilla hancur, tapi banyak yang meratapi kematian Serizawa. Yamane percaya bahwa jika uji coba nuklir berlanjut, Godzilla lain mungkin akan muncul di masa depan. Pemeran
Pemeran diambil dari Japan's Favorite Mon-Star,[19] kecuali apabila memiliki kutipan lain. TemaDalam film tersebut, Godzilla melambangkan holokaus nuklir dari sudut pandang Jepang dan sejak itu secara budaya diidentifikasi sebagai metafora yang kuat untuk senjata nuklir.[20] Produser Tomoyuki Tanaka menyatakan, "Tema film ini, sejak awal, adalah teror bom. Umat manusia telah menciptakan bom, dan sekarang alam akan membalas dendam pada umat manusia."[21] Sutradara Ishirō Honda memfilmkan amukan Godzilla di Tokyo untuk mencerminkan serangan bom atom Hiroshima dan Nagasaki dan menyatakan, "Jika Godzilla adalah dinosaurus atau hewan lain, ia akan dapat dibunuh hanya dengan satu peluru meriam. Tapi jika ia setara dengan bom atom, kita tidak akan tahu apa yang harus dilakukan. Jadi, saya mengambil karakteristik bom atom dan menerapkannya pada Godzilla."[21] Pada 1 Maret 1954, hanya beberapa bulan sebelum film dibuat, kapal penangkap ikan Jepang Daigo Fukuryū Maru ("Lucky Dragon No. 5") telah dihujani dengan radioaktif yang jatuh dari uji coba bom hidrogen "Castle Bravo" 15 megaton militer AS di dekat Bikini Atoll.[22] Tangkapan kapal terkontaminasi, memicu kepanikan di Jepang tentang keselamatan mengonsumsi ikan, dan awak kapal jatuh sakit, dengan seorang anggota awak akhirnya meninggal karena penyakit radiasi.[22] Peristiwa tersebut menyebabkan munculnya gerakan anti-nuklir yang besar dan bertahan lama dengan mengumpulkan 30 juta tanda tangan untuk petisi anti-nuklir pada Agustus 1955 dan akhirnya dilembagakan sebagai Dewan Jepang melawan Bom Atom dan Hidrogen.[22] Pembukaan film adegan Godzilla menghancurkan kapal Jepang merujuk langsung pada peristiwa tersebut dan berdampak kuat pada pemirsa Jepang, dengan peristiwa baru-baru ini masih segar di benak publik.[23] Akademisi Anne Allison, Thomas Schnellbächer, dan Steve Ryfle mengatakan bahwa Godzilla mengandung nada politik dan budaya yang dapat dikaitkan dengan peristiwa yang dialami Jepang dalam Perang Dunia II dan bahwa penonton Jepang dapat terhubung secara emosional dengan monster. Mereka berteori bahwa penonton melihat Godzilla sebagai korban dan merasa bahwa latar belakang makhluk itu mengingatkan mereka pada pengalamannya dalam Perang Dunia II. Para akademisi juga menyatakan bahwa karena pengujian bom atom yang membangunkan Godzilla dilakukan oleh Amerika Serikat, film tersebut dapat terlihat menyalahkan Amerika Serikat atas masalah dan perjuangan yang dialami Jepang setelah Perang Dunia II berakhir. Mereka juga merasa bahwa film tersebut dapat berfungsi sebagai metode penanggulangan budaya untuk membantu masyarakat Jepang bangkit dari peristiwa perang.[24][25][21] Brian Merchant dari Motherboard menyebut film tersebut sebagai "metafora yang mengerikan dan kuat untuk tenaga nuklir yang masih bertahan hingga hari ini," dan pada temanya, ia menyatakan: "Film ini sangat mengerikan, dan sangat kuat mengenai mengatasi dan mengambil tanggung jawab atas tragedi buatan manusia yang tidak dapat dipahami. Khususnya, tragedi nuklir. Bisa dibilang hal ini merupakan jendela terbaik menuju sikap pascaperang terhadap tenaga nuklir yang kita peroleh—seperti yang terlihat dari perspektif korban terbesarnya."[20] Terrence Rafferty dari The New York Times mengatakan Godzilla adalah "sebuah metafora untuk bom atom yang sangat besar, tidak kentara, dan memiliki tujuan terarah" dan merasa bahwa film tersebut "sangat serius, penuh dengan diskusi yang sungguh-sungguh".[26] Mark Jacobson dari situs web majalah New York mengatakan bahwa Godzilla "melampaui gumaman kemanusiaan. Sangat sedikit konstruksi yang secara sempurna mewakili ketakutan utama pada zaman tertentu. Ia adalah simbol dunia yang salah, upaya manusia yang pernah dibuat tidak dapat ditarik kembali atau dihapus. Ia muncul dari laut sebagai makhluk tanpa sistem kepercayaan tertentu, terlepas dari versi evolusi dan taksonomi yang paling elastis sekalipun, id reptil yang hidup di relung terdalam dari ketidaksadaran kolektif yang tidak dapat dibantahkan, seorang pembantai tanpa belas kasihan yang menyinggung ketidaksepakatan." Mengenai film tersebut, Jacobson menyatakan, "Godzilla pertama Honda... sejalan dengan film-film pasca-perang yang berbalik hati dan mungkin paling benar-benar kejam di antaranya. Penembusan dosa yang diliputi rasa malu berada dalam keteraturan, dan siapa yang lebih baik untuk memberikan hukuman psikis berjas karet daripada raksasa berbentuk Rorschach itu sendiri?"[27] Tim Martin dari The Daily Telegraph (London) mengatakan bahwa film asli tahun 1954 "jauh berbeda dari film B penerusnya. Hal itu merupakan alegori yang bijaksana dari sebuah film dengan ambisi sebesar anggaran tiga kali normalnya, dirancang untuk mengejutkan dan menakuti penonton dewasa. Deretan gambaran yang mengerikan—kota terbakar, rumah sakit penuh sesak, anak-anak terkena radiasi—akan sangat familiar bagi para pembuat film dengan kenangan tentang Hiroshima dan Nagasaki yang masih berusia kurang dari satu dekade, sementara naskahnya dengan sengaja menimbulkan pertanyaan yang menghasut tentang keseimbangan kekuatan pascaperang dan pengembangan energi nuklir." Martin juga berkomentar bagaimana tema film tersebut dihilangkan dalam versi Amerika dengan menyatakan, "Ketertarikan tematiknya dengan energi nuklir terbukti malah kurang dapat diterima oleh distributor Amerika yang, setelah membeli film tersebut, memulai syuting ulang dan pemotongan ekstensif untuk pasar Barat."[28] ProduksiKru
Staf diambil dari The Criterion Collection.[1] Pengembangan
– Honda mengenai visinya dan kru untuk film tersebut.[29] Pada tahun 1954, Toho awalnya berencana untuk memproduksi In the Shadow of Glory (栄光のかげに , Eikō no Kage ni),[e] sebuah kerjasama produksi Jepang-Indonesia yang akan dibintangi oleh Ryō Ikebe sebagai mantan tentara Jepang yang ditempatkan di Hindia Belanda selama Pendudukan Jepang di Indonesia, dan Yoshiko Yamaguchi sebagai kekasihnya yang setengah Indonesia.[32] Namun, sentimen anti-Jepang di Indonesia memberikan tekanan politik kepada pemerintah untuk menolak visa bagi pembuat film Jepang.[33] Film tersebut akan diproduksi bersama dengan Perfini, mengambil lokasi di Jakarta dengan warna, pertama kalinya bagi produksi besar Toho, dan akan membuka pasar untuk film Jepang di Asia Tenggara.[29] Produser Tomoyuki Tanaka terbang ke Jakarta untuk menegosiasi ulang dengan pemerintah Indonesia tetapi tidak berhasil. Dalam penerbangan kembali ke Jepang, ia mendapatkan ide untuk film monster raksasa, yang terinspirasi oleh film 1953 berjudul The Beast from 20,000 Fathoms dan insiden Daigo Fukuryū Maru, yang terjadi pada Maret 1954.[34] Rangkaian pembukaan film itu merujuk langsung pada kejadian tersebut.[35] Tanaka merasa film itu memiliki potensi karena ketakutan nuklir menarik pemberitaan dan film monster menjadi populer karena kesuksesan finansial The Beast from 20,000 Fathoms dan rilisan ulang 1952 dari King Kong, dengan film yang terakhir menghasilkan lebih banyak uang daripada rilisan sebelumnya.[36] Selama penerbangannya, Tanaka menulis garis besar berjudul The Giant Monster from 20,000 Miles Beneath the Sea (海底二万哩から来た大怪獣 , Kaitei Niman Mairu kara kita Daikaijū) dan mengajukannya kepada produser eksekutif Iwao Mori. Mori menyetujui proyek itu pada pertengahan April 1954 setelah direktur efek khusus Eiji Tsuburaya setuju untuk mengerjakan efek film itu dan mengonfirmasi bahwa film itu layak secara finansial.[37] Mori juga merasa proyek itu sempurna sebagai wahana untuk Tsuburaya dan untuk menguji sistem papan cerita yang ia adakan saat itu.[34] Mori juga menyetujui pilihan Tanaka agar Ishirō Honda mengarahkan film itu dan mempersingkat judul produksi menjadi Proyek G (G untuk Giant), serta memberikan status rahasia produksi dan memerintahkan Tanaka untuk meminimalkan perhatiannya pada film lain dan lebih berfokus pada Project G.[34][37] Toho awalnya menginginkan supaya Senkichi Taniguchi menyutradarai film tersebut, karena ia awalnya terikat untuk menyutradarai In the Shadow of Glory. Namun, Taniguchi menolak penugasan tersebut.[38] Honda bukanlah pilihan pertama Toho untuk sutradara film tersebut, tetapi pengalaman masa perang membuatnya menjadi kandidat ideal untuk tema film anti-nuklir.[39] Beberapa sutradara lain melewatkan proyek tersebut, merasa idenya "bodoh", tetapi Honda menerima penugasan tersebut karena minatnya pada sains dan "hal-hal yang tidak biasa" dan menyatakan, "Saya tidak masalah menganggapnya serius."[36] Selama produksi Godzilla, Honda bekerja dengan asisten sutradara Kōji Kajita untuk pertama kalinya.[4] Setelah itu, Kajita akan berkolaborasi dengan Honda sebagai asisten sutradara utama untuk 17 film selama 10 tahun.[40] Film fiksi ilmiah kurang mendapat rasa hormat dari kritikus film sehingga Honda, Tanaka, dan Tsuburaya setuju untuk menggambarkan serangan monster seolah-olah hal itu adalah peristiwa nyata, dengan nada serius dari sebuah film dokumenter.[29] PenulisanTsuburaya mengirimkan garis besarnya sendiri yang ditulis tiga tahun sebelum Godzilla dan menampilkan kapal penyerang gurita raksasa di Samudra Hindia.[34] Pada Mei 1954, Tanaka mempekerjakan penulis sci-fi Shigeru Kayama untuk menulis ceritanya. Dengan hanya sepanjang 50 halaman dan ditulis dalam 11 hari, garis besar awal Kayama menggambarkan Dr. Yamane mengenakan kacamata hitam, jubah dan tinggal di rumah bergaya Eropa tempat ia muncul hanya pada malam hari. Godzilla digambarkan sosok mirip binatang yang dengan datang ke darat untuk memberi makan para hewan, dengan tampak seperti gorila yang tertarik pada betina. Kisah Kayama juga menampilkan kehancuran yang lebih sedikit dan meminjam adegan dari The Beast from 20,000 Fathoms dengan membuat Godzilla menyerang mercusuar.[41][34] Takeo Murata dan Honda ikut menulis skenario dalam tiga minggu dan mengurung diri mereka di penginapan Jepang di bangsal Shibuya Tokyo. Saat menulis naskah, Murata menyatakan, "Direktur Honda dan saya... memeras otak untuk membuat garis besar awal asli Pak Kayama menjadi visi kerja yang lengkap." Murata mengatakan bahwa Tsuburaya dan Tanaka juga menyampaikan ide mereka. Tanaka meminta agar mereka tidak menghabiskan terlalu banyak uang, tetapi Tsuburaya mendorong mereka untuk "melakukan apa saja agar berhasil". Murata dan Honda membangun kembali karakter dan elemen utama dengan menambahkan cinta segitiga Emiko. Dalam cerita Kayama, Serizawa digambarkan hanya sebagai rekan Dr. Yamane. Penampilan lengkap Godzilla akan terungkap selama badai Pulau Odo, tetapi Honda dan Murata memilih untuk menunjukkan bagian dari makhluk itu ketika film dibangun hingga pengungkapan penuhnya. Honda dan Murata juga memperkenalkan karakter Hagiwara dan Dr. Tanabe dalam draf mereka, tetapi peran Shinkichi, yang memiliki peran penting dalam cerita Kayama, dipangkas.[42] Sebuah novelisasi, ditulis oleh Kayama, diterbitkan pada 25 Oktober 1954, oleh Iwatani Bookstore sebagai Monster Godzilla (怪獣ゴジラ , Kaijū Gojira).[43] Desain makhlukGodzilla dirancang oleh Teizō Toshimitsu dan Akira Watanabe di bawah pengawasan Eiji Tsuburaya.[44] Sejak awal, Tanaka mempertimbangkan untuk menjadikan monster itu memiliki desain seperti gorila atau paus karena nama "Gojira" (kombinasi kata Jepang untuk "gorila", ゴリラ gorira, dan "paus", クジラ kujira), tetapi ia akhirnya menetapkan desain seperti dinosaurus.[45] Kazuyoshi Abe dipekerjakan sebelumnya untuk mendesain Godzilla, tetapi idenya kemudian ditolak karena Godzilla terlihat terlalu humanoid dan mamalia, dengan kepala berbentuk seperti awan jamur;[44] namun, Abe dipertahankan untuk membantu menggambar papan cerita film.[46] Toshimitsu dan Watanabe memutuskan untuk mendasarkan desain Godzilla pada dinosaurus dan, dengan menggunakan buku dan majalah dinosaurus sebagai referensi, menggabungkan elemen Tyrannosaurus, Iguanodon dan sirip punggung Stegosaurus.[44] Meskipun ingin menggunakan animasi gerak henti, Tsuburaya dengan enggan memilih suitmation.[44] Toshimitsu membentuk tiga model tanah liat yang menjadi dasar setelan itu. Dua model yang pertama ditolak, tetapi model ketiga disetujui oleh Tsuburaya, Tanaka, dan Honda.[44] Setelan Godzilla dibentuk oleh Kanju Yagi, Yasuei Yagi, dan Eizo Kaimai, yang menggunakan batang bambu tipis dan kawat untuk membuat kerangka interior setelan dan menambahkan jaring logam dan bantalan di atasnya untuk memperkuat strukturnya dan akhirnya menerapkan lapisan lateks.[44] Lapisan karet cair juga diaplikasikan, diikuti dengan lekukan ukiran dan strip lateks yang direkatkan pada permukaan setelan untuk membuat kulit bersisik Godzilla.[44] Versi pertama setelan ini memiliki berat 100 kilogram (220 pon). Untuk tampilan jarak dekat, Toshimitsu membuat boneka kecil yang dioperasikan dengan tangan dan mekanis yang menyemburkan aliran kabut dari mulutnya sebagai nafas atom Godzilla.[47] Haruo Nakajima dan Katsumi Tezuka dipilih untuk tampil dalam setelan Godzilla karena kekuatan dan daya tahan mereka.[44] Saat pemasangan kostum pertama, Nakajima terjatuh di dalam setelan[48] karena dibuat dengan menggunakan lateks berat dan bahan yang tidak fleksibel.[44] Versi pertama setelan ini dipotong menjadi dua bagian dan digunakan untuk adegan yang hanya memerlukan pengambilan sebagian gambar Godzilla atau tampilan jarak dekat, dengan bagian bawah dilengkapi dengan suspender tali untuk dipakai Nakajima.[48][47] Untuk ambilan seluruh tubuh, setelan identik kedua dibuat, yang dibuat lebih ringan dari setelan pertama, tetapi Nakajima masih bisa berada di dalam hanya selama tiga menit sebelum pingsan.[48] Nakajima kehilangan 20 pon selama produksi film.[49] Nakajima terus memerankan Godzilla dan monster lainnya hingga pensiun pada tahun 1972.[50] Tezuka melakukan syuting adegan dalam setelan Godzilla, tetapi tubuhnya yang lebih tua membuatnya tidak dapat sepenuhnya memenuhi tuntutan fisik yang dibutuhkan oleh peran tersebut. Akibatnya, hanya sedikit adegannya yang berhasil mencapai potongan terakhir, karena sangat sedikit adegan yang dianggap dapat digunakan.[51] Tezuka menggantikan Nakajima ketika ia sedang tidak ada atau perlu bantuan dari peran yang menuntut fisik.[47] Nama Godzilla juga menjadi sumber kekhawatiran para pembuat film. Karena monster itu tidak memiliki nama, draf pertama film tersebut tidak berjudul Gojira, melainkan berjudul G, juga dikenal sebagai Kaihatsu keikaku G ("Pengembangan Rencana G" ), tetapi "G" pada judulnya berarti "Giant". Nakajima mengonfirmasi bahwa Toho mengadakan kontes untuk menamai monster tersebut.[52] Monster tersebut akhirnya diberi nama Gojira.[53] Sebuah penjelasan yang melegenda adalah atribut fisik karyawan Toho Studios yang besar membuatnya dijuluki Gojira.[53] Dalam film dokumenter BBC tahun 1998 tentang Godzilla, Kimi Honda, janda dari sutradara, menolak cerita nama karyawan sebagai dongeng panjang dan menyatakan bahwa ia percaya Honda, Tanaka, dan Tsuburaya memberikan "pemikiran yang cukup" untuk nama monster itu: "anak-anak di belakang panggung di Toho suka bercanda dengan cerita-cerita panjang, tapi saya tidak percaya yang satu itu."[45] Pada tahun 2003, sebuah acara khusus televisi Jepang menyatakan telah mengidentifikasi karyawan Toho besar anonim sebagai Shiro Amikura, seorang aktor kontrak Toho dari tahun 1950-an.[54] Efek khususEfek khusus film ini disutradarai oleh Eiji Tsuburaya.[55] Supaya rekaman efek selaras dengan rekaman laga hidup, Honda dan Tsuburaya mengembangkan rencana sebelumnya selama pengembangan dan bertemu sebentar sebelum pengambilan hari itu. Kajita mengantar Tsuburaya ke set Honda untuk mengamati bagaimana sebuah adegan diambil dan tempat para aktor diposisikan. Kajita juga mengantar Honda ke panggung efek untuk mengamati bagaimana Tsuburaya memotret efek tertentu. Honda menyunting rekaman laga hidup, dan ia mengosongkan leader supaya Tsuburaya menyisipkan rekaman efek. Terkadang, Honda harus memotong rekaman efek tertentu. Tsuburaya tidak menyetujui keputusan ini karena pemotongan Honda tidak sesuai dengan efeknya; namun, Honda memiliki keputusan akhir dalam masalah tersebut.[56] Tsuburaya awalnya ingin menggunakan gerak henti untuk efek khusus film tersebut, tetapi menyadari bahwa akan memakan waktu tujuh tahun untuk menyelesaikannya berdasarkan staf dan infrastruktur saat ini di Toho.[57] Menyelesaikan penyesuaian dan efek miniatur, Tsuburaya dan krunya mencari lokasi yang akan dihancurkan Godzilla dan hampir ditangkap setelah penjaga keamanan mendengar rencana penghancuran mereka tetapi dibebaskan setelah mereka menunjukkan kartu nama Toho kepada polisi.[48] Kintaro Makino, kepala konstruksi miniatur, diberi cetak biru oleh Akira Watanabe untuk miniatur tersebut dan menugaskan 30 hingga 40 pekerja dari departemen pertukangan untuk membuatnya, yang membutuhkan waktu sebulan untuk membangun versi skala kecil dari Ginza.[48] Sebagian besar miniatur dibuat dengan skala 1:25, tetapi Gedung Parlemen diperkecil menjadi skala 1:33 supaya terlihat lebih kecil dari Godzilla.[48] Terbukti terlalu mahal untuk menggunakan gerak henti secara ekstensif sepanjang film, tetapi film final menyertakan adegan gerak henti ekor Godzilla yang menghancurkan Nichigeki Theater Building.[58][59] Rangka bangunan terbuat dari papan kayu tipis yang diperkuat dengan campuran plester dan kapur putih.[48] Bahan peledak dipasang di dalam miniatur yang akan dihancurkan oleh nafas atom Godzilla. Ada yang disemprot bensin agar lebih mudah terbakar; lainnya termasuk retakan kecil sehingga mudah hancur.[48] Teknik animasi optik digunakan untuk sirip punggung Godzilla yang bercahaya dengan memiliki ratusan sel, yang digambar bingkai demi bingkai.[60] Haruo Nakajima sangat berkeringat di dalam setelan itu sehingga Yagi bersaudara harus mengeringkan lapisan kapas setiap pagi dan terkadang melapisi bagian dalam setelan dan memperbaiki kerusakan.[60] Gelombang topan diciptakan oleh pekerja panggung yang menggoncang barel air dalam tangki air tempat miniatur garis pantai Pulau Odo dibangun.[61] Beberapa ambilan komposisi digunakan untuk adegan Pulau Odo.[62] Sebagian besar adegan Pulau Odo difilmkan di dekat sawah.[63] Toho mempekerjakan banyak karyawan paruh waktu untuk mengerjakan efek optik film.[64] Separuh dari 400 staf yang dipekerjakan sebagian besar adalah pekerja paruh waktu dengan sedikit atau tanpa pengalaman.[65] Versi awal dari pengungkapan penuh Godzilla difilmkan dengan menampilkan Godzilla, melalui boneka yang dioperasikan dengan tangan, melahap seekor sapi. Sadamasa Arikawa menganggap adegan itu terlalu mengerikan dan meyakinkan Tsuburaya untuk memfilmkannya kembali.[66] Efek optik digunakan untuk jejak kaki Godzilla di pantai dengan mengecatnya ke kaca dan memasukkannya ke dalam area rekaman laga hidup.[67] Fotografi efek khusus berlangsung selama 71 hari.[60] Pembuatan filmPada hari pertama pembuatan film, Honda meminta 30 kru untuk membaca naskah dan meninggalkan proyek jika mereka merasa tidak yakin karena ia ingin bekerja hanya dengan mereka yang percaya padanya dan film tersebut.[4] Sebagian besar pengambilan film dilakukan di bidang Toho.[68] Tim Honda juga melakukan pengambilan di Semenanjung Shima di Prefektur Mie untuk memfilmkan adegan Pulau Odo, yang menggunakan 50 figuran Toho dan tim Honda mendirikan markas mereka di kota Toba.[68] Penduduk desa setempat juga digunakan sebagai figuran untuk adegan Pulau Odo.[69] Adegan ritual tarian difilmkan di Prefektur Mie, dengan penduduk desa setempat tampil sebagai penari.[70] Para pemain dan kru berangkat setiap pagi dengan perahu ke Toba, Mie, dan bekerja di bawah suhu cuaca ekstrem. Honda bekerja tanpa baju dan menderita sengatan matahari di punggungnya yang meninggalkan bekas luka permanen.[40] Toho bernegosiasi dengan Pasukan Bela Diri Jepang (JSDF) untuk memfilmkan adegan yang membutuhkan militer dan memfilmkan latihan dan praktek sasaran untuk film tersebut. Tim Honda mengikuti konvoi kendaraan JSDF untuk adegan pengiriman konvoi.[68] Dua ribu gadis digunakan dari sekolah menengah khusus perempuan untuk adegan doa-untuk-perdamaian.[68] Pembuat film memiliki sedikit kerja sama dari JSDF dan harus bergantung pada rekaman arsip Perang Dunia II, yang disediakan oleh militer Jepang, untuk adegan tertentu.[71] Rekaman stok bersumber dari cetakan 16 mm.[72] Tim Honda menghabiskan 51 hari untuk pengambilan film.[68] Musik dan efek suaraSkor film disusun oleh Akira Ifukube. Setelah bertemu dengan Tanaka, Tsuburaya, dan Honda, Ifukube dengan antusias menerima pekerjaan tersebut. Setelah mengetahui bahwa karakter utamanya adalah monster, Ifukube berkata, "Saya tidak bisa duduk diam saat mendengar bahwa di film ini karakter utamanya adalah seekor reptil yang akan mengamuk di seluruh kota." Ifukube tidak diperlihatkan film final dan hanya memiliki waktu seminggu untuk menggubah musiknya. Dalam kurun waktu itu, ia hanya diperlihatkan versi Godzilla dan skenarionya. Tsuburaya secara singkat menunjukkan beberapa cuplikan kepada Ifukube tetapi dengan efek yang hilang dan Tsuburaya mencoba menjelaskan bagaimana adegan itu akan terungkap. Ifukube mengenang, "Saya sangat bingung. Jadi saya mencoba membuat musik yang akan mengingatkan Anda pada sesuatu yang luar biasa." Ifukube menggunakan instrumen alat tiup dan senar nada rendah.[73] Hal itu adalah ide Honda untuk membuat Godzilla mengaum, meskipun reptil tidak memiliki pita suara. Shimonaga dan Minawa awalnya ditugaskan untuk membuat raungan, tetapi Ifukube terlibat setelah tertarik untuk membuat efek suara. Ifukube dan Honda membahas jenis suara apa yang akan digunakan dalam adegan tertentu dan detail lainnya mengenai suara. Minawa pergi ke kebun binatang dan merekam berbagai auman binatang dan memutarnya kembali dengan kecepatan tertentu. Namun, suaranya terbukti tidak memuaskan dan tidak digunakan. Ifukube meminjam kontrabas dari departemen musik Universitas Seni Jepang dan menciptakan raungan Godzilla dengan melonggarkan senar dan menggosoknya dengan sarung tangan kulit. Suara direkam dan diputar dengan kecepatan rendah, yang menghasilkan efek raungan yang digunakan dalam film. Teknik tersebut akan diadopsi oleh Toho sebagai metode standar dalam membuat raungan monster di tahun-tahun berikutnya.[73] Ada laporan yang saling bertentangan tentang bagaimana langkah kaki Godzilla dibuat. Salah satu klaim menyatakan bahwa mereka membuatnya dengan simpul tali memukul drum ketel yang direkam dan diproses melalui kotak gema. Beberapa teks Jepang menyatakan bahwa langkah kaki bersumber dari ledakan dengan bagian akhir yang dipotong dan diproses melalui unit reverb elektronik. Namun, Ifukube memberi tahu Cult Movies bahwa langkah kaki dibuat menggunakan pengeras primitif yang membuat tepukan keras saat dipukul. Peralatan perekam optik berisi empat trek audio: satu trek untuk dialog utama, satu trek untuk obrolan latar belakang, suara bising sekitar, tank, pesawat, dan satu trek lagi untuk raungan dan langkah kaki. Trek audio independen digunakan untuk mencegah kerusakan pada audio lain.[74] Musik dan efek suara amukan Godzilla direkam langsung secara bersamaan. Saat Ifukube memimpin orkestra NHK Philharmonic, seorang seniman foley menyaksikan amukan Godzilla yang diproyeksikan di layar dan menggunakan timah, puing beton, kayu, dan peralatan lain untuk mensimulasikan suara yang akan disinkronkan dengan rekaman. Pengambilan baru diperlukan jika seniman foley melewatkan isyarat.[3] Banyak tema dan motif Ifukube yang terkait dengan Godzilla diperkenalkan dalam film, seperti mars, tema horor, dan rekuiem. "Mars Pasukan Bela Diri" menjadi identik dengan Godzilla yang kemudian disebut Ifukube sebagai "Tema Godzilla." Ifukube menganggap musiknya untuk film itu sebagai skor film terbaiknya.[75]
PerilisanPemasaranSelama produksi, Mori menyusun strategi promosi untuk membangkitkan minat publik seperti sandiwara radio, Monster Godzilla (怪獣ゴジラ , Kaijū Gojira); 11 episode diproduksi berdasarkan skenario dan ditayangkan pada hari Sabtu di jaringan radio NHK dari 17 Juli hingga 25 September 1954. Dalam upaya membangun misteri, Mori melarang reporter dari lokasi syuting dan mempertahankan teknik efek khusus dan rahasia kerajinan di balik layar lainnya. Penampilan setelan Nakajima sebagai Godzilla tidak terungkap sampai tahun 1960-an. Namun, citra Godzilla dipublikasikan secara luas. Citra Godzilla ditambahkan ke dalam alat tulis perusahaan, potongan gambar dan poster yang dipajang di bioskop dan toko, balon iklan besar yang diterbangkan ke kota-kota besar Jepang, dan boneka Godzilla yang dipasang di truk dan dibawa berkeliling Tokyo. Pracuplik teatrikal film tersebut memulai debutnya di bioskop pada 20 Oktober 1954.[3] TeaterGodzilla pertama kali dirilis di Nagoya pada 27 Oktober 1954,[77] dan dirilis secara nasional pada 3 November 1954.[2] Pada saat film ini dirilis, film ini mencetak rekor hari pembukaan baru untuk film Toho mana pun dengan menjual 33.000 tiket di bioskop Toho di Tokyo dan terjual habis di Teater Nichigeki. Akibatnya, CEO Toho secara pribadi menelepon Honda untuk memberi selamat kepadanya. Istri Honda, Kimi, mencatat "hal semacam itu biasanya tidak terjadi."[78] Dari tahun 1955 hingga 1960-an, Godzilla diputar di bioskop yang melayani orang Jepang-Amerika di lingkungan yang didominasi Jepang di Amerika Serikat. Versi teks bahasa Inggris ditampilkan di festival film di New York, Chicago, dan kota-kota lain pada tahun 1982.[79] Potongan 84 menit dari versi Jepang dirilis secara teatrikal di Jerman Barat pada 10 April 1956, sebagai Godzilla. Versi itu menghapus argumen Parlemen Jepang, pengakuan Godzilla sebagai "anak dari bom-H", referensi pada Hiroshima dan Nagasaki, dan terjemahan yang diubah dari ibu yang menggendong anak-anaknya.[80] Film tersebut dirilis ulang secara teatrikal di Jepang pada 21 November 1982, untuk memperingati ulang tahun ke-50 Toho.[81] Sejak dirilis, film tahun 1954 tetap tidak tersedia secara resmi di Amerika Serikat hingga tahun 2004.[82] Bertepatan dengan ulang tahun ke-50 film tersebut, distributor rumah seni Rialto Pictures memberikan film tersebut rilisan terbatas bergaya tur keliling, pantai-ke-pantai, di seluruh Amerika Serikat, pada 7 Mei 2004. Film itu diputar tanpa dipotong dengan teks bahasa Inggris hingga 19 Desember 2004.[5] Film ini tidak pernah diputar di lebih dari enam layar pada titik tertentu selama rilis terbatasnya. Film tersebut diputar di sekitar enam puluh bioskop dan kota di seluruh Amerika Serikat selama 7 ½bulan perilisannya. Pada bulan Oktober 2005, British Film Institute secara teatrikal merilis versi Jepangnya di Britania Raya.[83] Pada 18 April 2014, Rialto merilis ulang film tersebut di Amerika Serikat, pantai ke pantai, menggunakan tur keliling gaya terbatas lainnya. Hal itu bertepatan dengan peringatan 60 tahun Godzilla tetapi juga merayakan film Amerika Godzilla, yang dirilis pada tahun yang sama. Untuk menghindari kebingungan dengan fitur Hollywood, rilisan Rialto diberi takarir The Japanese Original.[8] Film itu diputar di 66 bioskop di 64 kota dari 18 April hingga 31 Oktober 2014.[84] Untuk peringatan ke-67, sebuah remaster 4K dari film tersebut, bersama dengan film Godzilla lainnya, diputar di lokasi Alamo Drafthouse Cinema pada 3 November 2021.[85] Versi AmerikaSetelah film tersebut sukses di Jepang, Toho menjual hak Amerika kepada Joseph E. Levine seharga $25.000. Versi film yang banyak diubah dirilis di Amerika Serikat dan di seluruh dunia sebagai Godzilla, King of the Monsters! pada 27 April 1956.[86] Versi ini memangkas film aslinya menjadi 80 menit dan menampilkan cuplikan baru dengan aktor Kanada Raymond Burr yang berinteraksi dengan pengganti yang dicampur dengan cuplikan Honda untuk membuatnya tampak seolah-olah ia adalah bagian dari produksi asli Jepang. Banyak tema politik film tersebut dipangkas atau dihilangkan sama sekali. Versi asli film Godzilla inilah yang memperkenalkan karakter dan waralaba kepada penonton di seluruh dunia dan satu-satunya versi yang dapat diakses oleh kritikus dan cendekiawan hingga tahun 2004, ketika film tahun 1954 dirilis di bioskop-bioskop tertentu di Amerika Utara. Godzilla, King of the Monsters! meraup $2 juta selama pemutaran teatrikalnya, lebih banyak dari pendapatan kotor film tahun 1954 di Jepang.[87] Honda tidak menyadari bahwa Godzilla telah disunting ulang sampai Toho merilis Godzilla, King of the Monsters! di Jepang pada Mei 1957 sebagai Monster King Godzilla. Toho mengonversi seluruh film dari cakupan aslinya menjadi cakupan layar lebar 2,35:1, yang menghasilkan pangkasan yang aneh untuk keseluruhan film. Takarir bahasa Jepang diberikan kepada aktor Jepang karena dialog aslinya sangat berbeda dari naskah aslinya dan disulihsuarakan dalam bahasa Inggris.[87] Sejak film dirilis, Toho telah mengadopsi julukan "King of the Monsters" untuk Godzilla, yang sejak itu muncul dalam materi pemasaran, iklan, dan promosi resmi.[88] Media rumahanJepangPada tahun 1985, versi Jepang dari Godzilla dirilis dalam LaserDisc di Jepang oleh Toho, diikuti dengan rilisan VHS pada tahun 1988. Toho merilis film tersebut dalam DVD pada tahun 2001 dan dalam Blu-ray pada tahun 2009.[89] Pada tahun 2008, Toho membuat ulang film tersebut dalam definisi tinggi dan menayangkannya perdana di Japanese Movie Speciality Channel, bersama dengan film Godzilla lainnya yang juga dibuat ulang dalam HD.[90] Pada Maret 2021, Toho menayangkan perdana film remaster 4K di Nippon Classic Movie Channel, bersama dengan tujuh film Godzilla lainnya yang juga dibuat ulang dalam 4K. Remaster 4K diturunkan menjadi 2K untuk siaran.[91] InternasionalVersi Amerika dirilis dalam bentuk VHS dan DVD oleh Simitar Entertainment pada 1998[89] dan Classic Media pada 2002.[92] Pada tahun 2005, British Film Institute merilis versi Jepang dalam bentuk DVD di Britania Raya yang menyertakan trek mono asli dan beberapa fitur tambahan, seperti dokumenter dan trek komentar oleh sejarawan film Steve Ryfle, Ed Godziszewski, dan Keith Aiken. DVD tersebut juga menyertakan film dokumenter tentang Daigo Fukuryū Maru, kapal penangkap ikan Jepang yang terjebak dalam ledakan nuklir Amerika dan sebagian menginspirasi pembuatan film tersebut.[83] Pada tahun 2006, Classic Media merilis versi Jepang dan Amerika dalam DVD dua disk di Amerika Serikat dan Kanada. Rilisan ini menampilkan cuplikan dan komentar audio untuk kedua film oleh Ryfle dan Godziszewski (terpisah dari komentar BFI), dua film dokumenter berdurasi 13 menit berjudul "Godzilla Story Development" dan "Making of the Godzilla Suit", dan buklet esai 12 halaman oleh Ryfle. Rilisan ini juga memulihkan kredit penutup asli dari film Amerika tersebut, yang hingga saat itu dianggap telah hilang.[93] Pada tahun 2009, Classic Media merilis Godzilla di Blu-ray. Rilisan ini menyertakan fitur khusus yang sama dari rilisan DVD Classic Media tahun 2006 tetapi tidak menampilkan versi Amerika.[94] Pada tahun 2012, the Criterion Collection merilis "restorasi digital definisi tinggi baru" dari Godzilla dalam format Blu-ray dan DVD. Rilisan ini mencakup remaster dari versi Amerika, Godzilla, King of the Monsters!, serta fitur khusus lainnya seperti wawancara dengan Akira Ikufube, kritikus film Jepang Tadao Sato, aktor Akira Takarada, penampil Godzilla Haruo Nakajima, teknisi efek Yoshio Irie dan Eizo Kaimai dan komentar audio pada kedua film oleh sejarawan film David Kalat.[1][7] Pada tahun 2014, Classic Media menerbitkan ulang Godzilla dan Godzilla, King of the Monsters! dalam bentuk DVD, untuk memperingati perilisan film Godzilla Legendary. Rilisan ini mempertahankan spesifikasi dan fitur yang sama dengan rilisan DVD tahun 2006.[95] Pada tahun 2017, Janus Films dan the Criterion Collection memperoleh film tersebut, serta judul Godzilla lainnya, untuk streaming di Starz dan FilmStruck.[96] Pada tahun 2019, film dan versi Amerika dimasukkan dalam set kotak Blu-ray Godzilla: The Showa Era Films yang dirilis oleh the Criterion Collection, yang mencakup seluruh 15 film dari zaman Shōwa waralaba tersebut.[97] Pada Mei 2020, versi Jepang dan Amerika tersedia di HBO Max setelah diluncurkan.[98] PenerimaanBox officeSelama pemutaran teater Jepang pertamanya, film tersebut mencetak rekor pembukaan dengan penjualan tiket hari pertama tertinggi di Tokyo, sebelum terjual 9,69 juta tiket;[99] Film itu adalah film dengan penonton terbaik kedelapan di Jepang tahun itu.[100] Film ini menghasilkan ¥183 juta (kurang dari $510.000) di sewa distributor selama proses awalnya,[86] dengan total penerimaan kotor seumur hidup sebesar US$2,25 juta.[100][101] Disesuaikan dengan inflasi, film box office asli Jepang yang diputar pada tahun 1954 setara dengan ¥13,7 miliar pada tahun 1998.[102] Selama rilis teatrikal terbatas tahun 2004 di Amerika Utara, film tersebut meraup $38.030 pada akhir pekan pembukaannya dan meraup $412.520 pada akhir penayangan terbatasnya. Untuk perilisan ulang terbatas tahun 2014 di Amerika Utara, film ini meraup $10.903 setelah diputar di sebuah teater di New York dan meraup $150.191 pada akhir penayangannya.[103] Di Britania Raya, film ini menjual 3.643 tiket dari rilis terbatas pada tahun 2005–2006 dan 2016–2017.[104] Tanggapan kritis di JepangSebelum film dirilis, orang-orang yang skeptis memperkirakan film tersebut akan gagal.[4] Pada saat film dirilis, ulasan Jepang beragam.[105] Kritikus Jepang menuduh film tersebut mengeksploitasi kerusakan luas yang dialami negara tersebut dalam Perang Dunia II,[106] serta insiden Daigo Fukuryū Maru, yang terjadi beberapa bulan sebelum syuting dimulai. Ishiro Honda menyesali bertahun-tahun kemudian di Tokyo Journal, "Mereka menyebutnya sampah yang aneh, dan mengatakan hal itu terlihat seperti sesuatu yang akan Anda ludahkan. Saya merasa kasihan pada kru saya karena mereka telah bekerja sangat keras!"[105] Kritikus lain mengatakan bahwa menggambarkan organisme yang bernapas api itu aneh. Honda juga percaya bahwa kritikus Jepang mulai berubah pikiran setelah ulasan bagus yang diterima film tersebut di Amerika Serikat: "Kritikus film pertama yang mengapresiasi Godzilla adalah mereka yang berada di AS. Godzilla, King of the Monsters! pada tahun 1956, para kritikus mengatakan hal-hal seperti, 'Sebagai permulaan, film ini secara terus terang menggambarkan kengerian Bom Atom', dan dengan evaluasi ini, penilaian tersebut mulai memengaruhi kritik di Jepang dan telah mengubah pendapat mereka selama bertahun-tahun."[107] Seiring berjalannya waktu, film ini semakin dihormati di negara asalnya. Pada tahun 1984, majalah Kinema Junpo mendaftarkan Godzilla sebagai salah satu dari 20 film Jepang teratas sepanjang masa, dan survei terhadap 370 kritikus film Jepang diterbitkan dalam Nihon Eiga Besuto 150 (150 Film Jepang Terbaik), menduduki peringkat Godzilla sebagai film Jepang terbaik ke-27 yang pernah dibuat.[108] Film ini dinominasikan untuk dua penghargaan Asosiasi Film Jepang. Satu penghargaan untuk efek khusus terbaik dan satu penghargaan lagi untuk film terbaik. Film itu memenangkan efek khusus terbaik[109] tetapi kalah dalam film terbaik terhadap Seven Samurai karya Akira Kurosawa.[110] Kurosawa kemudian mendaftarkan film tersebut sebagai salah satu dari 100 film favoritnya.[111] Tanggapan kritis secara internasionalGodzilla menerima sebagian besar pujian kritis dari pengulas Barat. Dalam review aggregator Rotten Tomatoes, film ini mendapat peringkat persetujuan 93% berdasarkan 76 ulasan, dengan skor rata-rata 7,60/10. Konsensus situs menyatakan, "Lebih dari tarif film monster biasa, Gojira menawarkan komentar pascaperang yang kuat dan menenangkan."[112] Di Metacritic, film ini mendapat skor 78/100, berdasarkan 20 kritik, menunjukkan "ulasan yang umumnya disukai".[113] Owen Gleiberman dari Entertainment Weekly mencatat film ini lebih "serius" daripada potongan Amerika tahun 1956, tetapi "nadanya semakin mendekati klise B-horor Amerika yang serius seperti Them! Perbedaan sebenarnya adalah metafora terkenal dari film untuk pengeboman Hiroshima dan Nagasaki terlihat lebih masokis daripada sebelumnya.[114] Luke Y. Thompson dari Dallas Observer membela efek film sebagai produk pada masanya dan merasa pemirsa akan "terkejut dengan apa yang mereka lihat". Ia menyatakan, "Hal ini bukan amukan monster konyol standar Anda."[115] Peter Bradshaw dari The Guardian menganugerahi film itu empat dari lima bintang, memuji pengisahan cerita sebagai "berotot" dan tema nuklir sebagai "bergairah dan sangat ambigu", dan menyatakan, "Kesungguhan belaka film ini membuatnya melampaui hiburan yang luar biasa dari sebagian besar film laris, kuno dan modern."[116] David Nusair dari Reel Film Reviews menganugerahkan film satu setengah dari empat bintang dan menyatakan hal itu berubah menjadi "narasi yang sangat tidak menentu yang lebih membosankan daripada mengasyikkan." Nusair mengkritik Honda karena "ketidakmampuannya untuk menampilkan satu pun karakter manusia yang menarik", menganggap akhir film itu "antiklimaks dan tidak berguna", dan menyimpulkan "film tersebut sama sekali tidak memiliki elemen yang dirancang untuk menarik dan mempertahankan perhatian penonton yang berkelanjutan."[117] Roger Ebert dari Chicago Sun-Times memberi film itu satu setengah dari empat bintang dan menyatakan bahwa "diagungkan selama 50 tahun oleh kebodohan luar biasa dari Godzilla versi Amerika, penonton sekarang dapat melihat versi asli Jepang, yang sama bodohnya, tetapi, diterjemahkan dengan benar, adalah Fahrenheit 9/11 pada masanya." Ebert mengkritik efeknya karena terlihat "kasar", merasakan efek film tahun 1933 King Kong menjadi "lebih meyakinkan", dan menyimpulkan, "Ini adalah film yang buruk, tetapi telah mendapatkan tempatnya dalam sejarah."[118] Keith Uhlich dari Time Out memberi film itu empat dari lima bintang; menyebut film itu "Seni Pop karena pembersihan;" dan memuji karakter film, tema, dan Godzilla sebagai "metafora yang kuat dan provokatif, perwujudan kecemasan zaman atom yang lahir dari keinginan umat manusia sendiri untuk menghancurkan."[119] Desson Thomson dari Washington Post menyebut efek film itu "sangat luar biasa" dan "sangat kredibel" pada masanya. Thomson merasa beberapa aktingnya "serampangan" tetapi mengatakan bahwa "terdapat dorongan yang sangat kuat untuk film ini."[120] Mick LaSalle dari San Francisco Chronicle menyebut film itu "klasik", dengan menyatakan, "Momen seperti itu melampaui tontonan. Godzilla adalah metafora kolektif dan mimpi buruk kolektif, film pesan yang mengatakan lebih dari pesannya, yang menangkap, dengan puisi yang mengerikan, teror yang menghentak pikiran orang-orang 50 tahun yang lalu."[121] Sejak dirilis, Godzilla telah dianggap sebagai salah satu film monster raksasa terbaik yang pernah dibuat, dan kritikus Allen Perkins menyebut film tersebut "bukan hanya film monster klasik, tetapi juga pencapaian sinematik yang penting".[122] Pada tahun 2010, film ini menduduki peringkat No. 31 dalam "100 Film Terbaik Sinema Dunia" majalah Empire.[123] Pada tahun 2013, Rolling Stone memberi peringkat film No. 1 dalam daftar "Film Monster Terbaik Sepanjang Masa".[124] Pada tahun 2015, Variety mendaftarkan film tersebut di antara daftar "10 Film Monster Terbaik Sepanjang Masa" mereka.[125] Pada tahun 2019, Slant Magazine memeringkatnya sebagai film fiksi ilmiah terbaik ke-10 yang pernah diproduksi[126] dan Time Out Film memberi peringkat film No. 9 dalam daftar "50 film monster terbaik" mereka.[127] PenghargaanPada 1954, Eiji Tsuburaya memenangkan penghargaan Teknik Film Jepang untuk efek khusus film itu.[128] Pada 2007, rilisan DVD Classic Media dari film itu memenangkan "DVD Terbaik 2006" oleh Rondo Hatton Classic Horror Awards dan Rilisan Film Klasik DVD Terbaik oleh Saturn Awards.[129][130] WarisanFilm tersebut melahirkan waralaba multimedia yang terdiri dari total 36 film, video game, buku, komik, mainan, dan media lainnya.[131] Waralaba Godzilla telah diakui oleh Guinness World Records sebagai waralaba film terlama dalam sejarah.[132] Sejak debutnya, Godzilla menjadi ikon budaya populer internasional, menginspirasi penyalinan, peniruan, parodi, dan penghormatan yang tak terhitung jumlahnya.[133][134][135] Film tahun 1954 dan sutradara efek khususnya Eiji Tsuburaya banyak dipuji karena membuat templat untuk tokusatsu, sebuah teknik pembuatan film efek khusus praktis yang akan menjadi penting dalam industri film Jepang setelah perilisan Godzilla. Kritikus dan cendekiawan Ryusuke Hikawa berkata: "Disney membuat templat untuk animasi Amerika. Dengan cara yang sama, (studio efek khusus) Tsuburaya membuat templat untuk bisnis film Jepang. Hal itu adalah penggunaan pendekatan film yang murah tapi seperti pengrajin untuk pembuatan film yang membuat tokusatsu menjadi unik."[136] Steven Spielberg mengutip Godzilla sebagai inspirasi untuk Jurassic Park (1993), khususnya Godzilla, King of the Monsters! (1956), yang ia tonton saat dibesarkan.[137] Film AmerikaPada tahun 1998, TriStar Pictures merilis sebuah reboot, berjudul Godzilla, disutradarai oleh Roland Emmerich.[138] Emmerich ingin Godzilla miliknya tidak ada hubungannya dengan "Godzilla" Toho tetapi memilih untuk mempertahankan elemen kunci dari film tahun 1954, dengan menyatakan, "Kami mengambil bagian dari alur cerita dasar [film asli], dengan makhluk itu menjadi diciptakan oleh radiasi dan hal itu menjadi tantangan besar. Tapi hanya itu yang kami ambil."[139] Pada tahun 2014, Warner Bros. dan Legendary Pictures merilis sebuah reboot, juga berjudul Godzilla, disutradarai oleh Gareth Edwards.[138] Edwards menyatakan bahwa filmnya terinspirasi dari film tahun 1954,[140] dan berusaha untuk mempertahankan beberapa temanya, dengan menyatakan, "Godzilla adalah metafora untuk Hiroshima di film aslinya. Kami mencoba mempertahankannya, dan terdapat banyak tema dari film '54 yang kami simpan."[141] Catatan
Referensi
Sumber
Pranala luar
|