Sebagai mitra terdekat dan anggota dinas perhubungan militer di Jakarta, yang berdinas di markas besar dalam kendali langsung Jend. Simon Spoor, Erkelens teryakinkan bahwa keberadaan Ny. Spoor-Dijkema bukan di Jakarta, melainkan di Belanda demi seseorang yang kemungkinan pembunuh dan yang memerintahkan pembunuhan Jend. Spoor melalui isterinya.[3]
Antara tahun 1942-1943, Erkelens ditempatkan di barak prajurit yang berada di kamp konsentrasi Glugur, Medan. Kempeitai saat itu sedang berusaha mengatasi sesuatu yang disebut sebagai rencana Overakker, dinamai menurut seorang mayor jenderal yang pada tahun 1941 diangkat sebagai komandan seluruh kesatuan KNIL di Sumatra. Rencana tersebut termasuk pelatihan mental militer dan tindakan ekonomi, yang tujuannya harus membebaskan Hindia Belanda (kini Indonesia). Banyak perjuangan yang ditempuh untuk rencana itu. Karena sudah bertahun-tahun menjadi perwira penghubung antara Office of Strategic Services dan staf pribadi GubJend. di Weltevreden (kini Lapangan Banteng), Erkelens berpikir bahwa dirinya lebih baik mengamati dari kejauhan saja karena terlalu banyak tau. Di kamp tersebut, Erkelens adalah anggota kumpulan pejuang ilegal, yang di dalamnya hanya terdapat perwira cadangan dan taruna. Kumpulan tersebut bertujuan bertukar informasi dan mengarahkan skema sabotase. Tak lama setelah inspeksi berkala yang dilaksanakan oleh Kempeitai, ia dicekal dan disekap di bekas sekolah dasar di Medan.
Di tengah malam, ia dibawa keluar dari sana, ke tempat peleton eksekusi sudah siap menanti. Sebelum dieksekusi, ia dipersilakan menulis surat kepada isterinya dengan syarat ia mengatakan bahwa ia telah melawan Dai-Nippon Teikoku Rikugun. Setelah menolak, Erkelens dihajar dan dikembalikan ke selnya. Kemudian, ia dibawa pindah ke Pangkalan Brandan dengan mobil dan ditahan di sana. Di sana, ia dipaksa melihat bagaimana pendudukpribumi diperlakukan dengan kejam oleh Kempeitai. Pada akhir bulan Desember 1943, terjadi gelombang penangkapan baru dan Erkelens kini akhirnya digiring ke markas Kempeitai yang sudah terkenal akan kekejamannya di Bukittinggi; ia tidak diperiksa untuk dakwaan apapun, namun semua interogasi mencari-cari kesalahannya, dan ia dipaksa membuat pengakuan. Pada saat tersebut, ia mengetahui bahwa Ir. Boekenogen dan tangan kanan teknisnya Ir. Van Ravenswaay telah dibunuh oleh Kempeitai. Letnan Dua Karel Schuessler mengalami nasib yang sama karena tidak mau melayani nafsu homoseksual sipir. Erkelens kemudian berkata:
Korps tersebut terdiri atas orang-orang sadis yang mengalami penyimpangan seksual; seorang pendeta dihajar setengah mati setelah menolak tawaran mereka. Saya sendiri tetap menyimpan rasa benci yang besar terhadap gerombolan Jepang itu dan ingin melampiaskan benci dan kemarahan terhadap mereka. Lalu saya memutuskan tidak lagi menjadi orang Kristen yang baik: saya sudah tidak mencintai musuh-musuh saya![4]
Penyidikan lanjutan
Pada tanggal 26 Juni, ia dipindahkan dengan kapal tempur yang telah diubah menjadi kapal penumpang biasa, Van Waterwijck; pada hari yang sama, kapal tersebut ditorpedo oleh kapal selamSekutu; selama serangan tersebut, Erkelens hampir mati seperti teman dan mitranya, namun, karena berhasil mencapai timbunan sisal, ia dapat bertahan hidup dan dijejalkan ke dalam kapal tankerJepang, yang membawanya ke Singapura. Setelah 6 minggu, interogasi oleh Kempeitai dimulai; yang untuk itu ia dijebloskan ke dalam truk dalam kondisi terikat pada tangan dan kaki, dijejalkan ke perahu torpedo cepat yang membawanya ke Pekanbaru melalui Selat Malaka dan Sungai Siak. Dari sini, ia diangkut lagi ke Bukittinggi, tempat "gerombolan lainnya menyambut dan menahan kami dengan sadis. Saya dijebloskan ke dalam sel."[4] Setelah ada tiap berita bahwa ada bahaya untuk Jepang, ia mendapatkan 'perlakuan ekstra'. Di minggu-minggu tersebut, gigi seri dan taringnya dipukul dengan warangkapedangsamurai. Dalam selnya, ia diasapi hingga tidak sadar, setelah itu disirami air dingin dan diinterogasi lagi. Erkelens sudah mengetahui dari OSS bahwa sebelum dirinya kehilangan kesadaran harus berpikir: "menjaga wajah", karena saat bangun seolah-olah ada orang lain yang memberi perintah, sehingga tak memberi tau apapun pada Kempeitai.[5] Ia kemudian disiksa dengan "jungkat-jungkit" (papan kecil di terdakwa harus duduk mengangkang dan menyebabkan nyeri hebat pada alat vital) dan harus menyaksikan hukuman mati terhadap 8 orang Tionghoa muda.
Orang Tionghoa dipaksa menggali kuburnya sendiri, harus berlutut di pinggirnya, menerima dan meminum segelassake dan kemudian dipenggal, di mana algojo akan menghantam beberapa kali, pertama-tama bagian kepala dan kemudian badannya dalam lubang.
Inilah adegan yang selamanya akan tetap saya alami seterusnya, suatu bukti bahwa di mata Jepang, tidak ada kekuatan "Barat" yang beradab. Orang dapat membandingkannya dengan Prancis yang terbelah karena revolusi dan guillotine (yang bekerja jauh lebih cepat dan aman) dan akhirnya Hirohito yang keturunan dewa itu adalah kaisar mereka.[5]
Pada bulan Maret 1945, Erkelens dipindahkan ke kamp konsentrasi Pekanbaru II, "kamp kematian" bagi buruhjalur KA Muaro-Pekanbaru, dan tetap di sana hingga saatnya dibebaskan pada tanggal 22 Agustus. Pada akhir tahun 1945, ia menjadi anggota Allied War Crimes Investigation Team (AWCRIT) dan mendapatkan kesempatan dua kali untuk menangkap dan menembak mati algojonya dahulu.
Namun, bangsat terbesar (oleh atasannya, yang juga mengetahui, berkat kesempatan pada tanggal 15 Agustus berhasil menyelamatkan diri ke manapun) tidak berhasil kami tangkap. Beberapa menjadi pelatih di TNI yang baru berdiri, namun pada akhirnya mereka tidak terlalu senang dengan teman-teman Jepang yang jiwanya rusak itu.[6].