Delapan belas Arhat (h=十八羅漢/ 十八阿羅漢; p=Shíbā Luóhàn/ Shíbā āLuóhàn; wg:Lóhàn; Hokkien=Cap Pek Lo Han/ Cap Pwee Lo Han) digambarkan dalam Buddhisme Mahayana sebagai para pengikut asli dari Buddha yang telah menjalankan Jalan Utama Berunsur Delapan dan mencapai Empat Tingkat Pencerahan. Mereka telah mencapai kondisi Nirwana dan terbebas dari keinginan duniawi. Mereka ditugaskan untuk melindungi Buddhisme dan tetap berada di bumi untuk menunggu kedatangan Maitreya, sesosok Buddha masa mendatang yang diramalkan mencapai pencerahan beberapa ribu tahun setelah Buddha Gautama parinibbana. Di Tiongkok, delapan belas Arhat juga menjadi subyek populer kesenian Buddhis.
Kepercayaan di Tiongkok
Aslinya, para Arhat hanya terdiri atas 10 murid Buddha Gautama, meskipun sūtra awal-awal dari India hanya menunjukkan 4 dari antaranya, yaitu Pindola, Kundadhana, Panthaka, dan Nakula, yang diberi instruksi untuk menunggu kedatangan Maitreya.[1] Penggambaran paling awal para Arhat ini oleh Tiongkok dapat dirunut hingga sejauh abad keempat Masehi,[2] dan terutama difokuskan pada Pindola yang dipopulerkan dalam kesenian oleh buku Metode untuk Mengundang Pindola (Hanzi: 請賓度羅法; Pinyin: Qǐng Bīndùluó Fǎ).
Selanjutnya jumlah mereka meningkat menjadi 16 dengan memasukkan para penatua dan ahli spiritual lainnya. Ajaran mengenai para Arhat akhirnya sampai di Tiongkok yang menyebut mereka Luohan (羅漢, kependekan dari a-luo-han, sebuah transkripsi Tionghoa untuk Arhat), tetapi hanya sampai tahun 654 M saat Nandimitrāvadāna (Hanzi: 法住記; Pinyin: Fǎzhùjì), Catatan Durasi Hukum, diucapkan oleh Arhat Nadimitra Agung, diterjemahkan oleh Xuanzang ke dalam bahasa Tionghoa sehingga nama para Arhat ini diketahui. Untuk beberapa alasan, Kundadhana dikeluarkan dari daftar.[3]
Suatu waktu di antara periode Dinasti Tang akhir dan awal Lima Dinasti dan Sepuluh Negara di Tiongkok, dua Luohan lainnya ditambahkan dalam daftar sehingga jumlahnya meningkat menjadi 18.[4] Namun, penggambaran 18 Arhat hanya bertahan di Tiongkok sementara wilayah lain seperti Jepang tetap bertahan dengan angka enam belas yang daftar namanya berbeda sebagian. Penggambaran 18 Arhat (bukannya 16) tetap bertahan hingga masa modern tradisi Buddhisme di Tiongkok. Kultus mengenai para Arhat sebagai penjaga Buddhisme baru memperoleh momentum oleh para penganut Buddhis Tiongkok pada akhir abad ke-9, sebab mereka baru melalui masa penganiayaan yang hebat dibawah pemerintahan Kaisar Wuzong dari Tang. Faktanya dua Arhat terakhir yang ditambahkan, yaitu Penjinak Naga dan Penjinak Harimau, secara terselubung bergesekan dengan Taoisme.
Dalam seni Tiongkok
Karena tidak ada catatan sejarah terperinci bagaimana para Luohan tampak seperti apa, wujud mereka pada kesenian awal Tiongkok tidak dibedakan.[5] Penggambaran pertama 18 Luohan digambar oleh BhikkhuGuan Xiu (Hanzi: 貫休; Pinyin: Guànxiū) pada tahun 891 M yang saat itu sedang tinggal di Chengdu. Legenda menyebutkan bahwa ke-18 Luohan mengetahui keahlian kaligrafi dan melukis Guan Xiu sehingga mereka muncul dalam mimpinya untuk meminta bhikkhu tersebut menggambarkan potret mereka.[6] Lukisan tersebut menampilkan mereka sebagai orang asing, dengan alis tebal, mata lebar, pipi menggantung, dan hidung besar. Mereka duduk di dataran, bersandar pada pepohonan pinus dan bebatuan. Sebagai tambahan, mereka digambarkan tidak rapi dan "eksentrik" yang menekankan bahwa mereka adalah gelandangan dan pengemis yang telah meninggalkan semua keinginan duniawi. Saat Guan Xiu ditanyai bagaimana ia bisa memperoleh ide penggambaran tersebut, ia menjawab: "Dalam sebuah mimpi aku melihat mereka dan para Buddha. Setelah bangun, aku menggambarkan apa yang aku lihat di dalam mimpi tersebut. Jadi, aku bisa menyebut para Luohan ini sebagai 'Luohan dalam sebuah mimpi'." Lukisan Guan Xiu ini menjadi penggambaran tetap untuk 18 Luohan dalam ikonografi Buddhisme Tiongkok, meskipun pada penggambaran modern mereka terlihat lebih Tiongkok dan kehilangan wujud orang asing sehingga ekspresi mereka dapat lebih menonjol. Lukisan tersebut didonasikan Guan Xiu ke Kuil Shengyin di Qiantang (sekarang Hangzhou), di sana lukisan tersebut dirawat dengan sangat hati-hati serta penuh penghormatan.[7] Banyak artis terkenal seperti Wu Bin dan Ding Guanpeng mencoba (dengan penuh iman) mengimitasi lukisan yang asli.
Kaisar Qianlong adalah seorang pemuja para Luohan. Pada saat kunjungannya melihat lukisan pada tahun 1757, Qianlong tidak hanya mengamati mereka secara teliti tetapi juga menulis sanjungan untuk setiap lukisan Luohan. Kopi dari puji-pujian tersebut diberikan kepada biara tersebut untuk disimpan. Pada tahun 1764, Qianlong memerintahkan lukisan-lukisan yang terdapat di Biara Shengyin untuk diproduksi ulang dan diukir pada papan-papan batu supaya awet. Ukiran-ukiran tersebut dipasang ke dalam stupa marmer untuk ditampilkan kepada publik. Kuil tersebut hancur pada masa Pemberontakan Taiping tetapi kopian lukisan tinta dari prasasti-prasasti tersebut diamankan di dalam serta di luar Tiongkok.[8]
Daftar
Dalam tradisi Tiongkok, 18 Luohan umumnya ditampilkan sebagaimana urutan kemunculan mereka dalam mimpi Guan Xiu, ukan berdasar kekuatan mereka: Menunggang Rusa, Bahagia, Mengangkat Mangkuk, Mengangkat Pagoda, Bermeditasi, Seberang Laut, Mengendarai Gajah, Singa Tertawa, Membuka Jantung, Mengangkat Tangan, Berpikir, Menggaruk Telinga, Tas Belacu, Pisang Raja, Alis Panjang, Penjaga Pintu, Penjinak Naga, dan Penjinak Harimau.
Duduk berwibawa di atas seekor rusa,
Seperti sedang berpikir mendalam.
Dengan ketenangan sempurna,
Puas dengan berada di atas mengejar keinginan duniawi.
Membawa sutra-sutra (kitab suci),
Berlayar ke timur untuk menyebarkan dunia.
Mendaki gunung-gunung dan menyeberangi sungai-sungai,
Demi pembebasan umat manusia.
Menunggang gajah dengan aura bermartabat,
menyanyikan sutra-sutra dengan keras.
Dengan hati untuk kemanusiaan,
Mata menyusuri empat penjuru alam semesta.
Suka bermain dan bebas dari larangan,
Anak singa melompat dengan sukacita.
Mudah mebalik ketegangan dengan relaksasi,
Bersukacita dengan semua makhluk hidup.
Di tangan terdapat mutiara spiritual dan mangkuk suci,
Diberkahi dengan kekuatan yang tidak mengenal batas.
Penuh keberanian, semangat, dan martabat yang menimbulkan rasa hormat,
Karena berhasil menaklukkan naga ganas.